• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang SKRIPSI"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan

Selayang

SKRIPSI

ANDRO FELIX GINTING 120904111

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Andro Felix Ginting

Nim : 120904111

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang

Medan, Januari 2017

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Prof. Lusiana A. Lubis., M.A., Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001

Dekan FISIP USU

Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si NIP. 197409302005011002

(3)

ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Andro Felix Ginting

NIM : 120904111

Tanda Tangan :

Tanggal : Januari 2017

(4)

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Andro Felix Ginting

NIM : 120904111

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji Ketua Penguji :

Penguji :

Penguji Utama :

Ditetapkan di :

Tanggal :

(5)

iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Andro Felix Ginting

NIM : 120904111

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan Ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive Royalty – Free Rights) atas karya ilmiah saya yang berjudul Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang. Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : Januari 2017 Yang Menyatakan

(Andro Felix Ginting)

(6)

v

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Peranan Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi budaya yang tejadi melalui komunikasi antarbudaya pada para pedagang di pasar Pajak Pagi di daerah pasar lima Padang Bulan Kota Medan. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan paradigma konstruktivisme. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya, interaksi simbolik, identitas budaya, komunikasi verbal dan nonverbal, dan adaptasi budaya.

Proses adaptasi budaya yang menjadi objek penelitian didapat melalui wawancara terstuktur kepada sembilan pedagang pasar Pajak Pagi yang bersedia untuk menjadi informan. Hasil wawancara tersebut akan dianalisis menggunakan model analisis data Huberman dan Miles, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan sudah dapat beradaptasi dengan baik dengan semua kebiasaan dan kebudayaan yang ada di pasar Pajak Pagi.

Setiap informan memiliki cara tersendiri dalam beradaptasi. Namun berkomunikasi dengan sesama pedagang lain merupakan cara paling efektif dalam beradaptasi.

Setiap informan juga mempunyai waktu yang berbeda – beda dalam mencapai adaptasi budayanya, perbedaan ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu pengalaman informan, pemikiran informan terhadap keadaan multikultural itu sendiri, dan persepsi informan tentang suatu kebiasaan dan kebudayaan baru yang ditemuinya di pasar Pajak Pagi.

Kata kunci :

Komunikasi Antarbudaya, Adaptasi budaya, Pasar.

(7)

vi

ABSTRACT

This study entitled “The Role Of Intercultural Communication On Merchantsin Cultural Adaptation in Traditional Market Pajak Pagi in Medan Selayang Districts”.

This research showed to know about the process of cultural adaptation that happened through intercultural communication on the merchants in Pajak Pagi market in pasar lima Padang Bulan region in Medan city. The method used is qualitative descriptive methods with constructivism approach. The theory used in this research is intercultural communicaton, symbolic interaction, cultural identitu, verbal and nonverbal communication, and cultural adaptation.

The cultural adaptation which are the object of this research are obtained through an interview to 9 merchants in Pajak Pagi market who willing to be respondents. The result of the interview will be analyzed using Huberman and Miles data analysis model, that is data reduction, data presentation, and conclusion and verification.

The result of this research showed that all of the respondents are already able to adapt well to every costums and cultures which exist in Pajak Pagi market. Every respondents have their own way in adapting. However, communicate with other fellow merchants is the most effective way in adapting. Every respondents also have different time period to achieve the cultural adaptation. This difference depend on some factors, that is respondents experiences, respondents thoughts about the multicultural state itself, and respondents perception about a costum and new culture they encountered in Pajak Pagi market.

Keywords :

Intercultural Communication, Cultural Adaptation, Market.

(8)

vii

Kata Pengantar

Segala pujian dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih karuniaNya saja peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak hal yang dapat dipelajari peneliti, begitu juga banyak tantangan yang dihadapi, tetapi semua dapat dilalui berkat tuntunan Tuhan dan motivasi serta bantuan dari berbagai pihak yang terkait sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan efisien sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Pertama-tama peniliti akan mengucapkan trimakasih yang sebesarnya kepada kedua orang tua saya, Musa Ginting S. Th. dan Rosianna br Kaban S. Pd. karena telah memberikan kontribusi yang sangat berharga yaitu doa, nasihat dan pengorbanan materil/non materil kepada peneliti dimulai dari awal hingga menyelesaikan gelar sarjana. Dalam kesempatan ini, peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan FISIP USU Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si.

2. Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA.

3. Ibu Prof. Lusiana A. Lubis., M.A., Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah meluangkan waktu dan ilmu yang sangat berharga selama berlangsungnya proses bimbingan skripsi.

4. Bapak dan Ibu dosen, seluruh staf pengajar dan administrasi Ilmu Komunikasi yang telah membantu dan memberikan bekal pengetahuan selama masa perkuliahan berlangsung.

5. Kedua abang saya Leon Rich Ginting S. Kel dan Ibnea Sosipater Ginting S.T yang selalu memberikan dukungan kepada saya berupa doa, nasehat, dan materi

(9)

viii

6. Bapak Prof. Dr Jamaran Kaban, M. Sc selaku paman saya yang selalu memberi dukungan dan motivasi selama masa – masa perkuliahan.

7. Herbert Juergen, Yosua Putra Valentino, Samuel Christian Lubis, dan Aulia Muhammad yang menjadi teman dekat saya selama perkuliahan.

8. Keempat sahabat sejak SMA Agustinus Sembiring, Affendry Lingga, Steven Siregar dan Wira Prasetio Bangun atas segala motivasi dan keseruannya yang tetap terjalin.

9. Andika Fernando Ginting yang sudah menemani dan mendampingi saya selama penelitian di lapangan.

10. Seluruh teman – teman seperjuangan ilmu komunikasi 2012.

11. Seluruh pedagang yang bersedia untuk menjadi informan penelitian ini dan pihak – pihak lainnya yang sudah membantu penulisan skripsi ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini belum mencapai kesempurnaan, maka dari itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran guna membangun penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Januari 2017 Penulis,

(Andro Felix Ginting)

(10)

ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PUBLIKASI ELEKTRONIK ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah... 1

1.2 Fokus Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 9

2.2.1 Paradigma Konstruktivisme... 9

(11)

x

2.2 Kajian Pustaka... 11

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya ... 11

2.2.2 Adaptasi Budaya... 14

2.2.3 Teori Interaksi Simbolik ... 15

2.2.4 Komunikasi Verbal... 19

2.2.5 Komunikasi Nonverbal... 20

2.2.6 Identitas Budaya ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 26

3.2 Subjek Penelitian... 26

3.3 Deskripsi Singkat Mengenai Pasar Tradisional Pajak Pagi di Pasar 5 27 3.4 Kerangka Analisis ... 29

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.6 Waktu Penelitian ... 30

3.7 Teknik Analisis Data... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Penelitian ... 32

4.2 Penyajian Data ... 37

4.3 Pembahasan Data ... 59

4.3.1 Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang ... 59

4.3.2 Interaksi Simbolik ... 64

(12)

xi

4.3.3 Komunikasi Verbal ... 66 4.3.4 Komunikasi Nonverbal ... 67 4.3.5 Proses Adaptasi Budaya ... 69 4.3.6 Faktor Yang Mempercepat dan Memperlambat Adaptasi Budaya 74 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 78 5.2 Saran ... 79 DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

1 Pembagian tipe – tipe komunikasi ... 23 2 Karakteristik Informan... 37

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Halaman

1 Kerangka analisis ... 29 2 Dokumentasi di lapangan (Lampiran

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

Pasar merupakan sebuah tempat berlangsungnya kegiatan jual beli yang lekat dengan bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Sebuah pasar tercipta dari interaksi manusia untuk melakukan pertukaran kepemilikan barang dan jasa. Pasar juga merupakan salah satu dari sistem, institusi, dan infrastruktur yang bertujuan menjual barang dan jasa untuk imbalan uang. Pasar bertujuan untuk memberikan layanan kepada masyarakat supaya dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan mereka. Dalam ilmu ekonomi, pasar adalah setiap struktur yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk menukar jenis barang, jasa dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang disebut dengan transaksi. Pasar terdiri dari semua pembeli dan penjual yang baik yang memengaruhi harga nya. Pengaruh ini merupakan studi utama ekonomi dan telah melahirkan beberapa teori dan model tentang kekuatan pasar dasar penawaran dan permintaan. Ada dua peran di pasar, pembeli dan penjual. Pasar memfasilitasi perdagangan dan memungkinkan distribusi dan alokasi sumber daya dalam masyarakat. Pasar mengizinkan semua item yang diperdagangkan untuk dievaluasi dan harga. Sebuah pasar muncul lebih atau kurang spontan atau sengaja dibangun oleh interaksi manusia untuk memungkinkan pertukaran hak (kepemilikan) jasa dan barang.

Pertukaran itu disebut dengan transaksi (www.wikipedia.org).

Sebuah pasar dapat terbentuk dengan syarat – syarat, yaitu : 1. Terdapat penjual dan pembeli.

2. Adanya barang dan jasa yang diperjualbelikan.

3. Adanya interaksi antara penjual dan pembeli.

4. Adanya media atau tempat berinteraksi penjual dan pembeli (www.berpendidikan.com).

(16)

2

Pasar sendiri terbagi menjadi dua, yaitu pasar tradisional dan pasar modern.

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunannya biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain (www.wikipedia.org). Perkembangan pasar modern saat ini seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket telah mengganti peran dari pasar tradisional, terutama pada masyarakat perkotaan, selain itu jumlah minimarket juga terus bertambah dapat dengan mudah ditemukan oleh masyarakat di perkotaan. Meski demikian pasar tradisional juga menyediakan barang dan jasa yang membuatnya tetap mampu bertahan di tengah – tengah perkembangan pasar modern, salah satu penyebabnya adalah karena kesegaran dari barang yang dijual seperti sayur – sayuran dan buah - buahan dan proses transaksi yang bisa dilakukan secara tawar menawar.

Di Indonesia terdapat ribuan pasar tradisional yang tersebar di seluruh provinsinya, salah satu provinsi tersebut adalah Sumatera Utara yang merupakan provinsi dengan penduduk yang besar di Indonesia, dengan tingkat keragaman suku dan budayanya yang tinggi. Selain suku asli yaitu suku Batak yang terbagi lagi menjadi 5 sub suku, terdapat juga suku bangsa dari provinsi lain seperti suku Jawa, Padang, Aceh, dan lainnya yang merupakan akibat dari perpindahan penduduk.

Keberagaman ini semakin besar dengan adanya suku – suku non pribumi seperti orang Cina, India, dan Arab yang semuanya itu merupakan bagian dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Setiap suku dan etnis tersebut pasti memiliki kebudayaannya tersendiri yang mempunyai keunikan dan kekhasannya masing – masing, termasuk dalam berkomunikasi pasti ada perbedaan antara etnis satu dengan yang lain.

Perbedaan itu merupakan hasil dari budaya suku tersebut yang sudah ada selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Namun keberagaman suku bangsa tersebut hanya terkonsentrasi di ibukota saja yaitu kota Medan.

(17)

3

Keberagaman suku bangsa yang tinggi di kota Medan, menyebabkan kota tersebut memiliki penduduk yang mempunyai ciri khas kebudayaan masing – masing, seperti bahasa, logat bicara, agama, kebiasaan berperilaku, dan lain – lain yang saling berbeda. Selain adanya suku asli di kota Medan, tingginya tingkat migrasi ke provinsi Sumatera Utara juga menambah keragaman suku bangsa pada penduduknya. Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015 terdapat sebanyak 142.774 jiwa yang melakukan migrasi masuk ke Sumatera Utara, jumlah ini merupakan akumulasi dari 5 tahun terakhir, sebelumnya pada tahun 2005 jumlah migrasi masuk provinsi Sumatera Utara mencpai 107.330 jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 123.962 jiwa (www.bps.go.id.com). Jumlah perpindahan tersebut menunjukkan peningkatan migrasi setiap 5 tahunnya sehingga menambah jumlah penduduk di Sumatera Utara.

Selain jumlah perpindahan pada tahun yang disebutkan diatas, proses migrasi sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelumnya. Salah satu lokasi di kota ini dimana para penduduk berkumpul adalah di pasar tradisional, orang – orang yang saling berbeda latar belakang tersebut saling berinteraksi dalam bentuk transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, selain itu interaksi antar sesama pedagang maupun sesama pembeli juga kerap terjadi di pasar tradisional.

Setiap suku tersebut memiliki budayanya masing – masing, yang mengatur kebiasaan dan perilaku dalam berbagai hal, misalnya dalam berkomunikasi. Budaya merupakan tingkah laku setiap manusia di dunia ini yang dapat memberikan suatu arti karena hal tersebut dipelajari dan dibagikan kepada satu dengan yang lain. Menurut Samovar dan Porter (dalam Lubis, 2012 : 1), hubungan antar budaya sangat penting untuk untuk memahami komunikasi antarbudaya dan komunikasi lintas budaya karena hal itu mempengaruhi budaya orang – orang untuk belajar berkomunikasi.

Melalui budaya kita bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi menuntun kita untuk bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain, maka kita pun dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu

(18)

4

menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin (Zulham, 2011).

Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tidak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan nonverbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia (Zulham, 2011).

Dengan beragamnya kebudayaan dan kebiasaan di suatu lokasi, maka akan terjadi komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya merupakan interaksi antara dua orang dengan suku atau budaya yang berbeda. Usaha untuk mencapai komunikasi efektif dalam perbedaan budaya bukanlah perkara mudah, pelaku komunikasi harus menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu - individu yang berinteraksi dengannya (Astuti, 2014).

Pertama sekali memasuki budaya yang baru seseorang dapat mengalami kegelisahan dan gangguan emosi ketika dua realitas dan konsep bertemu. Jika seseorang dengan indentitas suku Jawa berlibur selama 1 minggu di kota Medan maka perbedaan budaya bukan masalah besar. Namun jika dia bermigrasi ke kota Medan, maka orang tersebut akan memasuki suatu budaya yang baru dan harus melakukan adaptasi budaya yang baru (Samovar, dkk. 2010 : 474).

Sebelum melakukan adaptasi budaya seseorang akan mengalami ketidaknyamanan fisik dan psikologis. Ketidaknyamanan ini disebut kejutan budaya (Culture Shock). Menurut Samovar, Porter, dan Mc. Daniel (dalam Lubis Andriani, 2012 : 178), ada 4 tingkatan seseorang dalam menyesuaikan diri yaitu :

1. Fase Optimistik, fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi seseorang sebelum memasuki kebudayaan baru.

(19)

5

2. Fase Masalah Kultural, fase ini ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan akan kebudayaan baru tersebut.

3. Fase kesembuhan, fase dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.

4. Fase penyesuaian, fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya.

Pasar Pajak Pagi yang berada di daerah Pasar 5 merupakan salah satu pasar tradisional yang ada di kota Medan. Pasar ini memiliki lokasi yang strategis dan berada tepat di samping salah satu jalan utama kota Medan sehingga dilalui oleh kendaraan – kendaraan umum dan memudahkan orang – orang yang hendak berbelanja ataupun berjualan ke pasar ini. Didekat pasar ini terdapat sebuah pasar modern yaitu Carrefour yang dibangun beberapa tahun yang lalu, namun pasar pajak pagi ini tetap ramai meski terdapat sebuah pasar modern didekatnya, ini menandakan pasar tradisional memiliki kelebihan tersendiri yang menjadi magnet bagi masyarakat sekitarnya.

Sebagaimana kota Medan memiliki penduduk yang beragam suku bangsa, pasar pajak pagi juga selalu ramai dikunjungi oleh pembeli dari berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia, seperti suku Karo, Batak, Padang, Aceh, Jawa, dan lain – lain. Masing – masing suku ini memiliki kekhasannya masing – masing dari segi bahasa, logat bicara, agama, maupun kebiasaan berperilaku. Kekhasan tersebut juga mempengaruhi perilaku mereka dalam berkomunikasi. Selain pembeli, para pedagang pasar ini juga memiliki identitas suku yang beragam.

Bentuk interaksi suku – suku ini di pasar pajak pagi lebih cenderung ke kebiasaan sehari – hari, dalam kata lain masih berdasarkan adat istiadat mereka, terutama bagi para pengunjung yang masih baru dan beradaptasi pada lingkungan pasar tersebut. Ketika berinteraksi pengunjung tersebut masih kental menggunakan identitas budayanya, sama seperti seorang penduduk kota Medan yang pergi ke ibukota Jakarta, logat Medan yang khas akan langsung membuatnya diketahui sebagai orang Medan.

(20)

6

Seiring waktu berjalan, pengunjung akan beradaptasi dengan lingkungan pasar pajak pagi tersebut, dan pada akhirnya pengunjung tersebut akan menerima kebiasaan dan perilaku yang ada pada kebudayaan baru tersebut dan mulai melakukan kebiasaan dan perilaku dari budaya yang dominan pada pasar pajak pagi tersebut. Proses adaptasi budaya yang terjadi pada pasar ini adalah akibat dari interaksi yang lama antara pengunjung yang memiliki kebudayaan berbeda sehingga mempunyai kebiasaan dan perilaku yang berbeda pula.

Memasuki lingkungan baru dan beradaptasi di lingkungan itu bukanlah proses yang mudah, apalagi jika kebudayaan yang terdapat pada lingkungan tersebut berbeda jauh dengan kebudayaan yang sudah menjadi identitas suatu individu yang berpindah.

Proses adaptasi ini tentu tidak hanya terjadi pada perpindahan tempat tinggal saja, namun setiap pertemuan dengan kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda akan mengharuskan seseorang untuk beradaptasi. Interaksi secara terus menerus dalam waktu yang lama akan meleburkan kebudayaan kedua pihak menjadi kebudayaan baru. Begitulah dengan para pengunjung pasar tradisional Pajak Pagi, lama kelamaan kebudayaan mereka akan melebur dengan kebudayaan lain sehingga pengunjung itu juga akan melakukan kebiasaan maupun perilaku dari kebudayaan dari pihak lain.

Para pedagang yang telah bertahun – tahun berjualan di pasar ini juga mengalami hal yang sama, bertransaksi dengan pembeli yang memiliki identitas budaya dan suku yang berbeda dengannya setiap hari sudah menjadi kegiatan mereka sehari – hari. Antar sesama pedagang di pasar ini juga memiliki identitas budaya yang saling berbeda satu sama lain, sehingga interaksi sesama pedagang juga merupakan komunikasi antar budaya. Dengan keadaan sehari – hari seperti ini, maka proses adaptasi budaya dapat terjadi kepada para pedagang tersebut.

Ketertarikan penelitian ini didasari pada keinginan untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi budaya yang terjadi di antara para pedagang yang berjualan di Pasar Tradisional Pajak Pagi di daerah Pasar 5 kota Medan. Maka bisa ditarik kesimpulan apakah para pedagang pasar tradisional Pajak Pagi di kota Medan menerima kebudayaan baru untuk mengurangi perbedaan kebudayaan dan

(21)

7

mempermudah transaksi jual beli di pasar tersebut maupun rasa untuk menolak kebudayaan itu karena adanya persepsi negatif tentang kebudayaan tersebut menurut nilai kebudayaan yang dianutnya. Sehingga dari penelitian ini kita akan dapat melihat bagaimana proses adaptasi budaya di lingkungan pasar Pajak Pagi yang memiliki pedagang maupun pembeli yang saling berbeda kebudayaan. Dengan menggunakan studi deskriptif, maka diharapkan proses adaptasi budaya para pedagang di pasar tradisional Pajak Pagi Pasar 5 kota Medan dapat diketahui beserta faktor – faktor yang mempercepat dan menghambatnya.

Berdasarkan uraian - uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peranan Komunikasi Antar Budaya Para Pedagang Dalam Proses Adaptasi Budaya di Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang”

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diurakan, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimanakah Proses adaptasi budaya yang Terjadi Kepada Para Pedagang Pasar Tradisional Pajak Pagi Pasar V Medan Selayang?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui proses adaptasi budaya yang terjadi pada para pedagang pasar pajak pagi daerah pasar 5 kota Medan.

2. Untuk mengetahui faktor yang mempercepat dan yang menghambat terjadinya adaptasi budaya pada para pedagang pasar pajak pagi daerah pasar 5 kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

(22)

8

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambahkan cakrawala dan wawasan peneliti mengenai penelitian komunikasi antar budaya menggunakan metode deskriptif kualitatif.

3. Secara praktis, menjadi bahan masukan dan ilmu kepada siapa saja yang tertarik pada komunikasi antar budaya serta meningkatkan pengetahuan tentang proses adaptasi budaya

(23)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian/Perspektif

Paradigma penelitian merupakan kerangka berfikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu dan teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta criteria penguji sebagai landasan penelitian (Rumengan, 2010 : 7 – 8).

Paradigma juga merupakan akumulasi, konsep, prinsip, serta nilai yang diterima suatu kelompok masyarakat guna memecahkan masalah maupun membuat keputusan. Pada sisi lain, paradigma juga dapat disikapi sebagai sistematika konsep yang bersifat terbuka, disusun dengan menggunakan perspektif dan pola pemikiran tertentu guna dijadikan kaidah dalam menyiasati realitas dan menemukan pemahaman (Maryaeni, 2005 : 6).

Pembentukan paradigma baru beserta perbedaan antar paradigma didasarkan pada elemen – elemen berikut :

1. Epistimologi, merupakan proses untuk mendapatkan ilmu. Hal – hal apa yang harus diperhatikan untuk mendapatkan ilmu yang benar. Cara, teknik, dan sarana apa yang membantu dalam memperoleh ilmu.

2. Ontologi, berkaitan dengan asumsi – asumsi mengenai objek atau realitas yang diteliti.

3. Metodologis, berkaitan dengan asumsi – asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.

4. Aksiologis, berkaitan dengan posisi value judgment, etika, dan pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian. Kegunaan atau manfaat ilmu dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan elemen – elemen diatas, peneliti akan dapat mengenali dan membedakan berbagai perspektif ilmu yang ada dalam kehidupan manusia. Hal lainnya, peneliti juga dapat meletakkan setiap ilmu pada tempatnya masing – masing

(24)

10

yang saling memperkaya kehidupan manusia. Tanpa mengenali unsur – unsur setiap perspektif ilmu dengan benar, maka peneliti bukan saja tidak dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal tetapi juga kadang – kadang salah dalam menggunakannya (Mufid, 2009 : 89).

Paradigma yang digunakan pada penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Pada paradima ini, kehidupan sosial manusia mirip sebuah teks atau karya seni, yakni keseluruhan susunan makna yang perlu diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti.

Menurut Hidayat (dalam Bungin, 2006 : 187), dalam penjelasan ontology paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan – gagasan konstruksi kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruksi kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan – gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Gambia Vico, seorang epistimolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Bungin 2006 : 189).

Dalam perspektif konstruktivis, realitas disikapi sebagai gejala yang sifatnya tidak tetap dan memiliki pertalian hubungan dengan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Realitas dalam kondisi demikian hanya dapat dipahami berdasarkan konstruksi pemahaman sebagaimana terdapat dalam dunia pengalaman peneliti dalam pertaliannya dalam kehidupan manusia.

Penelitian yang diorientasikan pada perspektif konstruktivis diletakkan dalam hubungan subjek dengan realitas dalam kesadaran subjek peneliti. Realitas tersebut dapat bermula dari hasil pengamatan, partisipasi dalam interaksi, dialog mendalam, membaca, dan sebagainya. Penelitian dalam perspektif konstruktivis pada dasarnya dapat dikembangkan peneliti secara kreatif sesuai dengan karakteristik tujuan, medan garapan, dan target hasil yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005 : 34).

(25)

11

Oleh karena itu dalam penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivis, data tidak hanya diperoleh melalui hasil metode yang ditentukan untuk mengeumpulkan data, tetapi bisa juga dari hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data baik manusia maupun benda. Dengan demikian, data merupakan konstruksi makna yang diperoleh dari sumber data, dapat dikatakan bahwa data yang diproses tidak lagi sebuah data yang mandiri, melainkan sudah tercampur dengan nilai – nilai yang juga dibawa oleh peneliti didalamnya. Hasil analisis dibangun dari proses proses abstraksi tingkah laku, bukan sekedar data yang sifatnya eksplisit, dimana peneliti juga memiliki peran besar didalamnya (Kuntjara, 2006 : 99).

2.2 Kajian Pustaka

Kerlinger (1997) Mendefenisikan teori sebagai suatu himpunan konsep, defenisi dan saran yang saling berkaitan satu dengan yang lain yang memberi gambaran sistematik tentang suatu fenomena dengan menyatakan hubungan antar variable dengan maksud menerangkan dan meramalkan fenomena tersebut (Siagian, 2011 : 57).

Penggunaan teori dalam suatu penelitian berarti bahwa peneliti telah memiliki gagasan teoritik, yang artinya sebelum melakukan penelitian, dalam benak peneliti telah tersusun gagasan – gagasan. Gagasan – gagasan tersebut merupakan konsep – konsep yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbangun kerangka konsep, yang merupakan korelasi di antara konsep – konsep penelitian (Siagian, 2011 : 59).

Teori sendiri menjadi dasar bagi peneliti untuk memprediksi gejala – gejala sosial yang akan diteliti. Maka teori – teori yang relevan untuk penelitian ini adalah : 2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

Defenisi Komunikasi ialah proses penyampaian pesan dari dari komunikator kepada komunikan, selain itu komunikasi juga merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol (Samovar dkk, 2010 : 18). Simbol – simbol ini merupakan hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri seperti bahasa, perilaku non-verbal, ataupun hal

(26)

12

– hal lain yang telah disepakati bersama oleh masyarakat itu sendiri. Komunikasi Antarbudaya menurut Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat dalam bukunya adalah suatu proses komunikasi dimana komunikatornya adalah anggota suatu budaya dan komunikannya adalah anggota suatu budaya yang lain (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 20).

Sedangkan budaya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Maka secara umum, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari sekian banyaknya pemikiran para ahli tentang kebudayaan, secara umum inti pengertian kebudayaan yaitu

1. Kebudayaan pada umat manusia sangat beraneka ragam.

2. Kebudayaan itu dapat diteruskan secara sosial melalui proses pembelajaran.

3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen biologis, sosiologis, dan psikologis dari eksistenssi manusia.

4. Kebudayaan itu berstruktur.

5. Kebudayaan itu memuat beberapa aspek.

6. Kebudayaan bersifat dinamis.

7. Nilai dalam kebudayaan bersifat relatif (Wiranata, 2002 : 96 – 97 ).

William B. Hart (1996) berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya adalah sebuah studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi (Liliweri, 2004 : 8). Komunikasi antarbudaya merujuk pada komunikasi antar individu – individu yang latar budayanya berbeda, individu – individu ini tidak harus berasal dari negara – negara yang berbeda, pada negara dengan penduduk beragam seperti Amerika dan Indonesia, kita bisa mengalami komunikasi antarbudaya di setiap provinsi, perkotaan, bahkan dalam satu blok. Pusat – pusat kota dapat menjadi arena pertemuan kebudayaan yang menarik di mana komunikasi komunikasi terjadi antara anggota – anggota budaya yang saling berbeda (West dan Turner, 2009 : 42 – 43).

(27)

13

Secara umum ada dua jenis fungsi komunikasi antarbudaya, yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial.

Fungsi Pribadi :

a. Menyatakan Identitas Sosial, dalam komunikasi antarbudaya terdapat perilaku komunikasi tertentu yang menyatakan identitas sosial, misalnya seseorang diketahui merupakan suku batak dari cara berbicaranya yang keras.

b. Menyatakan Integrasi Sosial, menerima kesatuan dan kesatuan antarpribadi mupun kelompok namun tetap mengakui perbedaan – perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur.

c. Menambah Pengetahuan, melalui komunikasi antarbudaya, kita akan bisa saling mempelajari kebudayaan dari lawan bicara kita.

d. Melepaskan diri, kita sering berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri dari masalah yang kita hadapi, dan kita cenderung lebih suka memilih lawan bicara yang memiliki nilai budaya yang sama dengan kita Fungsi Sosial :

a. Pengawasan, proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan akan berfungsi saling mengawasi, fungdi ini bermanfaatuntuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan, sehingga kita turut mengawasi perkembangan suatu peristiwa dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pada lingkungan kita.

b. Menjembatani, komunikasi antarbudaya berperan sebagai jembatan bagi dua orang yang berbeda budaya, mereka dapat saling menjelaskan perbedaan tafsir dari suatu pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.

c. Sosialisasi Nilai, melalui fungsi ini, komunikasi antarbudaya dapat mengajarkan dan memperkenalkan nilai – nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

d. Menghibur, orang bisa saja mendapat hiburan dari kebudayaan yang berbeda dari golongannya, misalnya dia menyaksikan suatu pertunjukan budaya seperti tari – tarian dari budaya lain (Liliweri, 2004 : 36).

(28)

14

Kita bisa melihat bahwa proses pada komunikasi dan budaya terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi mengenai kelompok manusia. Fokus utama bidang komunikasi ini meliputi bagaimana menjajagi makna, pola – pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola – pola itu diartikulasikan kedalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004 : 10).

Dalam memahami kajian komunikasi antarbudaya, ada beberapa asumsi, yaitu a. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada

perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

b. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.

c. Gaya personal mempenngaruhi komunikasi antarpribadi.

d. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.

e. Komunikai berpusat pada kebudayaan.

f. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi (Liliweri, 2004 : 15).

2.2.2 Adaptasi Budaya

Dalam komunikasi antarbudaya ada suatu gejala yang terjadi ketika seseorag masuk kedalam kebudayaan baru yaitu gegar budaya(Culture Shock). Gegar budaya merupakan suatu keadaan yang diderita orang yang secara tiba – tiba berpindah atau dipindahkan ke tempat dengan kebudayaan yang asing baginya (Mulyana & Rakhmat 2005 : 174).

Budaya memiliki 3 ciri dalam aturan, pertama aturan adalah proposisi yang membimbing setiap tindakan, kedua, aturan menyediakan seperangkat harapan, dan ketiga memberikan makna. Ketika seseorang berpindah ke lingkungan dengan kebudayaan baru, dia juga akan membawa serta aturan dan budayanya kelingkungan baru tersebut, jika terdapat perbedaan maka orang tersebut pasti akan melakukan adaptasi budaya (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 179).

Seseorang yang memasuki suatu budaya baru bisa diibaratkan sebagai seekor ikan yang keluar dari air, meskipun dia berpikiran luas dan terbuka, dia akan

(29)

15

kehilangan pegangan, dan kemudian akan mengalami frustasi dan kecemasan.

Seluruh perasaan kecemasan dan frustasi tersebut akan membuat orang itu menolak lingkungannya yang membuatnya tidak nyaman dan menganggap buruk setiap kebiasaan dan perilaku yang bertentangan dengan kebiasaannya sendiri. Dalam masa ini, kembali kepada kebudayaan yang lama adalah satu – satunya yang dapat membawanya kepada realitas (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 175).

Namun perasaan kecewa dan frustasi ini tidak akan bertahan selamanya jika orang tersebut menetap dalam waktu lama atau tinggal di lingkungan baru tersebut.

Meski masih kesulitan dalam beradaptasi orang tersebut akan mencari teman – teman dengan kebudayaan yang sama dengannya. Lebih lama lagi orang tersebut akan memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan kebiasaan – kebiasaan dari lingkungan tersebut sehingga pada akhirnya orang tersebut akan menerima prilaku dan kebiasaan daerah tersebut sebagai cara untuk hidup dan bahkan mulai menikmati perlilaku dan kebiasaan tersebut. Pada tahap ini orang tersebut telah selesai dalam melakukan adaptasi budaya. (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 177).

2.2.3 Teori Interaksi Simbolik

Makhluk sosial seperti lebah, semut, dan lainnya memiliki fisiolois, naluriah, dan insting sebagai dasar kehidupan mereka. Manusia yang juga makhluk sosial memiliki komunikasi sebagai dasar kehidupan bersama, terutama lambang – lambang sebagai kunci memahami kehidupan sosial manusia. Lambang – lambang tersebut berupa tanda, benda, atau gerakan yang secara sosial memiliki makna tertentu.

(Soekanto, 1982 : 8)

Teori interaksi simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago school dengan tokoh – tokohnya seperti George Herbert Mead dan George Herbert Blumer.

Awal perkembangan teori ini dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan aliran Iowa yang dipelopori oleh Manford Kuhn (Mufid, 2009 : 148)

(30)

16

Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang intrinsik, sebab makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis (Mufid, 2009 : 147)

Menurut Blumer, teori ini dapat didefenisikan sebagai cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Perspektif teori ini mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkunganya (Mufid, 2009 : 149)

Joel M. Charon dalam bukunya Symbolic Interactionism mendefenisikan interaksi sebagai aksi sosial bersama individu – individu berkomunikasi satu sama mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing – masing (Mufid, 2009 : 151)

Ralp Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka refrensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan manusia lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini membentuk prilaku manusia. ( West dan Turner, 2009 : 96).

Mulyana (dalam Lubis, 2012 : 167) mengatakan Interaksi simbolik didasarkan pada ide – ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan cirri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbolyang diberi makna. Perspeektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, stuasi, objek, dan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.

(31)

17

Mufid dalam bukunya menjelaskan sejumlah asumsi pokok dari teori ini, yaitu :

1. Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri terbentuk dan berkembang melalui komunikasi dan interaksi sosial.

2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.

3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.

4. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan mengembangkan siimbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas, sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangkan simbol.

5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatau tergantung bagaimana ia mendefenisikan sesuatu tersebut. Jika kita memandang seseorang pembohong, kita tidak akan percaya apa yang dia katakana sekalipun benar.

6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Contohnya, suatu produk media dianggap promo atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas dimana produk media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka bisa jadi suatu produk media dianggap buruk di suatu kelompok masyarakat dan dianggap baik bagi kelompok masyarakat lain.

Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat pasti terhadap apapun. Menurut Herbert Blumer, (dalam West dan Turner, 2009 : 99), ada tiga asumsi pada teri ini, yaitu :

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.

b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.

c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

(32)

18

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.

Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. (Zulham, 2011).

Terdapat beberapa istilah pokok dalam teoti Interaksi Simbolik, yaitu :

1. Identity(identitas), pemaknaan dir dalam suatu pengambilan peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial.

2. Language(bahasa), suatu sistem simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi bersama diantara anggota kelompok sosial.

3. Looking Glass Self(cara melihat diri), yakni gambaran mental sebagai hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan orang tua kita, maka kita harus bisa memosisikan diri kita pada posisi orang tua kita tersebut, dengan demikian kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri kita.

4. Meaning(makna), yaitu tujuan atribut bagi sesuatu. Makna ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.

5. Mind(pikiran), yaitu proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.

6. Role Taking(bermain peran), yakni kemampuan untuk melihat diri seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain melihat orang lain tersebut. Ketika kita memerankan lawan bicara, kita akan dapat memperoleh gambaran seperti apa perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut.

(33)

19

7. Self Concept(konsep diri), yakni gambaran yang kita punya tentang siapa kita dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bersifat dinamis.

8. Self Fulfilling Prophecy(hrapan untuk pemenuhan diri), yakni tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang diantisipasi oleh kita. Masing – masing dari kita memberi pengaruh bagi orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka (Mufid, 2009 : 159).

2.2.4 Komunikasi Verbal

Komunikasi secara verbal merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Komunikasi verbal sendiri hanya mencakup 35 % dari keseluruhan komunikasi manusia, karena komunikasi secara verbal memliki keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain :

1. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.

2. Kata – kata yang bersifat ambigu.

3. Kata – kata mengandung bias budaya.

4. Pencapuradukan fakta, penafsiran, dan penilaian (Mulyana 2007 : 279).

Sistem perilaku verbal disebut sebagai bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan seperangkat aturan untuk mengkombinasikan simbol – simbol tersebut yang digunakan dan dipahami dalam suatu komuntas.

Bahasa verbal menggunakan kata – kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita, namun kata – kata tersebut tidak bisa menjadi representasi total dari hal yang diwakili kata – kata itu (Mulyana, 2007 : 261).

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam bahasa verbal itu, masalahnya akan semakin rumit. Jika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri proses untuk merepresentasikan pengalaman kita akan semakin mudah karena orang itu juga berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila

(34)

20

komunikasi melibatkan dengan orang dari budaya yang berbeda, banyak pengalaman yang berbeda, maka prosesnya akan menyulitkan (Mulyana, 2007 : 262).

Menurut Ohoiwutun, (Dalam Liliweri, 2004 : 94) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Kapan orang berbicara 2. Apa yang dikatakan 3. Hal memperhatikan 4. Intonasi

5. Gaya kaku dan puitis 6. Bahasa tidak langsung

Ke enam hal diatas merupakan hal yang harus diperhatikan bagi seseorang untuk dapat menyampaikan pesan komunikasi verbal secara efektif dalam komunikasi antarbudaya.

Dalam komunikasi antarbudaya perbedaan bahasa selalu menjadi kesalahpahaman dalam melakukan interaksi, bahkan sekalipun sebuah bahasa mempunyai sebuah kata yang sama dengan bahasa yang lain, kata tersebut memiliki makna yang saling berbeda menurut kedua bahasa tadi yang berasal dari budaya yang berbeda. Karena itulah dalam usaha menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain, tidak boleh dilakukan secara harfiah saja, tapi juga harus diketahui apa maknanya berdasarkan budaya bahasa tersebut (Tubbs dan Moss, 1996 : 243).

2.2.4 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal merupakan cara bagi manusia untuk menyatakan sikap, perasaan, dan emosi. Komunikasi nonverbal meliputi semua stimulus nonverbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima (Samovar, dkk. 2010 : 294).

Berbeda dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dapat dilihat, didengar, dibaui, dan dicicipi, bahkan juga campuran dari semuanya. Komunikasi

(35)

21

nonverbal akan tetap terjadi sepanjang ada orang hadir di dekat orang lain, dengan kata lain setiap perilaku mempunyai potensi untuk ditafsirkan sebagai komunikasi, jadi meskipun kita tidak berkomunkasi secara verbal, kita akan tetap berkomunikasi secara nonverbal (Mulyana, 2007 : 348).

Komunikasi nonverbal juga mengandung lebih banyak muatan emosional dibanding komunikasi verbal, ketika kita mengalami pengalaman yang sedih dan mengecewakan, kita mungkin berkata “tidak apa – apa”, namun ekspresi wajah kita akan menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Dalam hubungannya dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut :

1. Komunikasi nonverbal dapat mengulangi komunikasi verbal, ketika kita menganggukkan kepala saat mengatakan “ya”, dan menggeleng ketika mengatakan “tidak”.

2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi komunikasi nonverbal, sewaktu kita menggunakan nada suara tinggi ketika berbicara didepan orang banyak.

3. Komunikasi nonverbal dapat menggantikan komunikasi verbal dibeberapa situasi, contohnya seorang pengemis datang untuk meminta, kita akan menolak dengan mengangkat telapak tangan atau memberi beberapa recehan tanpa perlu berbicara sedikitpun.

4. Komunikasi nonverbal dapat meregulasi komunikasi verbal, ketika kita terlihat gesilah dan selalu melihat jam tangan di suatu acara, rekan kita mungkin akan mengerti dan segera mengajak untuk pulang.

5. Komunikasi nonverbal dapat membantah komunikasi verbal, misalnya rekan kita setuju untuk menemani kita sementara waktu, namun dia terlihat gelisah dan melihat jam tangannya terus menerus (Mulyana, 2007 : 350).

Komunikasi nonverbal memiliki beberapa bentuk perilaku, yaitu(Liliweri 2004 : 98) :

1. Kinesik, studi yang berkaitan dengan bahasa tubuh, seperti posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh, dan lain – lain.

2. Okulesik, studi tentang pergerakan mata dan posisi mata.

(36)

22

3. Haptik, studi tentang peradaban atau memperkenankan sejauh mana seseorang merangkul orang lain.

4. Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana kecenderungan manusia menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi harus ada jarak pribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh.

5. Kronemik, studi tentang konsep waktu, misalnya jika suatu kebudayaan mengajarkan untuk tepat waktu maka kebudayaan itu dianggap maju.

6. Appearance, merupakan cara seseorang menampilkan diri yang cukup menunjukkan atau berkolerasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi.

7. Posture, merupakan tampilan tubuh ketika sedang berdiri dan duduk.

8. Pesan – pesan paralinguistik, merupakan gabungan perilaku verbal dan nonverbal, terdiri dari satu unit suara dan gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu.

9. Simbolisme dan komunikasi nonverbal yang pasif, dapat berupa simbol warna dan nomor.

Sama seperti komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dalam suatu kebudayaan juga tak kalah rumitnya, jika orang – orang dari kebudayaan lain memiliki sandi nonverbal yang berbeda maka akan terjadi keadaan komunikasi yang rumit, walaupun orang – orang tersebut memahami bahasa verbal yang sama.

Preilaku nonverbal seseorang merupakan suatu perangkat kebiasaan yang kita terima dari lingkungan sosial kita, khususnya orang tua (Mulyana, 2007 : 352).

Sangat sulit untuk mencapai komunikasi efektif dalam perbedaan budaya tanpa adanya saling mengetahui makna suatu simbol nonverbal tertenu, misalnya orang amerika biasa berbicara keras untuk menunjukkan kekuatan dan ketulusan, sedangkan orang arab biasa menurunkan suaranya untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicaranya. Ketika mereka berkomunikasi orang amerika akan mengeraskan suaranya sebagai pesan nonverbal supaya orang arab tadi juga menaikkan volume suaranya, namun karena orang arab memaknai pesan nonverbal itu dengan kebudayaannya maka bisa dipastikan komunikasi akan mengalami

(37)

23

hambatan, meskipun secara verbal kedua orang tersebut saling mengerti (Tubbs dan Moss, 1996 : 246). Di Indonesia juga terdapat komunikasi yang hampir mirip dengan contoh diatas seperti interaksi antara orang batak dengan orang jawa.

Untuk dapat efektif berkomunikasi dengan orang lain, kita perlu mengetahui bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal. Kita cenderung menganggap budaya kita dan simbol nonverbal kita sebagai standar dalam menilai budaya dan simbol nonverbal orang lain, meskpun berbeda bukan berarti orang tersebut aneh, salah, ataupun bodoh, bisa saja maksud dan tujuan dari budayanya sama tapi terlihat berbeda secara cultural (Mulyana, 2007 : 436).

Tabel 1

Pembagian Tipe – Tipe Komunikasi

Komunikasi Verbal

Komunikasi Vokal Komunikasi Nonvokal Bahasa lisan (spoken

words)

Bahasa tertulis (written words)

Komunikasi Nonverbal

Nada suara (tone of voice), desah (sighs), jeritan (screams), kualitas vokal (vocal qualities)

Isyarat (gesture), gerakan (movement), penampilan (appearance), ekspresi wajah (facial expression) Sumber : Ronald B. Agler, George Rodman, Understanding Human Comunication,

second edition, hal. 96(dalam Indria, 2015 : 3).

2.2.5 Identitas Budaya

Identitas pada dasarnya merujuk kepada pandangan reflektif mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri kita. Identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam, yang artinya dapat berubah – ubah menurut pengalaman hidup kita. Selama kita hidup, kita akan terus menemukan beberapa identitas yang baru dan akan mengesampingkan bahkan meninggalkan

(38)

24

identitas yang lama. Misalnya kita meninggalkan identitas kita sebagai siswa setelah lulus SMA dan memperoleh identitas baru sebagai mahasiswa ketika kita melanjut ke universitas (Samovar dkk, 2010 : 185).

Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunkasi. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antar budaya (Lubis, 2012 : 163).

Manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka, identitas awal seseorang berasal dari keluarganya, dimana dari keluarga seseorang mulai belajar secara budaya mengenai kepercayaan, nilai, dan peranan sosial yang tepat. Ketika keluarga mengajarkan apa yang pantas dilakukan sebagai laki – laki atau perempuan, identitas gender sedang dibentuk dan interaksi dengan keluarga besar mengajarkan perilaku yang pantas antar usia (Samovar Dkk, 2010 : 195).

Setelah diperoleh dan dikembangkan, identitas juga dipertahankan dan dimodifikasi melalui interaksi sosial. Kita dapat masuk dan keluar dari dari identitas yang berbeda ketika kita berinteraksi dengan orang lain, dan dengan masing – masing identitas kita dapat menggunakan sejumlah perilaku komunikatif yang sesuai dengan identitas dan latar belakang yang ada (Samovar Dkk, 2010 : 200). Contohnya kita sebagai seorang dari suku Batak yang berbicara secara keras dan lawan bicara kita mengakui dirinya sebagai seorang suku Jawa yang berbicara secara pelan dan lembut, kemudian masing – masing harus menunjukkan identitas yang sesuai dengan lawan bicara. Kita harus berasama – sama merundingkan jenis hubungan yang saling menguntungkan, dengan membuat beberapa penyesuaian dan akomodasi yang diperlukan.

Dalam interaksi antarbudaya, harapan berbeda mengenai identitas serta gaya komunikasi yang ditampilkan berpotensi menimbulkan kegelisahan, miskomunikasi, bahkan konflik, oleh karena itu Imahori dan Cupach (dalam Samovar dkk, 2010 :

(39)

25

199) menganggap identitas budaya sebagai elemen utama dalam komunikasi antarbudaya.

Pada praktik komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Ketika manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.

Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87).

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern menciptakan kelompok sosial yang lebih berseragam. Lingkungan transnasional, perkembangan pelayanan kesehatan lintas budaya, dan pendidikan multikultur menjadi penting sekarang ini.

Fakta bahwa globalisasi, imigrasi, dan pernikahan antar budaya telah meningkatkan percampuran antar budaya dan menghasilkan orang – orang dengan berbagai jenis antar budaya. Hal seperti ini membuat orang – orang dengan berbagai identitas tersebut merasa mudah dan nyaman untuk mengganti identitas yang mereka bawa sejak lahir dan menggunakan identitas baru yang dirasa lebih nyaman di lingkungannya (Samovar dkk, 2010 : 201).

Isu mengenai identitas merupakanhal yang rumit dan mungkin akan menjadi lebih rumit karena meningkatnya keanekaragaman budaya terdapat dalam masyarakat sekarang ini. Identitas sekarang telah menjadi sebuah negosiasi yang diartikulasikan antara apa kita menurut kita sendiri dan apa kita menurut orang lain. Lebih daripada itu, identitas akan tetap dipengaruhi oleh budaya (Samovar dkk, 2010 : 202).

(40)

26 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode secara sederhana adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, sedangkan penelitian adalah kegiatan spionase untuk mencari, memata – matai, dan menemukan pengetahuan dari lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah – kaidah ilmiah tertentu (Suyanto, Bagong, dkk, 1995 : v).

Maka metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah – langkah yang sistematis.

Metode penelitian menyangkut masalah kerjanya, yaitu cara kerja untuk dapat memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, meliputi prosedur penelitian dan teknik penelitian (Hasan, 2002 : 20).

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengungkap fenomena sosial, yaitu menjelaskan bagaimana peranan komunikasi antarbudaya para pedagang dalam proses asimilasi.

Metode kualitatif deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan, berbagai kondisi, situasi, atau berbagai fenomena sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, atau fenomena tertentu (Bungin, 2008 : 68).

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Peranan komunikasi antarbudaya para pedagang dalam proses adaptasi budaya di pasar tradisional Pajak Pagi di daerah Pasar 5 Medan.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah informan yang menyediakan informasi yang berhubungan dengan apa yang hendak diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para pedagang yang berjualan di pasar tradisional Pajak Pagi di daerah pasar 5

(41)

27

Medan. Para pedagang ini dipilih sebagai subjek penelitian karena para pedagang tersebut pasti terlibat komunikasi antar budaya dengan pembeli maupun dengan sesama pedagang sehingga terjadi adaptasi budaya.

Namun perlu diketahui bahwa adaptasi budaya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pedagang yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para pedagang yang sudah berjualan minimal satu tahun lamanya, sehingga diharapkan asimilasi budaya yang menjadi sasaran peneitian bisa didapatkan dari para pedagang tersebut.

Selain itu untuk memperoleh informan penelitian, peneliti akan menggunakan cara Snowball Sampling karena peneliti tidak mengetahui siapa informan yang benar – benar memahami informasi objek penelitian, karena itu peneliti harus melakukan langkah – langkah : (1) ketika mulai mengumpulkan data, peneliti harus berupaya menemukan Gatekeeper, yaitu siapapun orang yang pertama dapat diwawancarai atau diobservasi dalam rangka memperoleh informasi tentang objek penelitian; (2) Gatekeeper bisa pula sekaligus menjadi orang pertama yang diwawancarai, namun gatekeeper menunjuk orang yang lebih paham tentang objek penelitian; (3) setelah wawancara pertama berakhir, peneliti meminta informan menunjuk orang lain berikutnya yang dapat diwawancarai untuk melengkapi informasi yang sudah diperolehnya; (4) terus – menerus setiap habis wawancara peneliti meminta infornan menunjuk informan lain yang dapat diwawancarai pada waktu yang lain.

3.3. Deskripsi Singkat Mengenai Pasar Tradisional Pajak Pagi di Pasar 5

Pajak pagi merupakan salah satu pasar tradisional yang terdapat di kota Medan, pasar ini berada di jalan bunga mawar melati padang bulan. pasar ini memiliki sebutan pajak pagi karena di pasar ini para pedagangnya sudah tiba dan langsung bersiap untuk berjualan dari jam setengah lima pagi, sedangkan pajak merupakan sebutan khas masyarakat Medan akan pasar. Pajak pagi mulai beroperasi dari jam 4.30 pagi hingga jam 12 malam. Pasar ini menjual berbagai masam kebutuhan pokok rumah tangga, seperti daging, telur, sayur mayur, buah – buahan, minyak goreng, bumbu dapur, dan lain sebagainya, lokasi pasar ini berupa sebuah

(42)

28

bangunan beratap yang besar dengan kios – kios di dalamnya, ada juga pedagang yang berjualan hanya dengan menggelar alas seadanya di lantai.

Tidak hanya di dalam bangunan utamanya, ketika masuk dari jalan Jamin Ginting, pedagang – pedagang di pinggir jalan akan langsung terlihat berjejer hingga ke pintu masuk bagunan pasar tadi. Sebagaimana pasar tradisional pada umunya, pajak pagi ini memiliki kondisi yang becek di dalam bangunan dan penataan yang kurang pada pedagang di pinggir jalan. Di dekat pasar ini terdapat sebuah Hypermart yang juga menawarkan kebutuhan pokok yang sama, meskipun pajak pagi masih memiliki banyak kekurangan sebagai pasar tradisional, pasar ini selalu ramai walaupun dengan kehadiran sebuah pasar modern disampingnya. Faktor harga yang lebih murah dan dapat ditawar tentu mampu menarik keingingan pembeli untuk berbelanja disini. Selain orang tua, banyak orang muda yang juga berbelanja disini, khususnya mereka yang masih dalam perantauan di kota Medan.

(43)

29 3.4 Kerangka Analisis

Kerangka analisis dalam peneltian ini adalah sebagai berikut : Gambar 1 : Kerangka Analisis

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah 1. Penelitian Lapangan

a. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara dimana pewawancara terlibat secara langsung dengan kehidupan sosial informan. Wawancara mendalam membutuhkan

Komunikasi Antar budaya Para Pedagang

Adaptasi Budaya

Komunikasi Antarbudaya Para Pedagang :

- Sifat manusia.

- Perbedaan latar belakang budaya para pedagang.

- Nilai kebudayaan yang diikutsertakan ketika berinteraksi.

Adaptasi budaya : - Geografi (pasar).

- Usia dan tingkat pendidikan.

- Mengapa suatu kebiasaan penting dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Gambar

Foto Dokumentasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian di atas, brand experience dapat dibentuk melalui suasana dan kesan outlet yang baik, produk yang memberikan pengalaman berbeda,

Barulah setelah diamandemen (pada amandemen ketiga tahun 2001) UUD 1945 memuat ketentuan tentang judicial review yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konsti- tusi

Based on the discussion of the Rural Javanese architecture in the District Donorojo, Pacitan, we achieve conclusions: that the Javanese architecture

[r]

The nature of a given local knowledge, livable urban space and its indicators, as well as its creation in the given local knowledge framework, thereby, should be appropriately

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air tanah, selain menambah lahan terbuka hijau adalah membuat biopori.. Ide pokok paragraf pertama

So far five Task Forces have been formed: Energy Task Force, Water Management Task Force, Waste Minimization and Recycling Task Force, Built Environment Task

Dari perangkat mana pun yang berada dalam segmen jaringan yang sama seperti data embedded system yang dikelola dapat dikirim ke embedded system tanpa