• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selayang Pandang Sejarah Perundang-Undangan Korupsi di Indonesia Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN

D. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

2. Selayang Pandang Sejarah Perundang-Undangan Korupsi di Indonesia Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan

dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:

1. Delik-delik Korupsi dalam KUHP.

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut).

3. Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.

4. Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

83

1) Delik-delik korupsi dalam KUHP

Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi (diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda).84 KUHP merupakan hasil karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli 1909.85

KUHP yang berlaku di Indonesia meskipun telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia, antara lain dengan menyisipkan pasal-pasal tertentu yang dipandang sesuai dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Terdapat pasal-pasal yang benar-benar bersifat Indonesia, misalnya Pasal 423 KUHP kemudian ternyata ditarik kedalam UU PTPK dan digolongkan menjadi delik korupsi.86 Pasal 423 KUHP menegaskan bahwa:

Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa seseorang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya, supaya memberikan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, memotong sebagian dalam melakukan pembayaran, atau mengerjakan sesuatu apa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.87

84

Andi Hamzah, Opcit, halaman 33

85Ibid, halaman 33

86

Ibid, halaman 34

87

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Maksud dari pasal tersebut sebenarnya untuk mencegah atau menghukum perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan kecurangan-kecurangan (korupsi) yang banyak ragamnya dari pegawai negeri.88

KUHP merupakan suatu sistem dimana segala pasal serta bab yang ada didalamnya terikat dengan system itu. Oleh karena itu, ditarik 19 buah pasal untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti pasal 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut active omkoping), berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP.89

Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagai mana dikenal dalam hukum pidana. Begitu pula dalam codepenal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku tentang kejahatan biasa.90

2) Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)

Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 april 1957 Nomor Prt/ PM/ 06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut.

Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu

88

Ibid, halaman 287

89

Andi Hamzah, Opcit, halaman 38 90

segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi,…..dan seterusnya.91

Penting untuk diketahui dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah hukum dan member batasan perngertian korupsi sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”.92 Kemudian peraturan penguasa militer ini digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Prn. Penguasa Perang Pusat nomor Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958.93 Konsiderans peraturan tersebut menegaskan sebagai berikut:

Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang memperggunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalkan Bank, koperasi, wakaf dan llain-lain atau bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.

Bagian yang menarik dari peraturan penguasa perang pusat (AD/AL) tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1 yang juga dijabarkan dalam pasal 1 dan 2, bahwa perbuatan korupsi terdiri atas:94

1. Perbuatan korupsi pidana

2. Perbuatan korupsi lainnya (Pasal 1) Perbuatan korupsi pidana antara lain:

a. Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang

91Ibid, halaman 41 92 Ibid, halaman 42 93 Ibid. 94 Ibid, halaman 43-44

secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Perturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP (Pasal 2).

3) Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 ini pada awalnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1961 tentang Penetapan semua undang-undang darurat dan semua peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.95

Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut dirumuskan dalam pasal 1 yang menyatakan:96

Pertama, “tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiiri atau orang lain atau

95

Dani Krisnawati Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), Bunga Rampai Hukum Pidana

Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48

96

suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan keolnggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat”

Kedua, “perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau oang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan..”

Ketiga, “kejahatan yang tercantum dalam pasal 17 dan Pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 432 KUHP”

4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 mencangkup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsungg dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.97

Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak saja diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara sudah dapat menjerat pelaku. 98 97 Ibid, halaman 53 98 Ibid, halaman 54

Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:99

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsuang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara;

2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;

4. Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud pada pasal 2 dengan menginga sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;

5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah menerima permberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;

99

6. Barang siapa melakukan percobaan dan permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam aya (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Untuk mengetahui perkembangan kebijakan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi lebih lanjut dapat dilihat dalam tabel perkembangan peraturan tindak pidana korupsi pada lampiran dalam skripsi ini.