• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objek Kajian

Dalam dokumen METODE PENELITIAN QUR AN DAN HADIS (Halaman 97-122)

PENELITIAN KONSEPTUAL ILMU HADIS Hasep Saputra

C. Objek Kajian

Adapun objek kajian dari penelitian ini adalah dirayah dan riwayah hadis. Di antara tema-tema pokok yang menjadi objek bahasannya adalah:

1) Kedudukan hadis atau sunnah dalam bingkai syari‟at dan filsafat al-Qur‟an

2) Rumusan makna hadis yang merupakan konsekuensi syahadat rasul

3) Cakupan makna dirayah hadis 4) Landasan epistimologi ilmu hadis 5) Landasan metodologis analisis sanad

6) Landasan metodologis analisis sanad dan

pemahaman hadis

7) Sejumlah asumsi dasar dalam pemahaman hadis 8) Fakta ke-musykil-an dalam pemaknaan dan

pemahaman hadis

9) Pemahaman hadis dalam konteks gharib al-Hadis 10) Pemahaman hadis dalam konteks ikhtilah al-Hadis 11) Penyelesaian ikhtilaf dalam konteks al-Jam‟u atau

taufiq al-Hadis

12) Penyelesaian ikhtilaf dalam konteks „am-khas dan muthlaq-muqayyad serta fungsi asbab al-wurud di dalamnya

13) Penyelesaian ikhtilaf hadis dalam konteks nasakh 14) Penyelesaian ikhtilaf hadis dalam konteks tarjih 15) Pemahaman hadis dalam konteks ikhtilaf min jihah

al-mubah atau tanawwu‟ fi al-ibadah

23 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh

16) Sejumlah kaedah ilmu pendukung dalam pemahaman hadis, di antaranya asbab al-wurud, jawami‟ al-kalim, dan ta‟awul al-Qur‟an

17) Pemahaman hadis dalam konteks tafsir maudhu‟iy hadis sebagai sebuah metodologi pemamahan yang prospektif.

D. Metodologi

Untuk kepentingan penelitian hadis Nabi, ulama telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadis. Dengan kaedah dan ilmu hadis itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadis.

Menurut Ibn Khaldun (w. 808 H), ulama hadis dalam melakukan penelitian berita yang berkenaan dengan agama berpegang pada penelitian terhadap pembawa berita. Apabila pembawa berita itu adalah orang yang dapat dipercaya, maka berita itu dinyatakan berkualitas shahih. Sebaliknya, apabila para pembawa berita bukanlah orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita yang bersangkutan tidak dapat dijadikan hujah agama. Dengan demikian Ibn Khaldun berpendapat, bahwa penelitian hadis yang telah dilakukan ulama hadis hanya terbatas pada penelitian sanad saja.

Ahmad Amin (w. 1373 H) tampak sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun. Dia menyatakan, ulama hadis dalam melakukan penelitian hadis lebih banyak menitikberatkan kepada penelitian sanad daripada terhadap matan hadis. Menurut Abd al-Mun‟im al-Bahiy, ulama hadis dalam kegiatan penelitian hadis hanya meneliti sanad dan periwayat-periwayat hadis saja, serta tidak meneliti matn-nya.

Dalam upaya mencoba merumuskan kerangka filosofs, ilmu hadis perlu dibedakan dalam dua aspek. Pertama terdapat sejumlah ilmu hadis yang berhubungan dengan sejarah yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad atau

rijal al-hadis. Dalam bidang ini, analisis yang ditampilkan bersifat historis. Kaedah-kaedah yang berkembang dalam ilmu-ilmu yang bernuansa historis ini adalah kaedah-kaedah sejarah dengan segenap ilmu bantunya. Kedua ilmu-ilmu hadis yang berhubungan dengan pemahaman terhadap teks atau matn hadis yang telah memenuhi validitas historisnya atau dalam bahasan ilmu hadis yang maqbul, shahih, atau hasan.

Jika dikerangkakan maka yang menjadi induk ilmu tentang sanad ini adalah Ilmu Rijal al-Hadits. Ilmu ini secara umum bertujuan untuk mengkaji keabsahan seseorang perawi sebagai periwayat hadis dan hubungan pewarisan ilmu antara mereka. Karena itu, inti dari ilmu induk ini adalah Ilmu Jarah dan Ta‟dil. Guna memungkinkan para kritikus sanad melakukan tugasnya men-jarah (menolak otoritas periwayat) atau men-ta‟dil (menerima otoritasnya), mereka memerlukan ilmu bantu berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan nama periwayat (Musykil Asma‟ al_Ruwat, al-Mu‟talif

wa al-Mukhtalif, al-Muttafiq wa al-Muftariq) dan ilmu-ilmu yang

berhubungan dengan sejarah (Tarikh al-Ruwat, Milad wa

Wafayat al-Ruwat) serta kehidupan sosial budaya para

periwayat dimaksud (seperti Ansab al-Ruwat, Rihlat al-Ruwat,

Buldan al-Ruwat), dan sebagainya.

1. Ilmu Hadis dalam Dimensi Historis

Ketika pertama kali hendak mempelajari ilmu-ilmu hadis yang kini begitu luas dan beragam, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimana titik tola atau langkah awal kajian ilmu tersebut. Tanpa ini, para pengkaji akan sangat sulit menangkap apa yang sesungguhnya ilmu hadis tersebut. Dalam hubungan ini, yang pertama ditentukan adalah bahwa kajian ini berada dalam kapling sejarah, karena yang dipelajari adalah

data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah SAW dan para periwayat hadis.

Ketika kata hadis hendak diberi batasan maknanya, maka satu hal yang langsung tergambar atau terlintas dalam fikiran adalah bahwa adanya tmapkan sosok Muhammad SAW yang membimbing umatnya dengan ucapan, perbuatan dan sikap beliau lima belas abad yang lalu.

Pokok-pokok bahasan keilmuan didekati lewat pendekatan kronologi historis sejak hadis itu keluar dari sumber pertamanya Rasulullah hingga mengalir dan mengenangi kitab hadis di abad ke dua, ketiga dan keempat. Tema-tema pokok yang perlu mendapat uraian dalam analisis historis ini adalah penulisan hadis zaman Rasulullah SAW dan zaman sahabat. Kondisi sosio politis abad pertama, riwayat hadis dan berbagai hal yang kedua, sistematisasu ilmu hadis dan kristalisasi istilah-istilah teknis dalam analisis ilmu hadis, ilmu dalam makna substantive dan dalam makna sistematis, perumusan makna hadis, ilmu hadis riwayat dan ilmu hadis dirayah, berbagai aspek yang berhubungan dengan kritik sanad dan kritik matan, dan berbagai aspek yang berhubungan dengan takhrij al-Hadis.

2. Ilmu Hadis dalam Dimensi Fiqh al-Hadis

Analisis historis yang puncaknya proses kritik sanad dan matan mengantar kepada kita puluh ribuah hadis yang shahih atau minimal hasan. Persoalan selanjutnya, bagaimana khazanah hadis ini dipahami untuk diamalkan atau dijadikan pegangan hidup. Hadis-hadis yang dinyatakan telah memenuhi criteria shahih atau dalam pengertian lebih luas maqbul sebagai hasil analisis historis ulama ahli hadis di atas,

tidak seluruhnya berhubungan dengan nagama atau dengan risalah atau tidak semua hadis yang ada bersumber dari Rasulullah SAW. Setelah menjadi Rasul. Ketika hadis hendak dijadikan sumber ajaran, hal-hal yang berhubungan dengan cakupan makna hadis ini perlu ada perumusan khusus.

Selanjutnya dalam analisis historis terutama pada proses kritik matan sesungguhnya perhatian ahli hadis padata muatan makna hadis sudah pernah dilakukan . ketika sebuah hadis misalnya dinyatakan syaz, disitu sudah berlangsung sebuah proses komparatif yang diakibatkan oleh adanya sejumlah matan dalam kasus yang sama bertentangan (dan tidak dapat dikompromikan) maknanya. Namun dalam hal ini, penyelesaiannya masih lebih terkurung pada analisis historis. Karena penyelesaiannya dilakukan dengan membandingkan kualitas sanad dalam pendekatan tarjih. Sanad yang lebih kuat dinyatakan rajah, dan matannya mahfuzh sementara yang lain, karena bertentangan dengan sanad yang lebih kuat dinyatakan syaz. Hadis syaz ini merupakan hadis yang marjuh, dha‟if, dan ghair mahjuzin serta ghair ma‟mul bih.

Analisis pada tataran komparasi historis ini belum dapat dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika seoarang pengamal hadis hanya terkurung pada analisis historis ini, maka setiapp ada perbedaan lafal atau makna sekecil apapun pada sejumlah hadis langsung saja melakukan tarjih untuk penyelesaiannya. Ketika ada dua hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini terkadang juga terlihat sikap pemakai

hadis yang hanya berpegang kepada tertib urut martabat kitab-kitab hadis yang bersifat umum (jumlatan), bukan bersifat hadis per hadis (tafshilan).

Penyerderhanaan penyelesaian hadis ini agaknya telah menyebabkan kaedah-kaedah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif tidak begitu berkembang. Bahasannya dalam kitan-kitab ulum al-Hadis hanya sebatas pengertian ilmu secara umum tanpa ada uraian yang menyeluruh dan mendalam, terutama uraian langkah-langkah penyelesaiannya yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ahli hadis di masa lalu. Uraiannya pun tumpang tindih antara musykil al-Hadis, ikhtilaf al-Hadis, talfiq al-Hadis, gharib al-Hadis, nasakh, dan tarjih dan sebagainya. Demikian juga menyangkut asbab al-wurud atau persoalan kontekstualitas hadis terkesan berdiri sendiri. Pada hal kaedah-kaedah yang berhubungan dengan aspek kontekstualitas ini, umumnya berkaitan erat dengan masalah „am dank hash atau muthlaq dan muqayyad yang merupakan sub-kaedah dalam penyelesaian al-jam‟u atau talfiq al-Hadis. Al-Jam‟u ini sendiri merupakan langkah awal dalam penyelesaian ikhtilaf al-Hadis.

Segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaedah-kaedah-kaedah fiqh al-Hadits ini, sesungguhnya bagi seorang analis ilmu hadis atau pengamal hadis tidak perlu melakukan ijtihad yang rumit untuk merumuskan kaedah-kaedah baru. Semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu. Cuma saja kaedah-kaedah dimaksud terberai dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, kitab-kitab hadis, kitab-kitab syarah hadis dan kitab-kitab tafsir, tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kitab khusus.

Karena itu , ketika umat Islam di zaman modern ini hendak kembali kepada hadis, kaedah-kaedah dimaksud kurang diperhatikan. Akibatnya, sebuah idealism kembali kepada al-Qur‟an dan hadis tidak dibarengi dengan penguasaan kaedah-kaedah yang dimaksud telah melahirkan fakta kontra produktif yang memilukan umat sendiri sebagai sendiri sebagai yang telah disebutkan di atas.

Berangkat dari kegelisahan seperti inilah maka upaya sistematisasi kaedah-kaedah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Lepas dari kekurangan

dan keterbatasan sumber, wawasan, dan

intelektualitas. Penulis mencoba merintis jalan kea rah sistematisasi keilmuan di bidang ilmu hadis yang bernilai strategis ini. Terutama pada aspek yang disebutkan terakhir menyangkut kaedah-kaedah pemahaman hadis.

Kedua kajian ilmu hadis, analisis historis dan fiqh al-Hadis sama pentingnya. Tanpa yang pertama malah yang kedua tak dapat dilakukan. Sesungguhnya demikian. Karena ilmu hadis pada dimensi historis ini, sudah cukup banyak, baik dalam bahasa aslinya atau dalam bahasa Indonesia, maka untuk langkah pertama lebih diutamakan pengkerangkaan bagian yang kedua yaitu fiqh al-Hadis.

Kajian terhadap kaedah keshahihan sanad hadis dilakukan juga dalam bentuk tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah. Yakni, kajian berupa menilai dan atau membandingkan kaedah dimaksud dengan seperangkat teori yang terdapat dalam ilmu sejarah.

Sebagaimana telah dikemukakan di uraian terdahulu, hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur‟an. Disisi lain, hadis merupakan fakta sejarah yang

berhubungan dengan pernyataan, perilaku, perikeadaan dan taqrir Nabi SAW.

Ulama hadis telah melakukan penelitian hadis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan apakah sesuatu yang disebut hadis Nabi itu benar-benar shahih berasal dari Nabi ataukah tidak. Dengan demikian, ulama hadis sesungguhnya telah pula melaksanakan salah satu tugas sejarawan, berupa kegiatan pengujian terhadap fakta sejarah, dalam hal ini hadis Nabi.

Pengkajian ilmu hadis pada aspek pemahaman hadis secara umum masih sangat terkurung pada aspek historis (analisis sanad). Ini bermakna bahwa berbagai penyelesaian persoalan hadis sering dianggap selesai dengan pendekatan kritik sanad dan matan untuk menentukan ṣaḥīḥ tidaknya sebuah hadis atau menentukan ṣaḥīḥ dan lebih ṣaḥiḥ. Jika ada kasus hadis yang terkesan paradoks (mukhtalif), maka jalan yang ditempuh langsung masuk kepada upaya men-tarjīh satu sanad dan me-marjūh yang lain. Tindakan seperti ini mengakibatkan pemakai hadis akan mengamalkan sebuah hadis yang dianggap lebih atau paling ṣaḥīḥ dan meninggalkan hadis-hadis lain yang juga berkualitas ṣaḥīḥ.

Loncatan jauh kepada tarjīh ini agaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa kajian ilmu hadis dipandang sudah sampai puncak jika sudah dapat melakukan studi kritik sanad dengan menerapkan kaedah-kaedah jarah dan ta‟dīl dan beberapa aspek tentang kritik matan. Adapun yang berhubungan dengan pemahaman teks kalaupun ada hanya bersifat sekilas dan dangkal tanpa memasukkan analisis tentang penyebab terjadi berbagai bentuk mushkīl atau ikhtilāf hadis (komparasi antara dua hadis atau lebih) ataupun ikhtilāf fī fahm al-Ḥadīth (teks tertentu dalam sebuah hadis), serta kaedah-kaedah yang sangat patut diperhatikan seperti kaedah-kaedah yang berhubungan dengan gharīb, majaz, isti‟ārah, kinayah, al-jam‟u,

khash, „am, jawamī‟ kalīm, asbāb wurūd, tanawwū‟ fī al-„ibadah, amal rawī, amal sahabat, ta‟awwūl al-Qur‟ān, dan

sejumlah kaedah lain. Semua kaedah dimaksud seharusnya sudah digunakan sebelum loncat ke dalam pendekatan nasakh dan selanjutnya tarjīh.24

Dari segi metodologi telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan di antara para ahli hadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada. Perkembangan penyusunan kitab „Ulūm al-Ḥadīth memiliki siginifikansi perbedaan yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap periode memiliki karakteristik tertentu yang masing-masing memiliki maksud dan tujuan yang tertentu pula. Sebelum periode Ibn Ṣalah, manhaj penyusunan seperti itu didasari rasa prihatin akan kondisi yang terjadi pada zamannya dan kemunduran dalam perlakuan ilmiah terhadap periwayatan hadis. Juga, dimaksudkan untuk mengoreksi kecendrungan tersebut. Oleh sebab itu, dalam manhaj penyusunannya dimulai dengan gambaran yang berupa memberikan rangsangan pada pembacanya untuk kembali memperhatikan dan mempelajari hadis.25

Namun perlu disadari bahwa tradisi kenabian jauh lebih kompleks dibanding penuturan sebuah hadis. Karena dalam sebuah teks (within text) terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar pembaca lebih mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disajikan Rasulullah SAW. Dikatakan demikian, karena hadis hanyalah sebagian personifikasi Rasulullah dan sahabatnya, sehingga jika hadis ditarik dan dipisahkan dari

24 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Aceh: Citra Karya, 2002), h. 10.

25 Muhammad Dede Rodliyana, “Pergeseran Pemikiran „Ulum al-Ḥadīth dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran „Ulum al-al-Ḥadīth di Indonesia” (Tesis: UIN Jakarta, 2003), h. 102-103.

asumsi-asumsi sosial sangat mungkin terjadi distorsi informasi atau bahkan salah paham. Jadi, tanpa memahami motif dan tujuan dibalik penyampaian sebuah hadis, suasana sosio-historis-psikologis, dan audien yang dihadapi oleh Rasulullah, maka sangat mungkin pembaca akan salah paham ketika membaca sebuah hadis. Apalagi, ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks maka sangat potensial akan melahirkan salah paham dikalangan pembaca.26

Analisis pada tataran komparasi historis belum dapat dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika seorang pengamal hadis hanya terkurung pada analisis historis ini, maka setiap ada perbedaan lafal atau makna sekecil apapun pada sejumlah hadis langsung saja melakukan tarjih untuk penyelesaiannya. Ketika ada dua hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini terkadang juga terlihat sikap pemakai hadis hanya berpegang kepada tertib urut martabat kitab-kitab hadis yang bersifat umum (jumlatan), bukan bersifat hadis perhadis (tafṣilan).27

Menurut Daniel Djuned dalam karyanya ia menjelaskan bahwa segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaedah-kaedah Fiqh al-Ḥadīth sesungguhnya bagi seorang analis ilmu hadis atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit untuk merumuskan kaedah-kaedah baru. Semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu. Cuma saja kaedah-kaedah dimaksud terberai dalam kitab fikih dan Uṣūl al-Fiqh, kitab hadis,

26 Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutikh, h. 14.

27 Daniel Djuned, Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh

kitab syarah hadis dan kitab-kitab tafsir, tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kitab khusus. Karena itu, ketika umat Islam zaman modern ini hendak kembali kepada hadis, kaedah-kaedah dimaksud kurang diperhatikan.28 Upaya sistematisasi kaedah-kaedah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Para ahli hadis khususnya di Indonesia mencoba merintis jalan ke arah sistematisasi keilmuan di bidang ilmu hadis yang secara fakta belum banyak ditemukan dan dibuat oleh ahli hadis lainnya, baik oleh ahli hadis di Timur Tengah ataupun di Barat sekalipun.

Penelitian terhadap hadis sangat diperlukan, karena hadis sampai kepada umat Islam melalui jalur dan jalan periwayatan yang panjang. Sehingga wajar apabila terdapat kesalahan-kesalahan terhadap pemahaman hadis Nabi SAW tersebut. Hadis tidak bertambah jumlahnya setelah wafatnya Rasulullah SAW sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual dengan berbagai bentuk dan kaedah-kaedahnya.29

Dan kemungkinan pemakaian metodologi baru dalam memahami hadis pada kondisi permasalahan masyarakat Indonesia yang komplek sangatlah mungkin terjadi.

Dengan melihat keadaan yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis, maka terkadang sebuah hadis bisa dipahami secara tekstual maupun kontekstual, atau dipahami secara historis maupun normative. Oleh karena itu, Fazlurrahman menyebutkan hadis Nabi sebagai sunah yang

28 Daniel Djuned, Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh

al-Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), h. 22.

29 Yunahar Ilyas dan M. Mas‟udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap

hidup. Formalisasi sunah atau verbalisasi sunah, dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Hadis Nabi harus ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi dewasa ini.30

Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Maḥmud Shaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.31

Hadis sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan dalam sebuah bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai sebuah bahasa keagamaan tentu sedikit tidaknya berbeda dengan bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu ciri yang paling menonjol dalam bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian bahasa metaforis. Hal ini agaknya tak dapat dihindari karena untuk membahasakan dan mengekspresikan tentang Tuhan dan objek yang abstrak, manusia tak bisa tidak mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-simbol. Bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang ucapan itu sendiri. Bahasa

30 Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 38.

31 Maḥmūd Shaltut, Al-Islām „Aqidah wa Shāri‟ah (Kairo: Dār al-Qalam, 1996), h. 513.

metaforis ini tampaknya cukup efektif menghancurkan kesombongan masyarakat Jahiliah.32

Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat diungkapkan sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya (bukan makna aslinya) karena adanya hubungan („alaqah) diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut.33 Jadi pengalihan makna hakiki kepada majazi dilakukan karena adanya „alaqah (korelasi) dan qarinah (tanda-tanda) yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.

E. Aplikasi

Kaedah-kaedah yang berhubungan dengan ilmu yang sangat strategis ini kini masih terserak dalam karya-karya besar di bidang fiqh dan ushul fiqh serta dalam kitab-kitab syarah hadis dan tafsir. Karena itu, untuk memudahkan para peneliti hadis dan ilmu hadis, dirasa sangat perlu adanya kerangka yang jelas tentang paradigm dan falsafah ilmu hadis. Salah satu contoh penelitian konseptual ilmu hadis adalah pada abad XIX dan XX, para sarjana Barat, seperti Goldziher, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas teori kritik hadis yang digunakan oleh para sarjana muslim dan sekaligus mempertanyakan otentisitas hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis kanonis.34 Sebagai kelanjutannya, mereka mulai merumuskan teori teori baru yang diharapkan akan betul-betul mampu menyeleksi dan memisahkan hadis-hadis palsu dari yang ṣaḥīḥ. Di antaranya

32 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 82.

33 Aḥmad Ḥashimi, Jawāhir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 290.

34 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007), h. 2.

mereka menggunakan metode common link dalam kajian hadis. Konsep common link dan implikasi metodologisnya digunakan secara sistematis dalam kesarjanaan hadis Muslim, ia secara ekstensif telah digunakan sebagai sebuah alat penelitian yang sangat kuat dalam kesarjanaan hadis Barat, meskipun beberapa sarjana Barat menolaknya. Namun demikian, common link telah ditafsirkan secara berbeda. Perbedaannya terletak bukan hanya pada bagaimana menentukan common link tetapi juga pada apakah common link dianggap sebagai originator (pemrakarsa atau pembuat) dari sebuah hadis tertentu. Yang cukup menarik, dengan menggunakan teori common link, sejumlah sarjana Barat akhir-akhir ini berhasil memberi penanggalan sejumlah hadis lebih awal dari yang dilakukan oleh Schacht, kampiun dari konsep ini, sementara sarjana Barat yang lain memberi penanggalan lebih belakangan. Sementara itu, penggunaan sejumlah sarjana Barat atas konsep the argumentum e silentio terbukti “berbahaya” atau tidak akurat, khususnya mengenai penelitian masa awal Islam.35

Josep Schacht misalnya merumuskan teori common link untuk meneliti asal usul dan otentisitas hadis Nabi. Dan masa berikutnya teori ini dikembangkan oleh Juynboll, salah

Dalam dokumen METODE PENELITIAN QUR AN DAN HADIS (Halaman 97-122)

Dokumen terkait