• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan Data

4.3.2 Interaksi Simbolik

65

Seorang komunikator akan menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol atau lambang – lambang yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama.

Lambang – lambang tersebut diwujudkan melalui kata – kata, logat, perilaku verbal, dan nonverbal. Penggunaan simbol – simbol tersebut terorganisasi dan disepakati secara umum sebagai wahana pertukaran gagasan (Purwasito, 2003 : 206 – 207).

Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan orang untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, pengalaman, tujuan, dan ungkapan perhatian sebuah komunitas dapat terbangun secara alami. Di dalam bahasa terdapat berbagai makna di mana makna tersebut memiliki interpretasi yang berbeda – beda setiap orang tergantung pada kebudayaannya masing – masing. Setiap orang memiliki aturan budaya yang terinci untuk menginterpretasikan pengalaman mereka dan bagaimana mereka harus bertindak.

Dalam sebuah pasar, terutama pasar tradisional terdapat banyak pedagang maupun pembeli dengan beragam identitas suku dengan budayanya masing – masing.

Pada pasar tersebut pedagang maupun pembeli akan terus menerus memaknai setiap simbol yang mereka jumpai berdasarkan aturan budaya mereka sendiri. Ada yang akan menganggap buruk suatu simbol, ada juga yang menganggapnya baik.

Kesembilan informan dalam penelitian ini juga memiliki pandangannya masing – masing akan simbol komunikasi yang mereka temui, setiap informan langsung bisa mengaitkan sebuah simbol yang mereka temui kepada identitas suku tertentu. Dan karena mayoritas pedagang di pajak pagi adalah suku Batak Toba, Karo, dan Jawa, maka semua informan memiliki pengertian bahwa gaya berkomunikasi dengan volume suara yang besar merupakan gaya komunikasi suku Batak Toba dan Karo sedangkan gaya komunikasi dengan intonasi suara yang lembut dan kecil adalah dari suku Jawa. Beberapa informan juga mengUtarakan kebiasaan spesifik dari suku tertentu, misalnya bapak Hendra yang selalu mendengar orang Karo memanggil

“nakku” kepada semua orang yang lebih muda darinya dan ibu Lastari yang selalu menemukan beberapa orang Batak yang mengucapkan huruf vokal “e” yang kerap berbeda dengan pengucapan seperti biasa.

66

Selain itu ibu Rasmi, bapak Harun, dan bapak Safrullah mengatakan bahwa pedagang suku Karo kerap berkata kasar ketika mereka berinteraksi satu sama lain.

Bagi pedagang Karo tersebut, hal ini merupakan hal yang biasa dan selalu terjadi.

4.3.3 Komunikasi Verbal

Menurut Fajar (dalam Indria, 2015 : 3), Komunikasi verbal dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interkasi antara manusia. Dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau bertatapan dengan manusia lain, sebagai sarana utama menyatukan pikiran, perasaan dan maksud.

Suatu sistem dalam komunikasi verbal adalah bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol – simbol tersebut, yang dipahami dan digunakan suatu komunitas (Mulyana, 2007 : 260). Bahasa merupakan salah satu hal yang paling berpengaruh dalam komunikasi antarbudaya. Selain masyarakat antar negara, suku – suku dalam masyarakat juga merupakan komunitas atau kelompok yang memiliki bahasanya tersendiri, pertemuan anggota dari komunitas yang berbeda sangat memungkinkan terjadinya saling tidak memahami akibat perbedaan tersebut.

Pasar pajak pagi yang memiliki pedagang dari berbagai suku juga mengalami hal yang sama, sehingga terjadi komunikasi antarbudaya setiap waktu. Para pedagang juga biasa memakai bahasa Indonesia sehingga ketidakpahaman dalam berinteraksi jarang terjadi. Beberapa informan juga selalu memakai bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan pedagang lain. Pertama kali melakukan interaksi mereka akan memakai bahasa Indonesia, apabila informan mengetahui identitas sukunya sama, mereka akan berbahasa daerah untuk berinteraksi dengannya. Hal tidak terjadi kepada pedagang saja, namun juga pembeli. Apabila sama, pembicaraan biasanya akan

67

mengarah kepada pembicaraan yang didasarkan pada nilai – nilai budaya yang dianut.

Contohnya ketika Bu Hotmawati berinteraksi dan mengetahui lawan bicaranya adalah seorang Karo, dirinya akan mulai berbahasa Karo dan menanyai marga dan bre yang dimilikinya, dengan mengetahui identitas marga tersebut, Bu Hotmawati dapat mengetahui siapa panggilan yang pas yang harus diucapkannya kepada lawan bicaranya sesuai dengan adat budaya Karo.

Pengalaman bertahun – tahun berjualan membuat beberapa dari informan mulai sedikit mengerti akan bahasa dari suku lain yang ditemuinya, misalnya ibu Rasmi yang mengerti kebiasaan pedagang Karo yang kasar ketika berinteraksi hanya dengan mendengar beberapa kalimat yang diucapkan yaitu : “Munggil ko, ko pikir kau cuma pedagang di sini?” dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut berarti :

“Mampus kau, kamu pikir hanya kamu pedagang di sini?”.

Selain itu, informan bernama ibu Lastari dan bapak Muhidin mengaku sudah mampu menguasai beberapa bahasa daerah dalam tingkat yang lebih tinggi. Ibu Lastari yang bersuku Batak yang tinggal di kabupaten Karo mengaku menguasai bahasa Karo dan Toba sekaligus sedangkan bapak Muhidin mampu berbicara berbagai bahasa seperti bahasa Karo, Toba, Jawa, dan lainnya meski hanya dalam interaksi jual beli dan interaksi yang bersifat santai.

Dengan memakai bahasa Indonesia, hampir seluruh informan mengatakan tidak pernah mengalami ketidakpahaman akan perbedaan yang ada, kecuali bapak Hendra. Beliau merupakan informan dengan waktu berjualan terlama dibanding informan lainnya, beliau pernah mengalami ketidakpahaman dengan orang lain karena orang tersebut belum mahir memakai bahasa Indonesia sehingga hanya bisa berbicara dengan bahasa daerahnya, bapak Hendra yang tidak mengerti hanya bisa memanggil orang yang sesuku dengannya untuk menjadi perantara dengan orang tersebut, kejadian tersebut terjadi 3 sampai 4 kali dari suku – suku yang berbeda.

4.3.4 Komunikasi Nonverbal

68

Menurut Samovar dkk (dalam Lubis 2012 : 118), komunikasi nonverbal merupakan cara bagi manusia untuk menyatakan sikap, perasaan, dan emosi.

Komunikasi nonverbal meliputi semua stimulus nonverbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima.

Komunikasi nonverbal dapat berupa penampilan, gerakan, suara, gangguan vokal seperti eee, oh, hmm, dan mimik wajah. Komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak tanda untuk dimaknai oleh seseorang, misalnya seseorang mengatakan dia tidak apa – apa atas masalah yang terjadi padanya, namun kita melihat raut wajahnya yang terlihat murung dan kecewa, kita pun akan memaknai bahwa orang tersebut masih merasa sedih meski dia berkata sebaliknya.

Keberagaman suku yang ada di pajak pagi juga memberikan keragaman komunikasi secara nonverbal. Dalam hal intonasi suara, mayoritas para pedagang mengetahui suku Batak dan Karo yang berinteraksi dengan volume suara besar dan keras, sedangkan orang dari suku Jawa dan Padang lebih kecil dan tenang dalam berinteraksi.

Beberapa informan seperti ibu Rasmi, bapak Harun, bapak Safrullah, seta bapak Andri membenarkan keadaan tersebut di mana mayoritas orang bersuku Batak dan Karo berbicara dengan volume suara yang besar dan orang bersuku Jawa dan Padang lebih lembut dan tenang dalam berbicara.

Peneliti sendiri telah mengamati lokasi tempat 2 informan berjualan yaitu ibu Hotmawati dan ibu Mirna yang terdiri dari mayoritas pedagang dari suku Karo.

Peneliti memperhatikan interaksi yang ada dilakukan dengan saling berbicara keras satu sama lain. Peneliti menganggap hal ini terjadi karena tempat berjualan pedagang tersebut yang saling berseberangan di pinggir jalan. Selain suara yang keras, para pedagang ini juga kerap memberi isyarat dengan tubuh seperti melambaikan tangan dan menunjuk untuk menambah keefektifan dalam berkomunnikasi.

69

Bapak Harun dan bapak Safrullah juga selalu memperhatikan ketika para pedagang mayoritas suku Karo tersebut berinteraksi, kedua informan mengatakan pedagang tersebut terbiasa berinteraksi dengan suara keras dengan tatapan yang menurut informan mengintimidasi, sehingga kedua informan memaknai kebiasaan tersebut sebagai sesuatu yang kasar.

Ketika mewawancarai informan yaitu ibu Mirna, peneliti mengamati informan selalu melakukan Vocal Interferences atau gangguan vokal ketika menjawab pertanyaan, misalnya ih, atau hmm. Informan bernama ibu Lastari mengatakan bahwa orang dari suku Batak selalu memakai vokal huruf E yang berlainan dengan vokalnya yang biasa dipakai orang lain. Misalnya kata “berapa harganya” di mana vokal e pada kalimat tersebut mengalami perubahan pengucapan. Informan juga mengaku pernah melayani pembeli orang Cina, dan berdasarkan pengamatan informan, mereka berbicara layaknya orang – orang kota pada umumnya.

4.3.5 Proses Adaptasi Budaya

Menurut Ellingsworth (dalam Liliweri, 2001 : 63), setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi antar pribadi, individu tersebut mampu untuk menyaring. Adaptasi budaya sendiri terjadi karena hasrat seorang individu untuk mencapai tujuan komunikasi yang efektif

Terdapat unsur – unsur dalam adaptasi budaya, yaitu :

1. Partisipan, merupakan para individu yang masing – masing merasa dirinya sebagai orang luaryang berinteraksi dalam perbedaan – perbedaan latar belakang kehidupan mereka.

2. Setting, merupakan lingkungan fisik dan nonfisik tempat terjadinya kontak dan sangat menentukan efektivitas komunikasi.

3. Tujuan, setiap kegiatan komunikasi pasti memiliki tujuan, yaitu kebutuhan informasi, kerjasama, partisipasi atau persetujuan dalam hal – hal tertentu.

4. Proses, merupakan proses terjadinya adaptasi budaya.

70

5. Hasil, hasil dari adaptasi berupa tercapainnya efektivitas dan tujuan – tujuan komunikasi tersebut dilakukan.

Dalam beradaptasi pada lingkungan baru, manusia dituntut belajar serta memahami budaya yang baru yang tentu saja bukan perkara mudah. Ketika manusia berkomunikasi dalam keadaan tersebut, mereka akan belajar memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi (Lubis, 2016 : 34).

Kondisi dan keadaan para informan yang telah peneliti amati merupakan hasil dari adaptasi budaya. Seluruh informan telah bekerja, berdagang, dan beraktivitas di pasar yang multikultural dalam waktu yang relatif lama. Beberapa informan ada yang tidak pernah mengalami gegar budaya atau Culture Shock dalam proses adaptasi mereka di Pasar Pajak Pagi karena sudah pernah bekerja pada tempat bersifat multikultural sebelumnya. Hasil interaksi dengan suku – suku lain juga mempengaruhi informan untuk berperilaku sama seperti mereka dalam hal berperilaku, kebiasaan, dan cara berkomunikasi.

Semakin besar perbedaan budaya, maka semakin besar pula perbedaan bahasa dan gaya komunikasi, baik dalam komunikasi verbal maupun dalam isyarat – isyarat nonverbal (Lubis, 2016 : 85). Pasar Pajak Pagi memiliki pedagang yang memiliki etnis – etnis yang berbeda, perbedaan bahasa dalam pasar tidak terlalu menonjol karena dalam kesehariannya, para pedagang selalu berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi, mereka baru akan berbahasa daerah ketika lawan komunikasinya juga memiliki identitas suku yang sama dengannya. Meski berbahasa Indonesia, adanya perbedaan gaya dan kebiasaan komunikasi seperti logat membuat pedagang mampu menebak suku dari lawan bicaranya.

Terlepas dari kondisi multikultural yang ada Pasar Pajak Pagi, pengaruh dari budaya Karo sangatlah besar di pasar ini. Ada terdapat banyak pedagang Karo yang tersebar di wilayah pasar Pajak Pagi. Ketika berkeliling di pasar, peneliti juga kerap mendengar percakapan dengan bahasa Karo antara sesama pedagang maupun dengan pembeli. Seluruh informan dari suku lain juga memiliki teman sesama pedagang yang besuku Karo yang berjualan didekatnya.

71

Seluruh informan dalam penelititan ini memerlukan penyesuaian diri terhadap lingkungan pasar yang baru saja mereka tempati, meskipun tingkatan penyesuaian masing – masing informan berbeda akibat pengalaman dan sikap masing – masing informan terhadap perbedaan tersebut. Bu Hotmawati juga merasakan ketidakpastian dan kegelisahan ketika pertama kali berjualan meskipun dirinya bersuku Karo dan berjualan di daerah pasar yang mayoritas bersuku Karo. Ketika itu dirinya mengaku menjadi terbuka dengan berkenalan kepada setiap pedagang di sekitarnya dan berusaha membangun hubungan baik dengan pedagang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan budaya dan kedekatan emosional dengan latar belakang budaya yang sama ternyata tidak bisa menghapus perasaan tidak pasti dan cemas ketika berada pada suatu lingkungan baru. Satu – satunya cara untuk menyesuaikan diri adalah dengan sifat keterbukaan dan keinginan bersosialisasi (Lubis, 2016 : 19 – 20).

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, para informan dalam penelitian ini sudah berhasil dalam melakukan adaptasi budaya, setiap informan juga memiliki proses dan cara tersendiri dalam beradaptasi pada lingkungannya.

Informan pertama yaitu ibu Hotmawati mengaku tidak merasakan kesulitan ketika pertama kali berjualan, informan berkata satu – satunya hal yang membuatnya tidak nyaman adalah karena belum mengenal siapapun kala itu. Karena berjualan bersama sesama pedagang Karo, ibu Hotmawati bisa beradaptasi dengan cepat. Dari suku lain, informan hanya mengaku berinteraksi dari pembeli saja, dan informan memakai bahasa Indonesia dalam melakukan transaksi jual belinya. Sekarang informan mengaku sudah terbiasa dengan budaya di pasar ini, informan mengatakan banyak pembeli biasanya datang sekedar duduk beristirahat di tempat jualannya sehingga informan bisa berinteraksi dan saling kenal mengenal. Salah satu berhasilnya adaptasi adalah ketika seseorang ikut melakukan kebiasaan yang ditemuinya, informan menceritakan bahwa dia pernah dikomentari oleh anak – anaknya bahwa dia berbicara dengan keras ketika di rumah, kebiasaan tersebut

72

didapat informan dari sesama pedagang Karo yang terbiasa berbicara keras di pajak pagi tersebut.

Informan kedua yaitu ibu Rasmi juga mengatakan tidak memiliki kesulitan dalam beradaptasi, informan mengatakan mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan pedagang dari suku lain yang ada di sekitarnya. Informan terbiasa memakai bahasa Indonesia keapada pedagang lain dan bahasa daerahnya kepada pedagang sesukunya. Namun informan memiliki kesulitan dengan seorang pedagang bersuku Nias yang ada di sekitarnya, informan tidak pernah bisa mencapai komunikasi efektif dengannya dan selalu berujung salang paham satu sama lain, informan mengaku sudah mencoba melakukan pendekatan dan mempelajari sifat pedagang tersebut, namun hingga sekarang masih belum bisaberkomunikasi dengan baik. Informan mengatakan sangat senang berinteraksi dengan pedagang dari suku Jawa karena perangainya yang tenang dan lembut, hal tersebut terbawa oleh informan sehingga informan kadang berbicara dengan lembut ketika di rumah.

Informan ketiga yaitu bapak Harun mengatakan sebelum mulai berjualan di pajak pagi, dirinya memiliki beberapa orang teman dari suku – suku yang banyak berdagang di pajak pagi sehingga informan merasa lebih mudah dalam beradaptasi.

informan sendiri beradaptasi dengan berkomunikasi antar sesama pedagang di sekitarnya. Informan mengatakan sudah membiasakan diri dengan kebiasaan yang ada di pajak pagi, sebelumnya informan selalu merasa kesal dengan gaya komunikasi pedagang Karo, namun sekrang sudah dianggap biasa oleh informan. Meski sudah biasa, informan mengaku tidak ada memakai kebiasaan tersebut di lingkungan lain, informan juga sering berinteraksi dengan pedagang dari suku Jawa sehingga mampu menjaga kebiasaan informan sebagai orang Jawa.

Informan keempat yaitu bapak Safrullah. Informan keempat memiliki cara adaptasi yang hampir sama dengan informan ketiga. Sebelum berjualan di pajak pagi, informan sudah berkeliling Medan menjajakan dagangannya, bahkan sebelum berdagang di Medan, informan mengaku sudah kerja berpindah – pindah ke beberapa wilayah di pulau Sumatera, pengalaman tersebut membantu informan untuk mampu

73

beradaptasi dengan lebih cepat di pajak pagi. Sama seperti informan sebelumnya, bapak Safrullah beradaptasi dengan saling berkomunikasi dengan pedagang di sekitarnya, informan berkata dia tidak ada merasa terbawa oleh kebiasaan – kebiasaan pajak pagi. karena kedua informan yaitu bapak Harun dan bapak Safrullah saling berdekatan dan memiliki identitas suku yang sama, maka peneliti menganggap interaksi keduanya lah yang membuat informan tidak ada mengikuti kebiasaan – kebiasaan pajak pagi.

Informan kelima yaitu bapak Hendra memiliki cara berdaptasi yang berbeda dibanding informan – informan sebelumnya. Informan mengaku merasa kesulitan sewaktu pertama kali berjualan karena hanya informan satu - satunya pedagang bersuku Minang waktu itu, informan beradaptasi dengan berteman dengan seorang pedagang bersuku Batak yang berjualan disampingnya kala itu, informan mengatakan pedagang tersebut selalu membantunya tentang seluk beluk pasar dan mengenalkannya kepada pedagang lain di sekitarnya, setelah itu informan langsung akrab dengan pedagang – pedagang lain yang ada di sekitarnya. Sekarang ini informan selalu berinteraksi dengan pedagang bersuku apapun di sekitarnya. Ketika berada di rumah informan kerap berbicara dengan gaya komunikasi pedagang Karo yang ada didekatnya, yaitu selalu memanggil “nakku” kepada setiap orang muda yang ada, maka informan juga menerapkan kebiasaan tersebut di rumah kepada anak perempuannya.

Informan keenam yaitu ibu Lastari juga tidak merasa kesulitan dalam beradaptasi, informan mengatakan bahwa meski dia bersuku Batak Toba, dia memiliki kampung halaman di sebuah desa di tanah Karo, sehingga otomatis informan juga mengetahui kebiasaan dan budaya orang Karo, selain itu dirinya juga berkata bahwa orang Jawa juga banyak hidup dan bekerja di kampung halamannya sehingga informan mampu menyesuaikan diri dengan bak dengan pedagang suku Jawa dan Karo yang banyak jumlahnya di pajak pagi. Pedagang di sekitar informan sendiri juga terdiri dari suku Jawa dan Karo sehingga makin mempermudahnya dalam beradaptasi. Kebiasaan orang Jawa yang tenang dalam berbicara juga sangat

74

dinikmati informan sebagai hal yang menenangkan, informan juga berkata selalu teringat dengan kampung halamannya setiap kali berinteraksi dengan orang Karo.

Kerap berinteraksi dengan orang Karo membuat informan mampu menguasai bahasa Karo setelah sebelumnya sudah mempelajarinya sejak berada di kampung halaman, selain itu berinteraksi dengan orang – orang Batak Toba juga membuat informan bisa menunjukkan identitasnya sebagai orang Batak Toba dengan berbahasa Batak setelah sebelumnya informan sangat jarang berbahasa Batak di kampung halaman di daerah Karo.

Informan ketujuh yaitu bapak Andri. Informan mengaku sedikit kesulitan ketika pertama kali berjualan di pajak pagi. Sebelumnya informan berjualan di kampung halamannya yaitu desa Tiga Panah di kabupaten Karo, berpindah keMedan dan berjualan di pajak pagi membuat informan kesulitan karena tingkat keragaman suku yang tinggi dibandingkan dengan di kampung halamannya. Setelah bertahun – tahun, informan mengaku seudah beradaptasi dan terbiasa dengan keadaan pajak pagi tersebut, informan beradaptasi dengan berinteraksi dengan pedagang lain serta mengamati setiap pedagang maupun pembeli setiap harinya. Informan juga mengatakan telah menerapkan beberapa kebiasaan pajak pagi yang ditemuinya, sewaktu pulang kampung, teman – temannya mengomentari gaya komunikasi informan yang memakai kata “Kau” untuk menunjuk seseorang, beda dengan orange Karo biasanya yang memakai kata “Kam” untuk menunjuk seseorang, selain itu orang tua informan di kampung juga mengomentari volume bicara informan yang besar bahkan ketika sedang santai sekalipun.

Informan kedelapan yaitu ibu Mirna, penuturan informan ini hampir mirip dengan informan pertama karena informan berjualan di lokasi yang juga mayoritas terdapat para pedagang Karo. Informan mengatakan tidak pernah merasa kesulitan sewaktu pertama kali berjualan karena sudah ada banyak pedagang Karo di sekitar tempatnya berjualan, selebihnya informan memakai bahasa Indonesia jika bertemu pedagang atau pembeli dari suku lain.

75

Informan yang terakhir yaitu bapak Muhidin, sebelum menjadi pedagang di pajak pagi, informan berkata pernah bekerja sebagai pengemudi becak, oleh karena itu, informan mengaku tidak terkejut dan sulit untuk beradaptasi di pajak pagi karena pada profesi sebelumnya informan sudah mengenal beragam orang dari berbagai suku melalui penumpang becaknya. Selain itu informan juga mengatakan bahwa dirinya mampu berbicara dengan berbagai bahasa seperti bahasa Karo, Batak, dan Jawa, namun informan hanya bisa memakai berbagai bahasa tersebut sebatas perbincangan santai dan dalam transaksi jual beli. Sebelum menjadi pedagang informan menuturkan bahwa dia selalu menunggu penumpang di depan pajak pagi sehingga sebelum menjadi pedagang, informan sudah mengerti kebiasaan maupun sistem yang ada di pajak pagi.

4.3.6 Faktor Yang Mempercepat dan Memperlambat Adaptasi Budaya

Melalui proses wawancara yang peneliti lakukan, peneliti menemukan bahwa maing - masing informan mempunyai faktor – faktor tersendiri yang mempengaruhi adaptasi budaya mereka, baik itu mempercepat maupun memperlambat. Seluruh informan mengatakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang sangat membantunya dalam berinteraksi di pasar. Kesembilan informan memiliki latar pendidikan yang berbeda – beda, mulai dari tamat SMA hingga tidak tamat SD sekalipun, namun seluruh informan mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, meskipun terdapat gaya komunikasi yang berbeda – beda pada informan menurut identitas suku dan perilaku adaptifnya.

Selain itu meskipun ada beberapa stereotip negatif yang diucapkan oleh beberapa informan tentang sebuah suku, hal tersebut tidak ada menghambat proses komunikasi antarbudaya pada para pedagang pasar ini. Melalui wawancara Bu Hotmawati dan Bu Rasmi, peneliti menganggap bahwa para informan telah mengesampingkan stereotipnya karena memiliki perasaan sepenanggungan sebagai sesama pedagang. Para informan juga sudah lama berjualan di pasar Pajak Pagi

76

sehingga stereotip negatif tersebut berangsur – angsur menghilang karena selalu berinteraksi dengan suku tersebut.

Karena waktu berjualan yang sudah lama dijalani, beberapa informan yaitu Bu Hotmawati, Pak Safrullah, dan Bu Lastari juga telah mengembangkan pengetahuan tentang sifat – sifat umum seseorang dari identitas sukunya.

Informan lain seperti Pak Hendra berkata dia awalnya beradaptasi dengan baik karena mendapat bantuan dari teman karibnya pada tahun – tahun pertama dirinya berjualan. sedangkan informan bernama Pak Safrullah dan Pak Muhidin lebih

Informan lain seperti Pak Hendra berkata dia awalnya beradaptasi dengan baik karena mendapat bantuan dari teman karibnya pada tahun – tahun pertama dirinya berjualan. sedangkan informan bernama Pak Safrullah dan Pak Muhidin lebih

Dokumen terkait