• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian perjanjian

Istilah perjanjian sudah sangat popular dikalangan masyarakat yang merupakan hal yang senantiasa ditemui dalam lalulintas hubungan hukum. Terhadap pengertian perjanjian, sampai saat ini belum diperoleh satu kesatuan pendapat di antara para sarjana atau ahli hukum. Hal ini disebabkan karena luasnya aspek yang terkandung di dalam perjanjian itu sendiri.

a. Pengertian perjanjian dalam hukum perdata.

Gambaran untuk mengetahui dan memahami pengertian perjanjian, di dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Pengertian diatas tersebut, dapat dilihat bahwa hubungan perjanjian dengan perikatan sangatlah erat karena dari setiap perjanjian yang diadakan memberikan suatu perikatan hukum di antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut sehingga dapat dilihat bahwa perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan dan adanya suatu perjanjian antara kedua belah pihak, maka akan mengakibatkan terjadi perikatan antara kedua belah pihak tersebut.

21

Uraian di atas dapat dinyatakan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat adanya para pihak, adanya prestasi yang akan dicapai, adanya kesepakatan para pihak. Di samping itu, juga adanya kecakapan, kejujuran serta kepercayaan masing-masing yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Mengenai perikatan ini diatur dalam Buku III Pasal 1233 KUH Perdata. Suatu perikatan dapat timbul, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi tiap-tiap perikatan melahirkan baik karena persetujuan maupun baik karena undang-undang.

Perikatan yang timbul karena perjanjian suatu hal yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, sedangkan yang timbul karena undang-undang merupakan hal yang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.

b. Pengertian perjanjian menurut hukum Islam.

Menurut hukum Islam ada dua istilah dalam Al Qur‟an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-„aqdu (akad) dan al-„ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambungan dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Para ahli hukum Islam memberikan definisi akad sebagai pertalian antara Ijab dan Kobul yang dibenarkan oleh

22

syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya (Gemala, 2006: 45).

Akad (al-„aqdu) sebagaimana dijelaskan dalam A-Qur‟an (QS. 5:1):

















































“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”(Al Maa-idah: 1).

Janji (Al-„ahdu) sebagaimana dijelaskan dalam A-Qur‟an :





















(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali-Imran 76).

Selain itu ada beberapa pendapat dari sarjana atau ahli hukum,menurut Abdul Kadir Muhammad (1993: 225) berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

23

Sementara itu Subekti (1995: 1) mengemukakan pula bahwa pengertian perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan menurut hukum islam perjanjian berasal dari kata aqad yang secara etimologi berarti “menyimpulkan” (Mahmud, 1973:274).

Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo, “Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum” (Handri, 2009: 42).

Menurut Abdul Aziz Muhammad (2010: 15) kata aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Dari sinilah kemudian makna aqad diterjemahkan secara bahasa sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakanya isi sumpah atau meninggalkannya. Demikan juga dengan janji halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkanya.

24

Perspektif hukum Islam menurut Suhrawardi K. Lubis (1994: 1) mengemukakan bahwa pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Pengertian perjanjian tersebut tersirat pula bahwa hubungan yang terjadi antara kreditur dan debitur merupakan suatu hubungan hukum yang artinya hukum itu sendirilah yang meletakkan hak pada suatu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Jika terjadi salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya maka hukum dapat memaksakan supaya kewajiban-kewajiban itu dipenuhi disebut juga dengan ingkar janji.

Peristiwa saling ingkar janji timbullah suatu perikatan hukum diantara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun terhadap pengertian perikatan ini, Subekti (1995: 14) mengatakan bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

2. Syarat-syarat perjanjian.

a. Syarat-syarat perjanjian menurut hukum perdata.

Sahnya perjanjian berarti bagaimana terjadinya perjanjian itu menurut hukum yang berlaku, perjanjian yang sah artinya perjanjian yang dibenarkan menurut hukum yang berlaku (Hilman, 1992: 99).

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah

25

diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). Menurut pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sahnya perjanjian:

1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Apa yang dikendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

2) Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity). Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah:

a) Orang yang belum dewasa.

b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan. c) Wanita bersuami.

3) Ada suatu hal tertentu (objek).

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah untuk

26

memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau predtasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig, void).

4) Ada suatu sebab yang halal (causa).

Kata causa berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan cuasa yang halal dalam pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Syarat pertama dan kedua pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (pasal 1454 KUHPerdata).

Syarat ketiga dan keempat pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian batal.

27

Kebatalan itu dapat diketahui pabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka hakim, dan hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif (Abdulkadir, 1993:228-233)

b. Syarat-syarat perjanjian dalam Islam.

Syarat-syarat hukum perjanjian dalam Islam adalah sebagai berikut (Pasaribu, 1994: 2-3):

1) Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya.

Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan hukum atau perbuatan yang melawan huk syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (Hukum Syariah), maka perjanjian diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.

2) Harus sama ridha dan ada pilihan.

Maksudnya perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasakan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing kedua belah pihak ridha/ rela aka nisi perjanjian

28

tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.

Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

3) Harus jelas dan gamblang.

Maksunya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.

Demikian pada saat pelaksanaan/penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.

3. Asas-asas perjanjian.

a. Asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.

Asas-asas yang berkaitan dengan perjanjian (akad) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut (Pasaribu, 1994: 8-15):

29

Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syariah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi SAW, bentuk-bentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW itu disebut bid‟ah tidak sah hukumnya.

Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka hal ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai tindakan tersebut.

2) Asas kebebasan berakad (Mabda‟ Hurriyah at-Ta‟aqud)

Hukum Islam mengikuti kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat dengan nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan

30

memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama jalan batil. Namun demikian, dilingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas sempitnya kebebasan tersebut. Nash-nash al-Qur‟an dan sunnah Nabi SAW serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam muamalat.

3) Asas konsensualisme

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dalam firman Allah yang berbunyi:

















































31

Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) diantara kamu “ (an-Nisa‟: 29).

Kutipan ayat diatas menjelaskan bahwa setiap pertukaran secara timbal balik itu diperbolehkan dan sah selama didasarkan atas kesepekatan antara kedua belah pihak.

4) Asas keseimbangan (Mabda‟ at-Tawazun fi al-Mu‟awadhah) Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidak seimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul resiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.

5) Asas kemaslahatan (tidak memberatkan)

Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan

32

bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akan terjadi perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikannya kepada batas yang masuk akal.

6) Asas amanah

Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beri‟tikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali obyek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh para dokter saja. Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. Oleh karena itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan oleh suatu metode pengobatan dan penenangan penyakitnya, sang pasien sangat bergantung kepada

33

informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode tersebut. Begitu juga terdapat barang-barang canggih, tetapi juga menimbulkan resiko berbahaya bila salah dalam penggunaannya. Dalam hal ini, yang bertransaksi dengan obyek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.

Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. Diantara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembunyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam hukum Islam adalah akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah, tetapi juga meluas kedalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak akad yang

34

pengetahuan mengenai obyeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja.

7) Asas keadilan

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah al-Qur‟an yang menegaskan (QS. 5:8):























































“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”(al-Maidah: 8).

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali zaman modern akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad tersebut, karena klausul akad tersebut telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian

35

kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.

b. Asas-asas perjanjian dalam hukum perdata.

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu (Handri,2009: 43-46):

1) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.

2) Asas konsensualisme

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

36 3) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

4) Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan para pihak.

5) Asas kebiasaan

Asas kebiasaan ini harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian. Selain dari undang-undang, kebiasaan juga menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan pasal 1339 KUH Perdata Pasal maka setiap perjanjian

undang-37

undang dan kebiasaan. Selain ini, pasal 1347 KUH perdata diatur mengenai kebiasaannya yang selamanya dianggap diperjanjikan. 4. Berakhirnya Perjanjian

Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir. Perjanjian dapat berakhir karena (Handri Raharjo, 2009: 95): a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan

yang berlaku untuk waktu tertentu.

b. Ditentukan oleh Undang-undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 KUH perdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu persetujuan tersebut oleh ayat 4 dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.

c. Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. d. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat

dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah dicapai.

38

Berakhirnya perjanjian diatur di dalam Bab XII Buku III KUH Perdata. Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan beberapa cara hapusnya perjanjian yaitu:

a. Pembayaran

b. Penawaran tunai disertai dengan penitipan c. Pembaharuan hutang

d. Perjumlahan hutang e. Percapuran hutang f. Pembebasan hutang

g. Musnahnya hutang yang terhutang h. Kebatalan/ pembatalan

i. Berlakunya syarat batal j. Kadaluarsa atau lewat waktu

Jika dalam perjanjian tersebut telah dipenuhi salah satu unsur dari hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para pihak terbebas dari hak dan kewajiban masing-masing.

39

B. Tinjauan Umum Tentang Kredit

1. Pengertian kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang akan sanggup memenui segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang telah dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa (Thomas Suyatno, 1995: 12).

a. Pengertian kredit menurut hukum perdata.

Pengertian kredit menurut Undang-undang nomer 10 tahun1998 tentang Perbankan, pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjaman antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”