ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DI BIDANG PERBANKAN
(Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYORUDIN FEBRI NIM : 080200010
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DI BIDANG PERBANKAN
(Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYORUDIN FEBRI NIM : 080200010
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M.Hamdan, SH.MH NIP. 195703261986011001
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Liza Erwina, SH.M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum
NIP. 196110241989032002 NIP. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas berkat dan anugerah Allah SWT, karena kasih dan
karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan
PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel) ini.
Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Untuk itu, dengan
berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis sampaikan
rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan
penghargaan ini penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum USU
Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum USU Medan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.,M.Hum., DFM sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum USU Medan.
4. Bapak Muhammad Husni , SH.,MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. M.Hamdan, SH.,MH., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum USU Medan.
6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum., sebagai sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum USU Medan dan juga sebagai Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan
pembuatan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum., sebagai Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan memberikan ilmunya serta mengarahkan
penulis dalam pembuatan skripsi baik materi maupun moril.
8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi
menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai
dengan menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh staf tata usaha dan staf administrasi perpustakaan serta para pegawai
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10.Orang tua terkasih, Maryono dan Elita yang telah membesarkan, memotivasi,
mendidik, dan memenuhi seluruh kebutuhan penulis selama ini serta dengan
berlimpah kasih sayang, penulis ucapkan terima kasih.
11.Untuk saudara tercinta, Miftahudin/Rozulyana, Yesi Karmila, dan keponakan
terkasih Kayra yang selalu mendukung, membantu serta memotivasi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.Keluarga terkasih yang selalu merawat, menjaga, membimbing dan
mengarahkan masa depan penulis di perantauan, Dr. Mahmud Mulyadi,
penulis dalam memotivasi dan mendoakan penulis selama ini baik materi
maupun moril. Keponakan tersayang, Fateh dan Mahesa yang selalu menjadi
semangat bagi penulis.
13.Keluarga besar penulis baik dari ayah maupun ibu yang penulis sayangi dan
tidak dapat disebutkan satu persatu.
14.Rekan juang yang selalu membangkitkan semangat dan membangun motivasi
penulis: Panca, Hady, Anda, Dendi, Yudhi, Ranni, Nissa, Hendy, Gading,
Tigan, Bowo, Romi, Rian, Dhirgan, Mulkan, Ikbal, Randa, serta
teman-teman stambuk 2008 yang telah mengukir kenangan dan melukis suka duka
bersama, memberikan bantuan materil maupun moril, serta yang memberikan
warna dalam hidup penulis selama di perkuliahan.
15.Kawan-kawan dan keluarga besar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum
USU Periode 2011-2012 tempat penulis menempa pengalaman berorganisasi.
Terimakasih atas kerjasama, bantuan dan memotivasinya sehingga kita semua
mendapatkan proses pembelajaran bersama dan tetap bersatu sampai akhir
periodesasi.
16.Buat keluarga Besar HMI FH USU, Kawan-kawan KAM MADANI FH USU,
PEMA USU, KSIC, BTM FH USU.
17.Seseorang yang tak henti menyemangati dengan penuh kesabaran dan
kesetiaan. Dekat lebih dekat dan jauh terasa dekat.
18.Berbagai pihak yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah-lah
yang dapat membalas budi baik semuanya.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat bagi
penulis untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Medan, Juni 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PERNGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABTRAKSI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. ... L
atar belakang ... 1
B. ... P
erumusan Masalah ... 9
C. ... T
ujuan Penelitian ... 9
D. ... M
anfaat Penelitian ... 10
E.... K
easlian Penulisan ... 10
F. ... M
etode Penelitian ... 11
a) ... J
enis Pendekatan ... 11
b) ... S
umber Data ... 12
c) ... P
d) ... A
nalisis Data ... 15
BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG
PERBANKAN ... 16
A. ... T
indak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya ... 19
1.... I
stilah Tindak Pidana Korupsi ... 21
2.... S
elayang Pandang Sejarah Perundang-undangan Korupsi
di Indonesia ... 39
3... P
erkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 46
4.... U
nsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan
Kerugian Keuangan Negara ... 48
5.... S
ubjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi ... 63
B. ... T
indak Pidana di bidang perbankan ... 71
C. ... T
indak pidana korupsi di Bidang Perbankan ... 83
PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN DALAM
KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
JAKARTA SELATAN NOMOR : 2068/PID B/ 2005/ PN JAK.
SEL ... 90
A. ... P
osisi Kasus ... 90
1.... K
ronologis Perkara ... 90
2.... D
akwaan ... 104
3... T
untutan Pidana ... 105
4.... P
ertimbangan Hakim ... 106
5.... A
mar Putusan ... 132
B. ... A
nalisis Kasus ... 133
1.... T
entang Pertimbangan Hukum ... 135
2.... T
entang Putusan ... 146
A. ... K
esimpulan ... 148
B. ... S
aran ... 151
ABSTRAK Mayorudin Febri* Liza Erwina, SH.,M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum***
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis tanpa terkecuali di bidang perbankan. Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi disamping ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan sendiri.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan di bidang perbankan dan bagaimana analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Disamping itu, skripsi ini menganalisis putusan tindak pidana korupsi dengan Register Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah,
pertama pengaturan korupsi di bidang perbankan melibatkan dua domain hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi (UU PTPK) dan tindak pidana perbankan (UU Perbankan) dimana keduanya memiliki kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus. Tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, diantaranya pasal 49 ayat (2) b, Pasal 50 dan Pasal 50 a UU Perbankan. Kedua, pada kasus korupsi yang dibahas dalam skripsi ini berdasarkan uraian pertimbangan dan fakta-fakta di persidangan, maka perbuatan terdakwa dalam kasus tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian, asas perkreditan yang sehat dan telah mengabaikan prinsip-prinsip good corporate governance yang berada dalam ranah UU Perbankan. Kasus ini lebih tepat diadili dengan instrumen yang terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan dan bukan sebaliknya dalam ranah tindak pidana korupsi. Putusan bebas murni (vrijspraak) yang di berikan Hakim dalam perkara ini adalah sudah tepat karena tidak terbukti adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara **
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
ABSTRAK Mayorudin Febri* Liza Erwina, SH.,M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum***
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis tanpa terkecuali di bidang perbankan. Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi disamping ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan sendiri.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan di bidang perbankan dan bagaimana analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Disamping itu, skripsi ini menganalisis putusan tindak pidana korupsi dengan Register Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah,
pertama pengaturan korupsi di bidang perbankan melibatkan dua domain hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi (UU PTPK) dan tindak pidana perbankan (UU Perbankan) dimana keduanya memiliki kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus. Tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, diantaranya pasal 49 ayat (2) b, Pasal 50 dan Pasal 50 a UU Perbankan. Kedua, pada kasus korupsi yang dibahas dalam skripsi ini berdasarkan uraian pertimbangan dan fakta-fakta di persidangan, maka perbuatan terdakwa dalam kasus tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian, asas perkreditan yang sehat dan telah mengabaikan prinsip-prinsip good corporate governance yang berada dalam ranah UU Perbankan. Kasus ini lebih tepat diadili dengan instrumen yang terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan dan bukan sebaliknya dalam ranah tindak pidana korupsi. Putusan bebas murni (vrijspraak) yang di berikan Hakim dalam perkara ini adalah sudah tepat karena tidak terbukti adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara **
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara
“Korupsi” dengan “Kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut
power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan
kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.1 Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal
ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat
mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab
melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri menurut
Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, hukum tidak bisa lepas dari kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan
Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social engineering” atau hukum
sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus
mengarahkan menuju masyarakat yang lebih baik.2 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi
yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan
normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak
1
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1
2
boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana cara
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.3
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia,
karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara
meluas dan sistematis.4 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak-hak sosial masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan
oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahan/
kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile crime) dan
sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.5 Korupsi juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk krisis ekonomi yang terjadi di negara
ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang diamanatkan undang-undang.
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang hanya merugikan
keuangan dan/ atau perekonomian negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat
sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai
bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang
rasional untuk mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan
cara-cara yang luar biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan
instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).6
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1995, halaman 41
4
Penjelasan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2 5
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289 6
Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan
sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara
nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai
kejahatan transnasional.7
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan
keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
keuangan negara pada Perjan, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.
Keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang
berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.8 Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari
pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain,
korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menyentuh
berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
7
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club (ILC), Surabaya, 2010, halaman 4
8
budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancama terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.9
Pelbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk
memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus
berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya.10 Bahkan hal ini diperparah lagi dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya
bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku.11
Tindak pidana korupsi di Indonesia tetap saja terus merasuk ke dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat, setidaknya hal itu dapat dirasakan di
kehidupan sehari-hari tanpa terkecuali di bidang perbankan. Lembaga perbankan
dalam perekonomian Indonesia menduduki posisi yang strategis. Perekonomian
nasional dan internasional berkembang dengan sangat cepat, kompetitif dan
terintegrasi, sehingga memunculkan tantangan yang semakin kompleks dan
menuntut sistem yang semakin maju. Fungsi bank tidak hanya sekedar sebagai
lembaga yang hanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya
kembali dalam berbagai fasilitas perbankan (financial intermediary), namun telah
jauh berkembang menjadi pilar bagi pertumbuhan ekonomi, sosial, bahkan
politik.12
9
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1 10
Firman Wijaya, Opcit halaman 1-2 11
Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum, ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat dan hakim) kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption. (Frans H. Winarta, Opcit halaman 289-290)
12
Posisi perbankan yang strategis tersebut menempatkan perbankan pada
fungsi dan peranan yang dominan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional, ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak.13 Lembaga perbankan juga sangat penting dalam menunjang sistem keuangan nasional, skaligus sebagai lembaga intermediasi.14 Fungsi sebagai lembaga intermediasi ini dapat diartikan sebagai penghubung atau
perantara keuangan baik secara langsung maupun tak langsung antara masyarakat
yang membutuhkan dana, masyarakat yang surplus dana maupun dengan
pemerintah.
Sejalan dengan semakin strategisnya peranan perbankan dalam mendorong
perekonomian nasional, bank-bank nasional maupun swasta semakin
mengembangkan kegiatan usahanya dalam menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat melalui simpanan dana dari masyarakat dan dilanjutkan dengan
pemberian kredit kepada masyarakat juga nantinya. Situasi yang semakin
kompetitif seperti ini menuntut pihak bank untuk mampu bersaing melalui
berbagai fasilitas-fasilitas yang di tawarkannya.
Fasilitas-fasilitas atau produk yang ditawarkan Perbankan diantaranya
dalam bentuk produk tabungan, deposito, kredit, giro, cek wisata (trevelers chck),
pengiriman uang, inkaso, kartu kredit, ATM (Autometic Teller Machine), jual beli
valuta asing (money changer), jasa penyimpanan barang-barang berharga (custody
service), jasa pialang, garansi bank, dana pensiun, dan lain sebagainya.15
13
Ibid.
14
H. Elwi Danil, Opcit, halaman: 1 15
produk tersebut kesemuanya itu dilakukan dalam rangka menarik nasabah
sebanyak-banyaknya demi kelangsungan usaha perbankan.
Kegiatan operasional suatu bank bertumpu pada ketersediaan sumber dana
dan pengelolaan sumber dana (asset liabilities management). Kesalahan dalam
mengurus pengelolaan dana, pasti akan menimbulkan permasalahan dalam bank.16 Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwasanya nasabah adalah sumber nyawa
dari pada aktivitas perbankan.
Pengaturan-pengaturan atau regulasi yang tegas dan jelas mengenai
rambu-rambu yang akan dijadikan sebagai acuan terkait dengan aktivitas
perbankan ini tentu saja harus terlebih dahulu diciptakan. Regulasi tersebut dapat
dipergunakan sebagai instrumen untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin
muncul dalam setiap aktivitas perbankan . Pengaturan mengenai ketentutan pidana
dalam bidang perbankan diatur lebih lanjut dalam undang-undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).
Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya
sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus
perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang
korupsi, disamping ketentuan pidana dalam Undang-undang Perbankan sendiri.17 Artinya, penanganan korupsi di bidang perbankan ini melibatkan dua domain
hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan
dimana kedua-duanya memiliki sisi yang sama pentingnya.
16
Elwi Danil, Opcit, halaman 6 17
Skripsi ini akan membahas dan menganalisia secara yuridis terkait dengan
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dibidang perbankan dengan
studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN.
Jak. Sel dengan terdakwa mantan direktur PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. yaitu
Edward Cornellis William Neloe dan beberapa stafnya yang terlibat, diantaranya;
I Wayan Pugeg (Mantan Direktur Risk Management PT. Bank Mandiri (Persero)
Tbk., dan M. Soleh Tasripan, SE.,MM (Mantan EVP Coordinator Corporate &
Government PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Para terdakwa divonis bebas oleh
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Putusan Nomor: 2068/Pid.
B/2005/PN. Jak. Sel, tanggal 16 Februari 2006. Kesemuanya itu akan dirangkum
dalam penulisan skripsi ini.
Kasus tindak pidana korupsi pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. yang
didakwakan kepada para terdakwa lahir sebagai konsekuensi atas tindakan para
terdakwa yang dianggap telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan
negara. Para tedakwa selaku pemutus kredit telah menyetujui/ memproses surat
No. 001/CGN/X/2002 perihal permohonan fasilitas kredit PT. Cipta Graha
Nusantara (selanjutnya disebut PT. CGN) sebesar USD. 18.500.000.00 (delapan
belas juta dolar Amerika) dengan pemberian kredit Bridging Loan sejumlah Rp.
160.000.000.000,- (seratu enam puluh milyar) yang tertuang dalam Nota Analisa
Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 perihal
Permohonan fasilitas Bridging Loan yang diajukan saksi Edyson selaku Direktur
Utama PT. CGN.18
18
Para terdakwa tidak memastikan bahwa pemberian kredit terhadap PT.
CGN telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama
serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan. Para terdakwa
selaku pemutus kredit telah menyetujui untuk memberikan kredit Bridging Loan
kepada PT. CGN sejumlah Rp. 160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyar
rupiah) dengan tidak memenuhi norma-norma umum perbankan dan tidak sesuai
dengan asas-asas perkreditan yang sehat sebagaimana diatur dalam artikel 520
Kebijakan Pekreditan Bank Mandiri (KPBM) tahun 2000.19
Fasilitas Bridging Loan dan pembiayaan secara refinancing sebagaimana
hasil Nota Analisa Kredit No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002
perihal permohonan fasilitas Bridging Loan atas nama PT. CGN tidak diatur, baik
oleh ketentuan Bank Indonesia maupun ketentuan PT. Bank Mandiri. Ketentuan
Bridging Loan dan pembiayaan secara refinancing tersebut baru diatur setelah
para terdakwa menyetujui kredit Bridging Loan Rp. 160.000.000.000,- (seratus
enam puluh milyar) kepada PT. CGN, yaitu dalam KPBM tahun 2004 Artikel 620
tentang Produk Perkreditan. Akibat perbuatan para terdakwa menyebabkan
kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 160.000.000.000,- (seratus enam puluh
milyar rupiah).20
Kasus-kasus seperti ini penting untuk disoroti karena sangat meresahkan
masyarakat, dan merugikan negara. Korupsi melemahkan kemampuan negara
untuk menyediakan barang-barang publik yang mendasar bagi kepentingan
umum. Korupsi juga semakin memperburuk citra pemerintah dimata masyarakat
19
Ibid.
20
yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat
terhadap hukum. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut
sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.21 Mengingat tindak pidana korupsi ini dilakukan di bidang perbankan tentu saja akan mempengaruhi sistem
perekonomian nasional dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara.
Disamping itu juga menarik untuk ditelaah berbagai peraturan yang terkait dengan
tindak pidana ini, baik regulasi di bidang perbankan maupun berkaitan dengan
tindak pidana korupsi itu sendiri.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam
bidang perbankan?
2. Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana
korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN.
Jak. Sel?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana
korupsi yang dapat menjerat pelaku tindak pidana di bidang perbankan.
21
2. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam mengaplikasikan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh para pelaku perbankan dengan melihat dan meenganalisa
pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
4. Manfaat Penelitan
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan
tindak pidana korupsi di bidang perbankan sehingga kemungkinan terjadinya
kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat diminimalisasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfat untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya
memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
5. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan Nomor:
2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil
penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum
korupsi ada ditemukan penulis tetapi hanya secara khusus membahas masalah
proses penyidikan tindak pidana korupsi di bidang perbankan yang yang ditulis
oleh Saudara Novan Nadian. Penulisan tersebut mempunyai bahasan
permasalahan yang berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan
perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan. Dengan demikian,
penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.
6. Metode Penelitian
A. Jenis Pendekatan
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum
normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan
tindak pidana korupsi di bidang perbankan dengan menelaah Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068/Pid.B/2005/PN. Jak. Sel. atas nama terpidana
Mantan Direktur bank Mandiri Tbk. dkk.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Penelitin hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang
dianggap pantas.22
Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus
sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi
fokus penelitian.23 B. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder). 24 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.25 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.26
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari;
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
22 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. halaman 118
23
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasakan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metodelogi penelitian hukum normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, halaman 321)
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Opcit,halaman31 26
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun1998;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang bank
Indonesia sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 tahun2004;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara;
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara;
9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara;
11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 Tentang
12.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1985 Tentang Pasar
Modal;
13.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2068/Pid.B/2005/PN.
Jak. Sel Tanggal 16 Februari 2006 dengan Terdakwa E.C.W. Neloe dkk.
14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya;
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;
2. Artikel di jurnal hukum;
3. Komentar-komentar atas putusan pengadilan;
4. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;
5. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada
hubungannya dengan peenelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya;
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi
khususnya di bidang perbankan.
C. Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian
meliputi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.27 Studi kepustakaan yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa
secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana
korupsi di bidang perbankan, termasuk juga bahan-bahan lainnya yang ada
kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
D. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.28 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber.29 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan
metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,
sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase
sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang
diteliti.
27
Ibid,halaman 68 28
Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari pala hubungan antar dimensi-dimensi uraian. (Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, halaman 103)
29
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN
Hukum pidana adalah hukum yang memuat tentang tindak pidana
(criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), hukum
pidana formil (criminal procedure) dan sanksi (sentence).30 Van Hamel mendefinisikan hukum pidana sebagai semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang
dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde)
yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan
suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.31 Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:32
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.
Hukum pidana adalah hukum undang-undang sebagai kesimpulan dari
“sine praeviea lege poenali” yang merupakan bagian dari adagium terkenal dari
30
Abul Khair & Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, USU press, Medan, 2011, halaman 1-2
31
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, halaman 8 32
Von Feurbach, nulum delictum noela poena sine praeviea lege poenali. Adagium
tersebut selanjutnya menjadi dasar asas legalitas hukum pidana, yang
dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.33 Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa:
Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari pada perbuatan itu.
Artinya, seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana
apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam
ketentuan undang-undang sebagai tindak pidana.34 Jawaban normatif yang lazim diberikan oleh hukum pidana berdasarkan asas legalitas adalah bahwa seseorang
hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang
tersebut oleh hakim telah dinyatakan terbukti bersalah telah memenuhi
unsur-unsur dari tindak pidana yang bersangkutan seperti yang telah dirumuskan dalam
undang-undang.35 Hal ini sejalan dengan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya tentu harus tercipta terlebih dahulu regulasi yang melegalkan atau
tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas perbuatan tersebut termasuk
dalam tindak pidana atau bukan.
Jonkers membagi perbuatan pidana dalam arti singkat dan luas. Dalam arti
singkat, perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut undang-undang dapat
dijatuhi pidana. Dalam arti luas, perbuatan pidana adalah perbuatan dengan
33
Komariah Emong Sapradjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, halaman 12-13
34
Tongat, Hukum Pidana Materil, Penerbitan Universitas Muhammadiah Malang, Malang, 2003, halaman 2
35
sengaja atau alpa, yang dilakukan seseorang dengan melawan hukum, yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh orang tersebut.36
Menurut Pompe, perbuatan pidana adalah pelanggaran norma yang
diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk menegakkan aturan
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan pidana adalah suatu
kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan, yaitu melawan hukum,
kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana. Menurut hukum positif,
perbuatan pidana tidak lain dari suatu perbuatan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhi hukuman.37
Simons memberikan arti dari perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan
yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh seseorang yang bersalah, dan orang tersebut dianggap bertanggung
jawab atas perbuatannya “straffbaar feit” omschrijven als eene strafbaar gestede,
onrechmatige, met schuld in verbband staande hendeling van een toerekeningsvat
baar person”.38
Perumusan tentang perbuatan pidana juga dikemukakan oleh Prof.
Moeljatno yang merumuskan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana (barang siapa melanggar larangan tersebut) dan perbuatan
itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak
boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang
36
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, halaman, 20
37
Ibid, halaman, 21 38
dicita-citakan oleh masyarakat itu.39 Berdasarkan definisi tentang perbuatan pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum tersebut diatas terlihat jelas
bahwa istilah “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” meliputi
perbuatan pidana itu sendiri dan juga termasuk pertanggungjawaban pidananya.40 D. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya
Pepatah inggris mengatakan “money is the root of all evil”, artinya uang
adalah akar dari segala kejahatan. Pepatah tersebut sangat sesuai dengan anatomi
kejahatan korupsi, karena bersinggungan atau identik dengan masalah-masalah
ekonomi, jabatan, kekuasaan dan juga politik yang pada akhirnya bermuara ke
materi yang identik dengan uang.41 Tindak pidana korupsi adalah salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan yang saat ini sedang menjadi pusat
perhatian sekaligus menjadi keperihatinan dunia internasional.42
Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah
ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan,
menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan
negara.43 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum merdeka yaitu pada zaman
penjajahan. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya
39
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Patahaem, Jakarta, 1996, halaman 204
40
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, halaman, 22
41
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, graham Ilmu, Jogyakarta, 2010, halaman 67
42 Ibid.
43
tradisi mermberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada
penguasa setempat atau kepada penjajah pada masa itu. 44
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru dimana gejolak
korupsi ini meningkat di negara berkembang, negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Korupsi sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan
sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa.45
Korupsi di Indonesia sudah semakin parah dan akut seperti sebuah
penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke
lembaga-lembaga tinggi negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif hingga
ke BUMN. Begitu banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan, baik itu korupsi dalam jumlah yang sedikit maupun dalam jumlah luar
biasa. Apalagi mengingat diakhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui
dimana-mana, mulai dari pejabat kecil sampai pejabat tinggi.46
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang mulai tidak terkendali akan
membawa bencana, tidak hanya bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei yang dilakukan oleh
Transparency International pada tahun 2011 terhadap 183 negara di dunia
44
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di indonesia- tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/ halaman 1
45
Ibid, halaman 2 46
mengenai Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tersebut
menunjukkan Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding
tahun sebelumnya sebesar 2,8. Hasil survei tersebut berdasarkan penggabungan
hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011.
Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks
menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Indeks tersebut
memposisikan Indonesia di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya yakni
Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,
Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk
kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei
(5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).47 1. Istilah Tindak Pidana Korupsi
Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia memperkenalkan istilah
korupsi pertama kali digunakan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor:
Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum yang mulai akrab
di Indonesia. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada
bagian konsideransnya, yang antara lain menyebutkan, bahwa
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh
khalayak ramai dinamakan korupsi.48
UU PTPK tidak memuat pengertian tentang tindak pidana korupsi. Akan
tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik
formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai
47
http://nasional.kompas.com/ read/ 2011/ 12/ 01/ 17515759/ Indonesia. Peringkat. Ke-100. Indeks. Persepsi. Korupsi. 2011 diakses pada tanggal 5 Februari 2011 pukul 00.27 Wib.
48
unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 Undang-Udang
No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...
Definisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di
suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit
dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik
suatu negara.49
Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya,
Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus
1999 diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.50
Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau
49
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1aAXOjzOd.
50
mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi
yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai
modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum,
yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.51 Pemahaman atas hal tersebut akan sangat mambantu mempermudah segala
tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi, baik dalam bentuk
pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak
hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya
tangkal.
Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang bila
diterjemahkan secara harfiah adalah pembusukan, keburukan, kebejadan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Pendapat lain bahwa dari segi istilah ”korupsi”
yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery”
atau ”seduction”. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang
agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sedengakan seduction
berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.52
Korupsi juga banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang
keuangan. Banyak istilah yang terdapat di berbagai negara menyikapi korupsi
yang menyangkut ketidakjujuran ini diantaranya di Muangthai korupsi dikenal
akrab dengan istilah “gin moung”, “tanwu” di Cina yang berarti keserakahan,
51
Ibid.
52
bernoda. Jepang lebih akrab menyapa korupsi dengan istilah “Oshoku” yang
berarti kerja kotor.53
Meskipun kata-kata corruptio memiliki arti luas, sering diartikan sebagai
penyuapan. Istilah korupsi juga disimpulkan dalam bahasa Indonesia oleh
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “Korupsi adalah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya”.54
Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi
dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.55
Perkembangan pengertian korupsi dapat ditinjau dari beberapa rumusan
yang dikemukakan oleh beberapa pakar, diantaranya:56 1. Rumusan korupsi dari sudut pandang jabatan
a. L. Bayley mengatakan korupsi sebagai perbuatan penyuapan yang
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai
akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan untuk
keuntungan pribadi.
b. J.S. Nye mengemukakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari
kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena
53
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(UU No. 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 8
54
Firman Wijaya, Opcit, halaman 7 55
Rohim, SH, Opcit, halaman 2 56
kepentingan pribadi, demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar
peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi
kepentingan pribadi. Hal ini mencangkup tindakan seperti penyuapan,
nepotisme penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber
penghasilan negara untuk keperluan pribadi.
2. Rumusan korupsi dengan titik tolak pada kepentingan umum
Carl. J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada
apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan
hal tertentu yang seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui
uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh
undang-undang membujuk dengan menolong siapa yang menyediakan hadiah dan
dengan demikian bener-benar membahayakan kepentingan umum.
3. Rumusan korupsi dari sudut pandang politik
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering muncul sebagai
masalah politik daripada ekonomi. Korupsi menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah dimata masyarakat. Korupsi menyangkut segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi pemerintah faktor politik dan
penyelewengan penggunaan jabatan.
Shed Hussein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan
menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya, “corruption is the abuse
of trust in the interest of private gain” yakni penyelahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi.57
Apabila memperhatikan modus operandi dan pelaku dari tindak pidana
korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam
kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Kejahatan jabatan dapat
ditujukan terhadap berbagai kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari
masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu ciri yang
bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua
kejahatan tersebut juga ditujukan terhadap kepentingan hukum dari negara.58 Kejahatan seperti ini bisa dilakukan oleh pejabat atau biriokrat.59 Kejahatan korupsi pada umumnya dilakukan tanpa kekerasan tetapi diikuti dengan
kecurangan, penyesatan, penyembunyian kenyataan, manipulasi , akal-akalan, dan
pengelakan terhadap aturan.60
Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu
corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruption itu
berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Kemudian dari
bahasa latin itulah lalu turun kebanyak bahasa Eropa seperti inggris, yaitu
corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie
57
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081 Opcit.
58 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan
Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
halaman 7 59
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan termasuk dalam lingkup kejahatan jabatan atau ambtsmisderjiven di dalam KUHP adalah kejahatan-kejahatan yang oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam buku ke-II Bab ke-XXVIII KUHP. Kejahatan jabatan yang dimaksudkan tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai seorang ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri. (Ibid, halaman 51)
60
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata
itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi”.61
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara
dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus
dalam UU PTPK.62
Defenisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung
pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste,
korupsi didefenisikan menjadi 4 jenis:63
1. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota
organisasi. Contoh :
Seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang
lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, dari
pada pemohon yang biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang
biasa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan
tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi
61
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 4
62
Firman Wijaya Opcit, halaman 2 63
apabila dalih memberikan uang tambahan itu sebagai “tanda ucapan terima
kasih” dan diserahkan setelah layanan diberikan.
2. Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang berniat mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. Contoh:
Didalam pengaturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang dan
jasa jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi
karena waktunya mendesak maka proses tender itu tidak dimungkinkan.
Untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung
pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Misanya
dengan alasan “force mejeur”. Maka sebenarnya dari sinilah dimulai illegal
corruption, yakni ketika pimpinan proyek mengartikulasikan tentang keadaan
darurat untuk melegalkan tindakannya.
3. Mercenary Corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan
untuk memperoleh keeuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan. Contoh:
Dalam sebuah persaingan tender seorang panitia lelang memiliki kewenangan
untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau
terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus
bersedia memberikan uang sogok atau semir dalam jumlah tertentu. Jika
permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka
perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk dalam kategori mercenary
corruption. Bentuk sogok atau semir itu tidak mutlak berupa uang namun bisa
4. Ideologycal Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh:
Kasus skandal Watergate adalah contoh Ideological Corruption dimana
sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Preesiden Nixon
dari pada dukungan kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset
BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik
tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.
Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagai mana
yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi”.64 Menurut Syed Hussein Alatas, secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan
(briebery), pemerasan, dan nepotisme.65
Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang
di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU
PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal
dari kata Tindak Pidana dan Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal
pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana
korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal
21 sampai dengan 24 UU PTPK.66
64
Firman Wijaya,Opcit, halaman 7 65
Ibid.
66
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut
tentu saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga
sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar
upaya pengulangan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:67 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembeenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain:68
67
Evi Hartanti, Opcit, halaman 10-11 68
1. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK
yang menyebutkan bahwa:69
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
b. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
2. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua
Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan pasal 3 UU PTPK yang
menyebutkan bahwa:70
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
3. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga
Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12,
12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal KUHP yang kemudian
sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi tindak pidana
korupsi sesuai Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dengan menghilangkan
redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal….KUHP” seperti
formulasi dalam ketentuan undang-undang nomor 31 tahun1999. Apabila
69
Ibid, halaman 187-188
70
dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4 pengelompokan,
yaitu:71
a) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209, 210, 418, 419,
dan Pasal 420 KUHP.
b) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415, 416, dan
pasal 417 KUHP.
c) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, extortion), yakni
pasal 423, dan 425 KUHP.
d) Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir dan
rekanan, yakni pasal 387, 388, dan 435 KUHP.
4. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat
Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana atau keterangan terjadinya
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar wilayah Indonesia (Pasal
15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan percobaan/poging sudah
diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi
tinggi sehingga percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik
tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari
tindak pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
71
korupsi meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh
sebagai suatu tindak pidana tersendiri.72 5. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima
Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah bersifat murni tindak pidana
korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK.
Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:73
a) Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi.
b) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau
Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar.
c) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau
Pasal 430 KUHP.
72
Ibid, Halaman 201-202
73
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24 UU PTPK tersebut berturut-turut dari poin (a) sampai (d) adalah sebagai berikut:
a) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
c) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
d) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
d) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
KUHP.
Adami Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa
kriteria/bagian, yaitu:
a) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi;
b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi;
c) Atas dasar sumbernya;
d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;
e) Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian
negara.
1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedaakan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a) Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana koruspi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substanisi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara,
perekonomian negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai
negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang
masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430
KUHP).74
74
b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi
objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentinggan hukum bagi
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini
hanya diatur dalam 3 pasal, yakni pasal 21, 22, dan 24 UU PTPK.75
2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi
dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:76 a) Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk
korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua
orang yang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah
tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasal: 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15,
16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.
b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi
pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilaku