• Tidak ada hasil yang ditemukan

V . GAMBARAN UMUM DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

VI. EVALUASI PELAKSANAAN KEMITRAAN

6.1 Pelaksanaan Kemitraan di PG XYZ

Kemitraan antara petani tebu dengan pabrik gula bermula sejak pihak pabrik gula kekurangan pasokan bahan baku tebu dan menggiling tebu di bawah kapasitas giling, sedangkan petani tidak memiliki jaminan pasar dan butuh pengolahan lebih lanjut agar tebu lebih bernilai. Dengan demikian, terdapat hubungan saling membutuhkan antara pabrik gula dan petani tebu rakyat.

PG semakin intensif menjalankan kemitraan dengan petani tebu rakyat sejak pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1975 sebagai salah satu kebijaksanaan baru dalam bidang industri gula. Inpres tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Kemitraan tersebut terus berlanjut meskipun Inpres tersebut telah dicabut dan digantikan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 dan Inpres Nomor 5 Tahun 1998 yang dilandasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 dimana petani diberi kebebasan memilih komoditi yang akan diusahakannya.

Bentuk kemitraan yang diterapkan PG XYZ dengan petani tebu rakyat yaitu pola kemitraan Inti Plasma, dimana PG XYZ bertindak sebagai inti dan petani tebu rakyat sebagai plasma. PG XYZ sebagai pihak inti berperan dalam memberikan bantuan kepada pihak plasma. Bantuan yang diberikan berupa peminjaman traktor, pengadaan bibit, bantuan biaya garap, bantuan biaya tebang angkut serta pengadaan pupuk. Petani berkewajiban untuk menggilingkan hasil panennya kepada PG XYZ.

Akan tetapi kemitraan tidak berjalan dengan sesuai yang diharapkan. Banyak petani menggilingkan tebunya pada pabrik gula lain bukan pemberi bantuan kredit

dengan alasan mencari rendemen yang lebih tinggi. Petani hanya menggilingkan tebu ke PG XYZ hingga bantuan kredit terlunasi. Posisi petani diuntungkan karena di wilayah Ngawi, Magetan, dan Madiun jarak antar pabrik gula sangat mudah dijangkau oleh petani. Total PG di ketiga wilayah tersebut sebanyak lima PG. Seluruh PG tersebut merupakan naungan di bawah PTPN XI ditambah satu PG dari PT Rajawali. Dengan demikian, total PG keseluruhan berjumlah enam PG.

6.1.1 Kontrak Perjanjian Kemitraan PG XYZ dengan Petani Tebu Rakyat

PG XYZ dengan petani tebu rakyat melakukan kontrak perjanjian di awal musim tanam. Petani mengajukan secara lisan terlebih dahulu, sebelum pengajuan kontrak sebenarnya. Perjanjian kontrak ini berguna untuk pengajuan biaya garap dan agunan petani terhadap kredit pengajuan biaya tersebut.

Di dalam kontrak perjanjian terkandung aspek-aspek perjanjian berupa identitas kedua belah pihak yang bermitra, luas areal petani tebu rakyat, lokasi daerah penanaman, kategori tanaman tebu, kewajiban pihak plasma dalam melunasi pinjaman kredit, besarnya biaya-biaya kredit produksi petani yang disetujui oleh pihak inti, dan barang jaminan dalam pengajuan kredit.

Petani yang memiliki luas lahan yang kecil dapat membangun sebuah kelompok tani yang terdiri dari beberapa anggota. Nama anggota petani kecil yang mengajukan kredit tersebut dicantumkan pula dalam kontrak perjanjian, akan tetapi diatasnamakan oleh ketua kelompok tani.

Kerjasama pengajuan kredit ini digunakan dalam rangka Kredit Ketahanan Pangan Tebu Rakyat (KKP-TR). Bantuan kredit ini diberikan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan sebagai avalis adalah pihak pertama. Avalis adalah penanggung jawab segala

resiko kegagalan pengembalian dana pinjaman kredit. Bila petani gagal dalam mengembalikan dana pinjaman, maka pihak PG yang akan diminta pertanggungjawabannya.

Di dalam kontrak perjanjian juga disepakati jalan yang akan diambil jika timbul perselisihan diantara kedua belah pihak. Jika terdapat permasalahan selama kemitraan maka akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Apabila dengan jalan tersebut tidak dapat diselesaikan, maka masalah tersebut diselesaikan dengan menggunakan jalur hukum. Contoh perjanjian kemitraan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Selain dari perjanjian kemitraan pada awal musim tanam, terdapat pula kesepakatan bersama mengenai giling yang akan dilakukan. Di dalam kesepakatan bersama ini terkandung aspek-aspek kesepakatan bersama berupa identitas kedua belah pihak yang bermitra, kualitas tebu yang layak digiling, Sistem Bagi Hasil (SBH), bagi hasil mengenai dana talangan, lelang yang dilakukan bersama kantor direksi, harga tetes dan biaya yang dikeluarkan untuk tetes, serta biaya karung atau kemasan gula. Di akhir kesepakatan terdapat pula, klausul mengenai kesanggupan pihak petani untuk melunasi kewajiban yang dipotongkan dari hasil lelang gula secara bertahap.

Bagi hasil terhadap gula yang dihasilkan tebu rakyat mengacu pada kesepakatan ini, yaitu apabila rendemen tebu rakyat sampai dengan 6 persen, maka petani akan mendapatkan 66 persen hasil, sedangkan PG mendapat 34 persen. Apabila rendemen tebu rakyat di atas 6 persen, maka bagi hasil awal (rendemen 6 persen) ditambah selisih di atas 6 persen dengan perhitungan bagi hasil 70 persen untuk petani dan 30 persen PG. Kesepakatan bersama ini disusun secara bersama anatara PG dengan APTR sebagai wakil dari seluruh petani. Kesepakatan bersama ini diajukan mendekati musim giling tiba.

6.1.2 Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR)

APTR merupakan perkumpulan petani tebu rakyat. Ketua APTR dipilih secara langsung oleh petani tebu berdasarkan musyawarah dan mufakat. Setiap PG memiliki satu APTR. Segala keluhan petani disampaikan melalui APTR, kemudian keluhan tersebut disampaikan pada PG. Dengan adanya APTR ini, bargaining position dari petani menjadi lebih tinggi, baik terhadap PG maupun para investor yang akan membeli gula. APTR memiliki fungsi politis dalam bernegosiasi mengenai kepentingan petani tebu rakyat terhadap PG maupun direksi. Dengan demikian, ketua dan pengurus APTR mewakili petani di suatu wilayah PG tertentu dalam menyampaikan kepentingan petani terhadap PG. Pengurus APTR pula yang melakukan lelang hasil gula petani di suatu PG tertentu untuk mendapatkan harga gula terbaik di kantor direksi.

Agar memudahkan penyampaian segala kebutuhan petani seperti biaya garap, pupuk, dan bibit, APTR mendirikan suatu koperasi. Dengan demikian, anggota APTR merupakan anggota koperasi tersebut pula. Koperasi ini membantu petani dalam pengadaan sarana produksi dan bantuan kredit bongkar ratoon.

6.1.3 Pinjaman Sarana Produksi kepada Petani Mitra

PG XYZ sebagai pihak inti di dalam kemitraan tebu rakyat memberikan bantuan pinjaman sarana produksi. Pinjaman bantuan sarana produksi yang diberikan berupa bibit, pupuk dan peminjaman traktor

Pupuk yang diberikan dapat berupa wujud pupuk atau dikuantitatifkan dalam bentuk uang, sesuai dengan permintaan pihak petani. Kelangkaan pupuk pada tahun ini mengakibatkan petani lebih memilih bantuan dalam wujud pupuk. Hal ini mengakibatkan pihak PG membagi secara proporsional sesuai dengan luas kebun petani. Namun

demikian, jumlah pupuk yang diberikan tidak dapat mencukupi kebutuhan para petani sehingga petani harus mencari sendiri kekurangan pupuk tersebut.

Kebutuhan pupuk per hektar bila dikuantitatifkan dalam uang, akan menghabiskan biaya sebesar Rp.3.000.000,-. Kebutuhan biaya garap menghabiskan dana sebesar Rp.2.000.000,- untuk tanaman keprasan (Ratoon) dan Rp.3.000.000,- untuk tanaman baru (Plant Cane).

Traktor dipinjamkan kepada petani yang berkeinginan untuk membuka lahan pada tanaman awal. Traktor yang disediakan PG pun jumlahnya terbatas sehingga petani harus menunggu giliran untuk mendapatkan pinjaman traktor tersebut.

Bibit yang diberikan PG termasuk kualitas yang unggul, seperti PS 851, PS 861, R 579 dan lain-lain. Akan tetapi jumlah bibit tersebut tersebut terbatas untuk masing-masing varietas. Kualitas bibit mempengaruhi tingkat kemasakan tebu. Apabila dalam luasan lahan bibitnya berbeda, tingkat kecepatan kemasakan tebu pun akan berbeda. Hal ini dapat merugikan petani dalam hal menentukan kematangan tebu.

Ketiga pinjaman sarana produksi tersebut sudah diatur dalam pengajuan kontrak di awal musim tanam. Dari masing-masing pinjaman sarana produksi tersebut akan dinilai dalam bentuk satuan Rupiah. Hal ini berguna untuk kemudahan dalam pembayaran kredit petani terhadap PG yang dipotong melalui hasil lelang gula yang dilakukan oleh APTR. Hasil lelang gula dibayarkan kepada petani setiap seminggu sekali. Pembayaran kredit atau pemotongan hasil lelang gula dapat dilakukan beberapa kali, sesuai dengan kesepakatan antara PG dengan pihak petani.

6.1.4 Pinjaman Biaya Bantuan Tebang Angkut

PG XYZ memberikan fasilitas kepada petani untuk proses kelancaran penggilingan pasokan tebu. Fasilitas tersebut adalah bantuan biaya tebang angkut. Petani yang kesulitan dalam dana untuk penebangan dan angkutan dapat menggunakan fasilitas ini. Bantuan ini sangat membantu petani karena pada awal musim giling belum ada lelang gula sehingga petani pun belum mendapatkan penghasilan. Dengan bantuan tersebut, arus perputaran uang petani menjadi lebih lancar.

Bantuan tebang angkut dibagi menjadi dua, yaitu berupa dana tunai dan jasa tebang angkut. Bantuan dana tunai merupakan dana dari PG yang dipinjamkan kepada petani untuk pembayaran tebang angkut yang dilakukan oleh petani sendiri. Tidak semua PG di bawah naungan PTPN XI memberikan bantuan tebang angkut dalam bentuk dana tunai. Hal ini didasarkan pada keputusan manajemen masing-masing PG.

Jasa tebang angkut merupakan salah satu pelayanan yang diberikan PG kepada petani. Pihak PG menyediakan truk dan tenaga tebang sesuai dengan kesepakatan antara PG dengan petani. Hal ini membantu petani yang kesulitan dalam menyewa truk dan mencari tenaga tebang terutama petani yang memiliki luas lahan yang luas. Berbeda dengan bantuan dana tunai yang diberikan pada periode awal musim giling, jasa tebang angkut disediakan PG selama musim giling berjalan.

Proses pengajuan bantuan tebang angkut relatif mudah. Pihak PG akan memperkirakan biaya tebang angkut untuk masing-masing wilayah kebun petani yang mengajukan fasilitas tersebut. Setelah mencapai kesepakatan antara petugas PG dengan petani mengenai jumlah tebang angkut, maka penebangan tebu dapat dilakukan berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan sebesar

Rp.2.500/kuintal untuk jasa tebang, sedangkan untuk biaya angkutan ditentukan berdasarkan lokasi kebun terhadap PG. Semakin jauh jarak kebun terhadap PG, maka semakin mahal pula biaya angkutan yang harus dikeluarkan. Sistem pembayarannya dilakukan dengan cara memotong uang hasil lelang gula yang dapat dilakukan beberapa kali pemotongan (angsuran).

6.1.5 Pelelangan Gula

Tebu yang sudah digiling di PG akan menghasilkan gula kristal. Gula ini akan dibawa ke gudang kantor direksi di Surabaya untuk dilelang. Kantor direksi menyediakan tempat untuk pelelangan gula serta mengundang para investor yang ingin membeli gula. Lelang pertama pada musim giling 2006 dilakukan pada tanggal 29 Mei 2006 dihadiri kurang lebih 43 investor. Untuk mendapatkan undangan sebagai investor, diharuskan menyetorkan uang sebesar Rp. 100 juta pada rekening direksi sebagai deposit. Uang tersebut akan dikembalikan, apabila investor tersebut tidak menjadi penawar tertinggi dalam suatu pelelangan gula. Frekuensi pelelangan gula sangat bergantung dari stok gula yang ada di gudang PTPN XI. Perencanaan lelang berikutnya akan dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2006.

Awal sebelum lelang dimulai, perwakilan dari masing-masing APTR melakukan pertemuan untuk menentukan Harga Penawaran Sementara (HPS). HPS ini digunakan untuk pembukaan harga gula awal saat proses lelang terhadap investor. Dalam satu hari lelang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal digunakan untuk mencari tiga investor yang memberikan penawaran tertinggi kemudian dilakukan proses lelang dilakukan kembali untuk mendapatkan satu investor dengan penawaran tertinggi. Lelang yang telah dilaksanakan dapat batal, apabila di awal pembukaan lelang gula tidak ada investor yang

menawar lebih tinggi dari HPS yang telah ditentukan oleh APTR. Harga gula dengan penawaran tertinggi pada tanggal 29 Mei 2006 sebesar Rp 5.454/kg.

6.1.6 Pembayaran Hasil Lelang Gula (Pembayaran DO)

Setelah harga lelang tercapai, investor dengan penawaran tertinggi mentransfer sejumlah uang tersebut pada rekening direksi untuk diteruskan ke masing-masing PG. PG akan membayarkan kepada petani sesuai dengan jumlah tebu yang digiling tiap minggunya. Pembayaran hasil lelang gula (Pembayaran DO) ini dilakukan rutin seminggu sekali selama musim giling.

Petani akan mendapatkan pendapatan bersih setelah pembayaran DO tersebut dipotong pinjaman yang dilakukan petani di awal musim tanam. Pemotongan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesepakatan.

Pembayaran DO dilakukan rutin seminggu sekali selama musim giling, meskipun pelelangan gula tidak dilaksanakan secara rutin. Hal ini dapat dilakukan karena petani mendapat dana talangan dari pihak investor yang selalu menjamin ketersediaan dana. Dana talangan ini sangat berguna bagi petani untuk perputaran uang dalam mengolah lahan musim giling berikutnya. Harga dasar gula yang digunakan untuk pembayaran DO sebesar Rp 4.800,-. Ketika harga lelang gula melebihi harga dasar tersebut, maka akan dilakukan bagi hasil 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor. Akan tetapi bila harga gula dibawah harga dasar gula, petani akan tetap mendapatkan harga gula sebesar Rp 4.800,- dan investor tidak mendapatkan keuntungan. Bagi hasil dengan investor akan dibagikan setelah musim giling berakhir.

6.1.7 Pelayanan Lapangan oleh Sinder Kebun PG XYZ

PG XYZ memiliki empat sinder kebun yang menangani masalah tebu rakyat. Keempat sinder tersebut memiliki wilayah kerja masing-masing. Hal ini dikarenakan kebun yang dimiliki petani menyebar di seluruh Kabupaten Ngawi.

Sinder ini memiliki tanggung jawab untuk membantu petani dan menjadi penghubung antara PG XYZ dengan petani tebu rakyat. Segala keluhan dan permintaan dari petani disampaikan melalui sinder tersebut, kemudian sinder tersebut menyampaikan pada pihak PG.

Saat awal musim tanam, petani yang ingin mendapatkan bantuan biaya garap dan segala bantuan lainnya terlebih dahulu mendaftar pada sinder tersebut. Sinder ini akan menilai dan menentukan jumlah bantuan modal yang tepat untuk petani sesuai dengan luas lahan yang didaftarkan petani. Demikian pula untuk permintaan pupuk dan peminjaman traktor, petani terlebih dahulu mendaftarkan pada sinder tersebut.

Lain halnya saat musim giling tiba, sinder tersebut memeriksa tingkat kemasakan tebu (nge-brix) di seluruh wilayah kebun tanggung jawabnya. Hal ini berguna untuk menentukan kebun yang akan ditebang terlebih dahulu sehingga seluruh kebun memiliki jadwal tebang yang telah ditentukan. Penjadwalan ini sangat berguna mengingat kapasitas giling pabrik yang terbatas. Selain itu, bila kemasakan tebu kurang dari standar yang diterapkan, maka tebu tersebut akan ditolak oleh pihak PG.

Untuk penyuluhan teknis budidaya sudah tidak intensif dilakukan. Hal ini dikarenakan petani sudah familiar dengan budidaya tebu. Akan tetapi bila ada permasalahan dalam budidaya, petani langsung menanyakan pada sinder tersebut.

6.1.8 Kendala-Kendala dalam Kemitraan

Program kemitraan tidak selalu berjalan sesuai harapan karena banyak ditemui kendala-kendala di lapangan. PG XYZ memberikan bantuan pinjaman modal, bibit dan pupuk sesuai dengan luas areal yang dimiliki oleh petani. Sebaliknya, petani mitra diharapkan menggilingkan hasil tebunya pada PG XYZ.

Fakta yang terjadi di lapangan, petani menggilingkan tebunya hanya sebagian saja untuk melunasi kewajibannya. Sisa dari produksi tebu digilingkan pada pabrik gula lain dengan alasan mencari tingkat rendemen yang lebih tinggi. Di sisi lain, PG XYZ dalam pelaksanaannya kurang terbuka dalam hal rendemen gula yang diberikan kepada petani.

Petani yang menggilingkan tebunya pada PG hanya untuk melunasi kewajibannya saja akan memiliki catatan buruk dari pihak PG. Petani tersebut akan mengalami kesulitan dalam pengajuan kredit tahun giling berikutnya. Akan tetapi, hal ini tidak tertulis dalam perjanjian kemitraan.

Hal ini dapat terjadi karena lemahnya perjanjian kemitraan yang dilakukan PG XYZ dengan petani tebu rakyat. Tidak adanya kekuatan dalam bidang hukum sehingga perjanjian kemitraan tidak dapat mengikat kedua belah pihak. Selain itu, perjanjian kemitraan hanya disusun oleh pihak pertama saja, sedangkan pihak kedua tidak dilibatkan dalam pembuatan klausul perjanjian. Perjanjian kemitraan selalu sama dari tahun ke tahun mengakibatkan tidak adanya perbaikan hubungan antara petani tebu rakyat dengan pihak PG.