METODE PENELITIAN QUR’AN DAN HADIS
Penulis: IHSAN NUL HAKIM
YUSEFRI M. TAQIYUDDIN HASEP SAPUTRA RAPIA ARCANITA BUSRA FEBRIYARNI NURMA YUNITA Editor: Dwi Sulastyawati
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
METODE PENELITIAN QUR’AN DAN HADIS
Metode Penelitian Quran dan Hadis Penulis: Suprapto, dkk. ISBN: ……….. Editor: Dwi Sulastyawati Layout: Eki Adedo Desain Cover: Sapta Nugraha Penerbit: P2M STAIN Curup Redaksi:
Jl. Dr. Ak. Gani No. 1 Curup, Rejang Lebong, Bengkulu Phone: 0732-21010
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan nikmat yang tak terkira banyaknya, sehingga Buku Konsorsium Qur`an Hadis tahun 2017 yang memuat tulisan-tulisan ilmiah para dosen yang berada di dalam naungan Konsorsium Qur`an Hadis.
Adapun tulisan ini berisi tentang Eksistensi Studi Alquran dan Hadis di Perguruan Tinggi Agama Islam, Penelitian Konseptual Ilmu Alquran, Penelitian Tokoh Tafsir, Penelitian Living Quran, Penelitian Konseptual Ilmu Hadis, Penelitian Kesahihan Hadis, Penelitian Ma'ani Al-Hadis, dan Penelitian Living Hadis yang disusun oleh dosen-dosen Qur`an Hadis di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup.
Kepada tim penulis buku ini disampaikan terima kasih atas jerih payah yang telah dicurahkan sehingga terbitnya buku ini. Semoga Allah SWT meridhai segala usaha kita.
Allahumma Amiin.
Curup, 8 November 2017
Kepala P2M STAIN Curup,
DAFTAR ISI
Eksistensi Studi Alquran dan Hadis di
Perguruan Tinggi Agama Islam
Ihsan Nul Hakim___1
Penelitian Konseptual Ilmu Alquran
Nurma Yunita___30
Penelitian Tokoh Tafsir
M. Taqiyuddin___56
Penelitian Konseptual Ilmu Hadis
Hasep Saputra___77
Penelitian Kesahihan Hadis
Yusefri___107
Penelitian Ma'ani Al-Hadis
Rapia Arcanita___131
Penelitian Living Hadis
Busra Febriyarni___155
Penelitian Living Quran
1
DAN HADIS
DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM Ihsan Nul Hakim
Studi Alquran dan studi Hadis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari studi Islam. Dari sekian banyak objek kajian dalam studi Islam, Alquran dan Hadis merupakan kajian intinya. Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan sumber dari ajaran Islam. Cabang-cabang studi Islam lainnya selalu merujuk dan tidak bisa lepas dari kedua sumber ini.
Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman, kajian Alquran dan kajian Hadis adalah disiplin ilmu yang sudah lama kehadirannya. Di dunia Islam secara umum, kajian Alquran dan kajian Hadis sudah dimulai sejak periode klasik, abad pertengahan hingga era globalisasi sekarang ini. Di Indonesia sendiri keduanya sudah dimulai sejak masa awal masuknya Islam di Nusantara. Kajian Alquran dan Hadis berjalan seiring berdirinya pusat-pusat
pengajaran Islam seperti langgar, masjid, pesantren dan sebagainya.
Keberadaan kajian Alquran dan Hadis di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) juga dimulai sejak awal berdirinya lembaga pendidikan tinggi ini. Alquran dan Hadis menjadi bagian dari kurikulum dari IAIN sejak pertama kali didirikan di Yogyakarta tahun 1960-an, bahkan lebih awal dari itu jika pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta tahun 1945 dijadikan patokan.1 Kajian tentang
keduanya terus berkembang, mulai dari kajian tekstual (normatif) hingga kajian aktual (empiris). Bahkan saat ini telah berkembang pula apa yang disebut dengan kajian living
Qur’an dan living Hadis, yang akan diuraikan panjang lebar
pada bab-bab berikutnya.
Sebagai pendahuluan dari buku ini, pada bagian pertama buku ini akan dipaparkan secara kronologis keberadaan dan perkembangan studi Alquran dan Hadis di PTAI di Indonesia. Sebelum masuk pada bahasan inti ini, akan dijelaskan secara sepintas tentang studi Alquran dan studi Hadis itu sendiri.
A. Studi Alquran
Studi Alquran biasa diartikan dengan kajian-kajian yang berkaitan dengan Alquran. Dalam istilah bahasa Arab, kegiatan demikian itu biasa disebut dengan „Ulum al-Qur’an.
1Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta:
3
Para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut:
1. Menurut al-Zarqani, „Ulum al-Qur’an adalah beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Alquran al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu‟jizatan-nya, nasikh mansukhkemu‟jizatan-nya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya 2. Al-Shabuni menyatakan bahwa „Ulum al-Qur’an adalah
ilmu-ilmu yang membahas tentang turunnya Alquran, pengumpulannya, susunannya, makkiyah dan madaniyah-nya serta mengenai nasikh dan mansukhmadaniyah-nya, muhkam dan
mustasyabih-nya dan lain-lain yang sehubungan dengan
Alquran
3. Menurut Manna al-Qaththan, „Ulum al-Qur’an adalah ilmu yang mencakup segala pembahasan yang berhubungan dengan Alquran dari segi sebab turunnya, pengumpulan dan urutan-urutannya, pengetahuan
ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, nasikh dan mansukh,
muhkam dan mutasyabih, dan hal-hal lain yang terkait
dengan Alquran
4. Al-Suyuthi mengatakan bahwa „Ulum al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang keadaan Alquran dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan lafazh-lafazhnya maupun yang
berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.2
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa „Ulum al-Qur’an secara umum dapat didefinisikan, kajian, studi atau ilmu yang membahas segala sesuatu terkait perihal Alquran dari berbagai aspeknya.
Secara umum, Abdul Jalil membagi wilayah studi Alquran atau ilmu-ilmu yang mempelajari tentang Alquran menjadi dua macam, yaitu:
1. Ilmu yang membahas tentang lafal (pengucapan) 2. Ilmu yang membicarakan tentang makna-maknanya
Adapun yang dibahas dalam ilmu tentang lafal-lafal Alquran adalah ilmu-ilmu tajwid dan qira’ah, diantaranya: - Ilmu tentang cara melafalkan huruf-huruf dan
ketentuan-ketentuan khusus yang harus diberlakukan terhadap huruf-huruf itu ketika sendirian atau tersusun,
seperti mendengung, mengganti, hukum-hukum
berhenti, mulai dan semacamnya
- Ilmu tentang pemeliharaan dan pengarahan terhadap tujuh qiraat dan tiga qira’at lainnya, qira’at para shahabat serta qira’at yang tidak lazim (syaz)
- Ilmu tentang jumlah surat, ayat, kata dan huruf Alquran, dan ilmu tentang pembatasan jumlah semua surat, ayat, kata dan huruf Alquran. Ilmu tentang kekhususan aturan
2 Abu Azwar, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Hamza,
5
penulisan Alquran dan perbedaannya dengan bentuk tulisan Arab yang dikenal dan digunakan.
Adapun ilmu-ilmu yang membahas tentang makna-makna Alquran atau membahas Alquran dari segi maknanya, antara lain:
- Ilmu yang membahas makna-makna yang umum, seperti
tanzil, ta’wil, makna lahir dan batin, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh.
- Ilmu yang membahas ayat-ayat hukum. Ilmu ini pada hakikatnya merupakan cabang dari pembahasan-pembahasan fikih.
- Ilmu yang membahas makna-makna Alquran yang dikenal dengan nama tafsir.3
Ulama telah mengembangkan berbagai metode dalam menafsirkan Alquran. Beberapa metode yang dikenal sejauh ini seperti metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudhu’i, merupakan klasifikasi yang dilihat dari berbagai sudut operasional. Dari segi sumbernya, metode tafsir dibedakan antara metode riwayah (bi al-ma’tsur) dan metode dirayah (bi
al-ra’y). Dari segi panjangnya penjelasan metode tafsir dapat
dibagi menjadi tafsir ijmali dan tafsir tahlili. Dari segi teknik penyajian dibedakan pula metode tafsir muqaran dan metode
tafsir maudhu’i.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, metode global (ijmali) agaknya adalah metode tafsir yang pertama kali
3 Abdul Djalal H.A., Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, t.th),
muncul dengan mengambil bentuk bi al-ma’tsur kemudian diikuti bentuk bi al-ra’y. Metode ini terus berlangsung hingga selanjutnya melahirkan metode analitis (tahlili). Metode ini juga ada yang berbentuk bi ra’y maupun bi
al-ma’tsur. Dalam perkembangannya ulama tafsir berusaha
menitikberatkan kajian tafsir pada bidang-bidang tertentu seperti tasawuf, ilmiah, filsafat, bahasa, teologi dan sebagainya, sehingga melahirkan corak-corak tertentu dalam karya-karya tafsir.4
Di era modern, tepatnya pada paruh kedua abad ke-20 muncul pula metode baru yang disebut metode tafsir tematik (maudhu’i) yang dipelopori oleh Ahmad Kumi.5
Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang diterapkan sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i mempunyai dua model. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Alquran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak
4 Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 58.
7
terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Alquran yang mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut.6
Penelitian tafsir di era modern selanjutnya menghadirkan pula cara baru yang disebut dengan metode holistik (kulliy). Metode ini awalnya diperkenalkan oleh Fazlur Rahman dengan sebutan metode hermeunetik ini lalu diteruskan oleh sarjana lainnya seperti Amina al-Wadud Muhsin. Metode yang sebenarnya pengembangan dari metode tematik ini pada dasarnya menekankan pentingnya memahami Alquran dengan metode silang (cross referential),
integralistic atau induktif. Perbedaan antara metode tematik
dan metode holistik adalah bahwa kalau metode tematik lebih menekankan pada bahasan topik demi topik atau surah demi surah, sedangkan metode holistik lebih menfokuskan pada upaya menemukan ruh, spirit atau prinsip-prinsip umum Alquran secara keseluruhan.7 Pada
intinya, bagi metode holistik keseluruhan Alquran harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu (coherent).
6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996),
h. xii-xiv.
B. Studi Hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat pada Alquran maupun hadis.8 Ada beberapa fungsi Hadis sebagi sumber
hukum yang kedua setelah Alquran. Di antara fungsi Hadis terhadap Alquran adalah sebagai berikut:
1. Bayan Taqrir (penguat),9 yaitu posisi Hadis sebagai penguat (taqrir) hukum yang telah ditetapkan di dalam Alquran.
2. Bayan Tafsir (penjelas), yaitu posisi Hadis sebagai penjelas terhadap ayat Alquran yang masih bersifat global. Ada tiga macam fungsi al Hadis dalam memberikan penjelasan terhadap Alquran, yaitu sebagai berikut:
a. Tafsir al-mujmal (memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Alquran yang masih bersifat global).
b. Takhshihsh al-‘amm (berfungsi sebagai mengkhusus-kan ayat-ayat Alquran yang umum).
c. Taqyid al-muthlaq (membatasi kemutlakan ayat-ayat Alquran).10
8 Diantaranya QS. 4: 59 dan Hadis Nabi tentang pengutusan Muaz
bin Jabal ke Yaman
9 Fathurrahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟rif,
1994), h.65
9
3. Bayan Tasyri’ (penetapan syariat),11 yaitu fungsi Hadis sebagai penetapan hukum yang baru yang belum ada dalam Alquran.
Penelitian atau studi terhadap Hadis telah banyak dilakukakan para ulama. Penelitian awal yang dilakukan oleh para muhadditsin, seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lain, masih terfokus pada takhrij hadits yang menitik beratkan pada kritik sanad. Kemudian muncul pula kajian kritik matan. Dan pada perkembangan selajutnya muncul pula kajian syarah Hadis (penjelasan makna hadis).
Ilmu Hadis muncul pada masa tabi’in. Az-zuhri dianggap sebagai peletak dasar ilmu Hadis. Ilmu ini dibagi dua yaitu: Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu hadis yang berupa periwayatan atau ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi. Objek kajiannya adalah bagaimana cara menerima dan menyampaikan hadis, bagaimana cara memindahkan hadis, bagaimana cara mentadwinkan hadis. Adapun kegunaannya adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya. Ilmu Hadis Dirayah atau disebut dengan ilmu Musthalah al-Hadits, yaitu ilmu yang mempelajari tentang keadaan hadis dari segi kesahihan, sandaran, maupun sifat-sifat rawinya. Objek kajiannya adalah sanad, matan dan rawi. Kegunaannya adalah untuk mengetahui pertumbuhan hadis, untuk mengetahui
tokoh hadis, untuk megetahui kaidah-kaidah yang digunakan, untuk mengetahui istilah dan kriteria hadis. Cabang ilmu Hadis Dirayah antara lain: Ilmu Rijal al-Hadits,
Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu Ilal al-Hadits, Ilmu Asbab al-Wurud,
dan Ilmu Mukhtaliful Hadis.12
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa wilayah kajian Hadis itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Tentang konsep dan pengertian hadis, sunnah, khabar, dan atsar. Termasuk pula di dalamnya klasifikasi hadis dari segi banyaknya perawi seperti hadis mutawatir dan hadis ahad.
2. Tentang sejarah pembukuan dan perkembangan hadis, mulai dari periode awal hingga sekarang
3. Tentang macam-macam kitab hadis
4. Tentang cabang-cabang ilmu hadis yang mencakup rijal
al-hadits, jarh wa ta’dil, ‘ilal al-hadits, gharib al-hadits, nasikh wa mansukh, asbab al-wurud..
5. Yentang ilmu musthalah al-hadits yang meliputi sanad dan
matan hadis.
6. Tentang unsur-unsur yang harus ada dalam menerima hadis: perawi, sanad dan matan.13
Hingga zaman modern ini, dapat diidentifikasi beberapa model kajian hadis, baik yang terkait dengan
12T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
11
keshahihan hadis maupun metode pemahamannya, sebagaimana berikut.
1. Model Penelitian Kesahihan Hadis14
Zain al-Din ‟Abd al-Rahim bin al-Husain al-Iraqiy dalam bukunya yang berjudul al-Taqyid wa Idhah Syarh
Muqaddiman Ibn al-Shalah mengemukakan hasil penelitian
tentang kualitas hadis dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadis generasi berikutnya. Sebelum zaman al-Iraqiy belum ada hasil penelitian hadis, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadis dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Jadi penelitian ini adalah penelitan yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun sebuah ilmu. Buku ini adalah buku pertama yang mengemukakan macam-macam hadis yang didadasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadis yang tergolong shahih, hasan, dan dha’if. Kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadis
musnad, muttashil, marfu’, mauquf, mursal, dan al-munqathi’.
Selanjutnya diihat pula dari kualitas matannya yang dibagi menjadi syadz dan munkar.
2. Model Kontekstualisasi Pemahaman Hadis
14 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja
Ini adalah model penelitian hadis yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, untuk menemukan substansi ajaran yang ada dalam hadis tertentu dilakukan dengan cara memahami konteks yang melatarbelakanginya. Konteks di sini ada dua: a) konteks mikro berupa sebab munculnya hadis (asbab al-wurud), dan b) konteks makro sejarah masyarakat Arab sebagai objek wahyu, baik pra-Islam maupun masa pewahyuan. Selain itu, ia juga menawarkan teori mengukur keabsahan sunnah qauli dengan ukuran perilaku Nabi sendiri.15
3. Model Penelitian Sejarah16
Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba‟iy dalam bukunya bercorak exploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan deskriptif analitis. Dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Hasil yang dilakukan penelitian antara lain, mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadist mulai dari Rasullullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadist dan usaha para ulama untuk membendungnya dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Jarh dan al-ta’dil, kitab-kitab tentang hadis-hadis palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.
4. Model Penelitian Induktif: kritik terhadap matan17
15 Khoirudin Nasution, Op. Cit., h. 116-117. 16 Abuddin Nata, Op. Cit., h. 244.
13
Melalui hasil penelitiannya, Muhammad Al-Ghazali menawarkan konsep kritik matan, yaitu cara mengukur keabsahan hadis berdasarkan kriteria tertentu. Ia menetapkan tiga kriteria: a) tidak bertentangan dengan Alquran, b) sejalan dengan kebenaran ilmiah, dan c) sejalan dengan fakta sejarah. Berpegang pada teori ini, hadis yang
sanadnya shahih dapat ditolak dengan alasan kandungannya
bertentangan dengan ketiga kriteria tersebut.18
5. Model Penelitian Lainnya19
Terdapat model penelitan hadis yang diarahakan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif‟at Fauzi Abd al-Muthalib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-sunnah pada abad ke-2 hijriyah, lalu Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis nabi. Mahmud al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad.
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadis tampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab belum banyak dilakuan. Misalnya pendekatan sosiologi, paedagogis, antropologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa
17 Ibid., h. 245.
18 Khoirudin Nasution, Op. Cit., h. 115. 19 Ibid., h. 248.
pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih bersifat parsial.
C. Studi Alquran dan Studi Hadis di PTAI
Sejak awal berdirinya PTAI, dengan tidak menyebut PTKIN, baik yang negeri maupun swasta, telah mengalami beberapa kali perkembangan bentuk, mulai dari sekolah tinggi, institut hingga universitas. PTAI telah memainkan peran sangat penting dalam mengembangkan dan memajukan studi Islam di Indonesia, termasuk studi Alquran dan Hadis, walaupun dalam perjalanannya lembaga pendidikan tinggi ini pernah ada sorotan bahwa perguruan tinggi ini “berada di persimpangan jalan”.20
Eksistensi studi Alquran dan Hadis dalam wadahnya yang bernama PTAI dapat dilihat dalam dua macam bentuk. Pertama, studi Alquran dan Hadis sebagai bagian dari program studi di PTAI. Studi Alquran dan Hadis dalam hal ini mengambil bentuk pendidikan formal keislaman. Kedua, studi Alquran dan Hadis sebagai objek kajian ilmiah atau akademik. Studi Alquran dan Hadis dalam konteks ini adalah berupa riset-riset atau kajian-kajian ilmiah yang dilakukan terkait kedua disiplin ilmu terebut, baik berupa riset dosen, penelitian mahasiswa
20 Johan Hendrix Meuleman, Islam in the Era of Globalization,
15
dalam rangka penyelesaian program studi, kajian seminar maupun jurnal ilmiah.
1. Studi Alquran dan Hadis sebagai Bagian Program Studi
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia cukup banyak jurmlahnya. Dengan jumlah yang mencapai ratusan, jika digabungkan yang negeri dan yang swasta, PTAI ini tersebar di seluruh wilayah, mulai dari provinsi yang paling Barat, yaitu di Aceh hingga Papua. Jumlah perguruan tinggi Islam yang berstatus negeri, sekarang disingkat dengan PTKIN, ada 54 buah. Yang berbentuk universitas ada 11 UIN, yang berstatus institut ada 24 IAIN dan sisanya 19 STAIN.21 Perguruan Tinggi Agama Islam
yang berstatus swasta, PTKIS, jumlahnya jauh lebih besar. PTKIS juga tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berada di kabupaten dan bahkan ada juga yang berada di kecamatan.
PTAI, baik yang berstatus negeri maupun swasta, baik di lembaga setingkat sekolah tinggi, institut maupun
universitas, semuanya menyelenggarakan dan
mengembangkan ilmu keagamaan atau keislaman. Ilmu-ilmu keislaman di PTAI antara lain tergabung dalam rumpun ilmu ushuluddin, ilmu syari'ah, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah dan ilmu adab. Meskipun berbeda status
21https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perguruan_tinggi_Islam_
kelembagaannya, namun sebenarnya antara bidang ilmu yang dikembangkan di sekolah tinggi, institut dan universitas Islam adalah sama. Rumpun keilmuan itu, jika di institut disebut fakultas, sedangkan di sekolah tinggi disebut jurusan. Perbedaan penyebutan itu, sesungguhnya tidak menggambarkan keluasan atau kedalaman keilmuan yang dikaji. Studi tafsir dan hadis tercakup dalam rumpun ilmu ushuluddin, dan secara kelembagaan berada di bawah naungan jurusan atau program studi tafsir hadis.
Keberadaan studi Alquran dan Hadis di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama dan punya catatan sejarah yang panjang. Sejak awal berdiri PTAI, Alquran dan Hadis menjadi bagian dari mata kuliah yang diajarkan di lembaga pendidikan tinggi ini.
Dalam sejarahnya, PTAI yang pertama kali di Indonesia adalah Sekolah Islam Tinggi (STI) yang didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam di Indonesia (PGAI) di Padang dan dipimpin oleh Mahmud Yunus. STI-PGAI yang diresmikan pada tanggal 9 Desember 1940 tersebut baru membuka dua fakultas: Fakultas Syari‟ah (Agama Islam) dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Program studi yang diselenggarakan STI terbagi dua macam: program sarjana muda dengan masa studi dua tahun dan program sarjana lengkap (doktorandus) dengan masa studi selama empat tahun atau menambah dua tahun berikutnya setelah program sarjana muda. Kurikulum yang diajarkan
17
ketika itu kebanyakan mencontoh kurikulum yang diterapkan pada kampus Al-Azhar di Kairo.22
Setelah STI-PGAI di Padang ditutup oleh kolonialis Jepang tahun 1942, STI yang lain juga muncul di Jakarta tanggal 8 Juli 1945 sebulan menjelang proklamasi kemerdekaan. Pendirian STI ini diprakarsai oleh tokoh organisasi, cendikiawan, dan ulama, seperti Moh. Hatta, kiayi Mansur, Muzakkir, dan Kafrawi. Visi dan misi yang diemban oleh lembaga pendidikan tinggi ini adalah untuk menghasilkan ulama-ulama intelek, tidak hanya kompeten dalam bidang agama namun juga dalam pengetahuan umum.23
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, STI ini dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1948 statusnya dan berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka empat fakultas, yaitu: Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan. Kemudian pada tahun 1951, Fakultas Agama UII dinegerikan dan berubah menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Bersama Menag dan Mendikbud. Ada tiga fakultas yang dibuka saat
22 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 117.
itu, yaitu: Fakultas Qadha, Fakultas Dakwah dan Fakultas Tarbiyah.24
Sembilan tahun kemudian, tepatnya bulan Mei 1960 Depag menggabungkan PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) yang didirikan tahun 1957 di Jakarta. Penggabungan ini melahirkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pertama yang bertempat di Yogyakarta. Ada empat fakultas yang dibuka waktu itu, yaitu: Fakultas Adab, Fakultas Syari‟ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin.25 Mata kuliah Alquran dan Hadis, baik di STI,
PTAIN maupun IAIN waktu itu, merupakan materi kajian pokok yang menjadi komponen inti mata kuliah.26 Hingga
munculnya kurikulum KKNI sekarang, disiplin ulumul qur‟an, tafsir dan hadis tidak hanya diajarkan pada jurusan atau program studi Tafsir Hadis tetapi juga menjadi mata kuliah dasar di seluruh jurusan atau program studi di PTAI.
Dari segi kurikulum, semua mahasiswa pada setiap fakultas mendapatkan materi ulumul qur‟an, tafsir, hadis dan ilmu hadis yang sama, kecuali mahasiswa yang mengambil jurusan Tafsir dan Hadis yang pada awalnya berada di Fakultas Syari‟ah. Mahasiswa yang mengambil jurusan Tafsir dan Hadis mendapatkan materi yang lebih banyak lagi. Pada jurusan ini, penambahan jumlah SKS
24 Ibid., h. 62. 25 Ibid.
26 Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
19
diberikan pada matakuliah-matakuliah yang berkaitan dengan kajian Alquran dan Hadis, dan tentunya ini diikuti dengan pengembangan dan perluasan materi dalam kedua bidang ilmu tersebut.
Jurusan Tafsir dan Hadis berpindah dari Fakultas Syari‟ah ke Fakultas Ushuluddin pada 1990. Sejak saat itu, materi kuliah Alquran dan Hadis diberikan secara lebih komprehensif, baik sebagai mata kuliah dasar keahlian (MKDK) maupun sebagai mata kuliah keahlian (MKK). Dari segi literatur yang digunakan, kurikulum IAIN terutama sejak kurikulum 1994 jauh lebih kaya dibandingkan dengan masa sebelumnya.27
2. Studi Alquran dan Hadis sebagai Riset dan Kajian
Jacgues Waardenburg pernah menyatakan bahwa studi Islam secara umum dapat meliputi tentang Islam sebagai agama (Islam normatif) dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan Islam (Islam aktual). Menurutnya paling tidak ada tiga domain kajian Islam. Pertama, studi normatif tentang Islam, biasanya dilakukan oleh umat Islam sendiri, meliputi studi tafsir, hadis, kalam dan sebagainya. Kedua, studi non normatif terhadap Islam, biasanya dilakukan oleh akademisi di perguruan tinggi, meliputi ekspresi-ekspresi religius kaum muslimin yang faktual maupun yang hidup
27
(living Islam). Ketiga, studi non normatif terhadap kebudayaan dan masyarakat muslim dalam arti yang lebih luas, bisa dilakukan oleh muslim maupun non muslim, yang meliputi Islam dari sudut sejarah, budaya, sastra, antropologi dan sosiologi yang tidak mesti bertitik-tolak dari agama.28
Menggunakan patokan dari Waardenburg ini, keberadaan kajian Alquran dan Hadis di PTAI sejauh ini dapat dikatakan masih didominasi oleh studi normatif dan non normatif, terutama deskripsi dan komparasi kazanah pemikiran zaman klasik, seperti karya-karya tafsir para ulama terdahulu dan kitab-kitab hadis, metodologi mereka pada keduanya. Adapun aspek-aspek kebudyaan dan masyarakat muslim masih bisa dikatakan minim.
Meskipun kajian tafsir tematik dan hadis tematik sudah mulai menggeliat di PTAI, namun keduanya juga masih berada dalam tataran normatif. Jika diamati lebih seksama, studi Alquran dan Hadis di PTAI khususnya dan Indonesia umumnya masih diramaikan oleh pendekatan dogmatis dan kurang berwawasan empiris-historis. Yang dimaksud dengan pendekatan yang disebut terakhir ini adalah studi Alquran dan Hadis dengan pendekatan atau kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi maupun psikologi.
28 M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
21
Hal ini barangkali sejalan dengan kritik yang dilontarkan oleh Mohammed Arkoun. Ia pernah menggugat kemapanan studi keislaman dan menawarkan paradigma kajian Islam yang lebih bercorak empiris. Menurutnya, perlu dikembangkan studi keislaman, termasuk kajian tafsir dan hadis, dengan pendekatan empiris-historis berupa pendekatan sosiologis-antropologis-psikologis terhadap teks-teks dan naskah-naskah keagamaan pada masa lampau.29
Jadi dalam hal ini kajian Islam pada umumnya dan tafsir-hadis pada khususnya memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai pisau analisisnya. Untuk mewujudkan hal ini, PTAI bisa mengarahkannya pada jalur riset-riset mahasiswa dan dosen pada lembaga seperti UIN, seminar, konfrensi dan jurnal-jurnal ilmiah.
Agak sulit memberikan gambaran menyeluruh tentang perkembangan studi Alquran dan Hadis berdasarkan hasil karya penelitian yang dilakukan oleh para alumni PTAI di Indonesia. Setiap tahun jurusan atau program studi Tafsir Hadis mengeluarkan sarjana dalam disiplin ini. Sudah tentu banyak skripsi, tesis maupun disertasi yang ditulis di bidang ini dan untuk melacak perkembangan karya-karya tersebut jelas butuh waktu dan riset tersendiri. Namun untuk hipotesa sementara, dengan sedikit data yang penulis dapatkan untuk saat ini, dapat dinyatakan bahwa studi
Alquran dan Hadis sebagai syarat penyelesaian program studi di PTAI masih didominasi oleh jenis penelitian kepustakaan dan kajian normatif.
Sebagai sampel, di sini penulis merujuk hasil karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Kalijaga. Dalam rentang waktu 2009 hingga pertengahan tahun 2015 terdapat sekitar 62 karya tesis. Menurut Muhammad Barir, jumlah ini berdasarkan data yang dapat diakses pada Katalog Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di antara 62 yang ada di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tersebut, 45 tesis merupakan hasil dari riset pustaka dan 17 lainnya merupakan hasil dari riset lapangan. Riset lapangan terlihat lebih sedikit terutama mulai dari tahun 2012 hingga pertengahan 2015. Bahkan, pada tahun 2013, 2014, dan 2015 awal, tidak terdapat tesis yang merupakan hasil dari riset lapangan.30
Penelitian lebih awal yang dilakukan oleh Muh. Tasrif menyebutkan bahwa total karya tesis dalam kajian Hadis berjumlah sebanyak 47 penelitian tesis yang dikeluarkan oleh tiga IAIN terkemuka (Syarif Hidayatullah Jakarta, Sunan Kalijaga Jogja dan Sunan Ampel Surabaya, waktu itu masih berstatus IAIN) dalam rentang waktu dari 1986-2003. Di antara karya tersebut masing-masing terdiri dari 30 karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Kalijaga, 11
30 Muhammad Barir, Perkembangan Studi Hadis di PTAIN
Berdsarkan Karya Penulisan Tesis, Makalah Kuliah pada Program
23
karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan enam karya tesis yang dikeluarkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya.31
Dari 47 karya tesis itu, hanya ada tiga yang tesis yang berisi kajian gabungan Alquran dan Hadis sekaligus, dan selebih adalah murni kajian tentang Hadis, yaitu tesis-tesis yang berjudul: Telaah Kependidikan tentang Perlakuan Orang
Tua terhadap Anak menurut Alquran dan al-Hadis, Metodologi Pendidikan Agama Islam menurut Alquran dan As-Sunnah, dan Gagasan Paulo Freire tentang Pembebasan: Tinjauan Kritis dari Perspektif Alquran dan Hadis. Sisanya sebanyak 44 tesis
tentang Hadis mengkaji topik seputar metodologi, pemikiran tokoh, kitab Hadis, hadis tematik dan sejarah.32
Pada sisi lain, kajian-kajian seminar dan konfrensi tentang Qur‟an dan Hadis, baik yang diselenggarakan oleh prodi, jurusan maupun institut di PTAI yang ada di Indonesia, terus berlangsung setiap tahun. Misalnya adalah seminar tahunan yang diadakan oleh Qur‟an and Hadith Academic Society (QUHAS) 2015 pada tanggal 3 Desember 2015 di UIN Yogyakarta. Seminar ini mengangkat tema “peta kajian Alquran dan Hadis” yang diikuti para akademisi dari berbagai dosen PTKIN di Indonesia. Tema ini sengaja diusung oleh panitia di mana terdapat perkembangan studi kajian Alquran dan Hadis
31 Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia, (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2007), h. 80.
seiring dengan kebijakan yang diambil oleh kementrian Agama dengan keluarnya pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009, di mana studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan Tafsir serta Ilmu Hadis.
Seminar ini berlangsung dalam tiga sesi. Sesi pertamanya menghadirkan topik-topik berikut: Kajian Alquran dan Hadis di Institusi Pendidikan Islam di Indonesia oleh Arifuddin Ahmad, Kecenderungan Kajian Hadis di UIN Alauddin Makassar oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ragam Studi Hadis di PTAI Indonesia dan Karakteristiknya oleh Farah Nuril Izzah, dan Peta Perkembangan Literatur Hadis di Pesantren oleh Lilik Ummi Kultsum, MA dan Perkembangan Kajian Alquran di Prodi Tafsir Hadis Menuju KKNI.
Sesi kedua membahas topik-topik antara lain Living Qur‟an dan Living Hadith di Indonesia dengan nara sumber Muhamad Ali, Dari Kajian Naskah kepada Living
Qur’an dan Living Hadis: Pengantar Metodologi Penelitian
Kontemporer Alquran dan Hadis oleh Rifqi Muhammad Fathi, The Use and Non Use of Hadith on Religious Practices of
Indonesian Muslims oleh Didi Junaedi, Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Alquran dan How you be a Hafiz Al-Qur'an in 40 days oleh oleh Naqiyah.
Sesi ketiga terdiri dari kajia-kajian berikut: Kajian Alquran dan Hadis di Indonesia dalam Ragam Pendekatan Lain oleh Atiyatul Ulya, Pemahaman Hadis Pendekatan
25
Jender di Indonesia oleh Kusmana, Perkembangan Tafsir Maqasidi dalam Konteks Indonesia Modern oleh Izza Rohman, Perlakuan M. Quraish Shihab terhadap PandanganTafsir al-Tabataba‟i, dan Ragam Pengkajian Alquran di PSQ oleh Eva Fahrun Nisa Amrullah.
Selain itu, ada juga konfrensi tahunan yang mengkaji Islam secara umum termasuk di dalamnya kajian tafsir dan Hadis. Pada Annual International Confrence on Islamic Studies (AICIS) ke-16 tahun 2016 di Lampung berkaitan dengan sub tema Islamic thought terdapat enam paper hasil riset yang membahas tentang tafsir dan terjemahan Alquran.33 Dalam ajang AICIS yang ke-16 ini tidak terjaring
atau muncul kajian tentang Hadis.
Memang jika dibandingkan dengan riset tentang Alquran atau tafsir, kajian hadis yang dilakukan di lingkungan PTAI se-Indonesia bisa dikatakan agak tertinggal. Anggapan ini dapat dibuktikan dengan kenyataannya minimnya karya dan penelitian dalam bidang hadis yang terpublikasi.
Kondisi ini juga mendapat perhatian dari Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Hal itu disampaikannya saat acara Wisuda Sarjana ke-13 Darus Sunnah International Institute for Hadis Science di Ciputat. Menurut Lukman, kajian Hadis di perguruan tinggi Islam tampaknya juga masih belum berkembang secara maksimal,
33 Proshiding ACIS ke-16 tahun 2016, IAIN Raden Intan, Bandar
bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi di Perguruan Tinggi, tetapi juga di madrasah dan pesantren. Ke depan, diharapkan Institusi formal Perguruan Tinggi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN dan universitas Islam lainnya Hadis bisa menjadi andalan dalam kajian, karena PTAI memiliki sumberdaya ahli hadis, Program studi Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin, perpustakaan yang memadai, dan koleksi kitab-kitab hadis standar, disamping sistem pembelajarannya yang menekankan berpikir secara kritis dalam kajian Islam dibandingkan pesantren.34
Kritikan terhadap kajian hadis yang belakangan datang secara bertubi-tubi, direspon dan dikaji ulang oleh sarjana-sarjana muslim di perguruan tinggi. Pada tahun 2014 di Yogyakarta, dengan alasan kebutuhan intensitas kajian Alquran dan Hadis yang masing-masing dianggap akan lebih baik jika berdiri sendiri, maka terjadilah pemisahan antara jurusan yang intens mengkaji Alquran dan Tafsir dengan jurusan yang intens mengkaji Hadis. Dari sini pula muncul dua jurusan, yakni Ilmu Alquran dan Tafsir dan jurusan Ilmu Hadis. Pemisahan jurusan ini sekaligus menjadi sebuah eksperimen yang mencoba memberikan jawaban atas kurangnya karya di bidang hadis jika dibandingkan dengan Alquran.
Jika dicermati, ada beberapa faktor menyebabkan kondisi ini, diantaranya pertama, minimnya ilmuan atau para
34
27
peneliti yang berminat terhadap kajian hadis; kedua, masih banyak yang anggapan yang keliru terhadap kajian hadis, selama ini kajian hadis hanya dipandang untuk kalangan
salafi yang bersifat tradisionalis; ketiga, minimnya
pengembangan kajian hadis yang variatif, selama ini kajian hadis hanya sebatas dari segi normatif; keempat, belum banyak jurnal yang terbit khusus untuk kajian hadis.35
Pada dekade terakhir ini perkembangan yang mengembirakan yang dijumpai dalam kajian Alquran dan Hadis. Alquran dan Hadis yang dijadikan objek kajian di PTAIN telah dikaitkan dengan studi kontekstual dengan mempertimbangkan aspek historisitas yang berkaitan dengan unsur kebudayaan, sosial, dan politik yang mengitarinya dan menjadi aspek vital yang berkembang dalam masyarakat ketika era rasulullah. Salah satu tokoh yang banyak dijadikan acuan oleh akademisi di PTAI baik dosen maupun mahasiswa dalam melakukan interpretasi Alquran dan Hadis secara kontekstual adalah Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya, yang telah dikemukakan terdahulu.
Era globalisasi dan teknologi komunikasi telah mendorong masuknya keilmuan sosial, antropologi, etnografi, fenomenologi, dan lain sebagainya dalam kajian Alquran dan Hadis. Dengan keilmuan dan paradigma tersebut, lahir pulalah kajian baru yang disebut living qur’an
35
dan living Hadis dan bahkan baru-baru ini sudah terbit pula buku yang membahas metodologi penelitian tentang kajian baru ini,36 suatu bentuk kajian fenomenologis atas gejala
yang muncul dan berkembang di masyarakat yang didasari oleh Alquran dan Hadis sebagai esensi fenomena tersebut. Penelitian tentang living qur’an dan living hadis ini dan metodologinya juga menjadi salah satu pembahasan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam buku ini.
Daftar Pustaka;
Abu Azwar, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Hamza, 2004).
Abdul Djalal H.A., Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, t.th). Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 2006).
Fathurrahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟rif, 1994).
Johan Hendrix Meuleman, Islam in the Era of Globalization, (Jakarta: INIS, 2001).
Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Accademia Tazzafa, 2004).
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996). Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995).
36 Sahiron Syamsuddin (ed.), Metodologi Living Qur’an dan Hadis,
29
Muhammad Barir, Perkembangan Studi Hadis di PTAIN Berdsarkan
Karya Penulisan Tesis, Makalah Kuliah pada Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
antara Disiplin Ilmu, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001).
Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007).
Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
Proshiding ACIS ke-16 tahun 2016, IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, 1 -4 November 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perguruan_tinggi_Islam_n egeri_di_Indonesia http://www.tongkronganislami.net/perkembangan-kajian-hadis-di-perguruan/ http://www.nu.or.id/post/read/60011/menag-sayangkan-studi-hadist-di-indonesia-masih-langka http://ushuluddin.uin-uka.ac.id/page/berita/detail/22/kajian-hadis-di-indonesia-berkembang-pesat
29
PENELITIAN KONSEPTUAL
ILMU AL-QURAN
Nurma Yunita
A. Pendahuluan
Konsep secara etimologi berasal dari bahasa inggris (concept) dan diindonesiakan menjadi kata konsep yang berarti rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit, gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami sesuatu.1
Menurut Muin Salim, setelah meneliti uraian konsep berkesimpulan bahwa ia bermakna leksikal ide pokok yang mendasari suatu gagasan atau ide umum.2
Sedangkan penelitian berasal dari bahasa inggris “research” (re berarti kembali, dan search berarti mencari). Sehingga dapat diartikan bahwa penelitian itu adalah mencari kembali.3 Dikatakan
mencari kembali karena sebelumnya sudah ada yang meneliti. Dalam bahasa Indonesia, padanan kata riset sering digunakan
1Anton, M. et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka,
1990), h. 456.
2Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur‟an, (Ujung Pandang:
LSKI,1990), h. 17.
3Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta; Raja Grapindo
istilah penelitian. Penelitian didefinisikan sebagai suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dan usaha-usaha itu dilakukan dengan metode ilmiah.
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:
a. Sistematik, Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
b. Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian. d. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek
subyektif yaitu tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.
e. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel
menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.4Begitu juga
dalam melakukan riset atau penelitian Al-Quran, sangatlah diperlukan karakteristik-karakteristik penlitian di atas. Al-Quran adalah kalam dan wahyu Allah (QS. Asy-Syu‟ara:2), kitab suci bagi umat Islam, tidak ada keraguan di dalamnya (QS.Al-Baqarah:2). Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim (QS. Al-Baqarah:185). Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Hablun min Allah wa hablun
min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk
memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan seharihari secara sungguh-sungguh dan konsisten. Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW (QS.Al-Baqarah:23). Diturunkan dalam bahasa Arab (QS.Yusuf:2), baik lafaz maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna.5
Kendati Al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Quran secara rinci. Al-Quran adalah kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Quran mampu meruntuhkan dominasi sya‟ir-sya‟ir Sastrawan Arab, hingga tidak berdaya di hadapan Al-Quran. Kitab suci Al-Quran sebagai pedoman umat Islam harus dipahami dengan benar. Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami Al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk
4Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 55.
5Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur‟an Tafsir, (Jakarta:
menerjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut Ulumul Qur‟an.6
Dalam penelitian atau riset studi Al-Quran dan tafsir khususnya untuk keperluan penulisan skripsi, tesis dan disertasi, maka penelitian ilmiah adalah sebuah upaya menyingkap problem akademik, terkait dengan isu-isu kajian Al-Quran dan tafsir. Secara sistematis yang menjadi maslah penelitian, agar dapat memperoleh jawaban secara ilmiah, sesuai dengan metodologi yang menjadi aturan dan kesepakatan dalam komunitas dunia akademik.7Dengan demikian, apabila sebuah penelitian ilmiah
ersebut sudah memenuhi karakteristik tersebut di atas maka ditemukan jawaban atau hasil yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, dan orang lain dapat menerima dengan puas atas hasil penelitian tersebut.
Pada menggali ataupun memahami ayat-ayat Al-Quran diperlukan perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur‟an, Sosiologi, Antropologi dan budaya guna mewujudkan Al-Quran sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman. Memang memahami ayat-ayat Al-Quran dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat Al-Quran yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Berkaitan dengan pengkajian Al-Quran ada beberapa disiplin ilmu yang sangat penting untuk mengupas isi kandungan Al-Quran yaitu sebagai berikut:
6Ibid.,
7 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir (Yogyakarta: CV.
1. Ilmu Mawatin al-nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat.
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan tentang masa turun ayat dan tertib turunnya. 3. Ilmu Asbab al-Nuzul, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan
tentang sebab-sebab yang melatarbelakangi turunya ayat. 4. Ilmu Qira‟ah, yaitu ilmu yang menerangkan tentang
macam-macam bacaan Al-Quran, mana yang shahih dan mana yang tidak shahih.
5. Ilmu Tajwid, yaitu Yaitu ilmu tentang membaca Al-Quran, tempatmemulaidanpemberhentiandan lain-lain. 6. Ilmu Garib Al-Quran, yaitu ilmu yang membahas tentang
makna kata-kata (lafal) yang ganjil, yang tidak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
7. Ilmu I‟rab al-qur‟an, yaitu ilmu yang membahas tentang kedudukan suatu lafat dalam kalimat (Ayat), begitu pula dengan harakatnya.
8. Ilmu Wujuh wa al Nazair Yaitu ilmu tentang lafal-lafal dalam Al-Quran yang memiliki banyak arti, dan menerangkan makna yang dimaksud pada suatu tempat. 9. Ilmu Wajuh al-Muhkamwa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang
membahas tentang ayat-ayat yang dipandang mukhkam dan ayat-ayat yang dipandang mutasyabih.
10. Ilmu Nasikh wa Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagaian ulama.
11. Ilmu Bada‟i Al-qur‟an yaitu ilmu yang membahas tentang keindahan susunan ayat-ayat Al-Quran, menerangka naspek-aspek kesustraan Al-Quran serta ketinggian balahgohnya
12. Ilmu I‟jaz Al-qur‟an yaitu ilmu yang secara khusus membahas tentang segi-segi kemukjizatan Al-Quran.
13. Ilmu Tanasubayat Al-qur‟an, yaitu ilmu yang membahas tentang kesesuaian tentang suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilmu Aqsam Al-qur‟an, yaitu ilmu yang membahas tentang arti dan tujuan sumpah Tuhan dalam Al-Quran.
15. Ilmu Amssal Al-qur‟an yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al-Quran.
16. Ilmu Jadal Al-qur‟an, yaitu ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk perdebatan yang dikemukakan dalam Al-Quran yang ditujukan kepada segenap kaum musyrikin, dan lain-lain.
Seperti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian yang baik adalah penelitian yang dilakukan secara terencana, sistematis, berdasarkan teori-teori ilmiah, data yang relevan dan mampu memberikan memberikan jawaban yang memuaskan sesuai dengan teori yang ada.
B. TujuanPenelitian
Al-Quran adalah kitab suci Islam yang merupakan kumpulan firman Allah (kalam Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Di antara tujuan utama diturunkannya Al-Quran adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.8
8M. Rasyid Rida merinci tujuan-tujuan Alquran (Maqasid Al-Qur‟an)
kepada sepuluh macam, yaitu: (1) untuk menerangkan hakikat agama yang meliputi:iman kepada Allah Swt., iman kepada Hari Kebanglitan dan amal-amal saleh; (2) menjelaskan masalah Kenabian dan Kerasulan serta tugas-tugas dan fungsi-fungsi mereka; (3) menjelaskan tentang Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal pikiran, sejalan dengan ilmu pengetahuan dan cocok dengan intuisi dan kata hati, (4) membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu kesatuan: kesatuan umat (kemanusiaan), agama, undang-undang, persaudaraan
Ada banyak tulisan yang menjabarkan pengantar terhadap studi Qur‟an oleh sarjana Barat seperti Abdullah Saeed dalam The
Qur‟an: Introduction (Saeed, 2008), Harmut Bobzin dalam Encyclopaedia of The Qur‟an (Bobzin, 2002), Fazlurrahman dalam
pendahuluan Major Themes (Rahman, 1996), Whitney Bodman (Bodman, 2009), dan sebagainya. Terminologi Western Scholarship
on the Qur`an pra abad 20 bermakna cukup sederhana, yaitu studi
terhadap Al-Quran oleh sarjana non-Muslim di Barat. Jika pada awal abad 20 istilah ini tidak perlu diperdebatkan, maka tidak demikian dengan abad 21 ini. Sejumlah overlapping dalam konteks status agama para penulis yang terlibat, seperti yang diperlihatkan oleh kontributor Encyclopaedia of the Qur‟an, serta keberagaman pendekatan yang digunakan menjadikan definisi studi Qur‟an oleh Barat harus diperhatikan ulang. Umumnya, istilah ini diartikan sebagai studi objektif terhadap Al-Quran yang mengadopsi pendekatan dari Barat dengan mengabaikan kepentingan kerohaniawanan.9 Dalam konteks ini, kita harus menerima
kenyataan bahwa metodologi penelitian Al-Quran yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam sepanjang sejarah baru menyentuh dunia „penafsiran‟. Tema-tema dalam „ulūm
al-Qur‟ān, qawā`id al-tafsīr, uṣūl al-fiqh, dan sebagainya hanya segama, bangsa, hukum dan bahasa,; (5)menjelaskan keistimewaan-keistimewaan Islam dalam hal pembebanan kewajiban-kewajiban kepada manusia seperti: cakupannya yang luas meliputi jasmani dan rohani, spiritual dan material, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat; mudah dikerjakan; tidak memberatkan; gampang dipahami dan sebagainya; (6) menjelaskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar berpolitik dan bernegara; (7) menata kehidupan material (harta); (8) member pedoman umum mengennai perang dan cara-cara mempertahankan diri dari agresi dan interfensi musuh; (9) mengatur dan memberikan kepada wanita hak-hak mereka dalam bidang; agama, social dan kemanusiaan pada umumnya dan; (10) memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pembebasan dan pemerdekaan budak.
Lihat: Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Alquran;SuatuKajianTeologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 4
9
bersentuhan dengan cara seorang Muslim menggali makna teologis dari Al-Quran. Padahal, di luar itu telah berkembang sejumlah model penelitian di luar pendekatan teologis ala tafsir ini. Dengan demikian, tidak ada salahnya melebarkan sayap gaya penelitian dan mulai merambah lahan baru, dan salah satu caranya adalah dengan membuka diri terhadap sejumlah metode penelitian yang berkembang dari Barat tanpa mengabaikan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam.
Maka, Dalam hal ini ada pertanyaan yang muncul, kenapa Al-Quran harus diteliti? Bukankah Al-Al-Quran adalah pedoman hidup manusia yang sudah pasti dan terjamin kebenarannya (Qath‟iy
al-wurud)?. Maka jawabannya adalah, penelitian Al-Quran dalam rsiet
ini bukanlah untuk meneliti keotentikan Al-Quran (otentik atau tidaknya). Tetapi secara umum dalam penelitian ini bertujuan untuk menemukan metode-metode yang dapat digunakan dalam memahami Al-Quran, sehingga Al-Quran tidak hanya dijadikan pedoman hanya sebatas dibaca saja, tetapi Al-Quran benar-benar dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam segala hal.
C. Metodologi
Dalam penelitian Al-Quran, tafsir, metode tafsir dan metode penelitian tafsir sangatlah berkaitan. Ketiga istilah tersebut sangatlah prnting, agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika seorang melakukan riset tentang kajian Al-Quran dan tafsir, dalam pembahasan ini penulis akan menguraikan perbedaan ketiga istilah tersebut dan kaitannya dalam melakukan penelitian Al-Quran.
1. Tafsir
Tafsir Al-Quran adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Quran dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan
tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Quran, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.10
Dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Quran dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Quran ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Quran). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma‟tsûr, at-tafsîr bir ra‟yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû‟i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Usaha menafsirkan Al-Quran sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. „Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), „Abdullah ibn „Abbâs (w. 68 H), „Abdullah Ibn Mas‟ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka‟ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.11
Tafsir secara bahasa berasal dari al-fasr (رسفلا), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Al-Quran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Al-Quran. Sedangkan menurut istilah tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh Al-Quran, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.12
10As-Suyuthi, Al-Itqânfî 'Ulûm al-Qur`ân (Dar al-Fikr), h. 187. 11 Ibid.,
12 Ali Hasan Al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers,
Seperti dijelaskan di atas, bahwa tujuan menafsirkan Al-Quran adalah untuk memahami dan menjelaskan isi kandungan ayat Al-Quran sehingga dapat menemukan isi kandungan secara ayat yang ditafsirkan secara detail, baik berupa hukum, nilai-nilai, hikmah ataupun pesan moral. Dan dalam menafsirkan Al-Quran boleh berdasrakan tema yang ingin dikaji saja, tidak harus menafsirkan Al-Quran semuannya sebanyak 30 juz. Jadi, seberapapun pemikiran atau tafsiran terhadap Al-Quran itu dapat disebut tafsir, atau dapat disimpulkan bahwa hasil pemikiran bisa disebut tafsir walaupun tidak berupa kitab tafsir yang menafsirkan seluruh ayat Al-Quran sebanyak 30 juz.
2. Metode tafsir
Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir banyak dan sangat beragam, masing-masing dari metode yang ada pun tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Metode apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu‟i. Di sisi lain, metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi diantara ayat-ayat Al-Quran, sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui segala segi dari kandungan ayat Al-Quran, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh jawaban Al-Quran secara tuntas terhadap suatu persoalan yang terdapat pada ayat itu.13 Sebelum lebih jauh
membahas tentang metode dan pendekatan dalam memahami (tafsir) Al-Quran, kita fahami terlebih dahulu tentang metode itu sendiri. Kata ”Metode” berasal dari bahasa Yunani yakni
methodos, kata ini terdiri dari dua kata, yakni meta, yang berarti
menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah. Kata methods sendiri berarti
13Ali Yafie, Kata Pengantar dalam, Sejarah dan MetodologiTafsir, (Jakarta:
penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.14
dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah
manhaj atau Thariqah.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al-Quran dan pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Quran, pembahasan yang berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al-Quran disebut Metodik, sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Metode penafsiran Al-Quran, secara garis besar dibagi dalam empat macam metode,15
namun hal tersebut tergantung pada sudut pandang tertentu: 1. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya,
metode ini terbagi menjadi tiga macam, yakni metode bi
matsur, bi riwayah, bi manqul, tafsir bi-ra‟y/bi al-dirayah/ bi al ma‟quldan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
2. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir perbandingan (komparatif, al muqarin).
3. Motede penafsiran ditinjau dari keluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).
4. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis
(al-tahlily) dan metode tematik (al-mawhu‟y).
Munculnya macam-macam metode penafsiran ini tidak terlepas dari peran para mufassir itu sendiri dalam memfokuskan tafsirannya. Diantara mereka ada yang memfokuskan pada persoalan bahasa, fiqh, teologi, sejarah dan filsafat. Hal ini
14Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur‟an danPengenalanMetodologiTafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 302.
15Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta: KalamMulia,
kemudian melahirkan beraneka macam metode dan pendekatan penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Metode dan pendekatan adalah merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya dalam melakukan kajian atau penelitian. Kedua-duanya saling melengkapi. Terkait dengan metode, telah penulis jelaskan pada pembahasan di atas. Sedangkan pendekatan adalah: merupakan suatu upaya untuk menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah ayat atau obyek tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Maka tak heran kemudian banyak sekali perbedaan pemahaman dan kesimpulan yang dihasilkan terhadap satu obyek yang menjadi kajiannya, karena berangkat dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. Adapun terkait dengan metode dan pendekatan tafsir Al-Quran ini secara garis besar di bagi menjadi empat macam:
1) Metode Ijmali (Global)
Ijmali secara etimologi berarti global, sehingga dapat diartikan tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat Al-Quran yang penjelasannya masih bersifat global. Secara termiologis menurut al farmawi adalah penafsiran Al-Quran berdasarkan urut-urutan ayat dengan suatu urutan yang ringkas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.16
Sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori pendekatan metode Ijmali adalah seperti, kitab tafsir Al-Quran Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith terbitan Majina al Buhuts al Islamiyyat
16Abu al-Hayy Al-Farmawy, ALBidayah Fi alaTafsir al-maudhu‟iy, (Mesir:
dan tafsir al Jalalain serta tafsir taj al Tafsir karangan Muhammad Utsman Al-Mirqhuni.17
Adapun ciri-ciri metode ini secara garis besar tidak berbeda jauh dengan metode model pendekatan analisis, letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya itu tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali adalah, mufasirnya langsung menafsirkan Al-Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas dan umum, seakan-akan kita masih membaca Al-Quran, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah kitab tafsirnya.18 2) Metode Tahlili
Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha
dan lam, yang berarti membuka sesuatu,19 sedangkan kata tahlily
sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing. Secara terminologi metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun
nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir
17 Ibid., h. 43-44.
18Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), h. 35.
19Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, Juz 11 (Mesir:
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.20
Dalam menafisirkan Al-Quran dengan motode tahlily mufassir biasanya memulianya sesuai dengan urutan mushaf, ayat demi ayat, surah demi surah, dan juga memasukkan asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan.
Adapun macam-macam pendekatan metode Tahlily yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan Bi al–Ma‟tsur
Tafsir dengan metode Riwayat (ma‟tsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Quran, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Quran dengan sunah nabawiyah. Dengan kata lain yang dimaksud dari tafsir al ma‟tsur adalah tafsir Al-Quran dengan Al-Al-Quran, Al-Al-Quran dengan As-Sunah atau penafsiran Al-Quran menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.21
Contoh Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran;
... ...
...Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu...22
Ayat di atas menjelaskan tentang binatang ternak yang halal. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, tentang hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk didalamnya binatang ternak yang haram.
20Al-Farmawy, AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu‟iy., h. 52.
21Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, StudiIlmuAlquran, terj, Amiudin,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 248.