• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana Tradisionalisme

Dalam dokumen Tradisi pemikiran dan hubungan internasional (Halaman 104-109)

BAB II. SEJARAH WACANA TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN

TRADISI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN

II. 2 1 Wacana Idealisme/Liberalisme

II.2.3. Wacana Tradisionalisme

Wacana idealisme dan realisme merupakan pengetahuan yang masih mengaitkan dirinya dalam wadah pendekatan sejarah filsafat, etika, politik dan hukum internasional. Pendahulu HI seperti Zimmern memberikan pelajaran menggunakan pendekatan sejarah filsafat dan hukum internasional ala Grotian, John Herz menggunakan pendekatan filsafat politik Hobbesian, Martin Wight menggunakan pendekatan filsafat sejarah, E.H. Carr, Morgenthau juga tidak jauh berbeda, dll. Terkait dengan kuasa wacana tradisional, Chandra menjelaskan lima tahapan perkembangan wacana tradisional HI dengan mengutip karya Kenneth Waltz Thomson, The Study of International Politics: A Survey of Trends and

Development (1952). Chandra menjelaskan lima tahapan wacana HI yang dibagi sebagai berikut: pertama, periode hampir akhir PD I yang didominasi oleh monopoli wacana sejarawan diplomatik yang menghindari studi permasalahan kekinian dan menghentikan perkembangan yang terpusat pada ranah teoritisasi, sehingga teori hubungan internasional saat ini tidak berkembang. Kedua, periode akhir PD I yang menekankan pada studi isu-isu kekinian. Namun pendekatan ini miskin dari pandangan integral hubungan internasional, karena tanpa melihat referensi masa lalu. Ketiga, periode kelanjutan dari periode sebelumnya sampai dengan akhir periode inter-war years. Periode ketiga ini memberikan kejutan yang begitu signifikan, sehingga para sarjana hubungan internasional mengadopsi wacana pendekatan moral-legalistik secara esensial dan melihat perang sebagai kecelakaan dan dosa. Selain itu, para sarjana tersebut menyatakan usulan: perlunya institusi internasional dan hukum internasional sebagai alternatif

“ultimate argument of kings“–mengajak perang.50 Semua wacana ini bersumber dari formasi diskursif idealisme/liberalisme. Menurut penulis, pemaparan Martin Wight di atas cukup menjelaskan formasi diskursif wacana tradisionalisme: 1). SHI jauh berbeda dengan teori politik. SHI lebih luas lingkupannya, kerumitannya, abstraksinya, sedangkan teori politik dan hukum sifatnya normal – tingkat kerumitannya lebih rendah daripada SHI, dan kalkulasi terhadap fenomena mudah diketahui hasilnya. Dengan kata lain, Wight menyatakan bahwa teori politik mempunyai kecenderungan untuk mengacu pada teori politik, pendekatan behavioralisme dan hukum, sedangkan teori internasional mempunyai kecenderungan mengacu pada studi sejarah. 2). SHI dan praktik-praktik diplomasi terjadi kondisi konfliktual dengan SHI, karena praktek-praktek diplomasi dan politik internasional didominasi oleh teori politik internasional bukan oleh penulisan sejarah (sejarawan). Dalam hal ini, Wight menunjukkan karya ahli sejarah Yunani, Thucidydes yang menulis Peloponnesian War dengan menggunakan pendekatan sejarah.51 3). Teks sejarah ini berelaborasi dengan

50 Prakash Chandra, International Politics, edisi ke-2 (India: Vikas Publising house PVT LTD, 1995), hlm. 3-4.

51 Menurut John Spanier perbedaan sejarah dengan teori: historians focus on the descriptions of

filsafat, sehingga dinamakan sebagai sejarah filsafat (philosophy of history): the political philosophy of international relations.” Jadi Keterkaitan sejarah dan filsafat erat. 4). Jika perang sipil atau revolusi dianggap sebagai kasus ekstrim dalam teori politik, maka dalam teori internasional (SHI) dianggap sebagai kasus biasa –kasus-kasus tertentu yang tidak akan menjadi sebuah teori. Dari pernyataan ini, kita dapat memahami bahwa wacana tradisional saat itu begitu kuat, sehingga tidak ada wacana lain yang membaca politik internasional selain dengan alat baca dan definisi formasi diskursif sejarah, hukum internasional dan filsafat.

Melalui pemahaman B.K. Gills, kita dapat melacak genealogi kuasa teks- teks otoritatif wacana tradisional. Wacana tradisional dapat dikatakan sebagai jendela sejarah di HI. Gills mejelaskan bahwa pengaruh teks sejarah dapat dibagi tiga jenis: pertama, pemikiran sejarah tradisional. Pemahaman dari sejarah internasonal ini diawali dari kuasa sejarawan sosial Arnold Toynbee melalui konsep terkenalnya: ‘universal history’. Pemikir HI yang terpengaruhi oleh teks otoritatif Toynbee diantaranya adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Kunci dari wacana sejarah tradisional ini adalah menganalisa negara-bangsa yang sudah (telah) eksis dalam sejarah: immanent explanation. Kedua, materialisme sejarah (historical materialism). Materialisme sejarah berasal dari pandangan Marxisme. Dia berargumen bahwa materialisme sejarah berupa masa lalu atau fakta-fakta materialistik yang sudah tertulis dulu merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh kaum kapitalis dan kaum buruh di dalam proses perjuangan kelas mereka. Pendekatan ini diadopsi oleh Robert Cox untuk mengkritik neo-realisme dan mengembangkan pemikiran Gramsci. Selain itu, pendekatan Marx yang diadopsi Lenin dan Stalin juga memberi kontribusi besar dalam SHI seperti adanya istilah imperialism: the highest stage of capitalism. Ketiga, sejarah sosiologi (sociological history). Saat ini, sosiologi memberi banyak kontribusi dalam studi sejarah yang mempunyai relevansi dengan SHI. Sejarah sosiologi specific war happened, they do not tell us why wars occur more generally. A theory of

international politics would attempt to answer this question. Such a theory would not look at each war as unique, but would analyze many wars. It would then specify from the data exactly which conditions seem repeatedly to result in war. Lihat John Spanier, Games Nations Play, edisi VII, (Florida: CQ Press, 1990), hlm. 9.

terkadang hadir tumpang tindih dengan sejarah materialismenya Marx, tetapi perbedaan yang signifikan terlihat dalam penjelasan terhadap aspek sosiologi Waberian. Pencetus dari pendekatan sejarah sosiologi ini adalah Fernand Braudel yang memunculkan konsep ‘total history,’ yakni kajiannya enam belas abad di dunia Mediterranean. Dalam konteks ini, Immanuel Wallerstein sebagai salah satu anak didik darinya; kajiannya tentang perkembangan masyarakat kapitalis di Eropa abad kedelapan belas. Pendekatan sejarah sosiologi ini juga dinamakan pendekatan sistem dunia (world-system approach). Salah satu pokok pemikirannya adalah menjelaskan ekonomi dunia; berasumsi posisi negara-bangsa cenderung lebih lemah dari masyarakat, tetapi masyarakat lebih lemah posisinya dari aspek ekonomi (area Asia Selatan); kota-kota kapitalis di Eropa berstruktur memusat; sejak abad lima belas Eropa terdapat ‘hierarchy of zones.’ Turunan dari pendekatan ini adalah ‘LSE School’ yang merupakan pecahan dari pendekatan sistem dunia. Pendekatan ini dicetuskan oleh Raymond Aron, Michael Mann dan John Hall. Pendekatan ini menekankan pada ‘geopolitical militarism’ yang mana militarisme berasal dari aspek geopolitik struktur sosial kita. Menurut mereka, aspek ini lebih tua dari kapitalisme. Pandangan militarisme ini bergabung atau masuk ke dalam aspek ekonomi ketika kapitalisme lahir.52

Identitas SHI pasca PD I di bawah penaklukan formasi diskursif tradisional. Sejarah jaman PD I tidak ditentukan oleh subjek pemenang sejarah, tetapi oleh wacana yang melekat pada pemenangnya bersama dengan tatanan formasi diskursif yang melekat dalam dirinya. Sebenarnya tidak ada suatu kemajuan yang berarti, sebab formasi wacana tradisional tidak lebih dari sebuah peningkatan pamor sejarawan Yunani Kuno yang dioperasionalkan oleh sejarawan Eropa pencerahan yang sedang naik daun. Wacana tradisional membereskan semua lawan-lawan tandingnya, sehingga tidak ada wacana lainnya.

Metanarrative gerakan tradisional begitu massive dan total dalam menyetir SHI dan ontologi politik internasional. Politik internasional dipraktikkan oleh aktor- aktor yang berkompetensi kuat dengan wacana pemikiran sejarah. Pemetaan dunia

52 B.K. Gills, “International Relations Theory and the Processes of World History: Three

Approachs,” dalam The Study of International Relations: the State of the Art, edited Huga C. Dyar dan Leon Mangasarian, (New York: St. Martin’s Press, 1989), hlm. 104-138.

politik internasional dibaca dan didefinisikan oleh apa yang para pemikir jaman Eropa pencerahan dulu bayangkan. Apa yang didiskripsikan dan direplikasi dari suatu ontologi politik internasional pasca PD I adalah bagian dari suatu kenyataan pemikiran, konsep, perspektif para pendahulunya, sebab pembaca dan pendefinisi dari ruang realitas politik internasional adalah ‘sang pengarang’ yang mempunyi relasi kuasa footnote atas otoritas teks-teks lama seperti teks dari filsafat sejarah Yunani Kuno dan teks dari para pemikir abad pencerahan.

Misalnya ‘sang pengarang’ seperti Edward Hallett Carr yang merupakan seorang realis, yang pertama kali mempercayai realisme politik seperti halnya John Herz dan setelahnya, Morgenthau. Dalam karyanya, “The Twenty Years’ Crisis” (1939) E.H. Carr berusaha memperjuangkan apa yang dinamakan sebagai pengetahuan realisme. Scott Burchill meringkas pengetahuan pemikiran E.H. Carr. Carr berpendapat bahwa sangat berbahaya jika kita berpijak berdasarkan dari karakter normatif, karena SHI akan mengarah pada bayangan tentang segala hal yang seharusnya, bukan pada sesuatu yang ada. Penyerangan Jepang terhadap Manchuria dan Italia menduduki Abisinia mengakhiri pamor dari kebangkitan kaum idealis/liberalis. Menurut dia, apa yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang lebih tajam, di mana menekankan pada realitas kekuasaan politik dalam SHI, dibandingkan dengan dengan studi dunia internasional yang terbayangkan dengan apa yang seharusnya. Menurut dia, sistem politik internasional pasca perang telah diciptakan oleh para pemenang perang, merupakan rancangan dari mereka yang tetap mendapatkan keuntungan lebih, dari ekspansi kekuasaan ‘revisionist’. Kemunculan realisme menciptakan suatu kemenangan baru dari suatu perjuangan pemikiran sejarah Pasca PD I dan bentuk pemberontakkan atas wacana status quo

yang ada. Menurut dia, kaum idealis/liberalis seperti Zimmern dan Wilson telah menjadi alat kepentingan bagi peguasa saat itu. Jika pengetahuan kaum utopia diambil secara serius, maka masyarakat politik internasional menempatkan kondisi ilusi kaum idealis/liberalis ini menjadi sesuatu yang lazim. Pada kenyataannya, tatanan pasca PD II merefleksikan kepentingan spesifik dari suatu

kepuasan hasrat kekuasaan, dan sepertinya tidak dapat dirasakan oleh Jerman yang telah mendapat hukuman perjanjian Versailles pada tahun 1918. 53

Apa yang diungkapkan di atas adalah sebuah mekanisme kuasa pengetahuan dari Carr yang berusaha memperjuangkan pemikirannya. Sejarah pemikiran yang dia adopsi dari para pemikiran filsafat menjadi sebuah footnote

sekaligus otoritas teks untuk menyangga bangunan argumentasinya. Wacana tradisional yang digunakan oleh Carr berpijak pada identitas filsafat sejarah Eropa abad pencerahan. Penulis melihat bahwa di sini tidak ada kemajuan dan progres sama sekali, tetapi justru wacana tradisional hanya menguatkan kembalinya pembacaan-pembacaan berdasarkan dalih-dalih teks masa lalu dan pemikiran filsafat. Formasi diskursif yang timbul ini menaklukan, tidak hanya pemikiran para ilmuwan HI, tetapi menaklukan konstelasi politik internasional, sehingga mudah dikendalikan, diukur dan diraba-raba tingkat sensitivitasannya. Kesimpulan yang ditangkap dari wacana tradisional, wacana ini dipahami sebagai dalih-dalih dalam bentuk aksi bahasa. Wacana ini adalah jendela yang menentukan arah pandang pemahaman kita terhadap cakrawala diri kita sendiri untuk menentukan benar-salah, indah-suram, tepat-tidak tepat. Subjek sejarah sebagaimana para Hegelian sebenarnya tidak ada pada wacana tradisional, yang ada dan masuk akal oleh pemikiran orang-orang saat itu hanyalah wacana tradisional yang menentukan dirinya. Mekanisme wacana-wacana dalam perjuangan pemikiran menghasilkan kemunculan formasi diskursif tradisional. Formasi ini yang menentukan arah epistemologi HI pasca PD I dengan menciptakan realitas politik internasional.

Dalam dokumen Tradisi pemikiran dan hubungan internasional (Halaman 104-109)