• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Strategis Infrastruktur dan Tata Ruang

ANALISIS PERMASALAHAN DAN ISU STRATEGIS

4.2 Isu Strategis Pembangunan Kota Yogyakarta

4.2.1 Isu Strategis Infrastruktur dan Tata Ruang

Isu strategis infrastruktur dan tata ruang adalah pembangunan kampung, millenium development goals, standart pelayanan minimal, reformasi birokrasi, ruang terbuka hijau, cagar budaya, pusat pelayanan baru, bencana, permukiman tidak layak huni dan pengadaan air bersih.

1. Pembangunan Kampung

Pembangunan kampung dilaksanakan dengan mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan pembangunan di tiap-tiap wilayah (kampung) dan didukung partisipasi seluruh warga kampung dengan menerapkan konsep pembangunan SEGORO AMARTO (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarto).

Pembangunan dengan menggunakan wilayah kampung sebagai satuan wilayah pengembangan memiliki keuntungan tersendiri bagi Kota Yogyakarta. Hal ini disebabkan masyarakat dalam suatu kampung yang merupakan obyek sekaligus subyek pembangunan memiliki ikatan batin yang lebih tinggi sehingga prinsip gotong royong pun dapat dapat digunakan dalam pelaksanaan pembangunan.

Pembangunan berbasis kampung harus didasari oleh prinsip gotong royong., hal ini selaras dengan dikembangkannya konsep pembangunan SEGORO AMARTO. SEGORO AMARTO pada dasarnya merupakan gerakan bersama seluruh masyarakat untuk pembangunan, khususnya penanggulangan kemiskinan dengan menekankan pada penguatan nilai-nilai budaya masyarakat yang tercermin pada sikap, perilaku, gaya hidup, dan wujud kebersamaan dalam kehidupan yang mencakup aspek fisik maupun non fisik.

2. Millenium Delopment Goals (MDGs)

Millennium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional yang memuat delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai setiap negara anggota PBB pada tahun 2015.

Kedepatan tujuan tersebut merupakan tantangan-tantangan utama yang bersifat krusial dalam pembangunan di seluruh dunia yang terdiri dari :

a) Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat b) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang

c) Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan d) Menurunkan kematian anak

e) Meningkatkan kesehatan maternal

f) Melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa)

g) Menjamin keberlangsungan lingkungan

h) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Pencapaian tujuan-tujuan MDGs ini menjadi isu strategis dalam berbagai bidang pembangunan saat ini terutama dalam bidang perencanaan kota termasuk di Kota Yogyakarta. Perencanaan kota yang dilakukan dengan berorientasi pada pencapaian kedelapan tujuan MDGs akan menyebabkan kualitas sumberdaya manusia perkotaan menjadi meningkat dan pada akhirnya dapat membawa multiplier effect berupa kemajuan dalam berbagai bidang.

3. Standart Pelayanan Minimal (SPM)

Memperhatikan pada pemenuhan standar pelayanan minimal sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Standar pelayanan minimal bidang penyediaan infrastruktur meliputi sumberdaya air, jalan, air minum, penyehatan lingkungan permukiman (sanitasi lingkungan dan persampahan), penanganan permukiman kumuh perkotaan, penataan bangunan dan lingkungan dan jasa konstruksi.

Sementara itu, standar pelayanan minimal bidang penataan ruang meliputi hal-hal sebagai berikut :

a) Informasi Penataan Ruang

Tersedianya informasi mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya melalui peta analog dan peta digital.

b) Pelibatan Peran Masyarakat dalam Proses Penyusunan RTR

Terlaksananya penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum konsultasi publik yang memenuhi syarat inklusif dalam proses penyusunan RTR dan program pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang.

c) Izin Pemanfaatan Ruang

Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan izin pemanfaatan ruang sesuai dengan Peraturan Daerah tentang RTR wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya.

d) Pelayanan Pengaduan Pelanggaran Tata Ruang

Terlaksanakannya tindakan awal terhadap pengaduan masyarakat tentang pelanggaran di bidang penataan ruang dalam waktu 5 (lima) hari kerja.

e) Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik

Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan.

4. Reformasi Birokrasi

Didukung oleh institusi penunjang yang mengakomodasi reformasi birokrasi yaitu pembaharuan penyelenggaraan sistem pemerintahan.

Penyempurnaan kebijakan di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing SKPD, manajemen pemerintahan dan manajemen SDM aparatur yang efektif, serta sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing SKPD akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.

Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat, kualitas pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik meningkat, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil-hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat. Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kondisi ini akan menjadi profil birokrasi yang diharapkan.

Kondisi tersebut di atas akan dicapai melalui berbagai upaya, antara lain dengan penerapan program quick wins, yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum awal yang positif dan meningkatkan kepercayaan

instansi untuk melakukan sesuatu perubahan yang berat. Penyelesaian sesuatu yang berat merupakan inti dari suatu program besar. Quick wins dilakukan di awal dan dapat berupa quick wins untuk penataan organisasi, tata laksana, peraturan perundangundangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan penataan budaya kerja aparatur.

5. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Luasan Ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta pada tahun 2011 telah mencapai 32,46% dengan luas taman sebesar 63.305m2, dimana 17,96% merupakan RTH publik dan 14,59% RTH privat (BLH Kota Yogyakarta, 2011). Meskipun sudah melebihi 30% seperti yang diamanatkan dala undang-undang tetapi untuk RTH publik belum mencapai target. Dalam undang-undang disebutkan bahwa untuk RTH publik harus mencapai 20%. Sedangkan untuk RTH privat melebihi target.

6. Cagar Budaya

Penetapan cagar budaya sebagai citra kota. Dengan demikian diharapkan terdapat penataan dan pengelolaan cagar budaya sehingga dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya pada cagar budaya. Dengan adanya penataan dan pengelolaan cagar budaya diharapkan kegiatan pariwisata dapat berkembang dan dapat menarik banyak wisatawan baik lokal maupun internasionam.

7. Pusat-pusat pelayanan baru

Kawasan pariwisata yang paling terkenal di Kota Yogyakarta adalah kawasan Malioboro. Pada saat musim liburan kawasan ini dipadati oleh wisatawan lokal maupun internasional. Padatnya kawasan ini, menjadikan pemerintah kota harus mencari pusat-pusat baru sehingga tidak menyebabkan kepadatan di kawasan Malioboro. Pengembangan pusat-pusat baru salah satunya adalah XT Square. Pusat perdagangan baru ini diharapkan mampu menarik banyak wisatawan sehingga tidak hanya terpusat pada kawasan Malioboro.

8. Transportasi

Jumlah kendaraan yang terus meningkat di kota Yogyakarta tidak diikuti dengan peningkatan jalan yang signifikan. Kondisi ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan lalu lintas seperti kemacetan dan keserawutan lalu lintas yang lainnya. Oleh karena itu harus ada upaya untuk pengurangan kendaraan bermotor, memaksimalkan penggunaan angkutan umum serta penggunaan sepeda.

Kebijakan pengurangan kendaraan bermotor misalnya kebijakan parkir biaya parkir yang mahal, menekan penyediaan lahan parkir kecuali untuk kegiatan pariwisata dan pembatasan tahun kendaraan. Kebijakan untuk memaksimalkan angkutan umum antara lain perbaikan layanan angkutan umum, meningkatkan kualitas dan kuantitas angkutan umum, menurunkan tarif angkutan umum dan menyediakan angkutan wisata disekitar Kraton. Kebijakan untuk penggunaan sepeda seperti Program segosegawe. Program ini harus didukung dengan sarana dan prasarananya seperti jalur sepeda yang terpisah dengan jalan raya.

9. Mitigasi Bencana

Terjadinya bencana Merapi pada akhir tahun 2010 menyebabkan Kota Yogyakarta tidak terlepas dari bencana. Bencana yang mengancam pasca erupsi Gunung Merapi adalah ancaman lahar dingin. Kota Yogyakarta dilalui 3 sungai. Salah satunya adalah Sungai Code. Sungai ini merupakan terusan dari Sungai Boyong yang berhulu pada Gunung Merapi, sehingga ancaman terjadinya banjir lahar dingin mengancam masyarakat yang bertempat tinggal dan beraktivitas disepanjang Sungai Code. Terdapat 16 kelurahan yang berada pada sepanjang Sungai Code. Oleh karena itu diperlukan jalur-jalur evakuasi di Kota Yogyakarta jika terjadi bencana lahar dingin. Selain jalur evakuasi juga dibutuhkan titik kumpul warga pasca evakuasi.

Bencana kebakaran meningkat dari tahun-ketahun di Kota Yogyakarta baik dipermukiman padat warga maupu pada perkantoran/hotel. Untuk di permukiman warga sebaiknya tersedia hidrant kering yang dapat digunakan sewaktu-waktu.

Sedangkan pada perkantoran/hotel-hotel diwajibkan untuk memiliki alat pencegah kebakaran dan sebaiknya secara rutin terdapat pengecekan alat-alat kebakaran sehingga tidak kadaluarsa. Selain itu sebaiknya juga ada simulasi bencana sehingga jika terjadi kebakaran warga sudah siap dan tidak menimbulkan banyak korban.

10. Permukiman tidak layak huni

Persentase permukiman kumuh di Kota Yogyakarta menurun dari tahun 2007 hingga 2010. Pada tahun 2007 persentase rumah tidak layak huni sebesar 5%.

Sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 4,4% (Kimpraswil Kota Yogyakarta, 2010). Hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi sanitasi, drainase, jalan kampung, pengolahan limbah, pertamanan untuk mewujudkan rumah layak huni dan lingkungannya.

11. Pengadaaan air bersih

Pengadaan air bersih di Kota Yogyakarta dibedakan menjadi air bersih sistem perpipaan dan non perpipaan. Masyarakat Kota Yogyakarta lebih banyak berakses air bersih non perpipaan, pada tahun 2010 mencapai 99,7% sedangkan untuk yang berakses non perpipaan sebesar 51,4%.