Jacgues Waardenburg pernah menyatakan bahwa studi Islam secara umum dapat meliputi tentang Islam sebagai agama (Islam normatif) dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan Islam (Islam aktual). Menurutnya paling tidak ada tiga domain kajian Islam. Pertama, studi normatif tentang Islam, biasanya dilakukan oleh umat Islam sendiri, meliputi studi tafsir, hadis, kalam dan sebagainya. Kedua, studi non normatif terhadap Islam, biasanya dilakukan oleh akademisi di perguruan tinggi, meliputi ekspresi-ekspresi religius kaum muslimin yang faktual maupun yang hidup
27 http://www.tongkronganislami.net/perkembangan-kajian-hadis-di-perguruan/
(living Islam). Ketiga, studi non normatif terhadap kebudayaan dan masyarakat muslim dalam arti yang lebih luas, bisa dilakukan oleh muslim maupun non muslim, yang meliputi Islam dari sudut sejarah, budaya, sastra, antropologi dan sosiologi yang tidak mesti bertitik-tolak dari agama.28
Menggunakan patokan dari Waardenburg ini, keberadaan kajian Alquran dan Hadis di PTAI sejauh ini dapat dikatakan masih didominasi oleh studi normatif dan non normatif, terutama deskripsi dan komparasi kazanah pemikiran zaman klasik, seperti karya-karya tafsir para ulama terdahulu dan kitab-kitab hadis, metodologi mereka pada keduanya. Adapun aspek-aspek kebudyaan dan masyarakat muslim masih bisa dikatakan minim.
Meskipun kajian tafsir tematik dan hadis tematik sudah mulai menggeliat di PTAI, namun keduanya juga masih berada dalam tataran normatif. Jika diamati lebih seksama, studi Alquran dan Hadis di PTAI khususnya dan Indonesia umumnya masih diramaikan oleh pendekatan dogmatis dan kurang berwawasan empiris-historis. Yang dimaksud dengan pendekatan yang disebut terakhir ini adalah studi Alquran dan Hadis dengan pendekatan atau kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi maupun psikologi.
28 M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
21
Hal ini barangkali sejalan dengan kritik yang dilontarkan oleh Mohammed Arkoun. Ia pernah menggugat kemapanan studi keislaman dan menawarkan paradigma kajian Islam yang lebih bercorak empiris. Menurutnya, perlu dikembangkan studi keislaman, termasuk kajian tafsir dan hadis, dengan pendekatan empiris-historis berupa pendekatan sosiologis-antropologis-psikologis terhadap teks-teks dan naskah-naskah keagamaan pada masa lampau.29
Jadi dalam hal ini kajian Islam pada umumnya dan tafsir-hadis pada khususnya memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai pisau analisisnya. Untuk mewujudkan hal ini, PTAI bisa mengarahkannya pada jalur riset-riset mahasiswa dan dosen pada lembaga seperti UIN, seminar, konfrensi dan jurnal-jurnal ilmiah.
Agak sulit memberikan gambaran menyeluruh tentang perkembangan studi Alquran dan Hadis berdasarkan hasil karya penelitian yang dilakukan oleh para alumni PTAI di Indonesia. Setiap tahun jurusan atau program studi Tafsir Hadis mengeluarkan sarjana dalam disiplin ini. Sudah tentu banyak skripsi, tesis maupun disertasi yang ditulis di bidang ini dan untuk melacak perkembangan karya-karya tersebut jelas butuh waktu dan riset tersendiri. Namun untuk hipotesa sementara, dengan sedikit data yang penulis dapatkan untuk saat ini, dapat dinyatakan bahwa studi
Alquran dan Hadis sebagai syarat penyelesaian program studi di PTAI masih didominasi oleh jenis penelitian kepustakaan dan kajian normatif.
Sebagai sampel, di sini penulis merujuk hasil karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Kalijaga. Dalam rentang waktu 2009 hingga pertengahan tahun 2015 terdapat sekitar 62 karya tesis. Menurut Muhammad Barir, jumlah ini berdasarkan data yang dapat diakses pada Katalog Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di antara 62 yang ada di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tersebut, 45 tesis merupakan hasil dari riset pustaka dan 17 lainnya merupakan hasil dari riset lapangan. Riset lapangan terlihat lebih sedikit terutama mulai dari tahun 2012 hingga pertengahan 2015. Bahkan, pada tahun 2013, 2014, dan 2015 awal, tidak terdapat tesis yang merupakan hasil dari riset lapangan.30
Penelitian lebih awal yang dilakukan oleh Muh. Tasrif menyebutkan bahwa total karya tesis dalam kajian Hadis berjumlah sebanyak 47 penelitian tesis yang dikeluarkan oleh tiga IAIN terkemuka (Syarif Hidayatullah Jakarta, Sunan Kalijaga Jogja dan Sunan Ampel Surabaya, waktu itu masih berstatus IAIN) dalam rentang waktu dari 1986-2003. Di antara karya tersebut masing-masing terdiri dari 30 karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Kalijaga, 11
30 Muhammad Barir, Perkembangan Studi Hadis di PTAIN
Berdsarkan Karya Penulisan Tesis, Makalah Kuliah pada Program
23
karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan enam karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya.31
Dari 47 karya tesis itu, hanya ada tiga yang tesis yang berisi kajian gabungan Alquran dan Hadis sekaligus, dan selebih adalah murni kajian tentang Hadis, yaitu tesis-tesis yang berjudul: Telaah Kependidikan tentang Perlakuan Orang
Tua terhadap Anak menurut Alquran dan al-Hadis, Metodologi Pendidikan Agama Islam menurut Alquran dan As-Sunnah, dan Gagasan Paulo Freire tentang Pembebasan: Tinjauan Kritis dari Perspektif Alquran dan Hadis. Sisanya sebanyak 44 tesis
tentang Hadis mengkaji topik seputar metodologi, pemikiran tokoh, kitab Hadis, hadis tematik dan sejarah.32
Pada sisi lain, kajian-kajian seminar dan konfrensi tentang Qur‟an dan Hadis, baik yang diselenggarakan oleh prodi, jurusan maupun institut di PTAI yang ada di Indonesia, terus berlangsung setiap tahun. Misalnya adalah seminar tahunan yang diadakan oleh Qur‟an and Hadith Academic Society (QUHAS) 2015 pada tanggal 3 Desember 2015 di UIN Yogyakarta. Seminar ini mengangkat tema “peta kajian Alquran dan Hadis” yang diikuti para akademisi dari berbagai dosen PTKIN di Indonesia. Tema ini sengaja diusung oleh panitia di mana terdapat perkembangan studi kajian Alquran dan Hadis
31 Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), h. 80.
seiring dengan kebijakan yang diambil oleh kementrian Agama dengan keluarnya pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009, di mana studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan Tafsir serta Ilmu Hadis.
Seminar ini berlangsung dalam tiga sesi. Sesi pertamanya menghadirkan topik-topik berikut: Kajian Alquran dan Hadis di Institusi Pendidikan Islam di Indonesia oleh Arifuddin Ahmad, Kecenderungan Kajian Hadis di UIN Alauddin Makassar oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ragam Studi Hadis di PTAI Indonesia dan Karakteristiknya oleh Farah Nuril Izzah, dan Peta Perkembangan Literatur Hadis di Pesantren oleh Lilik Ummi Kultsum, MA dan Perkembangan Kajian Alquran di Prodi Tafsir Hadis Menuju KKNI.
Sesi kedua membahas topik-topik antara lain Living Qur‟an dan Living Hadith di Indonesia dengan nara sumber Muhamad Ali, Dari Kajian Naskah kepada Living
Qur’an dan Living Hadis: Pengantar Metodologi Penelitian
Kontemporer Alquran dan Hadis oleh Rifqi Muhammad Fathi, The Use and Non Use of Hadith on Religious Practices of
Indonesian Muslims oleh Didi Junaedi, Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Alquran dan How you be a Hafiz Al-Qur'an in 40 days oleh oleh Naqiyah.
Sesi ketiga terdiri dari kajia-kajian berikut: Kajian Alquran dan Hadis di Indonesia dalam Ragam Pendekatan Lain oleh Atiyatul Ulya, Pemahaman Hadis Pendekatan
25
Jender di Indonesia oleh Kusmana, Perkembangan Tafsir Maqasidi dalam Konteks Indonesia Modern oleh Izza Rohman, Perlakuan M. Quraish Shihab terhadap PandanganTafsir al-Tabataba‟i, dan Ragam Pengkajian Alquran di PSQ oleh Eva Fahrun Nisa Amrullah.
Selain itu, ada juga konfrensi tahunan yang mengkaji Islam secara umum termasuk di dalamnya kajian tafsir dan Hadis. Pada Annual International Confrence on Islamic Studies (AICIS) ke-16 tahun 2016 di Lampung berkaitan dengan sub tema Islamic thought terdapat enam paper hasil riset yang membahas tentang tafsir dan terjemahan Alquran.33 Dalam ajang AICIS yang ke-16 ini tidak terjaring atau muncul kajian tentang Hadis.
Memang jika dibandingkan dengan riset tentang Alquran atau tafsir, kajian hadis yang dilakukan di lingkungan PTAI se-Indonesia bisa dikatakan agak tertinggal. Anggapan ini dapat dibuktikan dengan kenyataannya minimnya karya dan penelitian dalam bidang hadis yang terpublikasi.
Kondisi ini juga mendapat perhatian dari Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Hal itu disampaikannya saat acara Wisuda Sarjana ke-13 Darus Sunnah International Institute for Hadis Science di Ciputat. Menurut Lukman, kajian Hadis di perguruan tinggi Islam tampaknya juga masih belum berkembang secara maksimal,
33 Proshiding ACIS ke-16 tahun 2016, IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, 1 -4 November 2016, h. xi-xii.
bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi di Perguruan Tinggi, tetapi juga di madrasah dan pesantren. Ke depan, diharapkan Institusi formal Perguruan Tinggi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN dan universitas Islam lainnya Hadis bisa menjadi andalan dalam kajian, karena PTAI memiliki sumberdaya ahli hadis, Program studi Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin, perpustakaan yang memadai, dan koleksi kitab-kitab hadis standar, disamping sistem pembelajarannya yang menekankan berpikir secara kritis dalam kajian Islam dibandingkan pesantren.34
Kritikan terhadap kajian hadis yang belakangan datang secara bertubi-tubi, direspon dan dikaji ulang oleh sarjana-sarjana muslim di perguruan tinggi. Pada tahun 2014 di Yogyakarta, dengan alasan kebutuhan intensitas kajian Alquran dan Hadis yang masing-masing dianggap akan lebih baik jika berdiri sendiri, maka terjadilah pemisahan antara jurusan yang intens mengkaji Alquran dan Tafsir dengan jurusan yang intens mengkaji Hadis. Dari sini pula muncul dua jurusan, yakni Ilmu Alquran dan Tafsir dan jurusan Ilmu Hadis. Pemisahan jurusan ini sekaligus menjadi sebuah eksperimen yang mencoba memberikan jawaban atas kurangnya karya di bidang hadis jika dibandingkan dengan Alquran.
Jika dicermati, ada beberapa faktor menyebabkan kondisi ini, diantaranya pertama, minimnya ilmuan atau para
34 http://www.nu.or.id/post/read/60011/menag-sayangkan-studi-hadist-di-indonesia-masih-langka
27
peneliti yang berminat terhadap kajian hadis; kedua, masih banyak yang anggapan yang keliru terhadap kajian hadis, selama ini kajian hadis hanya dipandang untuk kalangan
salafi yang bersifat tradisionalis; ketiga, minimnya
pengembangan kajian hadis yang variatif, selama ini kajian hadis hanya sebatas dari segi normatif; keempat, belum banyak jurnal yang terbit khusus untuk kajian hadis.35
Pada dekade terakhir ini perkembangan yang mengembirakan yang dijumpai dalam kajian Alquran dan Hadis. Alquran dan Hadis yang dijadikan objek kajian di PTAIN telah dikaitkan dengan studi kontekstual dengan mempertimbangkan aspek historisitas yang berkaitan dengan unsur kebudayaan, sosial, dan politik yang mengitarinya dan menjadi aspek vital yang berkembang dalam masyarakat ketika era rasulullah. Salah satu tokoh yang banyak dijadikan acuan oleh akademisi di PTAI baik dosen maupun mahasiswa dalam melakukan interpretasi Alquran dan Hadis secara kontekstual adalah Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya, yang telah dikemukakan terdahulu.
Era globalisasi dan teknologi komunikasi telah mendorong masuknya keilmuan sosial, antropologi, etnografi, fenomenologi, dan lain sebagainya dalam kajian Alquran dan Hadis. Dengan keilmuan dan paradigma tersebut, lahir pulalah kajian baru yang disebut living qur’an
35 http://ushuluddin.uin-uka.ac.id/page/berita/detail/22/kajian-hadis-di-indonesia-berkembang-pesat
dan living Hadis dan bahkan baru-baru ini sudah terbit pula buku yang membahas metodologi penelitian tentang kajian baru ini,36 suatu bentuk kajian fenomenologis atas gejala yang muncul dan berkembang di masyarakat yang didasari oleh Alquran dan Hadis sebagai esensi fenomena tersebut. Penelitian tentang living qur’an dan living hadis ini dan metodologinya juga menjadi salah satu pembahasan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam buku ini.
Daftar Pustaka;
Abu Azwar, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Hamza, 2004).
Abdul Djalal H.A., Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, t.th). Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 2006).
Fathurrahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟rif, 1994).
Johan Hendrix Meuleman, Islam in the Era of Globalization, (Jakarta: INIS, 2001).
Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Accademia Tazzafa, 2004).
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996). Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995).
36 Sahiron Syamsuddin (ed.), Metodologi Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2007.
29
Muhammad Barir, Perkembangan Studi Hadis di PTAIN Berdsarkan
Karya Penulisan Tesis, Makalah Kuliah pada Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
antara Disiplin Ilmu, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001).
Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007).
Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
Proshiding ACIS ke-16 tahun 2016, IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, 1 -4 November 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perguruan_tinggi_Islam_n egeri_di_Indonesia http://www.tongkronganislami.net/perkembangan-kajian-hadis-di-perguruan/ http://www.nu.or.id/post/read/60011/menag-sayangkan-studi-hadist-di-indonesia-masih-langka http://ushuluddin.uin-uka.ac.id/page/berita/detail/22/kajian-hadis-di-indonesia-berkembang-pesat
29