• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.4 Komunikasi Verbal

Komunikasi secara verbal merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Komunikasi verbal sendiri hanya mencakup 35 % dari keseluruhan komunikasi manusia, karena komunikasi secara verbal memliki keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain :

1. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.

2. Kata – kata yang bersifat ambigu.

3. Kata – kata mengandung bias budaya.

4. Pencapuradukan fakta, penafsiran, dan penilaian (Mulyana 2007 : 279).

Sistem perilaku verbal disebut sebagai bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan seperangkat aturan untuk mengkombinasikan simbol – simbol tersebut yang digunakan dan dipahami dalam suatu komuntas.

Bahasa verbal menggunakan kata – kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita, namun kata – kata tersebut tidak bisa menjadi representasi total dari hal yang diwakili kata – kata itu (Mulyana, 2007 : 261).

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam bahasa verbal itu, masalahnya akan semakin rumit. Jika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri proses untuk merepresentasikan pengalaman kita akan semakin mudah karena orang itu juga berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila

20

komunikasi melibatkan dengan orang dari budaya yang berbeda, banyak pengalaman yang berbeda, maka prosesnya akan menyulitkan (Mulyana, 2007 : 262).

Menurut Ohoiwutun, (Dalam Liliweri, 2004 : 94) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu: untuk dapat menyampaikan pesan komunikasi verbal secara efektif dalam komunikasi antarbudaya.

Dalam komunikasi antarbudaya perbedaan bahasa selalu menjadi kesalahpahaman dalam melakukan interaksi, bahkan sekalipun sebuah bahasa mempunyai sebuah kata yang sama dengan bahasa yang lain, kata tersebut memiliki makna yang saling berbeda menurut kedua bahasa tadi yang berasal dari budaya yang berbeda. Karena itulah dalam usaha menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain, tidak boleh dilakukan secara harfiah saja, tapi juga harus diketahui apa maknanya berdasarkan budaya bahasa tersebut (Tubbs dan Moss, 1996 : 243).

2.2.4 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal merupakan cara bagi manusia untuk menyatakan sikap, perasaan, dan emosi. Komunikasi nonverbal meliputi semua stimulus nonverbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima (Samovar, dkk. 2010 : 294).

Berbeda dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dapat dilihat, didengar, dibaui, dan dicicipi, bahkan juga campuran dari semuanya. Komunikasi

21

nonverbal akan tetap terjadi sepanjang ada orang hadir di dekat orang lain, dengan kata lain setiap perilaku mempunyai potensi untuk ditafsirkan sebagai komunikasi, jadi meskipun kita tidak berkomunkasi secara verbal, kita akan tetap berkomunikasi secara nonverbal (Mulyana, 2007 : 348).

Komunikasi nonverbal juga mengandung lebih banyak muatan emosional dibanding komunikasi verbal, ketika kita mengalami pengalaman yang sedih dan mengecewakan, kita mungkin berkata “tidak apa – apa”, namun ekspresi wajah kita akan menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Dalam hubungannya dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut :

1. Komunikasi nonverbal dapat mengulangi komunikasi verbal, ketika kita menganggukkan kepala saat mengatakan “ya”, dan menggeleng ketika mengatakan “tidak”.

2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi komunikasi nonverbal, sewaktu kita menggunakan nada suara tinggi ketika berbicara didepan orang banyak.

3. Komunikasi nonverbal dapat menggantikan komunikasi verbal dibeberapa situasi, contohnya seorang pengemis datang untuk meminta, kita akan menolak dengan mengangkat telapak tangan atau memberi beberapa recehan tanpa perlu berbicara sedikitpun.

4. Komunikasi nonverbal dapat meregulasi komunikasi verbal, ketika kita terlihat gesilah dan selalu melihat jam tangan di suatu acara, rekan kita mungkin akan mengerti dan segera mengajak untuk pulang.

5. Komunikasi nonverbal dapat membantah komunikasi verbal, misalnya rekan kita setuju untuk menemani kita sementara waktu, namun dia terlihat gelisah dan melihat jam tangannya terus menerus (Mulyana, 2007 : 350).

Komunikasi nonverbal memiliki beberapa bentuk perilaku, yaitu(Liliweri 2004 : 98) :

1. Kinesik, studi yang berkaitan dengan bahasa tubuh, seperti posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh, dan lain – lain.

2. Okulesik, studi tentang pergerakan mata dan posisi mata.

22

3. Haptik, studi tentang peradaban atau memperkenankan sejauh mana seseorang merangkul orang lain.

4. Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana kecenderungan manusia menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi harus ada jarak pribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh.

5. Kronemik, studi tentang konsep waktu, misalnya jika suatu kebudayaan mengajarkan untuk tepat waktu maka kebudayaan itu dianggap maju.

6. Appearance, merupakan cara seseorang menampilkan diri yang cukup menunjukkan atau berkolerasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi.

7. Posture, merupakan tampilan tubuh ketika sedang berdiri dan duduk.

8. Pesan – pesan paralinguistik, merupakan gabungan perilaku verbal dan nonverbal, terdiri dari satu unit suara dan gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu.

9. Simbolisme dan komunikasi nonverbal yang pasif, dapat berupa simbol warna dan nomor.

Sama seperti komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dalam suatu kebudayaan juga tak kalah rumitnya, jika orang – orang dari kebudayaan lain memiliki sandi nonverbal yang berbeda maka akan terjadi keadaan komunikasi yang rumit, walaupun orang – orang tersebut memahami bahasa verbal yang sama.

Preilaku nonverbal seseorang merupakan suatu perangkat kebiasaan yang kita terima dari lingkungan sosial kita, khususnya orang tua (Mulyana, 2007 : 352).

Sangat sulit untuk mencapai komunikasi efektif dalam perbedaan budaya tanpa adanya saling mengetahui makna suatu simbol nonverbal tertenu, misalnya orang amerika biasa berbicara keras untuk menunjukkan kekuatan dan ketulusan, sedangkan orang arab biasa menurunkan suaranya untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicaranya. Ketika mereka berkomunikasi orang amerika akan mengeraskan suaranya sebagai pesan nonverbal supaya orang arab tadi juga menaikkan volume suaranya, namun karena orang arab memaknai pesan nonverbal itu dengan kebudayaannya maka bisa dipastikan komunikasi akan mengalami

23

hambatan, meskipun secara verbal kedua orang tersebut saling mengerti (Tubbs dan Moss, 1996 : 246). Di Indonesia juga terdapat komunikasi yang hampir mirip dengan contoh diatas seperti interaksi antara orang batak dengan orang jawa.

Untuk dapat efektif berkomunikasi dengan orang lain, kita perlu mengetahui bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal. Kita cenderung menganggap budaya kita dan simbol nonverbal kita sebagai standar dalam menilai budaya dan simbol nonverbal orang lain, meskpun berbeda bukan berarti orang tersebut aneh, salah, ataupun bodoh, bisa saja maksud dan tujuan dari budayanya sama tapi terlihat berbeda secara cultural (Mulyana, 2007 : 436).

Tabel 1 Sumber : Ronald B. Agler, George Rodman, Understanding Human Comunication,

second edition, hal. 96(dalam Indria, 2015 : 3).

2.2.5 Identitas Budaya

Identitas pada dasarnya merujuk kepada pandangan reflektif mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri kita. Identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam, yang artinya dapat berubah – ubah menurut pengalaman hidup kita. Selama kita hidup, kita akan terus menemukan beberapa identitas yang baru dan akan mengesampingkan bahkan meninggalkan

24

identitas yang lama. Misalnya kita meninggalkan identitas kita sebagai siswa setelah lulus SMA dan memperoleh identitas baru sebagai mahasiswa ketika kita melanjut ke universitas (Samovar dkk, 2010 : 185).

Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunkasi. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antar budaya (Lubis, 2012 : 163).

Manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka, identitas awal seseorang berasal dari keluarganya, dimana dari keluarga seseorang mulai belajar secara budaya mengenai kepercayaan, nilai, dan peranan sosial yang tepat. Ketika keluarga mengajarkan apa yang pantas dilakukan sebagai laki – laki atau perempuan, identitas gender sedang dibentuk dan interaksi dengan keluarga besar mengajarkan perilaku yang pantas antar usia (Samovar Dkk, 2010 : 195).

Setelah diperoleh dan dikembangkan, identitas juga dipertahankan dan dimodifikasi melalui interaksi sosial. Kita dapat masuk dan keluar dari dari identitas yang berbeda ketika kita berinteraksi dengan orang lain, dan dengan masing – masing identitas kita dapat menggunakan sejumlah perilaku komunikatif yang sesuai dengan identitas dan latar belakang yang ada (Samovar Dkk, 2010 : 200). Contohnya kita sebagai seorang dari suku Batak yang berbicara secara keras dan lawan bicara kita mengakui dirinya sebagai seorang suku Jawa yang berbicara secara pelan dan lembut, kemudian masing – masing harus menunjukkan identitas yang sesuai dengan lawan bicara. Kita harus berasama – sama merundingkan jenis hubungan yang saling menguntungkan, dengan membuat beberapa penyesuaian dan akomodasi yang diperlukan.

Dalam interaksi antarbudaya, harapan berbeda mengenai identitas serta gaya komunikasi yang ditampilkan berpotensi menimbulkan kegelisahan, miskomunikasi, bahkan konflik, oleh karena itu Imahori dan Cupach (dalam Samovar dkk, 2010 :

25

199) menganggap identitas budaya sebagai elemen utama dalam komunikasi antarbudaya.

Pada praktik komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Ketika manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.

Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87).

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern menciptakan kelompok sosial yang lebih berseragam. Lingkungan transnasional, perkembangan pelayanan kesehatan lintas budaya, dan pendidikan multikultur menjadi penting sekarang ini.

Fakta bahwa globalisasi, imigrasi, dan pernikahan antar budaya telah meningkatkan percampuran antar budaya dan menghasilkan orang – orang dengan berbagai jenis antar budaya. Hal seperti ini membuat orang – orang dengan berbagai identitas tersebut merasa mudah dan nyaman untuk mengganti identitas yang mereka bawa sejak lahir dan menggunakan identitas baru yang dirasa lebih nyaman di lingkungannya (Samovar dkk, 2010 : 201).

Isu mengenai identitas merupakanhal yang rumit dan mungkin akan menjadi lebih rumit karena meningkatnya keanekaragaman budaya terdapat dalam masyarakat sekarang ini. Identitas sekarang telah menjadi sebuah negosiasi yang diartikulasikan antara apa kita menurut kita sendiri dan apa kita menurut orang lain. Lebih daripada itu, identitas akan tetap dipengaruhi oleh budaya (Samovar dkk, 2010 : 202).

26 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode secara sederhana adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, sedangkan penelitian adalah kegiatan spionase untuk mencari, memata – matai, dan menemukan pengetahuan dari lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah – kaidah ilmiah tertentu (Suyanto, Bagong, dkk, 1995 : v).

Maka metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah – langkah yang sistematis.

Metode penelitian menyangkut masalah kerjanya, yaitu cara kerja untuk dapat memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, meliputi prosedur penelitian dan teknik penelitian (Hasan, 2002 : 20).

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengungkap fenomena sosial, yaitu menjelaskan bagaimana peranan komunikasi antarbudaya para pedagang dalam proses asimilasi.

Metode kualitatif deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan, berbagai kondisi, situasi, atau berbagai fenomena sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, atau fenomena tertentu (Bungin, 2008 : 68).

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Peranan komunikasi antarbudaya para pedagang dalam proses adaptasi budaya di pasar tradisional Pajak Pagi di daerah Pasar 5 Medan.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah informan yang menyediakan informasi yang berhubungan dengan apa yang hendak diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para pedagang yang berjualan di pasar tradisional Pajak Pagi di daerah pasar 5

27

Medan. Para pedagang ini dipilih sebagai subjek penelitian karena para pedagang tersebut pasti terlibat komunikasi antar budaya dengan pembeli maupun dengan sesama pedagang sehingga terjadi adaptasi budaya.

Namun perlu diketahui bahwa adaptasi budaya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pedagang yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para pedagang yang sudah berjualan minimal satu tahun lamanya, sehingga diharapkan asimilasi budaya yang menjadi sasaran peneitian bisa didapatkan dari para pedagang tersebut.

Selain itu untuk memperoleh informan penelitian, peneliti akan menggunakan cara Snowball Sampling karena peneliti tidak mengetahui siapa informan yang benar – benar memahami informasi objek penelitian, karena itu peneliti harus melakukan langkah – langkah : (1) ketika mulai mengumpulkan data, peneliti harus berupaya menemukan Gatekeeper, yaitu siapapun orang yang pertama dapat diwawancarai atau diobservasi dalam rangka memperoleh informasi tentang objek penelitian; (2) Gatekeeper bisa pula sekaligus menjadi orang pertama yang diwawancarai, namun gatekeeper menunjuk orang yang lebih paham tentang objek penelitian; (3) setelah wawancara pertama berakhir, peneliti meminta informan menunjuk orang lain berikutnya yang dapat diwawancarai untuk melengkapi informasi yang sudah diperolehnya; (4) terus – menerus setiap habis wawancara peneliti meminta infornan menunjuk informan lain yang dapat diwawancarai pada waktu yang lain.

3.3. Deskripsi Singkat Mengenai Pasar Tradisional Pajak Pagi di Pasar 5

Pajak pagi merupakan salah satu pasar tradisional yang terdapat di kota Medan, pasar ini berada di jalan bunga mawar melati padang bulan. pasar ini memiliki sebutan pajak pagi karena di pasar ini para pedagangnya sudah tiba dan langsung bersiap untuk berjualan dari jam setengah lima pagi, sedangkan pajak merupakan sebutan khas masyarakat Medan akan pasar. Pajak pagi mulai beroperasi dari jam 4.30 pagi hingga jam 12 malam. Pasar ini menjual berbagai masam kebutuhan pokok rumah tangga, seperti daging, telur, sayur mayur, buah – buahan, minyak goreng, bumbu dapur, dan lain sebagainya, lokasi pasar ini berupa sebuah

28

bangunan beratap yang besar dengan kios – kios di dalamnya, ada juga pedagang yang berjualan hanya dengan menggelar alas seadanya di lantai.

Tidak hanya di dalam bangunan utamanya, ketika masuk dari jalan Jamin Ginting, pedagang – pedagang di pinggir jalan akan langsung terlihat berjejer hingga ke pintu masuk bagunan pasar tadi. Sebagaimana pasar tradisional pada umunya, pajak pagi ini memiliki kondisi yang becek di dalam bangunan dan penataan yang kurang pada pedagang di pinggir jalan. Di dekat pasar ini terdapat sebuah Hypermart yang juga menawarkan kebutuhan pokok yang sama, meskipun pajak pagi masih memiliki banyak kekurangan sebagai pasar tradisional, pasar ini selalu ramai walaupun dengan kehadiran sebuah pasar modern disampingnya. Faktor harga yang lebih murah dan dapat ditawar tentu mampu menarik keingingan pembeli untuk berbelanja disini. Selain orang tua, banyak orang muda yang juga berbelanja disini, khususnya mereka yang masih dalam perantauan di kota Medan.

29 3.4 Kerangka Analisis

Kerangka analisis dalam peneltian ini adalah sebagai berikut : Gambar 1 : Kerangka Analisis

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah 1. Penelitian Lapangan

a. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara dimana pewawancara terlibat secara langsung dengan kehidupan sosial informan. Wawancara mendalam membutuhkan

Komunikasi Antar

- Mengapa suatu kebiasaan penting dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk melakukannya.

30

waktu yang relatif lama bersama informan di lokasi penelitian. (Bungin, 2007 : 108).

b. Observasi

Observasi merupakan aktivitas pengamatan dan pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis, dimana peneliti akan turun langsung ke lapangan dan memungkinkannya mengamati sendiri dan kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. (Idrus, 2009 : 101).

2. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data literatur dan sumber bacaan yang relevan untuk mendukung penelitian. Karena itu penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku, majalah, surat kabar, internet, jurnal ilmiah, dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

3.6 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada awal bulan september 2016 dan lamanya penelitian akan disesuaikan dengan kebutuhan.

3.7 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif yang diajukan oleh Huberman dan Miles(Idrus, 2009 148) , yaitu :

1. Reduksi Data

Tahap ini diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan – catatan tertulis dari lapangan. Pada tahap ini peneliti menganalisis bagian mana yang dikode, dibuang, fokus pada hal yang penting, dan mendapatkan polanya. Reduksi data akan membantu peneliti dalam melakukan analisisnya.

31 2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau pengambilan tindakan.

Bentuk penyajiannya dapat berupa teks naratif, matriks, grafik, atau bagan.

Tujuannya agar mudah dibaca dan menarik kesimpulan.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Tahap terakhir ini dimaknai sebagai penarikan arti data yang telah ditampilkan, pemberian kesimpulan ini tergantung sejauh mana pemahaman peneliti dan interpretasi yang dibuatnya.

32 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Penelitian

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara wawancara mendalam terhadap informan yang sudah didapat. Penelitian ini berlangsung selama lebih kurang 1 bulan dari mulai bulan September hingga ke awal bulan oktober tahun 2016. Penelitian dilakukan terhadap pedagang yang berjualan pada pasar tradisional pajak pagi di pasar lima kota Medan. Peneliti mencari informan dengan metode Snowball Sampling, yaitu berusaha mendapat seorang Gatekeeper atau informan kunci dalam suatu penelitian. Gatekeeper biasanya adalah informan pertama yang diwawancarai, namun gatekeeper juga bisa dianggap sebagai orang yang mengerti objek dari sebuah penelitian (Bungin, 2008 : 77).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi budaya yang terjadi di pasar tradisional tersebut. Adaptasi budaya merupakan sebuah proses sosial yang memakan waktu cukup lama, maka informan yang akan diwawancarai harus sudah berjualan minimal 1 tahun di pasar tersebut sehingga adaptasi budaya yang menjadi sasaran penelitian bisa didapat (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 177).

Proses awal penelitian dimulai dengan mengajukan judul penelitian kepada jurusan dan disetujui dosen pembimbing. Setelah melakukan segala pengerjaan penelitian, penelitipun mulai bersiap mengumpulkan data dengan menuju ke lokasi penelitian untuk memperhatikan dan menandai pedagang mana yang berpotensi menjadi informan yang baik. Selanjutnya, peneliti membuat pedoman wawancara yang berguna sebagai acuan dalam mengajukan pertanyaan – pertanyaan kepada informan mengenai proses adaptasi budaya para pedagang. Peneliti mewawancarai informan di kios ataupun lapak jualannya masing – masing. Peneliti melakukan wawancara ke pasar tersebut sebanyak lima kali kunjungan.

33

Peneliti memulai penelitian dengan mencari pedagang yang sudah ditandai pada peninjauan lapangan sebelumnya. Sebelum memulai wawancara peneliti telebih dahulu akan bertanya karakteristik informan seperti data diri dan sudah berapa lama berjualan di pasar tersebut. Informan yang pertama adalah ibu Hotmawati br Bangun.

Beliau merupakan pedagang buah jeruk yang sudah berjualan selama 5 tahun. Peneliti memilih beliau sebagai informan pertama karena sebelumnya peneliti telah mengamati informan berinteraksi dengan pedagang – pedagang lain disekitarnya, dimana informan terlihat akrab dengan pedagang - pedagang tersebut. Ketika pasar sudah sepi pembeli, terlihat 4 pedagang disamping informan datang dan duduk ke dalam lapak jualan informan dan berbincang – bincang dengan santai. Meskipun jarang mendapat pembeli, peneliti melihat bahwa informan kerap mendapat sapaan dari orang – orang yang ada di pasar tersebut. Dari pengamatan – pengamatan tersebut, peneliti menganggap bahwa informan memiliki banyak kenalan di pasar dan memiliki sifat terbuka sehingga peneliti memilihnya menjadi informan yang pertama.

Proses wawancara berlangsung lancar karena informan cukup bersahabat dan pasar juga dalam keadaan sepi. Selain itu peneliti dengan informan memiliki identitas suku yang sama sehingga keakraban mudah tercapai. Namun peneliti merasa informan tidak terlalu mengerti akan pertanyaan yang diajukan peneliti karena informan menjawab di luar konteks objek yang diteliti.

Ketika mewawancari informan kedua, peneliti mengajak seorang teman untuk mendampingi peneliti di lapangan. Informan kedua adalah ibu Rasmi br Sitanggang, dimana selain wawancara, peneliti juga berbincang – bincang dengan beliau tentang keluarga, kampung halaman, dan hal – hal lainnya. Dalam sebuah penelitian kualitatif, peran seorang gatekeeper penting untuk didapatkan. Gatekeeper biasanya adalah informan pertama yang didapat dalam sebuah penelitian, namun gatekeeper juga bisa diberikan kepada informan yang lebih paham tentang objek yang diteliti.

Gatekeeper dibutuhkan sebagai pihak yang menjembatani peneliti dengan sumber – sumber data yang hendak didapatkannya (Bungin, 2008 : 77).

34

Dalam penelitian ini, informan pertama adalah ibu Hotmawati br Bangun.

Selama proses wawancara informan kerap menjawab diluar konteks yang sedang diteliti sehingga peneliti merasa bahwa informan kurang tepat untuk menjadi gatekeeper dalam penelitian ini. Ketika mewawancarai informan kedua, peneliti mengamati jawaban – jawaban informan berhubungan dengan pertanyaan wawancara. Informan juga mampu meningkatkan kepastian jawabannya dengan menceritakan sebagian pengalamannya kepada peneliti. Informan juga bersedia membantu peneliti untuk mendapatkan informan yang baik dalam penelitian dengan mengantar peneliti ke tempat berjualan pedagang lain yang menurutnya bisa menjadi informan yang baik. Beliau juga membantu menjelaskan maksud wawancara penelitian terhadap pedagang tersebut sebelum menyerahkan proses wawancara kepada peneliti. Selain bantuan tersebut, ibu Rasmi merupakan seorang yang baik dan

Selama proses wawancara informan kerap menjawab diluar konteks yang sedang diteliti sehingga peneliti merasa bahwa informan kurang tepat untuk menjadi gatekeeper dalam penelitian ini. Ketika mewawancarai informan kedua, peneliti mengamati jawaban – jawaban informan berhubungan dengan pertanyaan wawancara. Informan juga mampu meningkatkan kepastian jawabannya dengan menceritakan sebagian pengalamannya kepada peneliti. Informan juga bersedia membantu peneliti untuk mendapatkan informan yang baik dalam penelitian dengan mengantar peneliti ke tempat berjualan pedagang lain yang menurutnya bisa menjadi informan yang baik. Beliau juga membantu menjelaskan maksud wawancara penelitian terhadap pedagang tersebut sebelum menyerahkan proses wawancara kepada peneliti. Selain bantuan tersebut, ibu Rasmi merupakan seorang yang baik dan

Dokumen terkait