• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaidah Kesahihan Hadis

Dalam dokumen METODE PENELITIAN QUR AN DAN HADIS (Halaman 122-127)

PENELITIAN KONSEPTUAL ILMU HADIS Hasep Saputra

B. Kaidah Kesahihan Hadis

Untuk menguji dan menjustifikasi kualitas hadis, maka acuan yang dipakai adalah kaidah kesahihan hadis. Unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut tersebut sesungguhnya termaktub dalam rumusan (ta‟rîf) hadis sahih. Diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalâh (w. 643 H), sebagai berikut.

بََِّأ

ث٠ِذَذٌْا

خ١ ِذَّصٌا

:

َٛ َٙف

ث٠ِذَذٌْا

ذَْٕس ٌّْا

ِٞزٌَّا

ً ِصَّخَ٠

تِذمّ ٘ دبَْٕسِإ

ًِْمَِٕب

ِيْذَعٌْا

ِظِببَّضٌا

َِٓع

ِيْذَعٌْا

ِظِببَّضٌا

ِإ

ٌَٝ

، ٖبََٙخْٕ ِ

َل َٚ

ْٛ ىَ٠

،اًّربَش

َل َٚ

ًلٍََّع ِ

.

3

Hadis shahîh adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW) diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhâbith sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzûdz) dan cacat („illat).

Definisi (al-ta‟rîf) Ibn al-Shalâh di atas, kemudian diringkas oleh imam al-Nawawî (w. 676 H) dan al-Syuyûthî (w. 911 H) dengan rumusan sebagai berikut:

بِ

ًصحا

ٖذٕس

يٚذعٌبب

ٓ١طببضٌا

ِٓ

ش١غ

رٚزش

لٚ

تٍع

4

(Hadis sahih) ialah hadis yang bersambung sanadnya, (dengan periwayat yang) adil dan dhâbith serta tidak terdapat (dalam hadis itu) kejanggalan (syudzûzd) dan cacat („illat).

Dari kaidah tersebut, dapat diurai unsur-unsur atau syarat hadis sahih, yaitu:

1) Sanad bersambung (al-itthishâl al-sanad)

2) Seluruh periwayat (sanad) bersifat adil („adâlat al-ruwâh) 3) Seluruh periwayat bersifat dhabith (dhâbith al-ruwah)

3Abu „Amr Ustmân ibn „Abd al-Rahman ibn al-Shalâh, (selanjutnya ditulis Ibn Shalâh) Muqaddimat Ibn Shalâh fi „Ulûm Hadîts, (Madînat al-Munawwarah: al-Maktabat al-„Ilmiyyat, 1972 M), h. 10

4Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân ibn Abi Bakr al-Suyûthî, (selanjut-nya ditulis al-Suyûthî),Tadrîb al-Râwî Syarh Taqrîb al-Nawawî, (Madînah al-Munawwarah: Maktabat al-„Ilmiyyah, 1972) h. 10

4) Dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (ghaiyr al-syâdz) 5) Dalam hadis itu tidak terdapat kecacatan (al-„illat)

Tiga unsur pertama terlihat berkenaan khusus dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya selain berkenaan dengan sanad juga berkenaan dengan matn. Karena itu ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanadnya sahih belum tentu matnnya juga sahih. Sebaliknya matnnya yang sahih belum tetntu sanadnya sahih. Jadi berarti, kesahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad tapi juga kesahihan matn. Lebih lanjut tentang unsur-unsur kesahihan sanad dan matn hadis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesahihan Sanad a. Sanad bersambung

Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah bahwa tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis, menerima hadis dari periwayat lain terdekat sebelumnya, dan keadaan tersebut berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.5 Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.

b. Periwayatan Bersifat Adil

Kata adil (bahasa Indonesia) sebenarnya berasal dari bahasa Arab “al-adl”, yaitu bentuk mashdar dari kata kerja „adala, yang secara etimologi berarti pertengahan (mail ila

al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut al-âdil .6 Adapun kriteria periwayat yang adil menurut berbagai pendapat ulama hadis berpendapat yakni:

5M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 111.

6 Luis Ma‟lûf, Al Munjid fî al-Lughah ( Beriût Dâr al- Masyriq 1973 M) h. 491-492;

1) Beragama Islam 2) Mukallaf

3) Melaksanakan ketentuan agama, dan; 4) Memelihara marû‟ah.

Beragama Islam berarti seorang periwayat ketika melakukan kegiatan menyampaikan hadis harus dalam keadaan memeluk agama Islam. Adapun ketika menerima hadis kriteria tersebut tidak berlaku. Jadi periwayat tatkala menerima riwayat boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam, asalkan tatkala menyampaikan riwayat dia telah memeluk agama Islam.7

Mu`allaf, yang berarti baligh (dewasa) dan berakal sehat

menjadi syarat adil adalah ketika periwayat hendak menyampaikan riwayat. Sedangkan ketika menerima riwayat, menurut ulama hadis, boleh saja belum keadaan mukallaf, asalkan dia telah

mumayyiz (dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat

membedakan sesuatu).8 Adapun yang dimaksud dengan kriteria “melaksanakan ketentuan agama” adalah teguh dalam agama; tidak berbuat dosa besar dan kecil, tidak berbuat bid‟ah, tidak berbuat maksiat dan harus berakhlak mulia. Sedangkan yang dimaksud marû‟ah dalam kriteria keempat ialah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kewajiban moral dan kebiasaan-kebiasaan. Khusus terhadap semua sahabat Nabi SAW, jumhûr (mayoritas) ulama hadis umumnya menilai mereka bersifat adil.9 Oleh karena itu dalam melakukan kritik terhadap periwayat hadis, aspek „adalah sahabat Nabi SAWtidak diperma-salahkan dan tidak perlu melakukan kritik dan penilaian terhadapnya.

c. Periwayat Bersifat Dhâbith.

Secara bahasa, dhâbit (bhs.Arab) artinya yang kokoh, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Adapun

7 Al-Suyûthî, Juz II, Op. Cit, h. 4-7

8 Loc. Cit; Muhammad „Ajjâj Al-Khatîb, Ushûl al-Hadîs „Ulûmhul wa

Mushtolâhuhu, (Beriût: Dâr al-Fikr, 1409 H/1989M), h. h. 227-232

dhâbith menurut istilah ilmu hadis sebagaimana

dikemukakan Ibn Hajr al-Asqallânî, ialah orang yang kuat hapalannya tentang apa yang telah didengarnya, serta ampu menyampaikan hapalan itu kapan saja.10 Pengertian senada juga dikemu-kakan oleh Shubhi al-Shâlih, al-dhabth ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia mema-haminya dengan pemahaman yang baki kemudian dihapal secara sempurna; dan ia mempunyai kemampuan yang demikian itu sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.11 Dari dua pengertian tentang

dhâbith ini, dapat dikatakan bahwa aspek kedhâbithan

berkenaan dengan kualitas intelegensi dan intelektual periwayat, khususnya tentang periwayat hadis. Seorang periwayat baru dapat dikatakan bersifat dhâbith jika ia memahami, hapal dan sempurna riwayat atau berita yang telah diterimanya.

d. Terhindar dari Syâdz/Syudzûdz

Dalam bahasa Arab kata syâdz atau syudzûdz, secara bahasa memiliki beberapa arti, yakni jarang, menyendiri, asing, menyalahi aturan dan menyalahi orang banyak. 12

Menurut istilah, antara lain imam al-Syâfi‟î (w.204 H),

syudzûdz adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh

peri-wayat yang tsiqah, sedang periperi-wayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Suatu hadis dinyatakan megandung

syudzûdz bila hadis itu diriwayatkan oleh seorang periwayat

10Ahmad ibn Ali ibn Hajr al-Asqallânî (selanjutnya ditulis al-„Asqallânî),

Nuzhat al-Nazhr Syarh Nukhbat al-Fikr, (Semarang: Maktabat al-Munawwar,

tth), h. 13

11Shubhi al-Shalih, Op. Cit, h. 128

12 Ibn Manzhûr, Muhammad, Lisan al-„Arab, (Mesir Dâr al-Mishriyyah, t.th), Jilid V, h. 28-29

yang tsiqah tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. 13

e. Terhindar dari “Illat

Dalam bahasa Arab, kata „illat adalah bentuk kata benda dari dari kata kerja „alla, ya‟illu. Secara terminologi kata itu mengandung arti penyakit, cacat dan keburukan. Dalam istilah ilmu hadis, „illat berarti sebab yang tersembunyi, yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. 14 Sebagaimana syudzûdz, „illat juga dapat terjadi di sanad dan di matn, atau di sanad dan di matn sekaligus. Namunn begitu, yang terbanyak „illat terjadi di

sanad. Menurut muhadditsûn, cara atau metode untuk

mengetahui „illat ialah dengan terlebih dahulu menghimpun semua jalur sanad yang berkaitan tentang suatu hadis. Setelah itu seluruh rangkaian sanad dan kualitas periwayat bak dari aspek adil dan dhâbith dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para ulama ahli kritikus periwayat hadis.

2. Kesahihan Matn

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa unsur-unsur yang harus terpenuhi oleh suatu matn yang berkualitas sahih ada dua macam, yakni terhindar dari syudzûdz (kejanggalan) dan terhindar dari „illat (cacat). Adapun tolok ukur penelitian matn

13„ Ibn al-Shâlah, Op. Cit, h. 48; Juga, Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah Muhammad Naisâbûrî, Ma‟rifat „Ulûm Hadtis, (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th), h. 119; Ibn al-Shâlah, Op. Cit, h. 48

14 Nûr al-„Itr, Al-Madkhal ila „Ulûm al-Hadîts, (Madînat al-Munaw-warah: Maktabat al-„Ilmiyyah, 1972), h. 447

(ma‟yîr naqd „ala matn) yang dikemukakan ulama hadis, untuk dijadikan sebagai acuan mengetahui apakah suatu matn terhindar dari dua hal tersebut adalah, cukup bervariasi. Dari berbagai

berbagai pendapat ulama, Shalâh al-Dîn al-Adlabî15

menyimpulkan bahwa secara umum tolok ukur untuk menetukan kesahi-han matn ada empat, yakni:

1) tidak bertentangan dengan petunjuk umum al-Qur‟an; 2) tidak bertentangan degan hadis yang lebih kuat;

3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan fakta sejarah;

4) susunan pernyataannya meunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa pada setiap unsur kesahihan sanad dan matn memilki tolok ukur tertentu dan menjadi bagian integral dari kaidah kesahihan hadis secara umum. Dalam kajian hadis, kritik terhadap dua aspek hadis tersebut sama pentingnya dalam rangka melohat kualitas suatu hadis.

Dalam dokumen METODE PENELITIAN QUR AN DAN HADIS (Halaman 122-127)

Dokumen terkait