• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intertekstualitas/Hubungan Internasional

BAB II. SEJARAH WACANA TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN

TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN

II. 1 1 Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan

II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional

Intertekstualitas/hubungan internasional merupakan bagian dari pendekatan post-structuralism yang mempercayai realitas sebagai teks yang saling bertemu. Pertemuan teks-teks menciptakan jaring-jaring teks dengan berisi tentang makna terhadap ontologi politik internasional. Dalam konteks ini, keterkaitan antara SHI dengan pendekatan post-structuralism—arkeologi pengetahuan dan genealogi dengan istilahnya Der Derian: intertekstualitas/hubungan internasional dapat dipahami lebih mudah melalui karya James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam International/Intertextual Relations (1989). Dalam prologue-nya, Der Derian mengutip karya Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra: “power is it, this new virtue; a ruling thought is it, and around it a subtle soul; a golden sun, with the serpent of knowledge around it.”32Pernyataan ini dapat dipahami bahwa pengetahuan HI melekat (embraced) dengan kuasa. Keduanya merupakan satu kesatuan; pengetahuan adalah kuasa; dalam aspek epistemologi pengetahuan hubungan internasional mempunyai kemampuan untuk mendefinisikan (menentukan) dan menaklukan kebaikan, kendali pemikiran, kelembutan jiwa dan kebenaran ontologi politik internasional.

Der Derian mengilustrasikan SHI bahwa hubungan internasional dimulai dengan kehadiranya revolusi dan footnote. Genealogi hubungan formal antar bangsa sebenarnya sudah ada sebelum Revolusi Perancis: perkembangan kuasa yang selektif pada abad pertengahan Kristen (seperti Venice dan Konfederasi Swiss); penolakan terhadap sistem monarkhi dengan mengadopsi republikanisme oleh Belanda pada abad ke-16; doktrin yang berdasarkan pada perjanjian yang datang dari kemenangan Revolusi Inggris pada abad ke-17; di Amerika Serikat hadir institusionalisasi politik popular oleh Konggres Continental pada tahun

32 James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam

1776. Namun Der Derian menunjukkan bahwa kedaulatan yang sangat erat dengan hubungan internasional dan sekaligus awal dari hubungan internasional adalah Declaration of the Rights of Man (1789) yang berisi: “sovereignty resides essentially in the nation.” Ironisnya, penyebaran doktrin oleh Napoleon ini sangat efektif menandakan keberakhiran dari hubungan antar dinasti (interdynastic relations) dan terlahirnya hubungan internasional.

Der Derian juga melacak terlahirnya teks asli internasional. Kata tersebut muncul dalam karya seorang Liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals and Legislation dalam kalimat yang biasa saja, di mana Bentham membedakan antara hukum “internal” dari hukum “internasional.” Der Derian menunjukkan lebih lanjut tentang kemunculan istilah ini melalui teks internasional dalam karyanya Oppenheim, Internatonal Law dan sebuah variasi baru seperti dalam kreasi teks the International Working Men’s Association pada tahun 1864 yang mencair sendiri pada tahun 1943 menjadi Third Communist International.

Menurut Der Derian, sebenarnya bersatunya teks hubungan dan teks

internasional susah dilacak seperti juga susahnya mencari asal usul disiplin hubungan internasional dengan menggunakan teks nama hubungan internasional –

International Relations/IR (HI). Dengan kata lain, disiplin HI sekarang hanya berupa ‘jejak kaki’ yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki yang sumbernya pun sudah menghilang, karena ketika dilacak ternyata tidak ditemukan. Dalam konteks sejarah, kesadaran-diri (self-consciousness) teoritis tentang HI tidak begitu mempermasalahkan perdebatan teks nama yang cocok dalam wilayah studi ini. Der Derian menunjukan beberapa karya: sebuah antologi, A.J.Grant dalam An Introduction to the Study of International Relations (1916) dan yang lainnya dari D.P.Heeatley, Diplomacy and the Study of International Relations (1919). Istilah hubungan internasional dikemudian hari menjadi semacam ritual untuk terus dipakai dalam karya-karya berikutnya dengan cara salah satunya menggunakan

footnote. Teks hubungan internasional dalam pemakaiannya pun terkadang sering kurang relevan, ketika substansi dari hubungan internasional dijelaskan melalui aspek yang bermacam-macam (tidak hanya istilah nations, tetapi juga secara politis, ekonomi, legal aktor, baik dalam dunia internasional maupun

keberlangsungan (survival) kehidupan kita. Teks hubungan internasional ternyata ditentukan oleh kekuatan konsensus dan ambiguitas yang ditanamkan dalam

hubungan internasional itu sendiri.

Setelah mengilustrasikan teks hubungan internasional yang sangat ditentukan oleh konsensus dan penafsirnya (ambiguitas), maka Der Derian menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Posisi ini memberikan pemahaman baru terhadap SHI. Fokus analisis Der Derian dalam SHI berkisar pada “space- between,“ yaitu bentuk interteks antara pengetahuan dan kuasa dalam HI, antara batas luar-dalam tubuh teori internasional, antara politik tektual dan dunia politik, dan yang paling signifikan dalam isu perang-damai antara pribumi (indigenous)

dan asing (aliens). Dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism, strategi penelitian ini menggunakan strategi dekonstruksi (deconstruct) dan denaturalisasi (denaturalize) melalui interpretasi mendalam terhadap bahasa (simbol), konsep, teks, yang telah terkonstitusi dengan wacana tertentu dalam HI. Proses dekonstruksi seringkali menyisihkan bahasa umum (popular), karena strategi dekonstruksi mengkonsentrasikan pada pembentukan wacana tertentu

(dominan) daripada merefleksikan realitas, membongkar oposisi biner, meluluhlantakkan hubungan hierarkhi (antara fakta dan fiksi, laki-laki dan perempuan, self dan other), menantang konvensi-konvensi literal (bahwa makna tektual dimentahkan oleh kepentingan pengarang) dan menentang praktek-praktek positivis (di mana manipulasi fakta saintis menghasilkan kebenaran yang objektif) yang telah muncul di ilmu (pengetahuan) sosial. Metode dalam strategi dekonstruksi ini bermaksud mengusik cara berpikir seperti biasanya (habitual ways of thinking) dan beraksi dalam HI; tujuannya adalah melengkapi pemahaman yang lebih cerdas dan melengkapi kemungkinan alternatif untuk SHI.

Dalam hal ini, Der Derian menjelaskan lebih mendalam dalih post- structuralism yang melakukan perlawanan terhadap prosedur saintifik, sekaligus memberi dialog terbuka untuk membuat dalih post-structuralism dalam teori internasional. Kemungkinan membuat dalih ini dibenarkan oleh karya Martin Wight, “Why is there No International Theory?” dalam Diplomatic Investigations

power, there can be no law and no absolute means of adjudicating the truth- claims of one international theory agaist another.” Selanjutnya Der Derian meneruskan pernyataan Wight dengan sebuah kesimpulan: “with the decline and death of a central epistemological authority: God, sovereignity, and now even Rational Man, there persists a ‘war of all against all’ in international theory.”33

Dalam konstelasi konflik teoritis, esai Martin Wight berdiri sebagai pre-teks yang sempurna untuk interpretasi teori internasional sebagai interteks, yang dideskripsikan oleh ahli semiotik, Roland Barthes. Der Derian mengutip langsung pernyataan Barthes tentang interteks: “a multi-dimensional space in which a variety of writings, none of them original, blend and clash.”34 SHI membutuhkan pendekatan intertekstualitas (post-structuralism) untuk penyelidikan kritis menuju area pemikiran yang tidak ada kebenaran final, di mana makna diperoleh dari hubungan antar teks dan power dilibatkan (terlibat) bersamanya melalui permasalahan bahasa dan praktek-praktek signifikan lainnya. Oleh sebab itu, menurut Der Derian terdapat aspek strategi dari intertekstualisme dalam penyelidikannya: hal ini berkaitan dengan penyelidikan wilayah pertempuran secara umum yang dideskripsikan dalam teori internasional. Bagi pemahaman Der Derian, kemenangan tidak dinilai oleh kuasa teori untuk menentukan, menaklukan dan memverifikasi fakta (data). Strategi intertekstualitas (dekonstruksi) bermaksud untuk memahami timbul-tenggelamnya teori dan memunculkan interpretasi wacana baru terhadap dunia teks dengan mengundang pertanyaan tentang konstruksi determinasi menurut sejarah arkeologi menuju pemahaman kita. Dengan demikian kita dapat menambahkan dimensi dan alternatif baru dalam teori internasional tradisional (modernisme). Proses ini dimaksudkan untuk menghadapi kaum modernis yang monological dan totalizing theory; post- structuralism dan post-modernismism memposisikan dirinya heterological, multipolar grids of knowledge dan sifatnya praktis. Strategi intertekstualitas bukanlah sebuah konstruksi atau perbaikan teori internasional yang sudah usang, tetapi menyelidiki sesuatu yang dianggap (diasumsikan secara umum) benar: why

33Ibid., hlm. 5.

it should be true? Wilayah kebenaran tersebut terus berulang-ulang. Implikasinya terjadi simulacrum, yakni replikasi produksi yang sama untuk diklaim kebenaran dan keasliannya. Padahal hal tersebut semuanya palsu.

Berkaitan dengan konteks di atas, Der Derian kembali mengingatkan kepada kita tentang tawaran Martin Wight yang merupakan poin penting bagi kondisi bidang SHI yang terus-menerus tersebut. Dengan meninggalkan slogan kontemporer yang sering menempati posisi sebagai kreator teori internasional, mengamati efek-efek dari sikap realpolitik dan penolakan idealisme, melarikan diri dari metodologi (yang ketat), Martin Wight mengambil pemikiran yang jauh ke depan: “it sometimes seems that whereas political theory generally is in unison with political activity, international theory . . . sings a kind of descant over against the movement of diplomacy.”35 Baik Der Derian maupun penulis merasa penting untuk mengutip pernyataan langsung Martin Wight sebab dalam konteks ini, pernyataan Wight memberikan pemahaman bahwa teori internasional jauh berbeda dengan teori politik dan praktik-praktiknya yang sifatnya mempunyai hubungan yang normal; teori politik yang dapat diaplikasikan secara benar dalam aktivitas politik, dan kalkulasi yang mudah diketahui. Teori internasional justru bersuara khas dalam melawan praktik-praktik diplomasi. Dalam karyanya,

International Theory: the Three Traditions (1992), Wright menjelaskan dengan tegas bahwa teori politik cenderung mengacu pada filsafat politik, pendekatan behavioralisme, dan hukum internasional, sedangkan teori internasional cenderung mengacu pada studi sejarah. Wight berpendapat bahwa antara teori internasional dan praktik-praktik diplomasi terjadi kondisi konfliktual. Sebab tradisi studi sejarah tidak digunakan dalam praktik-praktik diplomasi yang ranahnya lebih praktis dan pragmatis. Padahal kalau kita mengamati SHI yang selalu peduli pada karya Thucidydes, Peloponnesian War (PW), maka kita akan paham bahwa karya tersebut berisi teks-teks sejarah.36 Teks-teks sejarah ini, menurut Bull bukan merupakan teks sejarah itu sendiri (itself history), tetapi teks

35Ibid.

36 Hedley Bull, “Martin Wight and the Theory of Interntional Relations,” dalam Martin Wight,

International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1992), hlm. xxi.

filsafat sejarah (philosophy of history), walaupun dalam hal ini, Bull tidak puas dengan pemikirannya Wight. Jadi penyelidikan HI mempunyai karakter yang sifatnya filosofis, Wight menyebutnya: “international theory is the political philosophy of international relations.”37 Karena mempunyai karakter tersebut, maka penyelidikan HI sudah pasti multi tafsir, tidak pasti atau sifatnya sangat relatif: “it does not lead to cumulative knowledge after the manner of nature science.”38 Dengan demikian, penyelidikan HI berbeda dengan penyelidikan ilmu politik dan ilmu lain seperti sosiologi. Mungkin ilmu politik dan sosiologi dapat menggunakan pendekatan behavioralisme dan positivisme. Namun penyelidikan ilmu HI justru lebih rumit dan kompleks serta keberadaannya dan sifatnya anti- teori, tetapi mempunyai kecenderungan pada perspektif atau paradigma.39

Berpijak dari pengetahuan Wight, pendekatan intertekstualitas (post- structuralism) menjadi relevan dalam SHI. Menurut Der Derian, pendekatan ini merupakan langkah serius meta-teori (metatheory), yaitu teoritisasi tentang teori

politik internasional. Melalui interpretasi/pemaknaan (permainan bahasa), meta- teori mengembangkan transfer teori dari konteks sejarah satu menuju pada konteks sejarah yang lainnya; dari formasi diskursif menuju formasi diskursif lainnya. Komitmennya adalah menjawab pertanyaan empiris melalui intertekstualitas yang sifatnya perkiraan atau rabaan, bukan dengan teori-teori yang pasti dan tepat yang sifatnya positivistik. Tepatnya mungkin dikatakan sebagai penyelidikan teoritisasi yang tak akan kunjung selesai, sebab memang mekanismenya bukan menciptakan teori yang pasti, absolut dan tepat, tetapi proses teoritisasi sebagai cara mendekati dan memahami fenomena HI, tepatnya konstelasi politik internasional. Jika hal ini tidak dilakukan, maka penyelidikan teoritis mengalami kemunduran menuju metodologisme, yang telah membuat usang dan stagnasinya teori hubungan internasional pada umumnya dan terciptalah dogmatisme HI atau istilahnya Jim George: “ortodoksi HI.” Der Derian dan penulis sendiri sepakat dengan pendapatnya Barthes yang menyatakan argumen bahwa pada momen-momen tertentu penting bagi kita untuk melakukan

37Ibid., hlm. 1. 38 Ibid.

tindakan melawan metode (against method), atau setidaknya menyuarakan pluralitas, sebaliknya melawan suatu pandangan, tentang sebuah representasi besar yang tersusun dalam bentuk teks, suatu teks yang meliputi teks itu sendiri, yang merupakan satu-satunya ‘kebenaran’ dari beberapa hasil penelitian.

Der Derian mengatakan bahwa teoritisasi intertekstual jelas-jelas bukan merupakan proses verifikasi saintifik, bukan juga sebagai suatu anti-saintifik. Pendekatan intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada strategi self-conscious, yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan dan tren a-history dalam mendekati HI. Selama ini, variasi bentuk pendekatan rasionalis dalam SHI, seperti game theory, structuralism realism, dll, telah menampilkan HI sebagai sebuah simulacra: persuasif dan menarik dalam model abstraksinya, tetapi sifatnya metafisik dan eksklusi dalam aplikasi hiper-realitas mereka. Dengan kata lain, mereka terjebak dalam imajinasi dan delusi yang mereka abstraksikan dan bayangkan sendiri, tanpa terkait dengan realitas yang ada. Nampaknya selama kita mempelajari HI, kita terjebak pada pembahasan tentang teori politik daripada dunia politik. Sekarang ini, Menurut Der Derian dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism, isunya bagaimana kita, sebagai seorang teoritis tidak berpikir tentang dunia, atau bagaimana yang lain di masa lalu memikir tentang dunia, tetapi yang perlu diperhatikan betul-betul adalah bagaimana kita berpikir tentang para teoritis tersebut seharusnya berpikir tentang dunia. Dengan kata lain, kita secara skeptis arahnya justru mempertanyakan kembali mengapa para teoritis HI seolah-olah sudah berpikir ‘benar’ tentang dunia politik. Menurut Der Derian, mungkin isu ini merupakan gejala pendisiplinan teori, pengaruh dari pengendalian teori menuju pada sebuah permainan bagi pemikiran mahasiwa dalam menjelajahi halaman-halaman dalam jurnal. Keberlanjutannya, teori internasional berhadapan dengan tekanan-tekanan institusi untuk merelevansikan dirinya dan mereduksi dirinya sendiri menuju penyebarluasan dogma. Jadi SHI sebagai pengetahuan selalu terkait dengan kuasa

(power).

Pendekatan intertekstualitas merupakan penyelidikan bagaimana petualangan ide-ide yang bergerak dari footnote ke footnote-footnote lainnya dan

batas-batas tradisi pemikiran HI menuju posisi ‘alamiah,’ lalu predominasi, dan bagaimana beberapa ide-ide tersebut hilang atau tenggelam dalam guncangan dunia politik (world politics). Oleh karena itu, pendekatan intertekstualitas ini tidak memberikan atau membentuk school of thought untuk memunculkan, menimbulkan suatu school of thought baru. Namun pendekatan ini hanya memberikan pintu menuju pilihan-pilihan school of thought –apapun bentuknya – tergantung pada fokus studi dan pijakan dasar pemikir HI. Dalam konteks ini, nanti bagian bab selanjutnya akan memfokuskan pada studi budaya sebagai pilihan topik tentang strategi budaya dan studi pascakolonialisme serta wacana tertentu untuk memberikan inspirasi alternatif school of thought. Aspek ini merupakan perbedaan penulis dengan Der Derian atau ilmuwan HI lainnya. Penulis mengajukan wacana saminisme di Indonesia sebagai strategi budaya politik perlawanan dan merupakan sebuah alternatif dari cikal bakal akar pemikiran HI di negara Dunia Ketiga: Indonesia. Wacana saminisme ini dikaji melalui studi pascakolonialisme yang dalam konteks Indonesia, mempunyai varian berbeda dengan studi HI resolusi konflik yang mengambil tradisi pemikiran India, Mahatma Gandhi (Hindu). Tradisi pemikiran Gandhi ini sempat disinggung oleh Wight sebagai salah satu variasi wacana dalam teori internasioal Timur. Karena pengetahuan Wight kurang mencukupi, maka pemikiran teori internasional yang berakar dari tradisi Timur ini sedikit sekali dikupas dalam karyanya, International Theory: the Three Traditions (1992).

Mengambil pandangannya Der Derian, Penulis menegaskan kembali bahwa pendekatan intertekstualitas bukan merupakan penelitian mencari identitas baru, otentisitas teori, penyucian disiplin HI melalui perlawanan terhadap ‘older’ school of thought. Pendekatan intertekstualitas berangkat dengan niatan untuk berdialog, tanpa menaruh perhatian penuh pada para pemikir-pemikir HI

meanstream dan melupakan otoritas footnote-footnote yang ada, serta secara kritis menginterpretasikan suara-suara dominan agar terbuka pintu yang lebar, tertelanjagi, yang sifatnya spekulatif untuk memilih jalan tentang apa yang dapat atau apa yang tidak dapat dilakukan dalam dunia politik di masa depan.

Sederhananya memberikan ruang untuk berkontemplasi agar pilihan-pilihan yang ada benar-benar diputuskan secara matang dan tidak gegabah.