• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN

D. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perskembangan bangsa Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.100

Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik, maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan, baik kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law enforcement)101

Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas dasar 3 alasan utama, yaitu:102

100

Elwi Danil, Opcit, halaman 17 101

Ibid, halaman31.

102

1. Alasan Sosiologis

Krisis kepercayaan dalam setiap segmen kehidupan yang melanda bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi. Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan hukum, mengkakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah menghancurkan perekonomian negara.

Bertolak dari berbagai realitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar dilakukan kebijakan legislatif untuk memperkuat landasan hukum dalam menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi. Esensi pemikiran yang demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu undang-undang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih beesar terhadap keuangan dan perekonomian negara.

2. Alasan praktis

Alasan dan latarbelakang pembentukan suatu undang-undang dapat diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU No. 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan keuangan negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka

mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmursebagai tujuan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru sehingga akan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa mendatang.

3. Alasan politis

Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi (good governance). Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penaggulangan masalah korupsi.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian

Keuangan Negara

Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:

Pasal : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.

Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.

Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapat dalam pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:103

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, dalam pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut:

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

103

3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Penjelasan Pasal 2 UU PTPK

1) Setiap orang

Pengertian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 1 butir 3 UU PTPK, yaitu merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 butir (1) UU PTPK).

2) Secara melawan hukum

Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana. Perbedaan pendapat tersebut telah melahirkan adanya dua pengertian tentang ajaran sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum dalam pengertian formil (formiele wederrechtelijkheid) dan melawan hukum dalam pengertian materil ("materiele wederrechtelijkheid).104

a) Sifat melawan hukum formiil.

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis). Berdasarkan pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah

104

Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru Jakarta, 1987, halaman 7

apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi.105

Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana.106 b) Sifat melawan hukum materil

Pengertian melawan hukum secara materil mengisyaratkan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik,

105

D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39

106

S.R. Sianturi (1983). Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta : Alumni AHM-PTHM, halaman 146

perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.

Sifat melawan hukum materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.107 Bersifat melawan hukum materiil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.108

Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari diri si pelaku.109

107

D. Schaffmeister et.al., op.cit, halaman 41 108

Roeslan Saleh, Opcit, halaman 7. 109

Loebby Loqman (1991). Beberapa Ikwal di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun

Parameter untuk mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam hubungannnya melawan hukum materiil ini perlu diingat bahwa aturan-aturan hukum pidana Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan undang-undang tertulis lainnya. Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.

Sedangkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum secara materil, yaitu walaupun suatu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, namun masyarakat memandangnya sebagai perbuatan tercela sehingga terkategori dalam tindak pidana. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang memuat asas legalitas.

Banyak pakar sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia menerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung jawaban pidana. Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak melawan hukum secara materil. Dengan kata lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini digunakan sebagai alasan pembenar.

Berkaitan dengan sifat melawan hukum materil ini, maka perlu juga dikemukakan pendapat Indriyanto Seno Adji pada saat memberikan keterangan sehubungan kasus dugaan tindak pidana korupsi atas nama Soehardjo (mantan Dirjen Bea dan Cukai) berikut ini.110 Menurut Indriyanto Seno Adji bahwa sebelum memahami secara substansil ajaran "Perbuatan Melawan Hukum Materiel" berdasarkan Fungsi Positif, ada baiknya memahami pengertian perbuatan melawan hukum materiel itu sendiri.

Pengertian atau makna "perbuatan melawan hukum materiel" (materiele wederrechtelijk) dalam Hukum Pidana sebenarnya merupakan adopsi hukum dari makna perluasan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige-daad) dalam bidang Hukum Perdata yang tumbuh dari Cohen - Lindenbaum Arrest tertanggal 31 Januari 1919.111

Perbuatan melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk) itupun memiliki pengertian sebagai setiap perbuatan yang dipandang bertentangan dengan norma atau nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat atau segala perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat. Asas perbuatan melawan hukum materiel inilah yang kemudian diintrodusikan kedalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971, Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan melawan hukum yang mengandung pengertian

110 O.C. Kaligis (2007). Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, halaman 85-87.

111

Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) telah mengabulkan gugatan (perdata) Lindenbaum sehingga perbuatan Cohen yang memberikan sejumlah uang atau hadiah maupun janjinya (kepada karyawan Lindenbaum) dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Pertimbangan akhir dari Hoge Raad tentang pengertian perbuatan melawan adalah sebagai berikut:

"Dengan suatu perbuatan melanggar hukum diartikan setiap perbuatan atau kelalaian yang

menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukurn pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan ada dalam masyarakat".

materiel dan formil dimaksudkan supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dipidana, "yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan", walaupun arah idea konsepsional ini dalam praktek mengalami penyimpangan eksesif dan kontradiksi dengan prinsip keadilan yang objektif.

Makamah Konstitusi RI dalam Putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006112 sehubungan dengan sifat melawan hukum materiil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materiil sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup, perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4) Unsur Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Unsur memperkaya diri sendiri dan seterusnya dapat dilihat pertama sekali dari istilah “memperkaya” sebagai suatu bagian inti (bestanddeel)

112

Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil (materiels wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

merupakan istilah baru dalam hukum pidana Indonesia. \KUHP tidak mengenal istilah itu.

Secara harfiah, "memperkaya" artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan "kaya" artinya "mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya)," demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta." Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.113

Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a) adalah "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU PTPK 1999).

Berdasarkan uraian di atas, maka penafsiran istilah "memperkaya" antara yang harfiah dan yang dari pembuat undang-undang hampir sama karena kedua penafsiran di atas menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau pertambahan kekayaannya, diukur dari penghasilan yang telah diperolehnya.

113

Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “... penghasilannya kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi...” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:114

a) Ketidakmampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan penghasilannya tidak otomatis membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal itu mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara.

b) Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret.

114

c) Uraian di atas hanya berlaku jika penuntut umum tidal dapat membuktikan suatu jumlah uang atau harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntut umum dapat membuktikan sejumlah uang atau harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa. Hal seperti ini terjadi jika yang melakukan perbuatan korupsi ”memperkaya diri” itu seorang swasta seperti Robby Tjahjadi yang dihukum atas dakwaan ”memperkaya diri sendiri” karena memasukkan mobil tanpa membayar bea masuk sebesar Rp 176.000.000,00. Jumlah sebesar ini merupakan kekayaan yang diperoleh dan sekaligus merupakan kerugian negara secara langsung.

5) Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pada penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun di daerah;

b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.115