• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.3 Teori Interaksi Simbolik

Makhluk sosial seperti lebah, semut, dan lainnya memiliki fisiolois, naluriah, dan insting sebagai dasar kehidupan mereka. Manusia yang juga makhluk sosial memiliki komunikasi sebagai dasar kehidupan bersama, terutama lambang – lambang sebagai kunci memahami kehidupan sosial manusia. Lambang – lambang tersebut berupa tanda, benda, atau gerakan yang secara sosial memiliki makna tertentu.

(Soekanto, 1982 : 8)

Teori interaksi simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago school dengan tokoh – tokohnya seperti George Herbert Mead dan George Herbert Blumer.

Awal perkembangan teori ini dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan aliran Iowa yang dipelopori oleh Manford Kuhn (Mufid, 2009 : 148)

16

Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang intrinsik, sebab makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis (Mufid, 2009 : 147)

Menurut Blumer, teori ini dapat didefenisikan sebagai cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Perspektif teori ini mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkunganya (Mufid, 2009 : 149)

Joel M. Charon dalam bukunya Symbolic Interactionism mendefenisikan interaksi sebagai aksi sosial bersama individu – individu berkomunikasi satu sama mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing – masing (Mufid, 2009 : 151)

Ralp Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka refrensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan manusia lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini membentuk prilaku manusia. ( West dan Turner, 2009 : 96).

Mulyana (dalam Lubis, 2012 : 167) mengatakan Interaksi simbolik didasarkan pada ide – ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan cirri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbolyang diberi makna. Perspeektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, stuasi, objek, dan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.

17

Mufid dalam bukunya menjelaskan sejumlah asumsi pokok dari teori ini, yaitu :

1. Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri terbentuk dan berkembang melalui komunikasi dan interaksi sosial.

2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.

3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.

4. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan mengembangkan siimbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas, sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangkan simbol.

5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatau tergantung bagaimana ia mendefenisikan sesuatu tersebut. Jika kita memandang seseorang pembohong, kita tidak akan percaya apa yang dia katakana sekalipun benar.

6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Contohnya, suatu produk media dianggap promo atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas dimana produk media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka bisa jadi suatu produk media dianggap buruk di suatu kelompok masyarakat dan dianggap baik bagi kelompok masyarakat lain.

Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat pasti terhadap apapun. Menurut Herbert Blumer, (dalam West dan Turner, 2009 : 99), ada tiga asumsi pada teri ini, yaitu :

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.

b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.

c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

18

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.

Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. (Zulham, 2011).

Terdapat beberapa istilah pokok dalam teoti Interaksi Simbolik, yaitu :

1. Identity(identitas), pemaknaan dir dalam suatu pengambilan peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial.

2. Language(bahasa), suatu sistem simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi bersama diantara anggota kelompok sosial.

3. Looking Glass Self(cara melihat diri), yakni gambaran mental sebagai hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan orang tua kita, maka kita harus bisa memosisikan diri kita pada posisi orang tua kita tersebut, dengan demikian kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri kita.

4. Meaning(makna), yaitu tujuan atribut bagi sesuatu. Makna ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.

5. Mind(pikiran), yaitu proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.

6. Role Taking(bermain peran), yakni kemampuan untuk melihat diri seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain melihat orang lain tersebut. Ketika kita memerankan lawan bicara, kita akan dapat memperoleh gambaran seperti apa perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut.

19

7. Self Concept(konsep diri), yakni gambaran yang kita punya tentang siapa kita dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bersifat dinamis.

8. Self Fulfilling Prophecy(hrapan untuk pemenuhan diri), yakni tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang diantisipasi oleh kita. Masing – masing dari kita memberi pengaruh bagi orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka (Mufid, 2009 : 159).

Dokumen terkait