• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

8

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambahkan cakrawala dan wawasan peneliti mengenai penelitian komunikasi antar budaya menggunakan metode deskriptif kualitatif.

3. Secara praktis, menjadi bahan masukan dan ilmu kepada siapa saja yang tertarik pada komunikasi antar budaya serta meningkatkan pengetahuan tentang proses adaptasi budaya

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian/Perspektif

Paradigma penelitian merupakan kerangka berfikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu dan teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta criteria penguji sebagai landasan penelitian (Rumengan, 2010 : 7 – 8).

Paradigma juga merupakan akumulasi, konsep, prinsip, serta nilai yang diterima suatu kelompok masyarakat guna memecahkan masalah maupun membuat keputusan. Pada sisi lain, paradigma juga dapat disikapi sebagai sistematika konsep yang bersifat terbuka, disusun dengan menggunakan perspektif dan pola pemikiran tertentu guna dijadikan kaidah dalam menyiasati realitas dan menemukan pemahaman (Maryaeni, 2005 : 6).

Pembentukan paradigma baru beserta perbedaan antar paradigma didasarkan pada elemen – elemen berikut :

1. Epistimologi, merupakan proses untuk mendapatkan ilmu. Hal – hal apa yang harus diperhatikan untuk mendapatkan ilmu yang benar. Cara, teknik, dan sarana apa yang membantu dalam memperoleh ilmu.

2. Ontologi, berkaitan dengan asumsi – asumsi mengenai objek atau realitas yang diteliti.

3. Metodologis, berkaitan dengan asumsi – asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.

4. Aksiologis, berkaitan dengan posisi value judgment, etika, dan pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian. Kegunaan atau manfaat ilmu dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan elemen – elemen diatas, peneliti akan dapat mengenali dan membedakan berbagai perspektif ilmu yang ada dalam kehidupan manusia. Hal lainnya, peneliti juga dapat meletakkan setiap ilmu pada tempatnya masing – masing

10

yang saling memperkaya kehidupan manusia. Tanpa mengenali unsur – unsur setiap perspektif ilmu dengan benar, maka peneliti bukan saja tidak dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal tetapi juga kadang – kadang salah dalam menggunakannya (Mufid, 2009 : 89).

Paradigma yang digunakan pada penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Pada paradima ini, kehidupan sosial manusia mirip sebuah teks atau karya seni, yakni keseluruhan susunan makna yang perlu diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti.

Menurut Hidayat (dalam Bungin, 2006 : 187), dalam penjelasan ontology paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan – gagasan konstruksi kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruksi kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan – gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Gambia Vico, seorang epistimolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Bungin 2006 : 189).

Dalam perspektif konstruktivis, realitas disikapi sebagai gejala yang sifatnya tidak tetap dan memiliki pertalian hubungan dengan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Realitas dalam kondisi demikian hanya dapat dipahami berdasarkan konstruksi pemahaman sebagaimana terdapat dalam dunia pengalaman peneliti dalam pertaliannya dalam kehidupan manusia.

Penelitian yang diorientasikan pada perspektif konstruktivis diletakkan dalam hubungan subjek dengan realitas dalam kesadaran subjek peneliti. Realitas tersebut dapat bermula dari hasil pengamatan, partisipasi dalam interaksi, dialog mendalam, membaca, dan sebagainya. Penelitian dalam perspektif konstruktivis pada dasarnya dapat dikembangkan peneliti secara kreatif sesuai dengan karakteristik tujuan, medan garapan, dan target hasil yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005 : 34).

11

Oleh karena itu dalam penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivis, data tidak hanya diperoleh melalui hasil metode yang ditentukan untuk mengeumpulkan data, tetapi bisa juga dari hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data baik manusia maupun benda. Dengan demikian, data merupakan konstruksi makna yang diperoleh dari sumber data, dapat dikatakan bahwa data yang diproses tidak lagi sebuah data yang mandiri, melainkan sudah tercampur dengan nilai – nilai yang juga dibawa oleh peneliti didalamnya. Hasil analisis dibangun dari proses proses abstraksi tingkah laku, bukan sekedar data yang sifatnya eksplisit, dimana peneliti juga memiliki peran besar didalamnya (Kuntjara, 2006 : 99).

2.2 Kajian Pustaka

Kerlinger (1997) Mendefenisikan teori sebagai suatu himpunan konsep, defenisi dan saran yang saling berkaitan satu dengan yang lain yang memberi gambaran sistematik tentang suatu fenomena dengan menyatakan hubungan antar variable dengan maksud menerangkan dan meramalkan fenomena tersebut (Siagian, 2011 : 57).

Penggunaan teori dalam suatu penelitian berarti bahwa peneliti telah memiliki gagasan teoritik, yang artinya sebelum melakukan penelitian, dalam benak peneliti telah tersusun gagasan – gagasan. Gagasan – gagasan tersebut merupakan konsep – konsep yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbangun kerangka konsep, yang merupakan korelasi di antara konsep – konsep penelitian (Siagian, 2011 : 59).

Teori sendiri menjadi dasar bagi peneliti untuk memprediksi gejala – gejala sosial yang akan diteliti. Maka teori – teori yang relevan untuk penelitian ini adalah : 2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

Defenisi Komunikasi ialah proses penyampaian pesan dari dari komunikator kepada komunikan, selain itu komunikasi juga merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol (Samovar dkk, 2010 : 18). Simbol – simbol ini merupakan hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri seperti bahasa, perilaku non-verbal, ataupun hal

12

– hal lain yang telah disepakati bersama oleh masyarakat itu sendiri. Komunikasi Antarbudaya menurut Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat dalam bukunya adalah suatu proses komunikasi dimana komunikatornya adalah anggota suatu budaya dan komunikannya adalah anggota suatu budaya yang lain (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 20).

Sedangkan budaya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Maka secara umum, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari sekian banyaknya pemikiran para ahli tentang kebudayaan, secara umum inti pengertian kebudayaan yaitu

1. Kebudayaan pada umat manusia sangat beraneka ragam.

2. Kebudayaan itu dapat diteruskan secara sosial melalui proses pembelajaran.

3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen biologis, sosiologis, dan psikologis dari eksistenssi manusia.

4. Kebudayaan itu berstruktur.

5. Kebudayaan itu memuat beberapa aspek.

6. Kebudayaan bersifat dinamis.

7. Nilai dalam kebudayaan bersifat relatif (Wiranata, 2002 : 96 – 97 ).

William B. Hart (1996) berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya adalah sebuah studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi (Liliweri, 2004 : 8). Komunikasi antarbudaya merujuk pada komunikasi antar individu – individu yang latar budayanya berbeda, individu – individu ini tidak harus berasal dari negara – negara yang berbeda, pada negara dengan penduduk beragam seperti Amerika dan Indonesia, kita bisa mengalami komunikasi antarbudaya di setiap provinsi, perkotaan, bahkan dalam satu blok. Pusat – pusat kota dapat menjadi arena pertemuan kebudayaan yang menarik di mana komunikasi komunikasi terjadi antara anggota – anggota budaya yang saling berbeda (West dan Turner, 2009 : 42 – 43).

13

Secara umum ada dua jenis fungsi komunikasi antarbudaya, yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial.

Fungsi Pribadi :

a. Menyatakan Identitas Sosial, dalam komunikasi antarbudaya terdapat perilaku komunikasi tertentu yang menyatakan identitas sosial, misalnya seseorang diketahui merupakan suku batak dari cara berbicaranya yang keras.

b. Menyatakan Integrasi Sosial, menerima kesatuan dan kesatuan antarpribadi mupun kelompok namun tetap mengakui perbedaan – perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur.

c. Menambah Pengetahuan, melalui komunikasi antarbudaya, kita akan bisa saling mempelajari kebudayaan dari lawan bicara kita.

d. Melepaskan diri, kita sering berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri dari masalah yang kita hadapi, dan kita cenderung lebih suka memilih lawan bicara yang memiliki nilai budaya yang sama dengan kita Fungsi Sosial :

a. Pengawasan, proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan akan berfungsi saling mengawasi, fungdi ini bermanfaatuntuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan, sehingga kita turut mengawasi perkembangan suatu peristiwa dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pada lingkungan kita.

b. Menjembatani, komunikasi antarbudaya berperan sebagai jembatan bagi dua orang yang berbeda budaya, mereka dapat saling menjelaskan perbedaan tafsir dari suatu pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.

c. Sosialisasi Nilai, melalui fungsi ini, komunikasi antarbudaya dapat mengajarkan dan memperkenalkan nilai – nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

d. Menghibur, orang bisa saja mendapat hiburan dari kebudayaan yang berbeda dari golongannya, misalnya dia menyaksikan suatu pertunjukan budaya seperti tari – tarian dari budaya lain (Liliweri, 2004 : 36).

14

Kita bisa melihat bahwa proses pada komunikasi dan budaya terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi mengenai kelompok manusia. Fokus utama bidang komunikasi ini meliputi bagaimana menjajagi makna, pola – pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola – pola itu diartikulasikan kedalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004 : 10).

Dalam memahami kajian komunikasi antarbudaya, ada beberapa asumsi, yaitu a. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada

perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

b. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.

c. Gaya personal mempenngaruhi komunikasi antarpribadi.

d. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.

e. Komunikai berpusat pada kebudayaan.

f. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi (Liliweri, 2004 : 15).

2.2.2 Adaptasi Budaya

Dalam komunikasi antarbudaya ada suatu gejala yang terjadi ketika seseorag masuk kedalam kebudayaan baru yaitu gegar budaya(Culture Shock). Gegar budaya merupakan suatu keadaan yang diderita orang yang secara tiba – tiba berpindah atau dipindahkan ke tempat dengan kebudayaan yang asing baginya (Mulyana & Rakhmat 2005 : 174).

Budaya memiliki 3 ciri dalam aturan, pertama aturan adalah proposisi yang membimbing setiap tindakan, kedua, aturan menyediakan seperangkat harapan, dan ketiga memberikan makna. Ketika seseorang berpindah ke lingkungan dengan kebudayaan baru, dia juga akan membawa serta aturan dan budayanya kelingkungan baru tersebut, jika terdapat perbedaan maka orang tersebut pasti akan melakukan adaptasi budaya (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 179).

Seseorang yang memasuki suatu budaya baru bisa diibaratkan sebagai seekor ikan yang keluar dari air, meskipun dia berpikiran luas dan terbuka, dia akan

15

kehilangan pegangan, dan kemudian akan mengalami frustasi dan kecemasan.

Seluruh perasaan kecemasan dan frustasi tersebut akan membuat orang itu menolak lingkungannya yang membuatnya tidak nyaman dan menganggap buruk setiap kebiasaan dan perilaku yang bertentangan dengan kebiasaannya sendiri. Dalam masa ini, kembali kepada kebudayaan yang lama adalah satu – satunya yang dapat membawanya kepada realitas (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 175).

Namun perasaan kecewa dan frustasi ini tidak akan bertahan selamanya jika orang tersebut menetap dalam waktu lama atau tinggal di lingkungan baru tersebut.

Meski masih kesulitan dalam beradaptasi orang tersebut akan mencari teman – teman dengan kebudayaan yang sama dengannya. Lebih lama lagi orang tersebut akan memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan kebiasaan – kebiasaan dari lingkungan tersebut sehingga pada akhirnya orang tersebut akan menerima prilaku dan kebiasaan daerah tersebut sebagai cara untuk hidup dan bahkan mulai menikmati perlilaku dan kebiasaan tersebut. Pada tahap ini orang tersebut telah selesai dalam melakukan adaptasi budaya. (Mulyana & Rakhmat, 2005 : 177).

2.2.3 Teori Interaksi Simbolik

Makhluk sosial seperti lebah, semut, dan lainnya memiliki fisiolois, naluriah, dan insting sebagai dasar kehidupan mereka. Manusia yang juga makhluk sosial memiliki komunikasi sebagai dasar kehidupan bersama, terutama lambang – lambang sebagai kunci memahami kehidupan sosial manusia. Lambang – lambang tersebut berupa tanda, benda, atau gerakan yang secara sosial memiliki makna tertentu.

(Soekanto, 1982 : 8)

Teori interaksi simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago school dengan tokoh – tokohnya seperti George Herbert Mead dan George Herbert Blumer.

Awal perkembangan teori ini dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan aliran Iowa yang dipelopori oleh Manford Kuhn (Mufid, 2009 : 148)

16

Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang intrinsik, sebab makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis (Mufid, 2009 : 147)

Menurut Blumer, teori ini dapat didefenisikan sebagai cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Perspektif teori ini mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkunganya (Mufid, 2009 : 149)

Joel M. Charon dalam bukunya Symbolic Interactionism mendefenisikan interaksi sebagai aksi sosial bersama individu – individu berkomunikasi satu sama mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing – masing (Mufid, 2009 : 151)

Ralp Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka refrensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan manusia lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini membentuk prilaku manusia. ( West dan Turner, 2009 : 96).

Mulyana (dalam Lubis, 2012 : 167) mengatakan Interaksi simbolik didasarkan pada ide – ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan cirri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbolyang diberi makna. Perspeektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, stuasi, objek, dan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.

17

Mufid dalam bukunya menjelaskan sejumlah asumsi pokok dari teori ini, yaitu :

1. Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri terbentuk dan berkembang melalui komunikasi dan interaksi sosial.

2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.

3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.

4. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan mengembangkan siimbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas, sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangkan simbol.

5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatau tergantung bagaimana ia mendefenisikan sesuatu tersebut. Jika kita memandang seseorang pembohong, kita tidak akan percaya apa yang dia katakana sekalipun benar.

6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Contohnya, suatu produk media dianggap promo atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas dimana produk media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka bisa jadi suatu produk media dianggap buruk di suatu kelompok masyarakat dan dianggap baik bagi kelompok masyarakat lain.

Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat pasti terhadap apapun. Menurut Herbert Blumer, (dalam West dan Turner, 2009 : 99), ada tiga asumsi pada teri ini, yaitu :

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.

b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.

c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

18

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.

Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. (Zulham, 2011).

Terdapat beberapa istilah pokok dalam teoti Interaksi Simbolik, yaitu :

1. Identity(identitas), pemaknaan dir dalam suatu pengambilan peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial.

2. Language(bahasa), suatu sistem simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi bersama diantara anggota kelompok sosial.

3. Looking Glass Self(cara melihat diri), yakni gambaran mental sebagai hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan orang tua kita, maka kita harus bisa memosisikan diri kita pada posisi orang tua kita tersebut, dengan demikian kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri kita.

4. Meaning(makna), yaitu tujuan atribut bagi sesuatu. Makna ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.

5. Mind(pikiran), yaitu proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.

6. Role Taking(bermain peran), yakni kemampuan untuk melihat diri seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain melihat orang lain tersebut. Ketika kita memerankan lawan bicara, kita akan dapat memperoleh gambaran seperti apa perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut.

19

7. Self Concept(konsep diri), yakni gambaran yang kita punya tentang siapa kita dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bersifat dinamis.

8. Self Fulfilling Prophecy(hrapan untuk pemenuhan diri), yakni tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang diantisipasi oleh kita. Masing – masing dari kita memberi pengaruh bagi orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka (Mufid, 2009 : 159).

2.2.4 Komunikasi Verbal

Komunikasi secara verbal merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Komunikasi verbal sendiri hanya mencakup 35 % dari keseluruhan komunikasi manusia, karena komunikasi secara verbal memliki keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain :

1. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.

2. Kata – kata yang bersifat ambigu.

3. Kata – kata mengandung bias budaya.

4. Pencapuradukan fakta, penafsiran, dan penilaian (Mulyana 2007 : 279).

Sistem perilaku verbal disebut sebagai bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan seperangkat aturan untuk mengkombinasikan simbol – simbol tersebut yang digunakan dan dipahami dalam suatu komuntas.

Bahasa verbal menggunakan kata – kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita, namun kata – kata tersebut tidak bisa menjadi representasi total dari hal yang diwakili kata – kata itu (Mulyana, 2007 : 261).

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam bahasa verbal itu, masalahnya akan semakin rumit. Jika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri proses untuk merepresentasikan pengalaman kita akan semakin mudah karena orang itu juga berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila

20

komunikasi melibatkan dengan orang dari budaya yang berbeda, banyak pengalaman yang berbeda, maka prosesnya akan menyulitkan (Mulyana, 2007 : 262).

Menurut Ohoiwutun, (Dalam Liliweri, 2004 : 94) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu: untuk dapat menyampaikan pesan komunikasi verbal secara efektif dalam komunikasi antarbudaya.

Dalam komunikasi antarbudaya perbedaan bahasa selalu menjadi kesalahpahaman dalam melakukan interaksi, bahkan sekalipun sebuah bahasa mempunyai sebuah kata yang sama dengan bahasa yang lain, kata tersebut memiliki makna yang saling berbeda menurut kedua bahasa tadi yang berasal dari budaya yang berbeda. Karena itulah dalam usaha menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain, tidak boleh dilakukan secara harfiah saja, tapi juga harus diketahui apa maknanya berdasarkan budaya bahasa tersebut (Tubbs dan Moss, 1996 : 243).

2.2.4 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal merupakan cara bagi manusia untuk menyatakan sikap, perasaan, dan emosi. Komunikasi nonverbal meliputi semua stimulus nonverbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima (Samovar, dkk. 2010 : 294).

Berbeda dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dapat dilihat, didengar, dibaui, dan dicicipi, bahkan juga campuran dari semuanya. Komunikasi

21

nonverbal akan tetap terjadi sepanjang ada orang hadir di dekat orang lain, dengan kata lain setiap perilaku mempunyai potensi untuk ditafsirkan sebagai komunikasi, jadi meskipun kita tidak berkomunkasi secara verbal, kita akan tetap berkomunikasi secara nonverbal (Mulyana, 2007 : 348).

Komunikasi nonverbal juga mengandung lebih banyak muatan emosional dibanding komunikasi verbal, ketika kita mengalami pengalaman yang sedih dan mengecewakan, kita mungkin berkata “tidak apa – apa”, namun ekspresi wajah kita akan menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Dalam hubungannya dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut :

1. Komunikasi nonverbal dapat mengulangi komunikasi verbal, ketika kita menganggukkan kepala saat mengatakan “ya”, dan menggeleng ketika mengatakan “tidak”.

2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi komunikasi nonverbal, sewaktu kita menggunakan nada suara tinggi ketika berbicara didepan orang banyak.

3. Komunikasi nonverbal dapat menggantikan komunikasi verbal dibeberapa situasi, contohnya seorang pengemis datang untuk meminta, kita akan menolak dengan mengangkat telapak tangan atau memberi beberapa recehan tanpa perlu berbicara sedikitpun.

4. Komunikasi nonverbal dapat meregulasi komunikasi verbal, ketika kita terlihat gesilah dan selalu melihat jam tangan di suatu acara, rekan kita

4. Komunikasi nonverbal dapat meregulasi komunikasi verbal, ketika kita terlihat gesilah dan selalu melihat jam tangan di suatu acara, rekan kita

Dokumen terkait