• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN

B. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan

Kehidupan hukum Indonesia dalam beberapa tahun terakhir disibukkan oleh maraknya aktivitas-aktivitas korupsi oleh pejabat pemerintahan yang terungkap di tengah masyarakat. Konsistensi penegakan supremasi hukum terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam setiap tindakan yang mengarah pada korupsi di berbagai bidang sangat diperlukan dalam rangka menanggulangi korupsi yang marak terjadi di negara ini,

165

Ibid, halaman 471

166

Lihat Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

termasuk perbankan tanpa mempertimbangkan apakah pelakunya kooperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.167

Pelanggaran kasus-kasus pidana di bidang perbankan terkadang menimbulkan perbedaan persepsi dan interpretasi mengenai aturan hukum pidana yang akan diterapkan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada pada UU Perbankan atau UU PTPK.168 Dalam praktik penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan sering muncul kecenderungan untuk memasukkan penangangan kasus-kasus perbankan ke dalam ketentaun-ketentuan hukum pidana tentang korupsi.169

Penggunaan UU PTPK terhadap kejahatan di dunia perbankan dilihat dari segi kemudahan-kemudahan prosedural yang tedapat di dalamnya sebenarnya dapat di pahami. Demikian juga dari segi keluwesan rumusan hukum tentang tindak pidana korupsi, yang memungkinkan banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara untuk dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kepastian hukum, maka kecenderungan seperti itu dapat menimbulkan problem yuridis dalam kaitanyya dengan keberadaan UU Perbankan yang didalamnya secara eksplisit merumuskan juga perbuatan tersebut sebagai kejahatan yang diancam dengan pidana.170

Menurut Sudarto, UU Perbankan dan UU PTPK memiliki kedudukan yang sama satu sama lain, yakni memenuhi kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana tindak pidana perbankan

167

Elwi Danil, Opcit. halaman 163 168 Ibid. 169 Ibid, halaman 166 170 Ibid.

yang diatur dalam UU Perbankan dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, mengingat kedua-duanya sama-sama sebagai undang-undang pidana khusus.171

Persoalan diatas sesungguhnya dapat diselesaikan melalui ajaran yang berkembang terhadap Pasal 63 ayat (2) KUHP yang mengandung asas “lex specialis derogate legi generali.172 Asas ini sangat penting bagi hukum pidana, yang dalam doktrinnya dapat dibedakan antara kekhususan yang logis (logische specialiteit) dan kekhususan yang sistematik (systematische specialiteit).173

Berdasarkan pemahaman tentang asas lex specialis derogate legi generali

menurut kekhususan yang sistematis, maka maka terhadap tindak pidana perbankan yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak dapat berubah atau berkembang sebagai tindak pidana korupsi, sekalipun terdapat unsur-unsur tindak pidan korupsi di dalamnya.174 Misalnya, seorang pegawai bank pemerintah (BUMN) yang meminta atau menerima imbalan, suap atau hadiah yang berkaitan dengan pelayanan kredit kepada nasabah atau hubungan dalam pengucuran kredit.175 Pemberian hadiah tersebut dalam UU PTPK telah memenuhi rumusan dalam pasal 5 ayat (2) UU PTPK yang menegaskan:

Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dalam ayat (1).

171

Ibid.

172

Pasal 63 ayat (2) KUHP menentukan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

173

Elwi Danil, Opcit. Halaman 167 174

Ibid, Halaman 168

175

Ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU PTPK adalah paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Disisi lain, perbuatan pegawai bank tersebut juga memenuhi rumusan pasal 49 ayat (2) huruf a UU Perbankan, yang menentukan:

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank, tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Kondisi seperti yang terjadi pada ilustrasi kasus tersebut sangat penting adanya pemahaman terhadap asas lex specialis derogate legi generali menurut kekhususan yang sistematis. Meskipun terdapat konstruksi hukum yang demikian, namun bukan berarti bahwa sama sekali tida ada bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dikembangkan menjadi tindak pidana korupsi.176 Kejahatan perbankan dalam pasal 49 ayat (2) b, Pasal 50 dan Pasal 50 a UU Perbankan177, pada

176

Ibid, Halaman 169

177

Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan: Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-sekurang-kurangnya

hakikatnya dan dalam hal-hal tertentu dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi. Dalam ketiga pasal tersebut unsur-unsur tindak pidana tindak tergambar secara eksplisit, maka tindak pidana perbankan itu dapat diposisikan sebagai tindak pidana umum dalam praktik perbankan dan kemudian dapat diberlakukan ketentuan pasal 2 UU PTPK.178

Asas lex specialis derogate legi generali baik dalam pengertian kekhususan yang logis, maupun kekhususan yang sistematis patut kembali dikedepankan mengingat dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia sering mengabaikan dan mengingkari keberadaannya. Dalam konteks ini, penggunaan UU PTPK untuk menanggulangi penanganan hukum pidana dalam praktik perbankan yang memenuhi rumusan hukum menurut UU Perbankan akan mengakibatkan UU Perbankan menjadi tidak berarti, dan akan membawa implikasi hukum bagi praktik penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam perspektif kekhususan yang sistematis seyogyanya dipisahkan dari tindak pidana

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 50: Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 50A: Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

178

perbankan yang telah memuat rumusan yang sedemikain rupa tentang tindak pidana tersebut dalam UU Perbankan.179

Korupsi di bindang perbankan secara umum dapat digolongkan terhadap tindakan-tindakan sebagai berikut:180

1. Permainan dalam penilaian Prinsip 5C181 yang menjadi prinsip pemberian kredit.

179

Ibid, Halaman 173

180

Muljatno, Dkk, Ekonomi Korupsi, PT. Pustaka Quantum, Jakarta, Halaman 100 181

Prinsip 5C antara lain:

1. Character (Karakterisitik)

Bahwa calon nasabah debitur mempunyai watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kejujuran, itegritas, dan kemauan dari calon nasabah debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini diperoleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan iformasi dari usaha-usaha yang sejenis.

2. Capacity (Kemampuan)

Capacty adalah kemampuan calon nasabah untuk mengelola kegiatan usahanya dan

mampu melihat prospek masa depan, sehingga usahanya akan berjalan dengan baik dan memberikan keuntugan, yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan.

3. Capital (Modal)

Bahwa dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhdap modal yang dimiliki pleh peohon kredit. Penilaian ini tidak semata-mata didasarkan atas besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan pada bagaimana distribusi modal ditempatkan pada pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan dan digunakan dengan baik.

4. Collateral (Jaminan)

Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana

pengaman atas risiko yang mungkin terjadi akibat timbulya wanprestasi nasabah dikemudian hari. Misalnya terjadi kredit macet, jaminan ini diharapkan mampu menutupi hutang pokok maupun bunga.

5. Condition of economy (Kondisi Perekonomian)

Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank, konsisi ekonomi secara umum dan kondisi sector usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian oleh bank untuk memperkecil risiko yang terjadi dikakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. (Chatamarrasjid, Hukum

Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, Halaman 61)

6. Constraint

Prinsip C yang keenam ini banyak terjadi di lingkungan luar sehigga dikategorikan sebagai prinsip tambahan. Faktor hambatan ini datang karena lapangan usaha itu tidak sesuai dengan lingkungan, melanggar adat setempat, mengganggu atau merusak lingkungan, hingga ditolak oleh lingkungan atau dunia internasional. (Muljatno, Dkk, Opcit, Halaman 95)

Keenam Prinsip tersebut jika dilanggar yang menanggung kerugian terakhir adalah penabung langsung bila bank itu milik swasta, dan bila bank itu milik pemerintah yang menaggung risiko adalah pemerintah yang kemudian akan membebankan kerugian itu kepada belanja negara. (Ibid.)

2. Mark-up terhadap proyek-proyek yang akan dibiayai dengan kredit bank. 3. Penyaluran kredit yang diutamakan kepada proyek/ usaha-usaha yang berada

dalam satu grup dengan bank itu sendiri.

4. Adanya “uang hangus/ komisi” yang mengakibatkan berkurangnya jumlah uang kredit yang diterima oleh nasabah dan menjadi tingginya bunga efektif dibandingkan dengan bunga resminya.

5. Penggunaan kredit yang ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam bunga pinjaman.

C yang ke- 6 ini dipertegas dalam Buku Pedoman Pemberian Kredit Bank Mandiri yang diartikan sebagai batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu jenis bisnis dari calon debitur untuk dilaksanakan. (Marwan Effendi, Opcit. Halaman 8)

BAB III