• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.7 Metode Analisis Data

Uji statistik digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor risiko (variabel independen) dengan variabel dependen. Analisis univariat untuk mengetahui gambaran deskriptif tentang faktor internal (umur, pendidikan, paritas, jarak

kelahiran, riwayat penyakit) dan eksternal ibu (akses terhadap pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami) dengan menampilkannya dalam tabel frekuensi.

Analisis bivariat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh faktor internal (umur ibu, pendidikan ibu, paritas ibu, jarak kelahiran, riwayat penyakit ibu) dan faktor eksternal (akses terhadap pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami) dengan kejadian BBLR menggunakan uji McNemar.

Analisis multivariat dilakukan untuk melihat pengaruh antara faktor eksternal dan internal secara bersama-sama dengan kejadian BBLR menggunakan uji conditional logistic regression. Rumus regresi logistik adalah seperti di bawah ini :

1

P = --- 1 + e-(a+b1x1+b2x2+b3x3) P = peluang terjadinya efek x1

b

= variabel prediktor dan perancu

1

a = konstanta

= koefisien regresi

e = bilangan natural (2,718)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografis

RSUD Langsa terletak di Jalan Ahmad Yani No. 1 Kota Langsa.

- Sebelah Utara berbatasan dengan jalan A. Yani - Sebelah Selatan berbatasan dengan perumahan dokter - Sebelah Barat berbatasan dengan Jl. Panglima Polem - Sebelah Timur berbatasan dengan Jl. Cot Kalla

4.1.2 Sejarah Singkat RSUD Langsa

Rumah Sakit Umum Daerah Langsa didirikan pada tahun 1915 oleh pemerintah kolonial Belanda di atas areal tanah seluas 35.800 m2

Filosofi :

, merupakan rumah sakit rujukan atau mata rantai referal system dengan klasifikasi RS Type C (SK. Men. Kes.

No.51/Men.Kes/SK/II/1979) tanggal 22 Januari 1979, dengan status kepemilikan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur. Di dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, Rumah Sakit Umum Daerah Langsa mempunyai filosofi dan motto, yaitu :

1. Pasien adalah orang yang penting dalam pekerjaan kami.

2. Kesembuhan dan kepuasan pasien adalah kebanggaan kami.

Motto : SERAMBI : Senyum, Effisien, Ramah, Aman, Mudah, Bermutu, Islami.

Rumah Sakit Umum Daerah Langsa pada tahun 1997 sudah menjadi RS Kelas B Non Kependidikan dan pada tahun anggaran 1998/1999 sudah terakreditasi penuh sesuai dengan ketentuan surat keputusan Menteri Kesehatan Nomor : YM 00.03.3.5.1132 tanggal 12 Maret 1999.

4.1.3 Distribusi Tenaga Kesehatan pada RSUD Langsa

RSUD Langsa merupakan rumah sakit tipe B yang memiliki 7 (tujuh) poli spesialis. Adapun jumlah pegawai di RSUD Langsa sebahagian besar terdiri dari perawat/bidan yaitu sebanyak 67,7% sesuai dengan tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Jumlah Tenaga Kesehatan Berdasarkan Jenjang Fungsional

Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah %

Sumber : Laporan bagian kepegawaian RSUD Langsa tahun 2009 Tabel 4.2 Jumlah Tenaga Berdasarkan Jenjang Pendidikan

Jenjang Pendidikan Jumlah %

Di Bawah D3

Sumber : Laporan bagian kepegawaian RSUD Langsa tahun 2009

4.2 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran deskriptif tentang faktor internal (umur, pendidikan, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit) dan eksternal ibu (akses terhadap pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami).

Tabel 4.3 Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan, Umur, Paritas, Jarak Kelahiran, Riwayat Penyakit, Akses, ANC, dan Dukungan Suami

Variabel

Kasus Kontrol

n % n %

Faktor Internal Umur

Risiko tinggi (< 20 dan > 35 tahun) Risiko rendah (20 – 35 tahun) Jumlah Tidak memiliki riwayat penyakit Jumlah

Berkenaan dengan variabel umur pada faktor internal penyebab BBLR (Tabel 4.3), mayoritas sampel pada kelompok kasus dan kontrol merupakan ibu dengan risiko rendah untuk melahirkan BBLR (umur 20-35 tahun) yaitu 76,7% dan 83,3%.

Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Kota Langsa dan sekitarnya telah memahami bahwa usia yang baik untuk melahirkan adalah antara 20 – 35 tahun, tanpa memandang status ekonomi.

Usia ideal bagi perempuan untuk menikah adalah usia 20 tahun hingga 35 tahun. Secara fisik dan mental, usia tersebut merupakan usia yang paling baik untuk hamil dan melahirkan karena sesuai siklus perkembangan tubuh, dan kematangan alat-alat reproduksi berada dalam kurun waktu tersebut. Usia di bawah 20 tahun maupun usia di atas 35 tahun merupakan usia yang berisiko bagi hamil dan melahirkan. Kehamilan kurang dari 20 tahun memberi risiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada ibu berusia 20-35 tahun (Depkes RI, 2001, seperti dikutip dari Yustina, 2007)

Tingkat pendidikan ibu pada penelitian ini kebanyakan berpendidikan rendah dimana pada kelompok kasus sebanyak 70,0% dan pada kelompok kontrol 60,0%.

Adanya konflik pada waktu lalu di Provinsi Aceh menyebabkan anak-anak pada masa itu lebih memilih tidak melanjutkan pendidikan demi keamanan.

Pendidikan, seperti halnya pekerjaan, merupakan ukuran yang sama berharganya dengan status sosial ekonomi. Mereka yang mendapatkan pelatihan, keterampilan, dan pendidikan akan memperoleh pendapatan per tahun yang lebih banyak daripada mereka yang tanpa pelatihan atau keterampilan. Mereka yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebi berorientasi pada tindakan preventif, tahu lebih banyak tentang masalah kesehatan, dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semaking rendah angka kematian bayi dan kematian ibu. (Timmreck, 2005)

Berkenaan dengan paritas, mayoritas ibu memiliki paritas rendah yaitu 65,6%

untuk kelompok kasus dan 70,0% kelompok kontrol. Rendahnya tingkat paritas menunjukkan bahwa program Keluarga Berencana telah berhasil dilaksanakan di Kota Langsa dan sekitarnya. Saat ini, memiliki anak lebih dari tiga dianggap sudah banyak, walaupun tidak ada batasan bagi masyarakat untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya. Faktor ekonomi, usia perkawinan yang semakin tinggi serta kemampuan untuk mengurus anak menjadi penyebab rendahnya angka paritas.

Dalam hal jarak kelahiran, pada kasus dan kontrol terbanyak adalah jarak kelahiran rendah yaitu 80,0% untuk kasus dan 84,4% untuk kontrol. Pada kehamilan yang direncanakan ataupun tidak, interval usia kehamilan dapat menentukan kesehatan ibu dan anak. Risiko bayi lahir dengan berat badan rendah, prematur dan ukuran badan yang kecil akan lebih tinggi jika jaraknya sangat dekat yaitu antara 1 – 3 bulan. Jarak yang yang terlalu pendek akan membuat ibu tidak memiliki waktu untuk pemulihan, kerusakan sistem reproduksi atau masalah postpartum lainnya.

Ketika memutuskan untuk hamil kembali, seorang ibu harus menyiapkan stamina fisik secara keseluruhan. Hanya seorang ibu yang mengetahui apakah tubuhnya cukup baik dan kuat untuk merawat dua anak pada saat yang sama. Jika jarak keduanya terlalu dekat akan membuat ibu merasa seperti memiliki anak kembar,

tetapi jika ada jarak misalnya 3 tahun, akan memberikan kesempatan bagi ibu untuk bernafas sejenak

Berkaitan dengan penyakit infeksi/kronis, pada kelompok kasus terbanyak tidak memiliki penyakit infeksi/kronis yaitu 78,9% dan pada kelompok kontrol terbanyak tidak memiliki riwayat penyakit infeksi/kronis yaitu 97,8%. Ibu yang menderita penyakit infeksi/kronis, biasanya akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Bila si ibu sakit TB paru misalnya, maka bayi yang dikandungnya akan mengalami gangguan terutama pada tumbuh kembangnya. Oleh sebab itu, pada ibu hamil dengan riwayat penyakit infeksi/kronis harus ditangani lebih maksimal untuk menghindari terjadinya gangguan pada pertumbuhan bayi

Akses ke tempat pelayanan kesehatan untuk kelompok kasus 61,1%

menyatakan sulit, sedangkan untuk kelompok kontrol sebahagian besar menyatakan mudah yaitu sebanyak 84,4%. Tempat pelayanan yang tidak strategis atau sulit dicapai menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, demikian juga dengan jenis dan kualitas pelayanan yang kurang memadai menyebabkan rendahnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan berkualitas.

(Yustina, 2007).

Kunjungan ANC kelompok kasus terbanyak tidak sesuai dengan standar sebanyak 63,3%, pada kelompok kontrol 87,8% sesuai dengan standar. Pelayanan ANC merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan, dan perawat) kepada ibu hamil selama masa kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada

dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan ANC dapat dilihat dari cakupan pelayanan K1 dan K4.

Cakupan K1 atau juga disebut akses pelayanan ibu hamil merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama kali ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan ANC. Sedangkan K4 adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar serta paling sedikit empat kali kunjungan, dengan distribusi sekali pada trimester pertama, sekali pada trimester dua dan dua kali pada trimester ketiga.

(Depkes RI, 2004).

Ibu hamil yang melakukan ANC sesuai standar akan mudah dipantau perkembangan kesehatannya, baik kesehatan si ibu maupun kesehatan bayi. Dengan melakukan ANC, ibu yang terindikasi memiliki bayi BBLR dapat langsung terdeteksi sehingga bisa dilakukan upaya penanganan secara dini untuk mencegah kejadian tersebut.

Suami sebagai kepala keluarga memiliki peran penting dalam mendukungan kesehatan ibu dan bayi yang dikandung. Pada penelitian ini ditemukan 60,0% suami pada kelompok kasus tidak mendukung isteri dalam menghadapi persalinan, begitu juga dalam kelompok kontrol sebahagian besar sebanyak 65,5% suami tidak memberikan dukungan kepada isteri sewaktu melahirkan.

Masih adanya budaya patriarki di kalangan masyarakat, menyebabkan laki-laki merasa kurang perlu mengurusi masalah kehamilan dan persalinan isteri. Sebagai

kepala keluarga, laki-laki cukup menyediakan biaya untuk berobat dan melahirkan, tanpa memperhatikan perkembangan ibu dan bayi.

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan faktor internal (umur ibu, pendidikan ibu, paritas ibu, jarak kelahiran, riwayat penyakit ibu) dan faktor eksternal (akses terhadap pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami) dengan kejadian BBLR.

Analisis ini dikatakan bermakna bila hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (signifikan) secara statistik antara variabel, yaitu dengan nilai p < 0,05.

Tabel 4.4 Hasil Analisis Bivariat Faktor Internal dan Eksternal yang Berhubungan dengan BBLR

Variabel Kasus Kontrol OR (95% CI) Nilai-p χ2 Faktor Internal BBLR

Umur

Risiko tinggi (<20 dan > 35 thn) Risiko rendah (20-35 Thn) Pendidikan Tidak memiliki riwayat penyakit Faktor eksternal BBLR

Tabel 4.4 Lanjutan

4.3.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kejadian BBLR

Analisis bivariat yang dilihat pada faktor internal adalah hubungan umur, pendidikan, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit dengan kejadian BBLR.

a. Hubungan Umur dengan Kejadian BBLR

Berdasarkan perhitungan analisis bivariat untuk variabel umur didapatkan hasil p = 0,3268, artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian BBLR dengan OR = 1,65 (95% CI 0,68-3,94), artinya umur bukan merupakan faktor risiko terjadinya BBLR.

b. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian BBLR

Hasil perhitungan dengan menggunakan komputer menunjukkan untuk variabel pendidikan didapatkan hasil p = 0,1237, artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan BBLR dengan OR = 2,00 (95% CI 0,85-5,05), artinya pendidikan merupakan faktor risiko terjadinya BBLR tetapi hubungannya tidak bermakna secara statistik.

c. Hubungan Paritas dengan Kejadian BBLR

Hasil analisis dengan menggunakan program Epi Info diketahui bahwa variabel paritas didapatkan hasil p = 0,3268, artinya tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR dengan OR = 0,73, (95% CI 0,30-1,71), paritas bukan merupakan faktor risiko terjadinya BBLR.

d. Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian BBLR

Jarak kelahiran tidak memiliki hubungan dengan kejadian BBLR, dapat dilihat dari hasil analisis menggunakan komputer dimana p = 0,6171, dengan OR = 1,25 (95% CI 0,61-2,58), artinya jarak kelahiran bukan merupakan faktor penyebab terjadinya BBLR.

e. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi/Kronis dengan Kejadian BBLR

Riwayat penyakit infeksi/kronis ternyata memiliki hubungan dengan kejadian BBLR. Berdasarkan hasil analisis menggunakan komputer didapatkan hasil p = 0,0002, dengan OR = 18,00 (95% CI 2,84-749,96), artinya riwayat penyakit infeksi/kronis merupakan faktor penyebab terjadinya BBLR. Ibu yang memiliki riwayat penyakit infeksi/kronis kemungkinan akan melahirkan bayi dengan BBLR 18 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki penyakit infeksi/kronis.

4.3.2 Hubungan Faktor Eksternal dengan Kejadian BBLR

Analisis bivariat yang dilihat pada faktor eksternal adalah hubungan akses terhadap tempat pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami dengan kejadian BBLR.

a. Hubungan Akses dengan Kejadian BBLR

Adanya hubungan akses dengan kejadian BBLR dapat dilihat dari hasil analisis komputer dengan p = 0,0001, OR = 11,25 (95% CI 4,10-43,07), artinya akses merupakan faktor penyebab terjadinya BBLR. Ibu dengan akses sulit kemungkinan akan melahirkan bayi dengan BBLR 11,25 kali bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki akses mudah menuju fasilitas kesehatan.

b. Hubungan ANC dengan Kejadian BBLR

Pada hasil analisis komputer untuk variabel ANC didapatkan hasil p = 0,0001, artinya ada hubungan antara ANC dengan kejadian BBLR dengan OR = 12,50 (95%

CI 4,59-47,66)), artinya ANC merupakan faktor penyebab terjadinya BBLR. Risiko BBLR 12,5 kali lebih tinggi pada ibu dengan ANC yang tidak sesuai standar dibandingkan dengan ibu yang melakukan ANC sesuai standar. Pada interval kepercayaan (CI) 95%, nilai OR yang dihitung (12,50) masih berada pada rentang nilai atas dan bawah, maka estimasi yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara faktor ANC dengan BBLR secara statistik signifikan.

c. Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian BBLR

Dukungan suami tidak berhubungan dengan kejadian BBLR. Berdasarkan analisis menggunakan program Epi Info didapatkan hasil p = 0,3487, dengan OR = 0,78 (95% CI 0,39-1,51), artinya dukungan suami bukan merupakan faktor penyebab terjadinya BBLR.

4.4 Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel independen yang paling berpengaruh (baik faktor internal maupun eksternal) terhadap kejadian BBLR.

Dalam analisis ini semua variabel dengan kriteria p < 0,25 dimasukkan secara bersama-sama dalam analisis multivariat.

4.4.1 Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa ada empat variabel yang p value < 0,25 yaitu pendidikan, riwayat penyakit, akses dan ANC. Variabel ini dapat dimasukkan sebagai kandidat yang akan di uji pada uji multivariat.

4.4.2 Penentuan Variabel yang Paling Berpengaruh

Tabel 4.7 Hasil Analisis Multivariat Conditional Logistic Regression Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap kejadian BBLR

Variabel β Nilai-p OR 95% CI Final -2*Log-Likelihood: 57,5982, p = 0,0000

Hasil analisis multivariat terhadap 4 variabel yaitu pendidikan, akses, ANC dan riwayat penyakit menunjukkan hanya variabel riwayat penyakit yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian BBLR. Hal ini dapat dilihat dari nilai p =

0,0212, dengan OR = 11,31 (95% CI 1,44-88,99) dan koefisien β = 2,43. Artinya bayi yang mengalami BBLR berisiko memiliki ibu yang memiliki penyakit infeksi/kronis 11,31 kali dibandingkan dengan bayi yang tidak BBLR. Artinya risiko BBLR pada ibu yang memiliki penyakit infeksi/kronis 11,31 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki penyakit infeksi/kronis.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kejadian BBLR 5.1.1 Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian BBLR

Berdasarkan analisis bivariat untuk variabel umur didapatkan hasil p = 0,3268, artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian BBLR dengan nilai OR = 1,65 (95% CI 0,68-3,94), artinya umur belum tentu merupakan faktor risiko terjadinya BBLR.

Hasil penelitian Rizvi dan kawan-kawan (2007) mengatakan bahwa umur ibu tidak memiliki hubungan dengan kejadian BBLR. Beberapa penelitian memiliki hasil berbeda yaitu penelitian kohor prospektif yang dilakukan Hirve dan Ganatra (1994) menyatakan ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian BBLR dengan nilai OR : 1,27 ( 95% CI ; 1,07-1,5).

Menurut Mutiara (2006) ibu hamil berusia > 35 tahun berisiko melahirkan BBLR 1,8 kali lebih besar daripada ibu hamil berusia 20 – 34 tahun. Pengaruh tersebut terlihat mengikuti fenomena huruf U terbalik yang berarti bahwa pada umur muda (<20 tahun) dan tua (> 35 tahun) berat bayi yang dilahirkan cenderung lebih dari pada umur 21 – 35 tahun.

Ibu hamil yang terlalu muda atau terlalu tua biasanya akan banyak mengalami komplikasi dalam kehamilan. Begitu juga dengan kondisi bayi yang dikandungnya. Ukuran umur muda adalah bila ibu mengandung pada usia kurang

dari 20 tahun dan tua apabila di atas 35 tahun. Behnnan (1985) menyatakan bahwa usia yang paling baik bagi seorang ibu hamil agar tidak melahirkan bayi premature adalah antara 20 s/d 30 tahun.

Beberapa alasan berat badan lahir rendah berkolerasi dengan usia ibu adalah dilihat dari persentase tertinggi bayi dengan berat badan lahir rendah terdapat pada kelompok remaja dan wanita berusia lebih dari 40 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Kelahiran bayi BBLR lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja seringkali melahirkan bayi dengan berat lebih rendah. Hal ini terjadi karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa.

Pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi janin intra uterin dan dapat menyebabkan kelahiran BBLR. Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi kelahiran BBLR tampak meningkat pada wanita yang berusia di luar usia 20 sampai 35 tahun

Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa umur tidak berhubungan dengan kejadian BBLR. Hal ini karena umur ibu baik pada kasus maupun pada kontrol dalam penelitian ini memiliki range yang hampir sama yaitu sebahagian besar berumur 20 – 35 tahun (76,7% pada kasus dan 83,3% pada kontrol). Kondisi ini juga menunjukkan bahwa program pemerintah tentang usia kehamilan telah

berhasil. Rata-rata usia kehamilan sudah di atas 20 tahun dan di bawah 35 tahun.

Tidak terkecuali untuk masyarakat dengan ekonomi rendah (pemilik kartu jamkesmas).

5.1.2 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian BBLR

Berdasarkan perhitungan analisis bivariat untuk variabel pendidikan didapatkan hasil p = 0,1237, artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan BBLR dimana OR = 2,00 (95% CI 0,85-5,05), artinya pendidikan belum tentu merupakan faktor risiko terjadinya BBLR.

Hasil penelitian Badshah dkk (2008) tentang faktor risiko BBLR di rumah sakit umum Peshawar ternyata berbeda dimana pada penelitian tersebut menyebutkan pendidikan ibu mempengaruhi kejadian BBLR dengan OR = 2,1 (95% CI ; 1,21 - 3,64).

Kramer M.S. dan kawan-kawan (2001) mengatakan bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR. Seorang ibu atau seorang ayah yang memiliki pendidikan tinggi tentunya akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan ibu atau ayah yang memiliki pendidikan rendah.

Khatun S. dan Rahman M. (2008) melakukan penelitian tentang faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya BBLR di Bangladesh dengan pendekatan multivariat menggunakan studi kasus kontrol. Hasil penelitian mereka didapatkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi BBLR diantaranya adalah pendidikan ibu OR = 21,8 (95% CI 0,09- 0,86).

Hasil penelitian Setyowati terhadap hasil SDKI tahun 1994 dengan metode kasus kontrol menyebutkan pendidikan ibu berpengaruh terhadap kejadian BBLR dimana ibu dengan pendidikan SD ke bawah/tidak sekolah berisiko melahirkan bayi BBLR 1,18 kali dibandingkan ibu dengan pendidikan SD ke atas.

Rizvi dkk (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian BBLR dimana OR = 1,63 (95% CI 1,10-2,40).

Pendidikan sesungguhnya memiliki peranan penting terhadap kejadian BBLR.

Menurut Megawangi (1999) seperti dikutip Yustina (2007), mengatakan bahwa banyak studi membuktikan kaitan positif antara pendidikan perempuan dan tingkat produktivitasnya, rasa percaya diri, rendahnya angka kematian bayi, perbaikan status gizi balita dan lain-lain. Pada penelitian ini pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian BBLR. Faktor penyebabnya kemungkinan karena status pendidikan ibu yang melahirkan dengan BBLR memiliki proporsi yang hampir sama dengan ibu yang melahirkan tidak BBLR yaitu 71,10 % dan 60 %.

Dari jumlah tersebut sebagian besar adalah ibu dengan ekonomi rendah.

5.1.6 Hubungan Paritas dengan Kejadian BBLR

Berdasarkan perhitungan analisis bivariat untuk variabel paritas didapatkan hasil p = 0,3268, artinya tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR dengan OR = 0,73, (95% CI 0,30-1,71), paritas bukan merupakan faktor risiko terjadinya BBLR tetapi merupakan faktor pencegah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Turhayati (2004) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR.

Penelitian Canosa (1998) menunjukkan hasil yang berbeda dengan mengatakan bahwa kehamilan pertama dan keempat atau lebih dari empat merupakan kelompok risiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR.

Hirve dan Ganatra (1994) menyatakan bahwa ibu yang melahirkan untuk pertama kali berisiko melahirkan bayi premature 1,32 kali dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak ke 2 dan ke 3 OR = 1,32 (95% CI 1,10-1,59)

Hasil penelitian Zaenab dan Juharno (2006) menunjukkan bahwa paritas berpengaruh terhadap kejadian BBLR dan merupakan faktor risiko penyebab kejadian BBLR pada bayi. Hasil pengujian statistik dengan chi-square diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,44 sehingga dapat dikatakan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu dengan paritas > 3 anak berisiko 2,4 kali terhadap melahirkan bayi dengan BBLR.

Paritas ibu anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah.

Pada penelitian ini paritas tidak berhubungan dengan BBLR kemungkinan karena sebahagian besar responden baik yang melahirkan dengan BBLR maupun yang melahirkan tidak dengan BBLR memiliki anak < 2 dan merupakan anak pertama. Ada juga ibu yang melahirkan > 2 anak tetapi jumlah sedikit yaitu 34,4 % untuk kasus dan 30,0% untuk kontrol.

5.1.7 Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian BBLR

Berdasarkan perhitungan analisis bivariat untuk variabel jarak kelahiran didapatkan hasil p = 0,6171, artinya tidak ada hubungan antara jarak kelahiran dengan BBLR dengan OR = 1,25 (95% CI 0,61-2,58), artinya jarak kelahiran belum tentu merupakan faktor risiko terjadinya BBLR. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Turhayati (2004) yang menyatakan bahwa jarak kelahiran tidak memiliki hubungan dengan kejadian BBLR.

Penelitian lain menunjukkan hasil berbeda yaitu Hirve dan Ganatra (1994) menyebutkan bahwa ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 6 bulan berisiko melahirkan bayi dengan BBLR 1,48 kali bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak kehamilan lebih dari 6 bulan (RR : 1,48 ( 95% CI 1,20-1,90).

Saraswati (2006), menyatakan bahwa jarak kelahiran < 2 tahun memiliki risiko melahirkan BBLR 3,17 kali lebih besar daripada jarak kelahiran > 2 tahun.

Hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Pusat Perinatologi dan Perkembangan Manusia Amerika Selatan pada tahun 2002 menyatakan bahwa memperpanjang jarak kelahiran dapat meningkatkan kesehatan para ibu. Temuan-temuan yang dihasilkan antara lain dibandingkan dengan para wanita yang melahirkan dengan jarak kelahiran antara 9-14 bulan setelah kelahiran anak sebelumnya, maka para wanita yang Ridwan (2006) mengatakan bahwa jarak kehamilan memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian BBLR, dimana ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun memiliki

Hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Pusat Perinatologi dan Perkembangan Manusia Amerika Selatan pada tahun 2002 menyatakan bahwa memperpanjang jarak kelahiran dapat meningkatkan kesehatan para ibu. Temuan-temuan yang dihasilkan antara lain dibandingkan dengan para wanita yang melahirkan dengan jarak kelahiran antara 9-14 bulan setelah kelahiran anak sebelumnya, maka para wanita yang Ridwan (2006) mengatakan bahwa jarak kehamilan memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian BBLR, dimana ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun memiliki

Dokumen terkait