• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi pemikiran dan hubungan internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tradisi pemikiran dan hubungan internasional"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

PROGRAM PASCA SARJANA

TESIS

TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

MODEREN DAN ALTERNATIF PASCAKOLONIALISME

Musa Maliki

6904080085

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGAIN

PERSYARAKATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR

MASTER SAINS DALAM ILMU HUBUNGAN

INTERNASIONAL

(2)
(3)

kembalinya segala urusan (Al-Hajj:41)

When I despair, I remember that all through history, the way of truth and love has always won. There have been tyrants and murderers and for a

time, they can seem invisible, but in the end, they always fall. Think of it!

(Mahatma Gandhi)

(4)

Tesis ini adalah karya sendiri, baik seluruh sumber yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan benar

(5)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

PROGRAM PASCA SARJANA

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Nama : Musa Maliki

NPM : 6904080085

Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern

dan AlternatifPascakolonialisme

Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Penguji Tesis Program

Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, pada pukul 16.00-17.30 WIB,

hari selasa tanggal 27 Juni 2006 dan dinyatakan: LULUS.

Tim Penguji

Tanggal: ______ Ketua Sidang

Zainuddin Djafar, Ph.D (___________)

Tanggal: ______ Sekretaris Sidang

Drs. Fredy B. L. Tobing, M.Si (___________)

Tanggal: ______ Pembimbing

Dra. Suzie Sudarman, MA (___________)

Tanggal: ______ Penguji Ahli

(6)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

PROGRAM PASCA SARJANA

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

Nama: Musa Maliki

NPM: 6904080085

Judul: Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan

Alternatif Pascakolonialisme

Dosen Pembimbing

(7)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

PROGRAM PASCA SARJANA

Musa Maliki

6904080085

Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern dan Alternatif

Pascakolonialisme

xix halaman + 208 halaman + 88 buku + 4 Jurnal + 3 sumber internet

ABSTRAK

Tesis ini berusaha menjelaskan tentang tradisi pemikiran hubungan

internasional (HI) modern (teori modern di HI) dan alternatif pascakolonialisme.

Tradisi pemikiran HI modern ini berisi tentang struktur pemikiran Barat yang

dirajut oleh jaringan footnote ilmuwan, filsuf, praktisi HI dari tradisi pemikiran

idealisme, realisme, saintisme/strukturalisme/rasionalisme dan beberapa tradisi

kritis yang mereformulasi atau merekonstruksi tradisi HI modern agar lebih

sempurna lagi. Sedangkan alternatif pascakolonialisme adalah studi baru yang

berusaha dicangkokkan ke dalam HI sebagai pilihan inspiratif akar tradisi

pemikiran Hubungan Internasional Indonesianis.

Pernyataan tesis ini berbunyi: Tradisi pemikiran HI modern

merupakan bentuk kolonialisasi (baca: penguasaan) wacana Barat terhadap

ontologi realitas epistemologi/metodologi dan aksiologi non-Barat, sehingga

studi hubungan internasional perlu merepresentasikan small narrative

(narasi kecil): wacana indigenous people atau komunitas lokal untuk merayakan keberagaman wacana di dunia internasional. Atas dasar ini, maka

rangkaian argumentasinya sebagai berikut: pertama, wacana tradisi pemikiran HI

modern hanya sebuah will to power/knowledge: bentuk kuasa/pengetahuan

(8)

dunia. Kedua, jika dilacak genealogi dan formasi diskursifnya, klaim-klaim

metanarrative seperti universalisme, kebenaran tunggal, kemutlakan tradisi

pemikiran rasionalisme dan metodologi/epistemologi yang integral-tunggal

merupakan partikularisme tradisi pemikiran Barat. Sifat partikularisme ini bisa

dilacak melalui konsistensi tradisi pemikiran mereka dalam menegakkan tradisi

pagan Yunani Kuno, khususnya tradisi pemikiran Hellenisme. Ketiga, jika

memang tradisi pemikiran HI modern itu partikular, maka klaim-klaim

metanarrative pun secara logis menjadi smallnarrative, sehingga wacana

smallnarrative lainnya dalam bentuk wacana komunitas lokal bisa disuarakan dan

direpresentasikan.

Dalam konteks di atas, alternatif studi pascakolonialismebisa mencairkan

kebuntuan ini dengan memperlihatkan fenomena terbungkam dan terkuburnya

tradisi pemikiran tertentu: wacana saminisme adalah salah satu dari sekian banyak

formasi diskursif unik yang semakin tertindas, terpinggirkan, termarginalisasikan,

bahkan sampai terbungkam dan terkubur, sehingga tesis ini berusaha

menyuarakan dan merepresentasikan suara-suara bungkam itu. Representasi ini

bisa menjadi titik tolak tradisi pemikiran HI Indonesia untuk berkembang menuju

ke akar tradisinya sendiri sebagai titik tolaknya. Tesis ditulis dengan berkomitmen

penuh terhadap egalitarianisme dan keberagaman wacana, keadilan sosial bagi

umat manusia (human race), kemanusiaan yang beradab, dan kepercayaan atas

wacana tradisi pemikiran (filosofis) yang bersuara atas nama eksistensi dan

representasi diri sebagai wahana wacana dan nilai-nilai indigenous world atau

local community world. Hal ini adalah keharusan bagi kesadaran seluruh bagian

dari keutuhan manusia di dunia yang bertumpu pada diri manusianya sendiri

untuk bertanggung jawab melindung dan mengangkat derajat dan harga diri

mentalitas, budaya, pengetahuan, perbedaan ekologis dan biologis bangsa setiap

bangsa, khususnya bangsa kita (Indonesia) yang beragam—Bhinneka Tunggal

Ika, sebagai bagian dari kontingensi tatanan dunia internasional untuk

(9)

KATA PENGANTAR

Sebuah pengantar, ‘tuk haturkan secercah cahaya, menebarkan fragmentasi

jiwa menuju pencarian jati diri, kesadaran akan “Aku” dan kepercayaan diri atas

kemampuannya yang terbatas. Sebelum pengantar ini Penulis tuturkan, tampaknya

kepalaku terus terngiang-ngiang suara burung yang berujar: Akankah dunia ini

akan berubah dan mengkristal oleh narasi tertentu? Dunia yang seharusnya,

ataukah dunia yang apa adanya? Ketika spirit roh ini melayang, badanku tetap tak

beranjak dari sentuhanku dengan tanah kusam. Penulis berujar: Apakah sang Aku

seperti zombi yang sedang menuju ke ruang berkeentahan…jiwa ini meronta

dicabik mimpi. Ruang bergema:

Ada dan tiada, tetap [A]da

Setetes embun saja tetap menyejukan jiwa Yach! Setetes saja sudah cukup, dinda

Benih kerinduan, benak bumi bangkit tuk capai hangat mentari pagi Kehidupan

Semua iri, aku merasa matahari meraihku, memeluk dan, wah...sangat hangat Mampukah aku seperti Kau...Matahari!

Studi hubungan internasional merupakan panggung sandiwara para

pengais fiksi politik dunia. Di dalamnya terjadi timbul-tenggelamnya anarkisme

wacana: penaklukan, keperangahan, keangkuhan atas nama keamanan,

kemakmuran, perdamaian, cinta dan kepentingan bersama. Proses ini mengkristal

menjadi turbulenceanarchism dan brutalism di panggung sandiwara parodi yang

semakin absurd. Irama musik para politisi dunia sesungguhnya suatu kebangkitan

hasrat, gairah cinta akan diri mereka. Ada suatu ironi: aroma serbuk kasturi

(karya, sains, ilmu pengetahuan & teknologi) menguatkan, memudahkan hidup

umat manusia, sebuah kondisi pun tercipta, yakni melemahnya, meluruhnya,

naluri dan sensitivitas kemanusiaan mereka, eksistensi dan penghayatan hidup

mereka. Dengan kata lain, selain ada malaikat yang menjaga kesucian

kemanusiaan, ada saja zombi dan setan (démon) berjingkrak di kancah

perpolitikan dunia serta kawanan iblis, belis merenggut roh kemanusiaan sang

Aku. Mereka menutup pintu nur Ilahi untuk tetap beku dalam dingin-sepi. Segala

(10)

menaklukkan. Terus dan terus tanpa hentinya—berguling, mengeliat, memercikan

kilatan kekuasaan atas nama kebenaran—padahal ini adalah suatu kuasa—will to

power/knowledge. Pada saat ini, aku memuntahkan semua kegelisahanku.

Kegelisahanku atas Hubungan Internasional:

Mbok yao…Hubungan Internasional itu yo ra bebas nilai. Lah wong apa yang kita tonton dudu sandiwara biasa kok! Apa yang kita komentari tidak terjadi di luar diri kita kok! We are in Guys!

Alhamdulillah Penulis ucapakan kepada Allah SWT karena karya ini telah

selesai dikerjakan atas Ridho-Nya. Karya ini terinspirasi oleh banyak hal di

sekeliling Penulis, terutama problematika tentang istilah Bhinneka Tunggal Ika

dan identitas bangsa Indonesia. Sebuah nama “Indonesia,” mengapa harus

diucapkan oleh Bangsa Belanda, bukan dari bangsa lain atau bangsa ini sendiri?

Mengapa bangsa ini susah memunculkan akar tradisi pemikiran yang cukup kuat

atau berinteraksi dengan tradisi pemikiran lainnya, padahal kita juga mempunyai

tradisi pemikiran seperti yang lainnya juga? Dan pertanyaan yang sangat

mengganggu saya adalah, apakah Indonesia benar-benar “[A]da”? huruf “A”

besar ini mempertanyakan tentang eksistensi (baca: identitas) bangsa Indonesia

sendiri secara lebih mendalam dan reflektif.

Tradisi pemikiran HI selama ini didominasi oleh kaum realis, idealis dan

beberapa lagi Marxis dan saintis—dominasi tradisi pemikiran saintifik Amerika

Serikat menguat pada abad ke-20/21 ini. Tradisi pemikiran HI ini tampaknya

memperoleh konsensus yang cukup valid dan terpercaya. Mereka juga tengah

memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi keberlangsungan dunia

internasional. Namun pada abad yang sama juga hingga rencana dan bayangan

tentang masa depan, ilmuwan, filsuf dan beberapa intelektual mengalami

kegelisahan atas degradasi moral, norma, kekeringan, kehampaan dan kehilangan

makna kehidupan: nihilisme. Fenomena semacam ini adalah krisis ilmu

pengetahuan, khususnya sebuah konsekuensi logis atas dominasi saintifik di

wilayah Eropa dan beberapa wilayah Barat lainnya. Oleh sebab itu, muncul tokoh

fenomenologi, Edmund Husserl yang menyarankan suatu wajah baru dalam tradisi

(11)

sebenarnya tidak ada pemisahan antara subjek pengetahuan dan objek

pengetahuan. Pandangan Husserl dielaborasikan dengan filsuf eksistensialis

Jerman, Nietzsche dan filsuf analitik bahasa, Wittgenstein tentang penekanan atas

permainan bahasa (language games) dalam karyanya yang mutakhir,

Philosophycal investigations. Tiga serangkai ini memberikan wajah baru bagi

wilayah epistemologi pengetahuan Barat agar krisis ilmu pengetahuan bisa diatasi,

istilah Weber: kecantikan dunia bisa dihadirkan kembali (re-enhancement of the

world).

Berpijak dari tiga serangkai di atas, muncul tradisi pemikiran kritis di

Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris serta beberapa wilayah lainnya

seperti India. Tradisi pemikiran kritis adalah respon positif (afirmatif) bagi

dinamika pengetahuan dan khususnya krisis pengetahuan akibat semakin rakusnya

para kapitalis dan menindasnya sistem klasik negara-bangsa atas dasar negara

berdaulat, yakni sebuah proses ideologisasi ilmu pengetahuan sebagai mana kritik

ideologi generasi Frankfurt I dan II. Ideologisasi ini menciptakan ilmu

pengetahuan pro status quo, baik pro sistem kapitalisme (neo-liberal) maupun pro

sistem Westphalia, negara-bangsa (neo-realist). Dalam konteks ini, padahal

ilmuwan seperti Peter Drucker, David Korten, David Held, Andrew Linklater, dan

kawan-kawan mengklaim bahwa perkembangan dunia internasional justru

mengarah pada the decline of nation-state or sovereignty dan the appeared of

postmodern epoch, artinya konsep negara-bangsa dan konsep dunia kapitalis

semakin ditinggalkan menuju transformasi yang lebih unik lagi. Dengan

demikian, peran tradisi pemikiran kritis di wilayah Barat pun terus

mengakumulasi pengetahuannya agar terjadi auto-critic. Proses ini adalah

rekonstruksi diri atau pembaharuan diri, sehingga terdapat suatu kemungkinan

bahwa sistem kapitalistik dan negara-bangsa pun akan terus bertahan, hingga

sikap dan daya kritis itu hilang.

Namun demikian, respon tradisi pemikiran kritis di atas hanya

berkembang di Barat, lalu diusung dan dibawa ke Timur seperti Indonesia,

sehingga negara ini tetap menjadi konsumen atau ‘pemamah biak’ pengetahuan

(12)

menelannya mentah-mentah. Proses kontemplasi semacam ini sangat penting agar

kita tidak selalu didikte atau dikontrol hardware dan software oleh Barat.

Indonesia dalam konteks ini mempunyai hak untuk bersuara, bangkit dari kubur

dan merepresentasikan dirinya sendiri sebagai pemilik tradisi pemikiran yang

ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kita sebagai bangsa ini kaya akan wacana tradisi

pemikiran, sehingga bagi kita, tradisi pemikiran HI yang selama ini kita pelajari

pun kita bisa diklaim sebagai tradisi pemikiran partikular Barat saja—tidak

universal, objektif dan tunggal. Jika hal tersebut digunakan sebagai alat baca

wilayah ini, atau pijakan kita untuk mengartikulasikan politik luar negerinya, atau

alat baca terhadap politik internasional, kita tidak perlu menggunakan kacamata

Barat atau mengambil alat teoritik Barat, tetapi kita bisa mengembangkan tradisi

pemikiran kita sendiri dan kita gunakan dalam membaca fenomena politik

internasional dan politik luar negeri serta praktik-praktik diplomasi Indonesia,

khususnya yang dimiliki oleh tiap suku, etnis, agama, adat yang kita miliki.

Dengan demikian, dialog antar tradisi pemikiran pun bisa terjadi. Implikasinya,

misalnya hukum internasional dimungkinkan berisi nilai-nilai ke-Indonesia-an,

Ke-India-an, Ke-Cina-an, dan lain-lain.

Tesis ini adalah rangkaian footnote yang tersusun untuk menopang dan

menyangga argumennya, sekaligus mengaktualisasikan sebuah pandangan tentang

egalitarianisme dan keberagaman wacana tradisi pemikiran HI atas dasar akar

tradisi pemikiran wilayahnya masing-masing, khususnya menyuarakan suara

terbungkamnya Indonesia. [K]ebenaran di sini adalah kebenaran-kebenaran saja,

atau subjektivitas bagi beberapa gelintir orang yang mendialogkan wacana tradisi

pemikirannya, bukan mendialogkan problematika politik internasional atau

peristiwa internasional atas dasar aturan main universal dan metodologi tunggal

serta kebenaran absolut. Jika proses ini terjadi, maka dinamika semacam ini tidak

lebih dari sebuah holocaust wacana tradisi pemikiran saja. Semoga karya ini bisa

berguna dan menjadi pemacu bagi semua pembaca dan Penulis pribadi untuk terus

berkontemplasi HI (doing IR/praxis IR) secara mendalam agar stagnasi dan

(13)

dapat dihindari. Hal ini mencegah ortodoksi HI sebagai dogma atau dokrin HI—

dokrin realisme, idealisme, dan lain-lain.

Tesis ini jangan dikira sebagai penyelesaian dari permainan teater wacana

penaklukan kajian Hubungan Internasional di pentas drama politik dunia. Jangan

dikonsepsikan juga bahwa sang Aku tengah memberikan permainan baru dalam

pertunjukan studi hubungan internasional. Penulis hanya berusaha melakukan

kontemplasi atas sang Aku tentang keilmuan studi hubungan internasional.

Torehan terakhirku hanya berusaha berkata: sebaiknya Anda tidak melihat karya

ini sebagai karya yang ‘ilmiah’ (baku). Studi sosial dan politik ini merupakan

kajian pre-ilmiah (becoming scientisation). Jadi maaf kalau Penulis tidak

menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) dengan baik. Bahasa yang

digunakan juga cenderung subversif dan provokatif.

Juni 2006

(14)

UCAPAN TERIMA KASIH

Tesis ini jangan dipahami sebagai penyelesaian dari semua tradisi

pemikiran Hubungan Internasional. Jangan dikonsepsikan juga bahwa Penulis

memberikan solusi absolut bagi problem studi hubungan internasional. Penulis

selalu menekankan pada kerja kontemplasi atas keilmuan Hubungan Internasional.

Kontemplasi ini adalah petualangan jaring-jaring footnote intertekstualitas

Hubungan Internasional.

Pada kesempatan ini Penulisan ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan Penulis pencerahan

dan penyelesaian tugas skripsi ini. Tetapi Penulis tekankan bahwa ini merupakan

awal dari pencerahan. Ucapan terima kasih Penulis kepada:

Allah SWT yang telah memudahkan jalanku dalam pekerjaaan berat ini

dan memberikan keberanian untuk berteriak di padang pasir penuh kesunyian,

tapa ing rame. Nabi Muhammad SAW junjunganku, panutan utamaku dalam

menempuh penghayatan hidupku, mengajari semua hal dalam mengarungi hidup

serta memberikan keberanianku untuk menyeru suara: amar ma’ruf nahi munkar

sebagai kebiasaan adzanku di Jogja. Ku terus mengingat Beliau ketika berusaha

bersuara kepada bangsa Jahiliyah, kaum Arab melemparinya dengan batu, kotoran

binatang, dan lain-lain, hingga Beliau bercucuran darah dan melarikan diri ke

sebuah wilayah untuk beristirahat. Aku juga selalu mengingat peperangan Beliau

yang selalu berada di garis depan. Ini sangat berbeda dengan strategi Sun Tzu

yang tanpa maju perang memperoleh kemenangan dan stategi bangsa Romawi

yang pemimpinnya selalu mengomandani dari belakang. Muhammad tidak jauh

berbeda dengan Kenshin Himura yang menokohkan animasi Samurai X. Kenshin

selalu mengajak berdialog terlebih dahulu lawan-lawannya untuk sadarkan diri

dan berkontemplasi bersama sang Aku.

Ketua Jurusan sekaligus Ketua Sidang Tesis, Zainuddin Djafar, Ph.D yang

telah memberikan kemudahan administrasi dan birokratis dalam penulisan karya

ini. Beliau juga memberikan arahan, petunjuk, dan wawasan yang menyejukkan

(15)

Jurusan Pasca Sarjana Salemba dan di Jurusan Depok serta pada saat ujian tesis.

Penulis berterima kasih pada Sekretaris Jurusan Pasca Sarjana sekaligus Sekretaris

ujian tesis, Fredy B.L. Tobing yang telah berbaik hati meluangkan waktu di

tengah kesibukannya dan kebaikan hatinya untuk menyapaku, memberi tawaran

tumpangan gratis mobil Jazz birunya dari CSIS ke Depok, tetapi sayang...Penulis

membawa motor. Beliau juga memberikan perbaikan yang luar biasa dalam

hal-hal teknis penulisan tesisku di sela-sela kesibukannya sebagai PD I di UPN.

Dra. Suzie Sudarman, MA yang selalu membimbingku layaknya ibuku.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Beliau yang tengah memberikan dukungan

moral, etis, mental, fisik dan fasilitas apapun juga. Membuka peluang baik

kesempatan untuk berimajinasi secara liberal dan mengikuti berbagai macam

aktivitasnya seperti seminar dan beberapa undangan lainnya. Beliau juga selalu

meluangkan waktu-tempatnya untuk berbagi kegelisahan tentang bangsa, dunia

dan penghayatan hidup ini. Ketika sidang tesis, Beliau memberikan sintesis luar

biasa atas kebuntuan Penulis dengan penguji, lalu memberikan percikan diskusi

reflektif tentang posisi ilmuwan dan praktisi hubungan internasional. Konteks ini

mengingatkan Penulis pada istilah edifying philosophy, yakni suatu pencerahan

dalam meneruskan suatu percakapan dalam diskusi, timpal-menimpali yang

progresif.

Kemudian ucapku kepada Mas Kusnanto Anggoro, Ph.D sebagai penguji

tesis yang selalu memberikan kesejukan nuansa, di sisi lainnya sebuah kondisi

bimbangku ‘tuk terus ingatkan Beliau dalam menyiapkan ujian tesisku, dan Beliau

pun mengirim pesan singkat: Ok. Tidurlah, c u bsk sore [26 Juni 06; 22:28:53].

Sungguh menyejukkan…Penulis juga selalu mengingat ucap Beliau ketika sidang

tesis: “Musa, apakah tesis kamu hanya ‘masturbasi’?” Gambaran Penulis tentang

situasi sidang tesis yang sebelumnya seram, nampaknya justru menggembirakan

dan lucu. Mas Kus sempat menghiburku dengan menyanyi tembang Macapat

beberapa bait, mendongengkan cerita Hubungan Internasional versi Jawa

(Mataram Kuno), memberikan kearifan hidup Jawa tentang konsep ngelmu,

mandala (wibawa), bekel, dan lain-lain. Nampaknya Beliau berhasil

(16)

pemikiran bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Nampaknya kegelisahan

kita berdua sama atas tradisi keilmuan di Indonesia, di sisi lainnya, realitas

menekankan kita untuk survive dalam hidup, sehingga aktivitas survival ini sudah

menguras energi otak kita terlebih dahulu. Kita juga sama-sama gelisah pada

beberapa ilmuwan yang masih seperti katak dalam tempurung. Selain itu, kita juga

gelisah terhadap ilmuwan di luar Indonesia ternyata sudah jauh mengais-ngais

teori ke bulan sedangkan kita masih berjalan di lingkaran hermenutika. Kita

sungguh tertinggal jauh, dan oleh karenanya, kita akan mudah dan terus semakin

dibodohi, jika tidak mengejarnya ke bulan. Dalam konteks ini, penulis tidak mau

terjebak dengan alur modernitas yang progresif, tetapi hal ini hanyalah metafor

saja yang menekankan pada pemikiran bahwa setiap titik budaya mempunyai

pijakan kemajuannya sendiri. Mereka maju, mengapa kita tidak maju dengan tetap

berpijak dari kaki kita sendiri? Terima kasih kepada Mas Andi Widjajanto, MS.,

M.Sc yang sudah lama Penulis ‘rampok’ buku-bukunya. Belum ada satu pun

dosen yang sebaik Beliau meminjamkan bukunya sekepenake dewe’ semau

Penulis pinjam dan memberikan saran serta sumbangsih ide tentang tradisi

pemikiran Eropa Kontinental.

Kepada Ketua Departemen, Mas Hariyadi yang selalu menyapaku,

memberikan senyumnya, ngobrol denganku, gratisan Mas atas makan siang

sekenyangnya, koreksi terhadap pengetahuanku atas Gandhi, dan keberaniannya

tuk menantangku jadi vegetarian ;) Kepada Ketua Jurusan S1, Mba Nurul yang

memberi lontaran-lontaran ide dalam pembuatan tesisku ini. Dosen Hubungan

Internasional lainnya seperti Mas Syamsul yang terus memberikan ruang-ruang

spiritual beserta kru Cires-nya, makasih ya atas ruang yang kalian sediakan

untukku. Mba Inung yang terus memberikan senyum, ketika Penulis memasuki

ruangan jurusan Depok dan perhatian kepadaku. Mba Mita yang terus menegur

kemanjaanku, sehingga proses Mündigkeit (pendewasaan) terus bergulir serta

beberapa dosen yang tidak mempengaruhiku secara langsung. Para pegawai HI,

UI seperti Bang Udin, Mba Yuli, Mba Unun, Pak Budi, dan kawan-kawan yang

bergerak teratur sesuai dengan sistem-sistem tradisi HI UI, tanpanya tentu Penulis

(17)

Wilayah Amerika yang berkenan memfasilitasi Penulis dengan Mba Suzie seperti

Mba Diana, Mba Farah, dan kawan-kawan.

Kawan satu angkatanku: Wendhi, Raka yang keduanya mendampingiku

ketika ujian tesis. Rizki! Thanks ya for all of your kindness, khususnya all about

my computer’s problem, terus berjuang ya! Ali yang membantu pindahan kosku,

sehingga Penulis bisa menyelesaikan tesis dengan tempat yang sejuk sedang.

Aryani yang selalu memberikan senyum dan dukungan SMS ketika ujian. Dodi

yang memberikan literatur ‘buku babon’ E.H. Carr jauh-jauh dari Bandung.

Penulis merasa sangat berterima kasih atas bantuannya, dan kawan lainnya yang

membantuku secara tak langsung. Maaf ya, nama kalian tak kusebut, mohon

dimaklumi keterbatasanku ini yah. Untuk kawan S2 HI, UI baik kakak kelas

seperti Iwan, dan kawan-kawan, thanks guys. Adik-adik kelasku yang Penulis

sangat hargai atas penghargaan dan kepercayaan mereka untuk kesempatan

berbagi pengetahuan kepada mereka tentang tradisi pemikiran HI dan mohon

dimaafkan, karena Penulis kurang maksimal.

Kawan S1 HI, UI angkatan 97, makasih Yuni atas semua curhatku yang

kau emban, memang Penulis ngebosenin, sebab curhatannya itu-itu saja. Kepada

Jule, yang membantuku awal kuliah di S2 HI UI, Itok yang mengisi ruang-ruang

diskusiku atas konstelasi dunia politik HI UI. Kawan S1 angkatan 98, yang

menemani diriku ketika bosan di kos, makasih ya Brili. Kamu seringkali

memberikan bantuan materiil dan meluangkan nuansa-nuansa keberadaanku.

Kepercayaanmu terhadapku sungguh suatu yang sangat berharga, sehingga

memberikan pijakku untuk berani mengais-ngais teori HI dan terus berani ‘tuk

hadapi hidup. Laila yang mengantarkan Penulis ke HI UI, mengenalkannya

kepada Mba Riris dan Mas Andi. Bagiku ini sangat berarti dalam perjalanan

hidupku ‘tuk menuju masa depan yang lebih lebar, luas dan lapang di Jakarta yang

absurd ini. Laila yang terus membuatku berkontemplasi dan berpikir akan diriku

yang lemah, terbatas, mudah dibodohi, dan banyak kekurangan, terima kasih ya

atas ritma pengarungan perasaan hatiku sendiri. Ardian yang sudah

mempercayaiku ‘tuk tempati kamar kosnya, mendengarkan curhatan perasaanku

(18)

diriku ‘tuk mengikuti jejakmu: You are the best of the best in International

Relations, sukses ya di Eropa. Kawan ‘98 lainnya yang Penulis tak bisa sebutkan

satu per satu. Kawan angkatan ‘99, Christian yang selalu menjadi kawan sinis,

curhat, debat, makan mie di Warung si Akang. Terima kasih juga akan semua

ramalanmu. Ternyata ada benarnya juga ya... kawan ‘99 lainnya yang Penulis

luput sasarannya, thanks ya.

Kawan angkatan ‘00, Irene, Jepri, Sayed, Ali, Rika, Dina, Meta, Vivi,

Ayu, Gd, Kikie, dan kawan-kawan yang menemaniku bermain ke karoke,

bercanda di kantin dan tempat nongkrong lainnya, sungguh bersama kalian

menjadikan dunia lebih berwarna-warni. Untuk sobatku Rinta yang memberikan

seperempat hidupnya bersamaku; bercerita tentang semua hal; melayani

bantahanku; berdebat bersamaku, sungguh kamu begitu tangguh ‘tuk Penulis

hadapi sebagai suatu penyangga sistem bipolar kehidupan; menyinariku dengan

kehangatannya; mengecek tesis terus menerus dengan telaten, sabar,

menggerakkan diriku ‘tuk terus menerus bergerak (obah) dalam hidup. Rinta yang

dalam bersahabat denganku justru meneguhkan hidupku, yang selama ini menuju

ketiadaan menjadi Ada—eksistensi mendahului esensi. Dalam persahabatan kita,

Rinta memberikan ruang bagi hidupku yang tengah terombang-ambing dalam

kapal berkeentahan…makasih ya untuk menerimaku apa adanya sobat;

memahamiku terus menerus, membahagiakan dengan nyanyianmu, suaramu,

senyummu dan semuanyalah, yang lain-lainnya juga, he3x...Sungguh

persahabatan yang begitu indah, imajinatif dan aga’-aga’ sedikit liar.

Kawan-kawan ’01: Donna, yang selalu membawa keceriaan dan membuatku selalu

terperangah melihat hidup; Supri, yang selalu menemaniku dalam diskusi warung

kopi-an, makasih ya wejangan-wejangan-nya; Icil, yang selalu menyapaku

dengan gembira dalam kesuntukan skripsi yang tak terselesai-selesaikan.

Kawan-kawan ’02: Oswind, terima kasih dialog tentang Atlantiknya, terus membuatku

mengkhayal ‘tuk buat corat coret tentang ruang Indonesia; Derry yang

mengatakan bahwa Penulis klo ngomong kok lucu. Makasih ya pujiannya Derry,

kamu juga lucu, ha3x; Ann yang judesnya justru Penulis suka, Senia, ‘jagoan

(19)

Kepada Team of Global. Makasih Ima yang telah membantuku ‘tuk bisa

berorganisasi, dan lain-lain, Nurul yang selalu heboh bersamaku dan sumber

informasi gosip bersama Neda yang selalu mengoreksi bahasa provokatifku, klaim

rasisku dan bahasa Inggrisku serta memberikan kepercayaan kepadaku ‘tuk

bertemu mewawancarai Gus Dur. Ilmi yang meramaikan nuansa ketika rapat dan

menemaniku ketika wawancara dengan Gus Dur; Sofwan yang menemaniku

dalam berdiskusi dan anggota baru lainnya. Kalian adalah pelangi dalam hidupku

di sela-sela himpitan spasial Jakarta. Kehadiran sobatku, Nanang. You are the best

thing in my life Nang, and a part of my life; makasih power point HI-nya, political

cartoon-nya dan utang-utangnya, idenya, curahan waktumu, dan lain-lain. Nanang

mengajariku tentang semua hal, khususnya ketika akan presentasi tesisku,

sehingga Penulis merasa bahwa jalan dan prinsip hidupku tidak jauh-jauh berbeda

dengannya. Demikian juga Amri yang selalu mengajariku tentang arti hidup;

kesederhanaan dalam keseharian, sabar, tawadhu, priatin, punya rasa sosial tinggi,

solidaritas kawan, sehingga tesis ini adalah warna-warni dari curahan sikap dan

nuasa dirimu. Mas Taufik, dosen Ekonomi UGM yang terus membimbing

hidupku seperti kakakku sendiri dan selalu berbaik hati menemani debat tentang

kehidupan. Mas Taufik yang selalu mengayomiku bersama Amri dalam serpihan

hidupku selama ini. Abi yang siap stock pengetahuan sosiologis-nya, semoga

desertasi doktoralnya cepat selesai. Hakim sekeluarga yang memberikan modal

dalam kuliah S2-ku, semoga bisnis propertinya sukses ya…Fauzi yang selalu

menyediakan buku-bukunya, Afif yang baru saja menikah, sukses ya buat

anaknya, Genta sekeluarga yang selalu menyediakan rumahnya di Jogja untuk

tempat merenung, berkontemplasi. Hanafi Rais yang memberikan dukungan,

nasehat dan big support on my thesis, sukses ya untuk S2-mu. Keluarga kos-kosan

Kober yang tidak segan-segan memberikan jajanan ketika mengerjakan tesisku.

Kawan kos, Asep, Zaeni, Alfian yang terus menerus menanyakan kapan selesai

tesisku. Makasih ya...atas peringatannya dan keikhlasan kalian ‘tuk support my

thesis. Kawan-kawan lainnya yang terlupakan, maaf ya...Bersama kalian, Penulis

merasa tesis ini hanya sebuah torehan dari diri mereka semua. Tesis ini adalah

(20)

Keluargaku, mamah dan abah yang memberikan hidup mereka untukku,

segalanya, adikku Jordan yang selalu menyeru tentang cakrawala hidupku yang

tak jelas, entah kemana...ini membuatku terus berpikir dan obah dalam hidup.

Terima kasih semua yang telah hadirkan Penulis di dunia ini menjadi sang diri ini

(21)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN i

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ii

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS iii

ABSTRAKSI iv

KATA PENGANTAR vi

UCAPAN TERIMA KASIH xi

DAFTAR ISI xvii

BAB I. PENDAHULUAN 1

I. 1. Latar Belakang Masalah 1

I.1.1. Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:

Formula Pasca Perang Dunia II 4

I.1.2. Kontemplasi Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional:

Memikirkan Kembali Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional 26

I.1.3. Studi Pascakolonialismedi dalam Tradisi Pemikiran Hubungan

Internasional 29

I. 2. Pokok Permasalahan 40

I.3. Kerangka Pemikiran 40

I. 3.1. Tinjauan Pustaka 40

I.3.2. Kerangka Konseptual 42

I.4. Hipotesa 44

I.5. Tujuan Penelitian 44

I.6. Maksud Penelitian 45

I.7. Metode Penelitian 45

(22)

BAB II. SEJARAH WACANA TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN

INTERNASIONAL MODERN 47

II.1. Arkeologi Pengetahuan dan Genealogi

dalam Studi Hubungan Internasional 50

II.1.1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan 51

II.1.2. Konseptualisasi Genealogi 56

II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional 62

II.2. Tatanan Episteme Tradisi Pemikiran Hubungan Internasional Modern 70

II.2.1. Wacana Idealisme/Liberalisme 71

II.2.2. Wacana Realisme 78

II.2.3. Wacana Tradisionalisme 82

II.2.4. Wacana Saintisme (Strukturalisme) 87

BAB III. TRADISI PEMIKIRAN KRITIS

HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN 111

III.1. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Amerika 112

III.2. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Eropa Kontinental 116

III.2.1.Wacana Critical International Theory

(Critical Theory/Frankfurt School) 119

III.3. Problem Modernisme 143

BAB IV. ALTERNATIF STUDI PASCAKOLONIALISME

DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL 160

IV.1. Konseptualisasi Studi Pascakolonialisme 161

IV.2. Studi Pascakolonialisme di Indonesia 174

IV.3. Wacana Saminisme 180

BAB V. KESIMPULAN 194

(23)

I.1. Latar Belakang

Signifikansi studi ini adalah mengkritik wacana tradisi pemikiran hubungan

internasional (HI) modern atau istilahnya bisa dipertukarkan dengan “wacana

modernitas” di dalam studi hubungan internasional (SHI) melalui pemahaman

post-structuralism dan post-modernism. Kritik ini merupakan pembongkaran dari

beberapa gagasan, ide, perspektif, dan pandangan HI modern: berawal dari

kemunculan studinya hingga masa kontemporer sekarang ini, yakni awal wacana

HI idealisme hingga wacana HI teori hubungan internasional kritis (critical

international relations theory) yang berusaha menyelesaikan proyek modernitas

dan beberapa tradisi mengkritiknya secara total. Pembongkaran tradisi pemikiran

HI modern di dalam SHI ini difokuskan pada sejarah diskontinuitas wacana HI

yang terjebak dan stagnan pada disiplin ilmu (pendisiplinan tubuh pengetahuan

SHI). Dengan demikian tradisi pemikiran HI modern ini bisa dikembangkan lebih

lanjut lagi untuk memperluas studinya ke tatanan problem ontologi penyuaraan

dan representasi eksistensi budaya indigenous people atau komunitas lokal.

Pembongkaran atas tradisi pemikiran HI modern membuka selubung

formasi diskursif pengetahuan (epistemologi) sebagai suatu yang berkaitan secara

inheren dengan power (kuasa) pengetahuan tradisi pemikiran HI modern terhadap

realitas politik internasional atau politik dunia dan eksistensi tradisi pemikiran

yang tengah terpinggirkan, terbungkam dan terkubur sejak sistem Westphalia.

Dalam konteks ini, tesis ini perlu ditegaskan bahwa SHI sebagai disiplin ilmu

merupakan bagian dari kuasa terhadap objek studi atau kontrol terhadap konstelasi

politik internasional dan marginalisasi tradisi pemikiran non-Barat. Dengan kata

lain, hal ini dilakukan oleh para pengarang, ilmuwan dan filsuf HI modern yang

sesungguhnya berasal dari Barat (baca: Eropa, Inggris dan Amerika). Tesis ini

tidak akan ‘membaca’ dan memaparkan realitas (empirik) dunia internasional atau

konstelasi politik internasional, tetapi justru memfokuskan pada strategi

meta-teori (meta-theory), yakni akan ‘membaca’ dan memaparkan apa yang pengarang,

(24)

ilmuwan, filsuf HI modern pikirkan, ketahui, dan jelaskan tentang dunia

internasional dan konstelasi politik internasional dalam prosedur intertekstualitas.

Dengan strategi meta-teori, tulisan ini berargumen bahwa tradisi pemikiran HI

modern merupakan bentuk kolonialisasi pengetahuan Barat terhadap realitas dunia

internasional, konstelasi politik internasional dan juga tradisi pemikiran Timur

(baca: Negara Dunia Ketiga, Indonesia). Adanya pembacaan dan pemaparan

pengetahuan Barat terhadap dunia internasional atau konstelasi politik

internasional membuat Indonesia tidak mempunyai hak apapun juga untuk

membaca dan memaparan kondisi dunia internasional dan konstelasi politik

internasional melalui wacana tradisi pemikirannya sendiri, tetapi justru

terhomogenisasi dan terkolonialisasi pengetahuannya dengan pengaruh-pengaruh

pengetahuan Barat. Mekanisme ini adalah bentuk marginalisasi, pemangkasan,

pembungkaman dan penguburan tradisi pemikiran berupa gagasan, pemikiran,

kreatifitas Timur yang dilakukan Barat dalam memahami dan menjelaskan dunia

internasional dan konstelasi politik internasional. Mekanisme ini terus

terbayangkan sekaligus selalu dikendalikan, dikuasai dan dikontrol oleh Barat,

ketika melakukan aktivitasnya di dunia internasional dan konstelasi politik

internasional. Jika Timur berusaha membaca dan memaparkan kondisi dunia

internasional dan konstelasi politik internasional melalui pengetahuannya sendiri,

klaim-klaim kebenaran ilmiah dari pengetahuan Barat akan berargumen bahwa

mereka itu tidak ilmiah, tidak sistematis, logis, rasional dan termasuk pemahaman

yang barbar dan primitif.

Pembongkaran yang penulis maksud bukan merupakan proses penghancuran

klaim-klaim kebenaran sebuah disiplin ilmu Barat dengan memunculkan

pengetahuan sebagai kuasa—will to power, tetapi tesis ini justru memberi pintu

keluar untuk membuahkan wacana alternatif Timur: studi pascakolonialisme

dalam rangka stagnasi tradisi pemikiran HI modern yang belum bisa menjelaskan

indigenous people dan komunitas lokal. Dengan kata lain, wacana ini dibuka

melalui pintu wacana post-structuralism dan post-modernism yang peduli pada

keberagaman pengetahuan dan pendekatan (approach) multidisipliner. Setelah

(25)

mempunyai peran yang cukup penting sebagai ruang bebas bagi berbagai macam

wacana untuk membaca dan memaparkan kondisi dunia internasional dan

konstelasi politik internasional, sehingga keterjebakan disiplin tubuh (ilmu) SHI

Timur yang terbayangkan oleh wacana kuasa/pengetahuan Barat yang

memberikan analisis ‘kaca mata kuda’ dan totaliter dapat terhapuskan, diganti

dengan pengetahuan dan analisis yang lebih beragam, plural, heterogen, dan dapat

mengatasi pengetahuan lokal-universal atau menyuarakan komunitas lokal di

tatanan global sebagai bentuk resistensi intertertekstualitas terhadap

neo-imperialisme—tradisi pemikiran HI modern. Tesis ini akan memberikan wacana

alternatif studi pascakolonialisme Indonesia dalam melihat kondisi dunia

internasional dan konstelasi politik internasional. Wacana saminisme merupakan

teks pengetahuan Indonesianis dengan strategi kuasa/pengetahuan melalui

permainan bahasa yang mereka gunakan sebagai wisdom outlook dunia

kehidupannya. Studi wacana saminisme merupakan kajian pascakolonialisme

Indonesia yang cukup menarik sebagai alternatif wacana modern Barat dalam

SHI. Selain menyuarakan kearifan lokal komunitas samin di Indonesia juga

menginspirasikan pijakan tradisi pemikiran HI Indonesia.

Tesis ini sama sekali bukan studi tentang perbandingan tradisi pemikiran

antara Barat dan Timur, tetapi memunculkan narasi kecil (smallnarrative) yang

telah terkubur, tersembunyi atau tenggelam dari narasi besar (metanarrative)

kuasa/pengetahuan Barat. Jadi penulis secara tegas memperjuangkan

egalitarianisme dan kemanusiaan yang beradab serta keadilan sosial wacana yang

sesunguhnya di politik dunia beragam dengan cara membongkar metanarrative

kuasa/pengetahuan Barat, sehingga wacana smallnarrative yang berakar dari

Indonesia: wacana saminisme yang selama ini dibungkam, disembunyikan dan

dibekukkan bisa dihadirkan di SHI. Implikasinya, muncul sebuah pemahaman

baru bahwa SHI setelah Perang Dingin bukan merupakan representasi kuasa

pengetahuan Barat ataupun istilahnya: foundationalism eksistensi Barat sebagai

satu-satunya kebenaran, keilmiahan sebuah disiplin ilmu, objektif dan bebas nilai,

tetapi hadirnya eksistensi dan representasi suara yang terbungkam yang

(26)

Jadi SHI pasca Perang Dingin terpancarkan melalui titik-titik tatanan ordo

komunitas lokal atau indigenous people secara acak, irasional, diskontinu dan

berserakan.

Sistematisasi bagian ini terdiri dari tiga bagian: pertama, memaparkan debat

besar sebagai dinamika tradisi pengetahuan dan pemikiran dalam SHI. Perdebatan

ini berlangsung dari awal mula studi ini berdiri di Eropa Kontinental hingga

rekonstruksi paling puncak melalui tradisi pemikiran Amerika Serikat. Kedua,

sebuah pemaparan kontemplatif, yakni menjelaskan kontemplasi (ketidakpuasan)

penulis terhadap semua pengetahuan HI yang sudah ada: idealisme/liberalisme,

tradisionalisme, saintisme, konstruktivisme dan teori internasional kritis. Semua

pengetahuan tersebut merupakan tradisi pemikiran partikular Yunani yang terus

direkonstruksi oleh pemikir Barat seperti Eropa Kontinental dan Amerika Serikat.

Ketiga, memaparkan alternatif baru berupa studi pascakolonialisme pengetahuan

Timur lokal yang tengah terbungkam, tenggelam dan tidak ilmiah (dalam klaim

Barat). Dari sekian banyak pengetahuan Timur lokal yang ada, penulis

menawarkan alternatif wacana saminisme sebagai wacana resistensi

intertekstualitas (non-violence resistance movement) terhadap neo-imperialisme—

tradisi pemikiran Barat. Dengan kata lain, gerakan perlawan tanpa kekerasan ini

diwujudkan salah satu bentuknya dalam gerakan strategis perjuangan teks-teks

permainan bahasa lokal yang direpresentasikan tesis ini ke dalam tradisi

pemikiran HI.

A.1. Tradisi pemikiran Hubungan Internasional:

Formulasi Pasca Perang Dunia II

Untuk mengetahui tradisi pemikiran HI pasca Perang Dunia II, penulis perlu

memaparkan penjelasan karya Miles Kahler, Inventing International Relations:

International Relations Theory After 1945.1 Kahler berusaha menguji ulang jalan

wilayah baru HI dalam menghadapi masalah perubahan kondisi dunia

internasional setelah tahun 1945. Oleh karena itu, Kahler memaparkan sejarah HI

(27)

yang menggambarkan evolusi HI dengan tiga tujuan: pertama, mereproduksi

aktivitas intelektual sepanjang masa dengan menggali alternatif teoritisasi yang

tengah diasingkan dari yang lainnya. Kedua, pemahaman kita tentang sejarah HI

akan sangat berpengaruh terhadap garis lurus masa depan wilayah studi ini;

pemahaman kolektif masa lalu adalah suatu faktor penentu dari arah kita di HI.

Ketiga, penjelajahan masa lalu kita (tradisi para pemikir HI) memberikan

pemahaman yang lebih baik untuk keluar dari perasaan ketidakpuasan kita

sekarang ini; kita dapat memahami tidak hanya mengapa kita harus berbuat apa

yang kita telah perbuat, tetapi juga mengapa kita, di mana kita. Sejarah penuturan

evolusi HI yang Kahler berusaha jelaskan ini berpusat pada wilayah Amerika

Serikat, Inggris dan Eropa Kontinental.

Menurut Kahler, peristiwa “Perdebatan Besar” dalam SHI merupakan

bagian dari fenomena sejarah pemikiran HI. “Debat Besar Pertama” ini

berlangsung antara kubu pemikiran idealisme yang mengawinkan entitas hukum

legal dengan entitas institusi, dengan menafikan adanya politik kekuasaan, dan

kubu pemikiran realisme yang diperlengkapi dengan fondasi seperti berpijak pada

hukum alamiah alam, aksi negara beserta konteks sejarah yang membaca kondisi

perang dalam hubungan internasional. Menurut Kahler, “Debat Besar Kedua“

berlangsung antara pemikiran saintifik dengan pemikiran tradisionalisme pada

tahun 1960an. Pemikiran tradisionalisme HI berasal dari tradisi Inggris (British)

yang menekankan pada aspek hukum, filsafat, dan sejarah diplomasi. Namun

tradisi ini menjadi semakin tenggelam dengan adanya pemikiran saintifik yang

juga biasa dinamai dengan behavioralisme sosial sains. Kemudian “Debat Besar

Ketiga,” berawal dari tuntutan berbagai macam pemikir kritis yang menyerang

pemikiran mainstream HI seperti pemikiran saintifik HI. Serangan ini mengkritik

bahwa pemikiran saintifik HI mempunyai pretensi dan bias-bias normatif.

Serangan yang paling keras berasal dari pemikiran post-modernism. Pemikir

mainstream HI puas dengan kemajuan (progress), sedangkan pemikir kritis

pesimis dan skeptis terhadapnya. Di bawah ini Kahler menuturkannya dengan

(28)

Menurut Kahler, Debat Besar dalam tubuh SHI justru mengembangkan

tradisi pemikiran dan teoritisasi SHI. Kahler menunjukkan Debat Besar Pertama

ini dengan menjelaskan tentang salah satu gagasan kaum idealis, Norman Angell

dalam bukunya, The Great Illusion (1912) yang menyatakan dalam membentuk

perilaku negara-bangsa, entitas ekonomi merupakan aspek yang signifikan.

Penekanan pada signifikansi aspek ekonomi cenderung menghapus pemikiran

tentang kemungkinan perang antara negara-bangsa. Peristiwa ini mengakibatkan

meningkatnya perekonomian, khususnya negara-negara industri Eropa yang justru

mempunyai gagasan untuk menciptakan penaklukan teritorial yang

menguntungkan pada era sebelum PD I. Karya Angell ini dikritik oleh argumen

Kahler yang menegasi klaim tentang pemikiran idealisme dengan menyebut

Angell justru sebagai pemikir materialisme. Argumen Kahler ini berdasarkan pada

fenomena sistem negara-bangsa saat itu dan kompetisi nasionalismenya yang

ternyata sangat miskin dengan aspek realitas ekonomi.

Kahler juga mengutip pemikir liberal Canada, James T. Shotwell yang

membawa kita pada kondisi abad ke-19, di mana kaum liberalis melihat

perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi yang independen,

menciptakan jaringan baru antar umat manusia. Saat itu kerja Shotwell mengikuti

program propaganda pemerintah Amerika Serikat dalam PD I, mempersiapkan

Paris Peace Conference, dan menekan Amerika Serikat untuk bergabung dengan

League of Nations dan the Kellogg-Briand Pact (1828). Namun karena Dokrin

Monroe, Amerika Serikat tidak menjadi anggota LBB. Sebagai ilmuwan HI,

selain studi sejarah yang dia tekuni, dia juga mengembangkan studi

dampak-dampak industrialisasi dan revolusi saintifik terhadap perdamaian. Komentar

Kahler terhadap dua pemikir HI tersebut sebenarnya mencirikan mereka sebagai

kaum liberalis dan institusionalis, tetapi mereka sangat idealis. Namun karena

kondisi dunia saat itu terjadi perang, maka mereka lebih pantas dicirikan sebagai

kaum liberal-materialis daripada sebagai kaum idealis. Selain dua pemikir

tersebut, Kahler menceritakan juga bahwa saat itu, banyak pemikir dan praktisi HI

(29)

Frederick Schuman yang menegaskan bahwa pemikiran idealisme saat itu

memang mendominasi selama perang (1930an).

Lawan pemikiran liberalisme Anglo-American adalah pemikiran realisme

yang merupakan transplantasi luas dari Eropa Kontinental. Para ilmuwan HI

sekaligus imigran dari Eropa seperti Hans Morgenthau, Nicholas Spykman dan

John Herz memperkenalkan tradisi Eropa Kontinental dan sifat pesimistis politik

kekuasaan (power politics) ke dalam wilayah HI Amerika Serikat. Ketika saat

kondisi berubah saat itu, pemikiran idealisme mulai diklaim salah menafsirkan

realitas. Berawal dari konteks tersebut, maka menjadi sangat penting bagi kita

untuk memfokuskan pada pemikir pesimisme para kaum realis. Kehadiran

pemikiran realisme tidak menjadi suatu fenomena normal di Amerika Serikat –

yang saat itu didominasi oleh kaum saintifik, sehingga mereka juga bermusuhan

dengan pemikiran rasionalisme (positivisme). Sebelum datang ke Amerika

Serikat, Morgenthau sempat mengkritik “rationalistic pretenses” Karl Marx dan

Sigmund Freud saat kuliah filsafat di Frankfurt (1920an). Seperti kaum realis

yang lainnya, Morgenthau merefleksikan sebuah belokan dan pesona

irasionalisme yang mencirikan budaya Eropa setelah PD I. Menurut Kahler, hal

ini merupakan momen ironi, ketika pemikiran realisme yang ditransplantasikan

dari Eropa ini berelaborasi dengan rational choice dalam sintesis kaum neorealis

Amerika Serikat, di mana praktik-praktik saintifik studi politik internasional di

Amerika Serikat itu juga tidak disepakati oleh seorang realis seperti George

Kennan.

Menurut Kahler, momen pasca 1945 secara kontingen memunculkan

pemikiran “scientists” dalam SHI. Pemikiran ini merupakan wilayah akademik

yang masih muda, tertinggal jauh dari ilmu sosial dan sejarawan dalam proses

institusionalisasi dan profesionalisasinya. Tradisi pemikiran idealisme dan

realisme secara tidak sengaja dipakai sebagai tumpuan kaum saintifik dalam

proses pengembangan profesionalisasiannya. Proses ini merupakan momen

pendewasaan SHI. Pusat pemikiran dan gerakan kaum saintis ini berpusat di

Chicago school yang menyebar luas dalam rangka mentransformasikan ilmu

(30)

Merriem, Harold Lasswell dan Quincy Wright memberikan kontribusi pemikiran

saintisme dalam studi dunia politik sebagai bagian dari keluasan analisis power

dan aktor-aktor politik: unit analisis individu, kelompok dan unit pemerintah

nasional. Dengan mengutip William Fox, Kahler mengatakan bahwa saat itu

studinya terfokus pada konsep power dalam arti yang sangat luas, seperti yang

dikerjakan oleh para kaum realis. Sebelum mereka berelaborasi dengan

pendekatan saintifik, SHI merupakan kajian yang melekat dengan analisis politik

yang sangat luas. Elaborasi keduanya berpijak pada argumen dasar mereka

terhadap ontologi politik internasional yang ternyata memang mempunyai

kedekatan dengan kaum realis: menganggap bahwa studi politik internasional

dipelajari sebagai “apa adanya” bukan “apa seharusnya.” Namun selebihnya

pemikiran mereka sangat berbeda sama sekali, seperti perbedaan argumen kaum

saintis yang antinormatif terhadap kaum realis yang sangat normatif dan subjektif.

Sedangkan ketidaksepakatan dan skeptismenya kaum realis terhadap kaum saintis

adalah visi meliputi model pemikiran positivisme tentang pengadopsian ilmu

alam. Perbedaan yang lainnya adalah unit analisisnya: kaum saintis berawal

analisisnya dari domestic politics, sedangkan kaum realis mengawalinya dari

international anarchy dan security dilemma. Jadi perbedaan dan pertentangan

antara kaum saintis dan kaum realis akan terus berlangsung sampai datangnya

sintesisnya: pemikiran neorealisme.

Kahler terus konsisten dengan argumennya bahwa akumulasi pemikiran

saintisme bukan debat antara kaum realis dan kaum idealis, tetapi fenomena

kemunculannya merupakan evolusi perkembangan pemikiran HI dalam SHI yang

sangat signifikan. Ketika seorang tradisionalis, Morgenthau datang ke Universitas

Chicago, Amerika Serikat, dia berkonfrontasi dengan seorang senior saintis,

Quincy Wright. Konfrontasi itu terjadi karena dalam kondisi saat itu terdapat

pemikiran bahwa politik kekuasaan adalah kotor dan kata itu dilarang di wilayah

tradisi keilmuan Chicago. Walaupun terjadi pertentangan di Chicago antara

keduanya, kaum saintis justru mempunyai kedekatan dengan kaum realis daripada

liberalis, karena alasan persamaan tentang ontologi realitas dunia politik.

(31)

idealisme dikembangkan pada tahun 1923 oleh Merriam, yang pada dinamikanya

berpengaruh pada kebijakan publik dan perubahan sosial Amerika Serikat. Kahler

mengatakan bahwa pada saat itu, para kaum liberalis, realis dan saintis

menyebarkan sebuah program dalam rangka membawa “knowledge to power.”

Menurut Kahler, dalam perkembangannya, para kaum institusional liberalis

bertujuan untuk mempengaruhi opini publik dan sistem pendidikan lebih luas;

kaum saintis seringkali memfokuskan pada saran-saran kebijakan langsung.

Walaupun dunia pasca PD II (pasca 1945), kaum saintis benar-benar

mengalami peningkatan pamornya, tetapi ternyata mereka juga mengalami

menurunan (kritik) dalam ilmu politik dan SHI yang dilontarkan oleh pemikiran

tradisionalis seperti William Yandell Elliot dan Henry Kissinger. Ketika pamor

saintisme meningkat, ruang konferensi dan penelitian survey SHI dengan cepat

juga menampilkan perdebatan antara utopianism (idealisme) dan power politics

(realisme). Persaingan dari ketiga pemikiran tersebut, Kahler mengutip pernyataan

William Fox yang menyimpulkan pendapatnya bahwa saat itu, di antara

ketiganya, pemikiran realisme dan saintisme memperoleh kemenangan dalam

tradisi SHI. Kemudian realisme dan saintisme melanjutkan sebuah tuntutan baru

untuk mengakumulasi para pengikutnya, sebuah tuntutan yang menawarkan

dukungan terhadap institusi borjuis. Infrastruktur SHI yang tengah dikembangkan

pada tahun 1930an berkembang pesat pada pasca PD II, ketika pemerintah dan

yayasan-yayasan mendukung (meningkatkan) tuntutan mereka atas pengetahuan

yang mereka produksi dalam ‘membaca’ kepentingan global baru Amerika

Serikat. Keuntungan yang diperoleh pemikiran realisme tidak hanya dukungan

penuh dari mereka saja, tetapi pemikiran realisme juga memperoleh posisi teoritis

yang memadai (legitimate) akibat dari terjadinya reformasi pemerintah yang

menekankan pada komitmen internasional terhadap ancaman Soviet; pemikiran

realisme membuat nyaman para pengkaji, praktisi, ilmuwan HI dan pemerintah

dalam kondisi Perang Dingin. Relasi antara ilmuwan dan pemerintah keduanya

terjalin hubungan yang produktif dan akumulatif dalam menguatkan kepercayaan

dan legitimasi diri mereka. Namun Kahler kecewa terhadap hubungan ini, karena

(32)

bermuatan positivis. Komentar dari ilmuwan yang lain muncul dari seorang senior

dari kaum saintis, Quincy Wright mengatakan bahwa keduanya (realis&positivis)

mempunyai fungsi propaganda, dan Harold Lasswell menggambarkan politik

kekuasaan dari kaum realis tetap saja mempunyai terminologi yang sentimental.

Sebagaimana konsistensi pandangan Kahler bahwa SHI sebagai disiplin

ilmu tetap menggambarkan evolusi tradisi pemikiran HI, bukan dicirikan dalam

kerangka paradigma Kuhnian selama periode Perang Dingin; wilayah HI tetap

heterogen. Ketika SHI di bawah elaborasi pemikiran realisme dan saintisme

1930an, perkembangan evolusi perkembangannya cukup pesat, sehingga saat itu

juga muncul studi baru: international political economy—apakah yang

dipengaruhi oleh kaum liberalis ataupun dipengaruhi oleh kaum

historical-materialist yang beragam. Selain itu, studi organisasi internasional dan investigasi

integrasi regional yang dimulai pada tahun 1950an terus berjalan, tetapi studi

institusi internasional didefinisikan partikular, termasuk studi hukum

internasional. Kahler menegaskan kembali argumennya bahwa bagi kaum saintis,

individual dan kelompok adalah pusat unit analisis; bagi kaum realis, negara

dalam lingkungan internasional yang anarkhi adalah pusat unit analisisnya; kaum

idealis menekankan pada analisis institusi (internasional). Kahler memberikan

kesimpulan final atas aliansi antara kaum realis dan kaum saintis yang bagi

mereka berdua menolak analisis tentang perubahan internasional, karena

keduanya memang mempunyai persamaan dalam melihat ontologi realita dunia

politik. Dalam konteks statisme ini, argumen kaum realis berdiri pada pernyataan

bahwa regularitas melintasi ruang-waktu spasial politik kekuasaan; argumen

saintis berdiri pada pernyataan bahwa perilaku manusia dan perilaku nasional

suatu negara ditentukan oleh hukum alam dalam bentuk fakta yang

digeneralisasikan. Jadi analisis HI saat itu juga berpusat pada analisis statisme dan

equilibrium, sebuah masa depan yang menyerupai kondisi masa lalu dari sistem

balance of power dan perputaran naik-turunnya great-power.

Menurut Kahler, kebersamaan kaum realis dan kaum saintis, tidak

berlangsung lama, ketika kaum tradisionalis London School of Economics yang

(33)

realis dan kaum saintis. Walaupun Bull lebih mempunyai kecenderungan ke arah

neo-Grotian yang menekankan pada organisasi internasional di dalam masyarakat

internasional, tetapi pandangannya mengambil dari beberapa pemikiran realisme

juga. Dalam hal ini, Bull mewakili pemikiran realisme Eropa Kontinental yang

mengkritik pemikiran realisme Amerika Serikat. Saat itu, perubahan konstelasi

politik internasional tidak begitu signifikan, tetapi justru momen ini memberikan

peluang untuk merefleksikan kondisi statisme ini. Sebelum Perang Vietnam

memang konstelasi politik internasional cenderung dikuasai oleh dominasi

superpower dan kemenangan ekonomi Amerika Serikat, tetapi pasca Perang

Vietnam, Bull memulai menyerang klaim-klaim kaum saintis, khususnya seorang

saintis, Morton Kaplan tentang posisi teoritis dan analisis kebijakan. Serangan

Bull terhadap saintis menandai pencerahan kaum sejarawan HI. Nantinya,

serangan Bull terhadap pendekatan saintifik mirip dengan serangan kaum

post-modernism yang mengatakan bahwa pendekatan saintifik itu miskin

self-conscious dan miskin berpikir kritis terhadap teori HI mainstream. Menurut

Kahler, fenomena serangan ini merupakan kondisi melemahnya aliansi antara

kaum realis dan kaum saintis—pemikiran Amerika Serikat. Saat itu, banyak kaum

realis tradisionalis berbagi kegelisahan juga tentang arah masa depan SHI:

Morgenthau sendiri memposisikan dirinya sebagai seorang yang antibehavioral,

dan melontarkan serangan yang sangat gencar terhadap kerja kaum saintis seperti

Lasswell dan Kaplan dalam suatu review artikel. Kahler terus menonjolkan

konsistensinya bahwa bagi ilmu sosial-politik seperti SHI serangan ini bukan

merupakan perdebatan yang konfrontatif, tetapi justru sebuah proses evolusi

tradisi pemikiran SHI. Proses evolusi ini memberi kesan tentang momen keributan

antara pemikiran Amerika Serikat dan pemikiran Eropa Kontinental—yang sangat

membenci ethnocentrism Amerika Serikat. Menurut Kahler, perdebatan ini hanya

meruncingkan kepicikan di antara keduanya, sehingga sangat paradoks jika

dihadapkan dengan karakter tradisi pemikiran keilmuan SHI.

Pada kenyataannya, kekalahan pendekatan tradisional atau klasik dalam

debat kedua terlihat pada kemiskinan program yang empirik, yang dimenangkan

(34)

filsafat politik, sejarah diplomasi dan hukum internasional. Namun periode

berikutnya, pendekatan saintifik dikeluarkan dari departemen ilmu politik, dan

bahkan hingga SHI muncul kembali dalam studi institusional pada tahun 1970an,

nilai empirik dari studi legal nampak tetap tidak dikenali. Saat Bull menyerang

kaum realis, dia memberi saran bahwa studi keamanan—yang studi ini berperan

sangat penting—juga sebaiknya keluar dari program penelitian yang ditetapkan

oleh sayap saintifik. Wilayah studi keamanan juga mengalami transformasi dan

pembagian saat itu, suatu kajian yang sedikit saling bertabrakan di dalam tubuh

kaum saintis sendiri. Hal ini memberikan pemahaman bahwa terdapat dua kubu

dalam “studi keamanan.” Lebih lanjut Kahler menjelaskan tentang pengembangan

studi keamanan berupa perkembangan “teori deterrence gelombang pertama“

pada tahun 1950an dan 1960an. Teori ini merupakan suatu contoh kolaborasi studi

interdisipliner yang asli, sebuah batas penelitian yang maju secara berulang-ulang.

Selain itu dalam waktu yang cepat teori ini berpengaruh pada “studi kebijakan

nasional,” khususnya di dalam wilayah “studi strategi nuklir” dan studi

“perlucutan senjata” (arms control). Kemudian kemunculan tuntutan kebijakan

komunitas yang berkaitan dengan birokrasi keamanan nasional dapat menjelaskan

kemunculan “gelombang kedua teori deterrence” pada tahun 1950an yang sangat

berpengaruh besar pada momen PD II daripada teori deterrence gelombang

pertama. Tahap perkembangan selanjutnya, sebuah metode baru dari “teori

permainan” (game theory) menempati posisi utama di dalam kemajuan teori

deterrence; elemennya seperti “rational-choice microfoundations” berguna di

dalam menjelaskan interaksi yang strategis, menandai langkah pertama menuju

sintesis neorealis pada tahun 1980an. Penjelasan Kahler ini merupakan evolusi

tradisi pemikiran saintifik HI.

Berkaitan dengan teori deterrence gelombang kedua dan pemerintahan

Amerika Serikat, kaum realis tergerak untuk tidak menyepakati studi spesialis

seperti penelitian tentang “studi perdamaian.” Studi ini hadir sebagai tuntutan baru

dari pemerintah Amerika Serikat dalam kondisi realis yang cair, bersama

kehadiran senjata nuklir. Studi ini hadir pertama kali oleh seorang liberal saintis,

(35)

ruang perdebatan antar kaum saintis tentang kebijakan senjata nuklir. Studi ini

mengambil metodologi dari kaum saintis dan juga nilai-nilai kepercayaan liberal

bahwa dinamika kekerasan antar individu, antar kelompok dan antar

negara-bangsa menunjukkan kemiripan. Jika perkembangan teori deterrence, teori

permainan dan teori rational-choice adalah sebuah manifestasi awal dari kaum

neorealis, maka studi perdamaian ini merupakan manifestasi dan kebangkitan

awal bagi teoritisasi kaum neoliberalis yang sudah muncul selama kurun waktu

1960an. Studi perdamaian ini ditemukan banyak pendukung dan infrastruktur

penelitiannya di Eropa Kontinental. Saat itu, Eropa Kontinental sudah bisa

mengendalikan konflik nasionalisme dan mengadopsi eksperimentasi integrasi

regional, melengkapi dasar baru untuk menantang asumsi-asumsi kaum realis—

apakah dalam bentuk evolusi komunitas keamanan yang dikerjakan oleh Karl

Deutsch dan Bruce Russett, ataupun ledakan wilayah integrasi regional yang

dikerjakan oleh Ernst Haas, Leon Lindberg dan yang lainnya—yang mengajukan

model penjelasan neofungsionalisme. Berawal dari fenomena ini, menurut Kahler,

sekumpulan mahasiswa yang terintegrasi mengurangi dosis pembelajaran

pemikiran realisme yang berawal dari kemiskinan prediksi-prediksinya dalam

seleksi pertama pemahaman tentang perkembangan SHI, lalu menjelaskan

perkembangan SHI melalui proses studi perdamaian dengan mempelajari aktor di

luar negara.

Menurut Kahler, pemikiran neoliberalisme pada tahun 1960an dan 1970an

ditarik kepada implikasi dari perubahan ekonomi internasional. Kondisi pasca

perang menampilkan gambaran booming ekonomi, munculnya liberalisasi antar

negara-negara industri dan pertumbuhan yang stabil dalam arus finansial dan

perdagangan. Dalam skala yang luas, investasi Amerika Serikat di Eropa dan

Eropa sendiri yang kemudian bereaksi terhadap “tantangan Amerika Serikat”

diarahkan secara langsung ke publik dan menarik perhatian multinational

corporation (MNC) dan potensinya dalam membentuk kembali (rekonstruksi)

kontelasi politik internasional. Pertumbuhan perdagangan dan investasi lintas

batas merangsang kepentingan kaum saintis politik dan ekonomi untuk

(36)

sebagai salah satu arsitektur HI yang sempat terpencilkan, lalu sekarang bangkit

sebagai pelengkap dari elaborasi dirinya dengan manejemen hubungan ekonomi

internasional dalam wilayah pemikiran dan agenda kebijakan. Studi

interdependensi ekonomi pertama kali muncul dari kerja Richard Cooper.

Demikian juga Edward Morse yang menantang asumsi-asumsi state-centric dari

para kaum realis. Dia beragumen bahwa pertumbuhan interdependensi ekonomi

dan aktor-aktor transnasional secara fundamental telah mengubah sistem negara

Westphalia klasik. Kahler menyebut pemikir HI seperti Robert O. Keohane dan

Joseph Nye yang mempunyai formulasi interdependensi kompleks, meringkas

dekade dari pemikiran neoliberal, yang telah mengenalkan kembali hubungan

transnasional, interdependensi ekonomi, komunitas keamanan, organisasi

internasional, dan konsep yang lebih luas tentang rejim internasional.

Selain tantangan dari neoliberalisme, Kahler menjelaskan kemunculan teori

dependensia sebagai respon dari perubahan ekonomi internasional. Berbeda

dengan teori neoliberal, strukturalisme yang dipromosikan oleh Economic

Commission untuk Amerika Latin (ECLA)—Marxisme sebagai pusat pengaruh

teoritis teori dependensia. Kemunculan teori ini merupakan kritik terhadap

perkembangan kapitalisme di Amerika Latin. Kahler menyebutkan ilmuwan

seperti Henrique Cardoso sebagai kreator dari teori dependensia yang mengatakan

bahwa pencarian dan penemuan ide-ide baru pada awalnya optimis tentang

teori-teori pembangunan (modernisasi) pasca perang tengah berubah menjadi frustasi

yang amat sangat menggetirkan. Teori dependensia tidak jauh berbeda dengan

variannya seperti teori imperalisme (1968) yang dikreasi oleh Vladimir Illyich

Ulyanov Lenin. Kehadiran analisis sistem-dunia (1974) yang dimunculkan oleh

Immanuel Wallerstein masa itu mengambil beberapa terminologi dari

strukturalisme dan analisis dependensia, tetapi tidak mengadopsi dinamisasi

Marxis sebagai mesin perubah dunia. Dibandingkan dengan teori dependensia

yang berpusat pada hubungan sistemik antara core-periphery, analisis ini lebih

memfokuskan pada dan berakar pada evolusi kapitalisme internasional, bukan

(37)

Menurut Kahler, neoliberal dan radikal (neomarx) keduanya menantang

hegemoni realis dalam SHI. Kedunya menekankan pada sistem ekonomi daripada

terminologi politik kekuasaan; keduanya menolak state-centric yang ditekankan

oleh realisme. Namun pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang bersifat

neoliberalisme dimaknai jauh dari interdependensi kompleks menuju versi

state-centric yang lebih cocok dengan realisme. Sedangkan teori dependensia

mengalami kegagalan teoritis. Menurut K.J. Holsti yang dikutip oleh Kahler, pada

tahun 1980an, pemikiran realisme tetap masih merupakan pandangan yang

dominan dalam SHI tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi di semua negara.

Kemunculan dari pemikiran neoliberal dan teori dependensia pasca 1970 tidak

begitu besar pengaruhnya. Kahler menunjukkan karya Kenneth Waltz, Theory of

International Politics (1979) sebagai generasi baru yang menarik dalam teori

mutakhir, elaborasi puncak saintisme dan realisme: neorealisme; usaha Waltz

adalah mengubah semua hal yang bersifat kabur, bias atau kurang pasti dari

realisme klasik menuju sebuah bentuk yang lebih bisa diterima ke dalam wilayah

mainstream saintifik. Pada tahun yang sama (1980an), tidak hanya neorealisme

yang mengklaim posisi sentral dalam studi keamanan internasional, tetapi bentuk

teori stabilitas hegemonik pun mengklaim sebagai sentral studi ekonomi-politik

internasional sebagai pusat alternatif teoritisasi dalam SHI.

Menurut Kahler, kemunculan neorealisme (1980an) dan memudarnya

analisis neoliberal dan radikal (dependensia) tidak membingungkan pemikir

neorealis; pembangunan teoritisasi HI dalam wadah neorealisme menjadi lebih

sederhana—mudah dimengerti secara nalar. Walaupun neorealisme dibentuk dari

evolusi teori permainan dan teori rational-choice, tetapi keduanya hanya

berdasarkan pada premis rasional-individualis yang berkebalikan dengan

neorealisme yang tertarik pada tampilan strukturalnya. Menurut Kahler, Waltz

sendiri mengatakan bahwa pendekatannya tidak memerlukan elemen rationalist

microfoundations. Berkaitan dengan konteks ini, dalam karyanya, Power and

Interdependence, Keohane dan Nye berargumen bahwa konsep interdependensi

kompleks tidak dirancang sebagai bangunan sebuah teori, tetapi sebuah

(38)

dari realisme dibalik. Secara partikular, pada level sistemik, sepertinya neoliberal

tidak nampak menghadirkan sebuah alternatif yang dapat bersaing dengan struktur

yang ditetapkan sebagai distribution of power tanpa memasukkan sebuah tujuan

dan instrumen kebijakan negara. Kahler menjelaskan lebih dalam bahwa elemen

lain dari teori neoliberal, seperti interdependensi dan rejim internasional dapat

diakomodasikan bersama neorealisme; dalam bentuk tertentu, mereka dipahami

sebagai kemunculan dari sintesis neorealisme.

Menurut Kahler, jika neoliberalisme dapat ditarik ke teoritisasi neorealisme,

maka teori dependensia tetap saja gagal dan mengalami kemunduran karena dua

anomali: pertumbuhan industrialisasi yang begitu cepat pada negara periphery

(khususnya negara industri baru) dan perkembangan demokratisasi di Amerika

Latin pada akhir tahun 1960an dan 1970an. Lebih mendalam lagi, kegagalan dari

teori dependensia ini justru pada bertambahnya variasi tingkatan antara lintasan

negara-negara berkembang—munculnya negara semi periphery. Menurut Kahler,

hal tersebut merupakan anomali utama dari sebuah teori yang menekankan pada

diterminasi sistem (pembangunan nasional)—hanya berkenaan dengan kelas core

dan periphery. Akar kegagalan teori dependensia berawal dari perubahan bukan di

tingkat sistem, tetapi justru di tingkat domestik. Dengan kata lain, teori ini

berhadapan dengan hadirnya tambahan variabel domestik, khususnya kapabilitas

negara dalam mendukung industrialisasi dan tawar-menawar dengan investor luar

negeri—Korea Selatan. Jika teori dependensia disejajarkan dengan neoliberalisme

dan neorealisme, maka semuanya dikategorikan sebagai teori struktural atau

pendekatan sistemik yang berbeda imaji saja.

Ditegaskan kembali oleh Kahler bahwa konstelasi tatanan ekonomi-politik

internasional (1970an) dan adaptasi kebijakan defensif dalam wajahnya yang

kacau telah berubah dari interdependensi ekonomi menuju prasyarat politik dari

tatanan ekonomi liberal. Robert Gilpin dan Charles Kindleberger mengamati

dasar-dasar teoritis yang menciptakan formulasi teori stabilitas hegemoni. Di saat

yang sama, neoliberal melakukan eksperimentasi Komunitas Eropa yang masih

mengalami kehampaan dari kejutan ekonomi eksternal. Seperti yang dituturkan

Referensi

Dokumen terkait

Jepang sebagai bangsa yang maju dan memiliki kemampuan teknologi yang cukup. tinggi, tetapi karakter budaya yang telah lama berkembang dalam

ESTETIKA DAN ATAVISME PANTUN DALAM PUISI INDONESIA MODERN SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia |

Marx sangat penting dalam mewakili pemikiran Barat karena Marx adalah wakil dari pemikir Barat modern tentang transformasi sosial yang terpenting.. Setelah Marx, orang hanya

Karya ini berjudul “Estetika dan Atavisme Pantun dalam Puisi Indonesia Modern dan Pemanfaatannya Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran Sastra di SMA” yang mengangkat

Sebagai intelektual yang memiliki perhatian besar terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia, Nurcholish Madjid berusaha untuk membangun ideologi modern yang terbuka.. Usahanya ini

Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsur yang angat mulia dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan

Berbagai wacana yang populer di kalangan masyarakat modern terkait dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi, perhubungan dan bidang lainnya, memiliki

Paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan khususnya pada jaman pra modern nampak jelas akan adanya pendekatan serta tradisi yang berbeda antara dunia Barat dengan dunia