• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Kajian Empirik Kemitraan

Kemitraan merupakan suatu konsep yang memadukan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekonomi. Adanya kerjasama dalam bentuk kemitraan juga akan menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh pelaku ekonomi. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam melaksanakan kemitraan merupakan suatu solusi dalam mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Pemahaman dan penerapan etika bisnis yang kuat akan menperkuat fondasi kemitraan yang akan memudahkan pelaksanaan kemitraan itu sendiri (Hafsah, 2000)

Veronica (2001) melakukan penelitian mengenai formulasi pola kemitraan antara PT.Agrobumi Puspa Sari dengan petani krisan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kelebihan pada kualitas sumberdaya manusia dan informasi pasar serta memiliki kelemahan pada kontinuitas produksi. Sebaliknya petani menunjukkan kekuatan pada kontinuitas produksi serta kelemahan dalam teknologi, sumber modal, informasi pasar, dan sarana produksi pertanian. Dengan demikian, pola kemitraan yang efektif adalah pola inti

plasma, dimana perusahaan inti menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah, dan memasarkan hasil produksi, sedangkan petani mitra berusaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai syarat yang telah disepakati.

Hasil penelitian dari Veronica (2001) didukung pula dengan kemitraan yang terjadi pada PIR-OPHIIR. PIR-OPHIR adalah perkebunan inti rakyat yang berlokasi di kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. PIR-OPHIR menerapkan pola kemitraan inti plasma yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani peserta dan masyarakat di sekitar proyek dengan mengembangkan komoditas kelapa sawit. Keberhasilan dari kemitraan ini ditunjang dari bantuan dana serta mendapat pengawasan dari Tim Pembina Proyek PIR Perkebunan (TP3) sehingga produktivitas tetap terjaga dan mengalami peningkatan. Proyek ini berhasil meningkatkan pendapatan bersih rata-rata petani antara Rp 5.358.093- Rp 12.000.229 /KK/tahun pada tahun 1995.

Krisnamurthi (2001) berpendapat bahwa keberhasilan kemitraan PIR-OPHIR ditunjang dari berhasilnya kelembagaan petani dalam meningkatkan posisi tawar-menawar petani sehingga mendapatkan harga yang lebih tinggi untuk hasil produksinya. Badan Agribisnis (1998) mengatakan bahwa kunci keberhasilan dari PIR-OPHIR adalah peran KUD yang memiliki sikap progresif dan sikap proaktif dalam mengembangkan usahatani melalui kemitraan. Motivasi usahatani tidak lagi subsisten, akan tetapi beralih menjadi usahatani komersial. Perusahaan inti selalu bersikap terbuka dan transparan baik tentang informasi harga sarana produksi maupun harga hasil produksi.

Pada dasarnya, keberhasilan PIR perkebunan sawit didorong oleh tiga faktor utama (Hastuti dan Bambang, 2004). Faktor-faktor tersebut, yaitu :

1. Usaha komoditas perkebunan memiliki economic of scale sehingga pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup areal relatif luas mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan keuntungan.

2. Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada lahan-lahan transmigrasi yang baru dibangun sehingga dapat dirancang relatif mudah ukuran usaha yang efisien dan menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra petani.

3. Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan petani karena pasar bahan baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya dapat dikuasai dan adanya pembagian resiko antara perusahaan inti, petani, dan pemerintah.

Pada program kemitraan lainnya, seringkali dijumpai kegagalan yang pada intinya terjadi karena kemitraan yang dikembangkan cenderung merugikan atau tidak memberikan manfaat kepada salah satu pihak, petani atau perusahaan mitranya. Padahal, manfaat yang dapat diperoleh justru merupakan daya tarik utama bagi setiap pihak untuk melakukan kemitraan. Pada umumnya, kontinuitas pasokan petani kepada perusahaan mitra merupakan manfaat yang diinginkan oleh perusahaan mitra, sedangkan jaminan pasar baik dalam kuantitas maupun harga merupakan manfaat utama yang diinginkan petani dalam melakukan kemitraan.

Kegagalan dalam kemitraan dapat ditemukan pada kasus PIR nanas yang terjadi di Subang, Jawa Barat. Faktor utama kegagalan kemitraan ini adalah ketersediaan dana. Kendala dana menyebabkan perusahaan inti tidak sepenuhnya menyediakan dan menyalurkan sarana produksi, meskipun hal tersebut dijanjikan dan termuat dalam kontrak tertulis. Akibatnya, tanpa pasokan sarana produksi yang telah dijanjikan, petani enggan memenuhi produk nanas sesuai dengan kesepakatan. Selain kendala dana, jumlah petugas penyuluh lapangan (PPL) yang tidak memadai, mengakibatkan proses alih teknologi tidak tercapai. Petani tidak mengetahui teknis budidaya dengan baik. Dengan demikian, produktivitas nanas menjadi rendah dan petani plasma tidak mampu memasok bahan baku secara berkesinambungan (Chotim dalam Rustiani et al, 1997).

Dalam kemitraan antara petani tembakau virginia dengan PT Sadhana Arifnusa yang diteliti Ardhiyanthi (2003) ditemukan faktor-faktor yang menghambat kemitraan. Pertama, faktor eksternal yaitu musim penghujan yang terjadi lebih lama sehingga menurunkan kualitas produksi. Kedua, faktor internal dari pihak petani yaitu masih banyaknya petani mitra yang belum melunasi pinjamannya sehingga mengurangi keinginan petani untuk menanam tembakau kembali.

Kemitraan tidak hanya dilakukan antara perusahaan dengan petani, akan tetapi dapat dilakukan antara perusahaan dengan koperasi atau Usaha Kecil Menengah (UKM). Sulaksana (2005) meneliti kemitraan antara perusahaan swasta dengan koperasi. Pola keagenan menjadi pilihan paling ideal berdasarkan interaksi penilaian antara kedua pelaku. Bagi perusahaan, bentuk ini bisa menjadi alternatif dan menjelaskan aktivitas kemitraan antara kedua pelaku mitra serta mendukung integrasi strategi pemasaran perusahaan. Pola keagenan relatif lebih mendekatkan produk dengan konsumen akhir guna meningkatkan pangsa pasar industri. Ciri terpenting dari pola keagenan adalah adanya kemudahan bagi koperasi untuk mengambil produk langsung ke perusahaan .

Berdasarkan hasil-hasil kajian kemitraan terdahulu dapat disimpulkan bahwa untuk komoditi tanaman perkebunan, bentuk kemitraan dilaksanakan dengan pola inti plasma, dimana perusahaan inti menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil pertanian. Pihak plasma memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku sesuai dengan syarat yang telah disepakati. Pola keagenan dapat diterapkan antara perusahaan dengan koperasi atau UKM, dimana koperasi atau UKM diberi hak khusus untuk memasarkan produk dari perusahaan sebagai mitranya. Program kemitraan tidak selalu berjalan sesuai harapan, perbedaan kepentingan menjadi salah satu faktor pemicunya. Kesenjangan ini harus diselesaikan dengan win-win solution dengan melibatkan

pemerintah sebagai pengawas sehingga masing-masing pihak merasakan manfaat kemitraan. Dengan demikian, kesinambungan kemitraan akan tetap terjaga.

Penelitian yang akan dilakukan adalah menganalisis tingkat kepuasan petani mitra terhadap kemitraan yang sedang berjalan. Beberapa persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan terhadap penelitian terdahulu diringkas dalam Tabel 5.

Tabel 5. Persamaan dan Perbedaan dengan Kajian Kemitraan Terdahulu

Peneliti Persamaan Perbedaan

Veronica (2001) Topik yang diteliti

mengenai kemitraan 1. Peneliti melakukan penelitian terhadap perkebunan tebu, sedangkan Veronica (2001) melakukan penelitian terhadap tanaman hortikultura bunga krisan. 2. Peneliti melakukan penelitian dengan

salah satu tujuannya adalah merumuskan strategi untuk

meningkatkan kepuasan petani dalam bermitra, sedangkan Veronica (2001) bertujuan untuk menentukan formulasi kemitraan yang tepat antara

perusahaan dengan petani mitra Ardhiyanthi

(2003) Topik yang diteliti mengenai kemitraan agribisnis komoditi tanaman

perkebunan

1. Peneliti melakukan penelitian pada komoditi gula pada salah satu PG di PTPN XI, sedangkan Ardhiyanthi (2003) melakukan penelitian pada komoditi tembakau virginia pada PT.Sadhana Arifnusa.

2. Peneliti melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis tingkat kepuasan petani mitra, sedangkan Ardhiyanti (2003) salah satu tujuan penelitiannya adalah mengindentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh untuk tetap

melaksanakan kemitraan. Sulaksana (2005) Topik yang diteliti

mengenai kemitraan 1. Peneliti melakukan penelitian kemitraan petani sehingga respondennya adalah petani, sedangkan Sulaksana (2005) melakukan penelitian terhadap kemitraan koperasi dengan perusahaan swasta sehingga respondennya adalah usaha kecil menengah

2. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Importance-Performance Analysis, sedangkan Sulaksana (2005) menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA).

Penelitian ini diawali dengan menganalisis tingkat kepuasan petani mitra terhadap kemitraan yang sedang dijalankan. Langkah selanjutnya adalah meminta responden untuk memberikan tingkat harapan dan kinerja terhadap atribut dalam kontrak yang disepakati bersama. Hasil dari penelitian tersebut akan menunjukkan tingkat kepuasan yang dirasakan responden terhadap kemitraan yang sedang dijalankan, sehingga peneliti dapat membuat rumusan strategi yang tepat agar petani mitra loyal terhadap perusahaan inti.