• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN

D. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia memperkenalkan istilah korupsi pertama kali digunakan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum yang mulai akrab di Indonesia. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideransnya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.48

UU PTPK tidak memuat pengertian tentang tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai

47

http://nasional.kompas.com/ read/ 2011/ 12/ 01/ 17515759/ Indonesia. Peringkat. Ke-100. Indeks. Persepsi. Korupsi. 2011 diakses pada tanggal 5 Februari 2011 pukul 00.27 Wib.

48

unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…

Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...

Definisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.49

Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.50

Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau

49 http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1aAXOjzOd. 50 Ibid.

mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.51 Pemahaman atas hal tersebut akan sangat mambantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah pembusukan, keburukan, kebejadan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Pendapat lain bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sedengakan seduction

berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.52

Korupsi juga banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah yang terdapat di berbagai negara menyikapi korupsi yang menyangkut ketidakjujuran ini diantaranya di Muangthai korupsi dikenal akrab dengan istilah “gin moung”, “tanwu” di Cina yang berarti keserakahan,

51

Ibid.

52

bernoda. Jepang lebih akrab menyapa korupsi dengan istilah “Oshoku” yang berarti kerja kotor.53

Meskipun kata-kata corruptio memiliki arti luas, sering diartikan sebagai penyuapan. Istilah korupsi juga disimpulkan dalam bahasa Indonesia oleh Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.54

Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.55

Perkembangan pengertian korupsi dapat ditinjau dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa pakar, diantaranya:56

1. Rumusan korupsi dari sudut pandang jabatan

a. L. Bayley mengatakan korupsi sebagai perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan untuk keuntungan pribadi.

b. J.S. Nye mengemukakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena

53

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi

(UU No. 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 8

54

Firman Wijaya, Opcit, halaman 7 55

Rohim, SH, Opcit, halaman 2 56

kepentingan pribadi, demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal ini mencangkup tindakan seperti penyuapan, nepotisme penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk keperluan pribadi.

2. Rumusan korupsi dengan titik tolak pada kepentingan umum

Carl. J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal tertentu yang seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang membujuk dengan menolong siapa yang menyediakan hadiah dan dengan demikian bener-benar membahayakan kepentingan umum.

3. Rumusan korupsi dari sudut pandang politik

Secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering muncul sebagai masalah politik daripada ekonomi. Korupsi menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata masyarakat. Korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi pemerintah faktor politik dan penyelewengan penggunaan jabatan.

Shed Hussein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa

akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya, “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain” yakni penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.57

Apabila memperhatikan modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu ciri yang bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga ditujukan terhadap kepentingan hukum dari negara.58 Kejahatan seperti ini bisa dilakukan oleh pejabat atau biriokrat.59 Kejahatan korupsi pada umumnya dilakukan tanpa kekerasan tetapi diikuti dengan kecurangan, penyesatan, penyembunyian kenyataan, manipulasi , akal-akalan, dan pengelakan terhadap aturan.60

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu

corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruption itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Kemudian dari bahasa latin itulah lalu turun kebanyak bahasa Eropa seperti inggris, yaitu

corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie

57

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081 Opcit.

58 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan

Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,

halaman 7 59

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan termasuk dalam lingkup kejahatan jabatan atau ambtsmisderjiven di dalam KUHP adalah kejahatan-kejahatan yang oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam buku ke-II Bab ke-XXVIII KUHP. Kejahatan jabatan yang dimaksudkan tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai seorang ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri. (Ibid, halaman 51)

60

(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi”.61

Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam UU PTPK.62

Defenisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste, korupsi didefenisikan menjadi 4 jenis:63

1. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh :

Seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, dari pada pemohon yang biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang biasa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi

61

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 4

62

Firman Wijaya Opcit, halaman 2 63

apabila dalih memberikan uang tambahan itu sebagai “tanda ucapan terima kasih” dan diserahkan setelah layanan diberikan.

2. Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang berniat mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. Contoh: Didalam pengaturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang dan jasa jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi karena waktunya mendesak maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Misanya dengan alasan “force mejeur”. Maka sebenarnya dari sinilah dimulai illegal corruption, yakni ketika pimpinan proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat untuk melegalkan tindakannya.

3. Mercenary Corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keeuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh:

Dalam sebuah persaingan tender seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang sogok atau semir dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk dalam kategori mercenary corruption. Bentuk sogok atau semir itu tidak mutlak berupa uang namun bisa juga dalam bentuk lain.

4. Ideologycal Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh:

Kasus skandal Watergate adalah contoh Ideological Corruption dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Preesiden Nixon dari pada dukungan kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.

Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagai mana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.64 Menurut Syed Hussein Alatas, secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.65

Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.66

64

Firman Wijaya,Opcit, halaman 7 65

Ibid.

66

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung, 2008, halaman 186

Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya pengulangan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:67 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembeenaran hukum. e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain:68

67

Evi Hartanti, Opcit, halaman 10-11 68

1. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama

Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK yang menyebutkan bahwa:69

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.

b. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

2. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua

Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan pasal 3 UU PTPK yang menyebutkan bahwa:70

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.

3. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga

Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal KUHP yang kemudian sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi tindak pidana korupsi sesuai Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dengan menghilangkan redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal….KUHP” seperti formulasi dalam ketentuan undang-undang nomor 31 tahun1999. Apabila

69

Ibid, halaman 187-188

70

dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4 pengelompokan, yaitu:71

a) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP.

b) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415, 416, dan pasal 417 KUHP.

c) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, extortion), yakni pasal 423, dan 425 KUHP.

d) Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir dan rekanan, yakni pasal 387, 388, dan 435 KUHP.

4. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat

Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi sehingga percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

71

korupsi meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.72

5. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima

Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:73

a) Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

b) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.

c) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP.

72

Ibid, Halaman 201-202

73

Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24 UU PTPK tersebut berturut-turut dari poin (a) sampai (d) adalah sebagai berikut:

a) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

b) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

c) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

d) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).

d) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 KUHP.

Adami Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa kriteria/bagian, yaitu:

a) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi; b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi; c) Atas dasar sumbernya;

d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;

e) Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.

1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedaakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a) Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana koruspi murni adalah tindak pidana korupsi yang substanisi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP).74

74

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman 20

b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentinggan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini hanya diatur dalam 3 pasal, yakni pasal 21, 22, dan 24 UU PTPK.75

2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:76

a) Tindak Pidana Korupsi Umum

Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasal: 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.

b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeeri atau penyelenggara negara. Artinya, tindak pidna yang dirumuskanitu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri

75

Ibid, halaman 22

76

atau penyelenggara negara. Orang yang bukan pegawai negeri tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi pegwai negeri ini. Disini, kualitas pegawai negeri merupakan unsur esensalia tindak pidana.77

3. Atas Dasar Sumbernya

Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan mejadi dua kelompok, yakni:

a) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP

Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:78

1. Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersindiri dalam UU PTPK. Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.

2. Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem pemidanaannya. Termasuk dalam kelompok tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.

77

Ibid, halaman 23

78

b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999