• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan bagi RSUD Langsa dalam perencanaan penanggulangan BBLR.

2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa dalam perencanaan penanggulangan BBLR.

3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian BBLR

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan umur kehamilan. BBLR merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. Bayi yang dilahirkan berisiko meninggal dunia sebelum berumur satu tahun 17 kali lebih besar dari bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal. (Depkes RI, 2005)

BBLR merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bayi berat lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.

BBLR adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita energi kronis dan akan mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius pada kualitas generasi mendatang, yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (Depkes RI, 2005).

Prevalensi Bayi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR

didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram. (WHO, 2005)

2.2 Jenis-Jenis BBLR

BBLR dibedakan atas 2 kategori yaitu BBLR karena premature dan BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang.

2.2.1 Premature

Makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Dengan pengelolaan yang optimal dan dengan cara-cara yang kompleks serta menggunakan alat-alat yang canggih, beberapa gangguan yang berhubungan dengan prematuritasnya dapat diobati. Dengan demikian gejala sisa yang mungkin diderita di kemudian hari dapat dicegah atau dikurangi.

Berdasarkan atas timbulnya bermacam-macam problematik pada derajat prematuritas maka Usher (1975) menggolongkan bayi tersebut dalam tiga kelompok 1. Bayi yang sangat prematur (extremely premature) : 24 – 30 minggu. Bayi dengan

masa gestasi 24 – 27 minggu masih sangat sukar hidup terutama di negara yang belum atau sedang berkembang. Bayi dengan gestasi 28 – 30 minggu masih mungkin dapat hidup dengan perawatan yang sangat intensif agar dicapai hasil yang optimum.

2. Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately premature) : 31 – 36 minggu. Pada golongan ini kesanggupan untuk hidup lebih baik dari golongan

pertama dan gejala sisa yang dihadapinya dikemudian hari juga lebih ringan, asal saja pengelolaan terhadap bayi ini betul-betul intensif.

3. Borderline premature : masa gestasi 37 – 38 minggu. Bayi ini mempunyai sifat-sifat prematur dan matur. Biasanya beratnya seperti bayi matur dan dikelola seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problematik seperti yang dialami bayi prematur, misalnya sindrom gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, daya isap yang lemah dan sebagainya, sehingga bayi ini harus diawasi dengan seksama.

2.2.1.1 Problematik Bayi Prematur

Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, ia mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup di luar uterus ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya. Dalam hubungan ini sebagian besar kematian perinatal terjadi pada bayi-bayi prematur.

Bersangkutan dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisiologik maka mudah timbul beberapa kelainan seperti berikut : 1. Suhu tubuh yang tidak stabil oleh karena kesulitan mempertahankan suhu tubuh

yang disebabkan oleh penguapan yang bertambah akibat dari kurangnya jaringan lemak di bawah kulit, permukaan tubuh yang relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, otot yang tidak aktif, produksi panas yang berkurang oleh karena lemak coklat yang belum cukup serta pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana mestinya.

2. Gangguan pernafasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR. Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernafasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita bayi prematur adalah penyakin membran hialin dan aspirasi pneumoni. Di samping itu sering timbul pernafasan periodik dan apnea yang disebabkan oleh pusat pernafasan di medulla belum matur.

3. Gangguan alat pencernaan dan problematika nutrisi.

4. Immatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia dan defisiensi vitamin K 5. Ginjal yang immatur baik secara anatomis maupun fungsinya.

6. Perdarahan mudah terjadi karena pembuluh darah yang rapuh.

7. Gangguan imunologik, daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang.

8. Perdarahan intraventrikuler. Lebih dari 50% bayi prematur menderita perdarahan intraventrikuler. Hal ini disebabkan oleh karena bayi prematur sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernafasan. Akibatnya bayi menjadi hipoksia, hipertensi dan hiperkapnia.

2.2.1.2 Gambaran klinik bayi prematur

Tampak luar dan tingkah laku bayi prematur tergantung dari tuanya umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan makin jelas tanda-tanda immaturitas.

Karakteristik untuk bayi prematur adalah berat lahir sama dengan atau kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm, lingkaran dada kurang

dari 30 cm, lingkaran kepala kurang dari 33 cm, umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

Kepala relatif besar dari badannya, kulit tipis, transparan, lanugonya banyak, lemak subkutan kurang, sering tampak peristaltik usus, tangisannya lemah dan jarang, pernafasan tidak teratur dan sering timbul apnea.

2.2.2 Bayi Kecil Untuk Masa Kehamilan (KMK)

Banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa bayi KMK ini menderita gangguan pertumbuhan di dalam uterus (Intrauterine Growth Retardation

= IUGR) seperti pseudopremature, small for dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome.

Ada dua bentuk IUGR menurut Renfield, (1975), yaitu : 1. Proportionate IUGR

Janin yang menderita distress yang lama di mana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang sebenarnya.

2. Disproportionate IUGR

Terjadi akibat distress subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.

Pada bayi IUGR perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam badan pun mengalami perubahan.

Drillen (1975) menemukan berat otak, jantung, paru dan ginjal bertambah, sedankan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thimus berkurang dibandingkan pada bayi prematur dengan berat yang sama. Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai masa gestasinya. (Wiknjosastro dkk, 2005).

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi BBLR

Berbagai faktor yang memengaruhi BBLR antara lain meliputi jenis kelamin bayi, ras, keadaan plasenta, umur ibu, aktivitas ibu, kebiasaan merokok, paritas, jarak kehamilan, tinggi badan dan berat badan ibu sebelum kehamilan, keadaan sosial ekonomi, gizi, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pertambahan berat badan ibu selama kehamilan. (Turhayati, 2006)

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain yaitu umur, paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (IDAI, 2004).

1. Pendidikan

Pendidikan memiliki peranan penting terhadap kejadian BBLR. Menurut Megawangi (1999) seperti dikutip Yustina (2007), mengatakan bahwa banyak studi membuktikan kaitan positif antara pendidikan perempuan dan tingkat

produktivitasnya, rasa percaya diri, rendahnya angka kematian bayi, perbaikan status gizi balita dan lain-lain.

Kramer M.S. dan kawan-kawan (2001) mengatakan bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR. Seorang ibu atau seorang ayah yang memiliki pendidikan tinggi tentunya akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan ibu atau ayah yang memiliki pendidikan rendah.

Hasil penelitian Setyowati terhadap hasil SDKI tahun 1994 dengan metode kasus kontrol menyebutkan pendidikan ibu berpengaruh terhadap kejadian BBLR dimana ibu dengan pendidikan SD ke bawah/tidak sekolah berisiko melahirkan bayi BBLR 1,18 kali dibandingkan ibu dengan pendidikan SD ke atas.

Rizvi dkk (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR dengan OR = 1,63 (95% CI 1,12-2,45).

2. Umur

Ibu hamil yang terlalu muda atau terlalu tua biasanya akan banyak mengalami komplikasi dalam kehamilan. Begitu juga dengan kondisi bayi yang dikandungnya.

Ukuran umur muda adalah bila ibu mengandung pada usia kurang dari 20 tahun dan tua apabila di atas 35 tahun. Behnnan (1985) menyatakan bahwa usia yang paling baik bagi seorang ibu hamil agar tidak melahirkan bayi premature adalah antara 20 s/d 30 tahun. Rizki dan kawan-kawan (2007) mengatakan bahwa faktor risiko seorang ibu untuk melahirkan bayi dengan BBLR adalah antara 15 – 35 tahun.

Penelitian kohor prospektif yang dilakukan Hirve dan Ganatra di India (1994) menyatakan bahwa ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian BBLR dengan

OR = 1,27 (95% CI 1,07-1,5). Ibu dengan umur kurang dari 20 lebih berisiko melahirkan anak dengan BBLR 1,27 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki usia > 20 tahun dan < 30 tahun.

Menurut Mutiara (2006) ibu hamil berusia > 35 tahun berisiko melahirkan BBLR 1,8 kali lebih besar daripada ibu hamil berusia 20 – 34 tahun. Pengaruh tersebut terlihat mengikuti fenomena huruf U terbalik yang berarti bahwa pada umur muda (<20 tahun) dan tua (> 35 tahun) berat bayi yang dilahirkan cenderung lebih dari pada umur 21 – 35 tahun.

3. Paritas

Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Salah satu dampak kesehatan yang ditimbulkan adalah kejadian BBLR.

Canosa (1998) mengatakan bahwa kehamilan pertama dan keempat atau lebih dari empat merupakan kelompok risiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR.

Hirve dan Ganatra (1994) menyatakan bahwa ibu yang melahirkan untuk pertama kali berisiko melahirkan bayi premature 1,32 kali dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak ke 2 dan ke 3 dengan OR = 1,32 (95% CI 1,1-1,59)

Hasil penelitian Zaenab dan Juharno (2006) menunjukkan bahwa paritas berpengaruh terhadap kejadian BBLR dan merupakan faktor risiko penyebab kejadian BBLR pada bayi. Hasil pengujian statistik dengan chi-square diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,44 sehingga dapat dikatakan bahwa paritas merupakan faktor risiko

terhadap kejadian BBLR dimana ibu dengan paritas > 3 anak berisiko 2 kali melahirkan bayi dengan BBLR.

4. Jarak Kelahiran

WHO (2007) menyebutkan bahwa karakteristik dan ukuran ibu dimana didalamnya terdapat jarak kelahiran merupakan salah satu determinan terjadinya BBLR.

Jarak kelahiran adalah jarak antara persalinan sebelumnya dengan persalinan selanjutnya. Jarak yang paling baik minimal 24 bulan atau 2 tahun (Malik, 1997)

Penelitian Hirve dan Ganatra (1994) menyebutkan bahwa ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 6 bulan berisiko melahirkan bayi dengan BBLR 1,48 kali bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak kehamilan lebih dari 6 bulan OR = 1,48 (95% CI 1,2-1,9).

Hasil penelitian Zaenab dan Juharno (2006) menunjukkan bahwa ibu dengan jarak kelahiran yang rapat lebih banyak dengan kelahiran bayi dengan berat lahir yang tidak tergolong BBLR (54,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,37 sehingga dapat dikatakan bahwa jarak kelahiran merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu yang memiliki jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko melahirkan bayi dengan BBLR 2,3 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak kelahiran lebih dari 2 tahun.

Hasil penelitian Saraswati (2006), menunjukkan bahwa jarak kelahiran < 2 tahun memiliki risiko melahirkan BBLR 3,17 kali lebih besar daripada jarak kelahiran > 2 tahun

5. Riwayat Penyakit

Ridwan (2005) mengatakan bahwa jarak kehamilan memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian BBLR, dimana ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun memiliki faktor risiko 1,91 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu dengan jarak kehamilan > 2 tahun.

Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR adalah penyakit infeksi seperti malaria, sifilis, rubella (WHO, 2007). Ibu yang menderita penyakit infeksi sangat rentan untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Begitu juga ibu yang mengalami komplikasi dalam kehamilan seperti eklamsia.

Kramer MS (1987) mengatakan bahwa proses biologi yang berdampak pada janin dalam rahim berhubungan dengan kondisi fisiologi ibu hamil termasuk diantaranya adalah penyakit infeksi yang diderita oleh ibu hamil.

Hasil penelitian Taha dan kawan-kawan di Sudan (1993) menyatakan ada pengaruh antara penyakit malaria terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan riwayat malaria akan melahirkan bayi dengan BBLR 1,56 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat malaria dengan OR = 1,56 (95% CI 1,2-2,1).

6. Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan

Akses terhadap informasi berkaitan dengan penggunaan pelayanan kesehatan yang tersedia. Adapun akses terhadap pelayanan kesehatan antara lain meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia, serta keterjangkauan terhadap informasi (Yustina, 2007).

Di Indonesia, Puskesmas merupakan sentra pelayanan kesehatan di tingkat pertama. Puskesmas menjadi tempat rujukan pertama bagi para ibu yang mengalami komplikasi kehamilannya. Namun demikian, meski rumah sakit dan puskesmas banyak didirikan, dalam kenyataannya banyak yang tidak dapat memberikan pelayanan yang efektif dalam penanganan gangguan kehamilan dengan alasan kurang atau tidak adanya suplai dan fasilitas serta sarana, kurang atau tidak adanya tenaga terlatih, manajemen yang buruk, dan lain-lain. Disisi lain, jika pelayanan yang adekuat tersedia, sering tidak terjangkau oleh mayoritas populasi yang membutuhkan, karena adanya hambatan jarak, biaya dan budaya (WHO, Depkes RI dan FKM UI, 1998).

Roudbari, Yaghmaei, Soheili (2007) mengatakan bahwa wanita dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan tinggal daerah pengungsian yang jauh dari fasilitas kesehatan memadai lebih rentan melahirkan bayi dengan BBLR.

7. Antenatal Care

Perawatan ibu selama kehamilan sangat menentukan kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya. Selama kehamilan berbagai program yang termasuk dalam paket pelayanan ANC adalah 5T (Timbang Berat badan, Ukur tinggi fundus, Tablet Fe, Imunisasi TT) dengan paket tersebut diharapkan ibu secara rutin mengontrol kehamilannya minimal 4 kali selama kehamilan dengan sebaran, 1 kali pada trimester 1, 1 kali pada trimester ke dua dan 2 kali pada trimester ke tiga (Depkes RI, 2006).

Menurut WHO (2004) jumlah kunjungan yang dianjurkan bagi seorang ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya adalah > 4 kali kunjungan pada masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah kunjungan pada tiap semester.

Hasil penelitian Ridwan (2005) menunjukkan bahwa bila ibu tidak teratur melaksanakan ANC, maka 42,1% bayinya lahir BBLR. Sedangkan bila ibu rutin melaksanakan ANC maka, bayi lahir normal ditemukan sebesar 80,7%. Setelah dilaksanakan uji odds ratio didapatkan OR.= 3,04 (95% CI 1,31-7,06). Berarti ibu dengan ANC tidak teratur berisiko melahirkan BBLR sebesar 3 kali lebih besar dibanding bila ibu rutin melaksanakan ANC.

Khatun S. dan Rahman M. (2008) menyebutkan bahwa antenatal care memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kejadian BBLR pada bayi dengan nilai OR = 29,4 (95% CI 12,61-68,48). Ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC kurang dari 4 kali kemungkinan akan melahirkan bayi dengan BBLR 29,4 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC 4 kali atau lebih pada masa kehamilan.

8. Dukungan Suami

Suami memiliki kontribusi dalam kesehatan istri selama masa kehamilan dan persalinan. Ketika isteri hamil, suami dapat mendukung istri agar mendapatkan pelayanan antenatal yang baik. Suami bisa menganjurkan ataupun memilih tempat pelayanan kesehatan untuk istrinya.

Foster dan Anderson (2006) mengatakan bahwa keputusan medis dalam dunia tradisional biasanya merupakan keputusan-keputusan kelompok, dan melibatkan

hal-hal seperti status, pangkat, usia, jenis kelamin dan peranan-peranan tradisional. Untuk keputusan-keputusan yang besar dalam keluarga seperti penentuan penolong persalinan dibuat oleh sang suami.

Kramer dan kawan-kawan (2001) mengatakan bahwa faktor tekanan dari lingkungan sekitar memengaruhi perkembangan janin pada ibu hamil seperti faktor interpersonal dimana ibu hamil hidup tanpa pendamping.

9. Pendapatan

Pendapatan memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian BBLR. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Sebaliknya keluarga dengan pendapatan rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan gizi. Pada ibu hamil, kekurangan nutrisi sangat berpengaruh pada kondisi janin yang dikandung.

FAO (2003) mengatakan bahwa kondisi ekonomi memengaruhi konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang rendah berakibat pada gizi yang buruk. Gizi buruk pada ibu hamil mengakibatkan anak yang dikandungnya mengalami BBLR.

2.4 Landasan Teori

Istilah prematuritas telah diganti dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) karena terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, yaitu karena umur hamil kurang dari 37 minggu, berat badan lebih rendah dari semestinya, sekalipun umur cukup, atau karena kombinasi keduanya.

Menurut Mochtar (1998), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur atau berat badan lahir rendah adalah :

1. Faktor Ibu

a. Gizi saat hamil yang kurang

b. Umur kurang dari 20 tahun atau di atas 35 tahun c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

d. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah.

e. Merokok

f. Faktor pekerjaan yang terlalu berat 2. Faktor Kehamilan

a. Hamil dengan hidramnion b. Hamil ganda

c. Perdarahan antepartum

d. Komplikasi hamil : pre-eklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini 3. Faktor Janin

a. Cacat bawaan b. Infeksi dalam rahim

4. Faktor lain yang masih belum diketahui

Menurut WHO (2007) BBLR disebabkan oleh 7 (tujuh) faktor yaitu : genetik (faktor gen, interaksi lingkungan, ukuran ayah, jenis kelamin), kecukupan gizi (nutrisi ibu ketika hamil, kecukupan protein dan energi, kekurangan nutrisi), karakteristik dan berat ibu (berat ibu ketika hamil, paritas, jarak kelahiran), penyakit (infeksi, seperti

malaria, anaemia, syphilis, rubella), komplikasi kehamilan (eklamsi, infeksi ketika melahirkan), gaya hidup ibu (merokok dan mengkonsumsi alkohol) dan lingkungan (polusi, faktor sosial ekonomi).

Gambar 2.1 Hubungan antara faktor ekternal dan internal dengan kejadian BBLR Sumber : (Modifikasi dari : Kramer et.all, Socio-Economic Disparities in Preterm

Birth : Causal Pathways and Mechanisms, Food Insecurity and Vulnerability Mapping System (FIVIMS) Framework for Food Security, Livelihoods and Nutrition FAO 2003.

Keterangan Gambar

= faktor langsung

= faktor tidak langsung Perilaku

Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa BBLR dipengaruhi secara langsung oleh kondisi sosial ekonomi, dimana kondisi sosial ekonomi tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal merupakan cerminan perilaku dari ibu hamil yang terdiri dari usia, jarak persalinan, penyakit, status gizi dan tingkat pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari dukungan sosial rendah (akses, ANC) dan faktor psikologis (dukungan suami).

2.5 Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Faktor internal

1) Umur 2) Pendidikan 3) paritas

4) jarak kelahiran 5) riwayat penyakit

Faktor eksternal 1) Akses 2) ANC

3) Dukungan Suami

BBLR

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain matched case control study (kasus kontrol berpasangan). Matching dilakukan menurut tingkat pendapatan yang dapat dilihat dari jenis kepesertaan dalam menggunakan fasilitas kesehatan yaitu pegawai negeri sipil dan masyarakat miskin. Hal ini dilakukan karena pendapatan dianggap dapat mengganggu pengaruh faktor internal dan eksternal ibu terhadap kejadian BBLR. Desain penelitian ini dipilih karena mengingat waktu penelitian yang dibutuhkan lebih pendek bila dibandingkan dengan penelitian kohort, dan untuk menghindari pasien dari lupa bila waktu terlalu lama. Selanjutnya dinilai pengaruh antara faktor internal (pendidikan, umur, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit infeksi) dan faktor eksternal (akses terhadap pelayanan kesehatan, ANC, dukungan suami) terhadap kejadian BBLR di RSUD Langsa.

Gambar 3.1 Skema Desain Penelitian

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi subyek dengan efek (kelompok kasus), dan mencari subyek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Faktor

KASUS

risiko yang diteliti ditelusuri retrospektif pada kedua kelompok, kemudian dibandingkan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Langsa dengan pertimbangan masih adanya kejadian BBLR yaitu 6,1% kasus dari seluruh persalinan yang dilakukan di RSUD Langsa periode tahun 2008. Berdasarkan data dari ruangan neonatus di RSUD Langsa tahun 2009 ditemukan adanya kejadian BBLR sebanyak 20,80 %

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama 15 (lima belas) bulan, mulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan Maret 2010. Penelitian ini diawali dengan penelusuran pustaka, penentuan judul dan pembimbing, penyusunan proposal, kolokium (seminar proposal), penelitian ke lapangan, pengumpulan, pengolahan dan analisis data, penyusunan hasil penelitian, dan seminar hasil penelitian.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua ibu yang melahirkan di ruang persalinan RSUD Langsa periode September 2008 s/d Desember 2009 berjumlah 1.172 kasus.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian terdiri atas ibu yang melahirkan dengan BBLR sebagai kasus dan ibu yang melahirkan dengan tidak BBLR sebagai kontrol.

a. Definisi Kasus

Kasus adalah ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan menggunakan kartu Askes PNS atau Jamkesmas dimana persalinannya dilakukan di RSUD Langsa periode September 2008 s/d Desember 2009.

b. Definisi Kontrol

Kontrol adalah ibu yang melahirkan tidak dengan BBLR dimana persalinannya dilakukan di RSUD Langsa. Kontrol diambil secara mathching setelah ditemukan adanya kasus yang akan diteliti dengan karakteristik yang sama yaitu tingkat pendapatan yang dilihat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan menggunakan kartu Askes PNS dan Jamkesmas periode September 2008 s/d Desember 2009.

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk desain kasus kontrol berpasangan yaitu : (Schlesselman, 1982)

0

OR

= Proporsi kontrol yang terpajan terhadap variabel yang diteliti pada populasi

= Proporsi kontrol yang terpajan terhadap variabel yang diteliti pada populasi

Dokumen terkait