• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI Hakikat Pattidana

Dalam dokumen AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN (Halaman 41-51)

THE IMPLEMENTATION OF SQ3R METHOD IN THE CRITICAL READING COMPETENCE LEARNING

KAJIAN TEORI Hakikat Pattidana

KAJIAN TEORI Hakikat Pattidana

Dikalangan umat Buddha tidak sedikit belum memahami pattidana sebagai yang terdapat dalam kamus bahasa Pali. Pattidana menurut kamus bahasa Pali mempunyai arti berdana dengan cara pelimpahan jasa.

Pattidana juga diartikan sebagai memberikan

inspirasi kebajikan/kebahagiaan bagi makhluk lain. Pattidana sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilimpahkan (Widiyanto, 2011: p. 28-29). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

pattidana sesungguhnya memberikan kondisi

makhluk lain untuk melakukan kebaikan yang akan membuahkan kebahagiaan.

Perbuatan baik yang dilakukan dapat dilakukan antara lain setelah melakukan jasa-jasa/perbuatan baik, maka seseorang (sanak keluarga) menyatakan bahwa perbuatan baik yang dilakukan atas nama leluhur yang telah meninggal agar mereka turut berbahagia. Dengan harapan supaya para leluhur mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh pikirannya ikut berbahagia dalam batin sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Berdasar penjalasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pattidana adalah pelimpahan jasa yang diperuntuhkan untuk para leluhur. Melalui Pattidana, lehuhur

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia.

Tradisi pattidana telah dilakukan dari generasi ke generasi. Sejarah pelaksanaan pelimpahan jasa (pattidana) terdapat dalam kitab suci “Petavatthu”, yang merupakan salah satu kitab bagian Kitab Suci Agama Buddha, Khuddakka-Nikāya, Sutta Pitaka, Tipitaka Pali. Disebutkan bahwa dalam sembilan puluh dua kalpa yang lalu ada sebuah kota bernama Kāsipurī. Bertahta seorang raja bernama Jayasena. Ratunya bernama Sīrimā. Dari kandungannya lahirlah Bodhisatta Phussa yang akhirnya menjadi Buddha. Raja Jayasena sangat melekat terhadap putranya. Dia berpikir Sang Buddha adalah milikku sendiri, Dhamma adalah milikku sendiri, Sangha adalah milikku sendiri. Sepanjang waktu dia melayani Beliau, tanpa memberikan kesempatan kepada siapapun. Ketiga saudara laki-laki Sang Buddha, adik-adiknya dari ibu yang lain, berpikir ‘Para Buddha memang muncul demi manfaat bagi seluruh dunia, bukan demi satu orang saja. Namun ayah tidak memberikan kesempatan kepada siapapun.

Ketiga saudara lelaki, adik dari ibu yang lain kemudian berfikir tentang cara supaya dapat melayani Sangha. Mereka membuat rencana seolah-olah ada keributan di batas negeri. Ketika raja mendengar keributan tersebut, Ia mengirimkan tiga putranya ke perbatasan. Ketiga putranya itu pun pergi untuk menenangkan situasi di batas negeri. Ketika mereka kembali, raja amat senang dan ingin memberikan hadiah. Apapun yang diminta akan diberikan kecuali Sang Buddha. Namun ketiga putranya meminta supaya diizinkan untuk melayani Sang Buddha. Setelah berdiskusi panjang akhirnya raja mengizinkan. Sang Buddha memberikan persetujuan dengan berdiam diri.

Akhirnya dengan mengenakan pakaian kuning, bersama dengan dua ribu lima ratus pelayan pria, ketiga putra raja mengiringi Sang Buddha serta komunitas para bhikkhu ke daerah. mereka melayani dengan penuh hormat, dan menyerahkan vihāra untuk mereka gunakan selama musin hujan. Bendahara kerajaan, putra seorang umat awam yang sudah menikah, memiliki keyakinan dan bakti yang amat besar. Dengan cermat dia memberikan apapun yang didanakan kepada komunitas para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya.

Penguasa daerah itu menerima segala dana yang dikirimkan, dan bersama dengan sebelas ribu penduduk pria di daerah itu mengatur pemberian dana dengan amat berhati-hati. Namun diantara ada beberapa yang memiliki pikiran yang korup. Mereka menyelewengkan pemberian dana itu, makan persembahan-jasa itu sendiri dan membakar ruang makan.

Pada saatnya, para putra raja, wakil mereka di daerah itu, dan bendahara mereka meninggal dunia dan lahir kembali di surga bersama dengan kelompok para pembantu, sedangkan orang-orang yang berpikir korup itu lahir kembali di neraka. Sembilan puluh dua kalpa berlalu sementara dua kelompok orang-orang lahir di satu surga ke surga lain dan di satu neraka ke neraka lain. Kemudian selama kalpa yang menjanjikan keberuntungan ini, yaitu pada zaman Buddha Kassapa, orang-orang yang memiliki pikiran korup itu lahir di antara para peta. Pada saat itu, bila orang-orang memberikan dana atas nama sanak saudara yang menjadi peta, mereka memberikannya dengan mengatakan, ‘Biarlah dana ini untuk sanak saudara kami (Dan dengan itu) mereka mencapai kemuliaan. Ketika para peta melihat hal ini, mereka menghampiri Buddha Kassapa dan bertanya, ‘Bhante, bagaimana kami bisa (juga) mencapai kemuliaan seperti itu? Sang Buddha mengatakan, ‘kalian tidak akan mencapainya sekarang. Tetapi di masa depan akan ada Orang Yang Mencapai Pencerahan Sempurna bernama Gotama. Pada zaman Buddha Gotama ini akan ada seorang raja bernama Bimbisāra yang merupakan sanak saudaramu sembilan puluh dua kalpa yang lalu. Dia akan memberikan dana kepada Sang Buddha dan mempersembahkannya padamu. Pada saat itu kalian akan mencapai (kemuliaan seperti itu)’. Dikatakan bahwa ketika Buddha Kassapa berkata demikian, para peta tersebut merasa seolah-olah mereka sudah akan mencapainnya.

Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia dan melewatkan tujuh minggu (setelah pencerahan spiritual), pada waktunya Beliau tiba di Benares. Di situ Sang Buddha mulai memutar Roda Dhamma dan mengajar pertama-tama pada Kelompok Lima Petapa, lalu tiga petapa berambut kumal dengan seribu pengikutnya, dan kemudiaan pergi ke Rājagaha. Di sana Sang Buddha membuat raja Bimbisāra memperoleh buah sotāpatti ketika mengunjungi Beliau pada hari itu juga, bersama dengan

sebelas kelompok perumah tangga brahmana yang merupakan penduduk Aṅ ga-Magadha. Sang Buddha menerima undangan raja untuk makan di hari berikutnya, dan keesokan harinya Beliau memasuki Rājagaha, beserta Sakka, Raja para Dewa, yang menjelma menjadi seorang pemuda brahmana.

Di kediaman raja, Sang Buddha menerima dana makanan yang melimpah. Pada saat itu, para peta berdiri di sekeliling rumah sambil berpikir, ‘Sekarang raja akan mempersembahkan dana ini untuk kami’. Tetapi ketika memberikan dana makanan itu, raja hanya memikirkan tentang tempat untuk vihāra Sang Buddha. Raja sibuk bertanya-tanya dalam hati, ‘Di mana seharusnya Sang Buddha berdiam?’, sehingga dia tidak mempersembahkan dana itu bagi siapapun. Karena tidak memperoleh persembahan dana dengan cara ini, harapan para peta menjadi sirna. Malam itu mereka menjerit-jerit dalam kesedihan yang amat yang mencekam dan mengerikan di sekitar tempat tinggal raja. Raja Bimbisāra menjadi gelisah, amat takut dan gemetaran. Ketika fajar menyingsing dia memberitahu Sang Buddha, ‘Saya mendengar suara mengerikan (tadi malam)! Apa yang akan terjadi pada saya, Bhante?’ Sang Buddha menjawab, ‘Janganlah takut, raja agung. Tidak ada hal buruk yang akan menimpamu, engkau akan baik-baik saja. Yang terjadi adalah bahwa sanak saudaramu di masa lampau telah lahir kembali di antara para peta’.

Mereka telah berkelana selama satu masa jeda-Buddha dengan harapan bahwa engkau akan memberikan dana kepada seorang Buddha dan kemudian mempersembahkan dana itu kepada mereka. Tetapi ketika memberikan dana kemarin, engkau tidak mempersembahkannya bagi mereka. Rasa putus asa dan meratap dengan kesedihan yang amat mengerikan.

‘Yang Mulia, apakah mereka akan dapat menerimanya jika (dana) diberikan sekarang?’ (tanya raja itu)’. Ya, raja agung.’ ‘Kalau demikian, sudilah kiranya Yang Mulia menerima undangan saya untuk hari ini, dan saya akan mempersembahkan dana itu bagi mereka.’ Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri. Setelah siap, kemudian dia memberitahu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke ruangan makan istana bersama dengan komunitas para bhikkhu dan duduk di tempat yang telah disediakan.

Para peta itu berpikir, ‘Hari ini kita akan memperoleh sesuatu’. Mereka pergi dan berdiri

di laur dinding dan lain-lain. Sang Buddha dengan kesaktiannya membuat para peta dapat dilihat oleh raja. Ketika memberikan dana air, raja mempersembahkan sambil berkata, ‘Biarlah ini untuk sanak saudaraku!’ Pada saat itu juga kolam-kolam teratai bermunculan bagi para peta itu, kolam tersebut penuh dengan teratai dan lilin air warna biru. Para peta mandi dan minum di dalam kolam-kolam itu. Dan karena kesedihan, keletihan dan kehausan mereka hilang warna mereka pun berubah menjadi keemasan.

Raja memberikan bubur beras, makanan keras lunak, dan mempersembahkan semua itu. Pada saat itu juga bubur beras surgawi dan makanan-makanan keras serta lunak pun bermunculan. Ketika para peta memakannya kemampuan bantin para peta menjadi segar. Raja kemudian memberikan pakaian, tempat tinggal dan mempersembahkan semua itu. Maka pakaian dan istana-istana surgawi yang penuh dengan berbagai macam perabot, tempat duduk dan kain penutupnya, dan lain-lain muncul bagi para peta itu. Segala kemulian mereka ini ditampakkan bagi raja karena Sang Buddha telah menetapkan bahwa memang seharusnya demikian. Ketika raja melihat hal ini, dia merasa amat bersukacita. (Anggawati, 2001: p. 53-60)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sejarah kemunculan pelaksanaan pattidana bermula Raja Bimbisāra setelah mengetahui bahwa makhluk-makhluk peta yang mengganggunya merupakan saudaranya sendiri, akhirnya raja berdana minuman, makanan, tempat tinggal untuk Sangha. Melalui pelaksanaan pattidana sangat membantu para leluhur tertutama yang terlahir di alam peta. Makhluk peta merasakan manfaat langsung dari apa yang raja danakan, akhirnya mencapai kemuliaan dan terbebas dari alam peta karena terlahir kembali dialam surga.

Pelimpahan jasa bagi orang meninggal didasarkan pada kepercayaan bahwa pada kematian seseorang perbuatan baik atau perbuatan buruk yang dilakukannya menentukan di alam mana ia akan terlahir kembali. Makhluk yang terlahir di alam yang lebih rendah tidak dapat menimbulkan jasa kebajikan baru dan mereka hidup dengan jasa yang diperoleh dari dunia ini. Ketika orang yang meninggal mengetahui bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan ia menjadi gembira, dan

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

kebahagiaan ini membebaskannya dari penderitaan.

Dengan berbagai cara, sanak keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi leluhur yang telah meninggal. Terkait pelaksanaan pattidana Sang Buddha menjelaskan dalam Khuddaka Nikāya:

Khuddaka Pāha, Tirokudda Sutta, sebagai

berikut:

“So they who are compassionate. At heart do give for relatives. Such drink and food as may be pure and good and fitting at these times. As water showered on the hill. Flows down to reach the hollow vale. So giving given here can serve. The ghosta of the departed kin. As river-beds when full can bear. The water down to fill the sea. So giving geven here can serve. The ghosts of the departed kin. He gave to me, he worked for me. He was my kin, friend, intimate. Give gifts, then, for departed ones. Recalling what they used to do. But when this offering is given. Well placed in the Community. For them, then it can serve them long. In future and at once as well (Ñāṇ amoli, 2005: p. 231-239).”

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa para penyokong memberikan minuman dan makanan yang bersih, lembut dan sesuai dengan waktunya dengan bertekad demikian; ‘semoga pemberian ini melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia. Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikian persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Sebagaimana sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan;’ demikianlah persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku, patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal. Persembahan yang telah dihaturkan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sangha, akan segera bermanfaat bagi mendiang itu sepanjang waktu yang lama. Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang telah meninggal, yaitu dengan berdana

makanan, minuman serta lain-lain kepada para Bhikkhu Sangha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dana ini kepada leluhur.

Nagasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Panha bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahir kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai hantu (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantasika), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan yang senanti asa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong dalam hantu yang hidup berdasarkan dana dari orang lain (paradattupajivika peta). Dalam Tirokudda

Sutta disebutkan bahwahantu Paradattupajivika

adalah hantu yang apabila ia ikut berbahagia terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh keluarganya (manusia), maka ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Karena dengan ia ikut berbahagia (mudita), maka ia telah melakukan perbuatan baik (kusala kamma), walaupun

kamma ini kecil bobotnya namun sangat

membantu hantu tersebut untuk terbebas dari kehidupannya sebagai hantu kelaparan agar terlahir kembali di alam yang lebih baik. Jadi

peta ini tertolong oleh karmanya sendiri yang

dibuatnya melalui pikiran dengan memunculkan mudita. Penyaluran jasa kepada orang yang telah meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila orang yang telah meninggal dunia terlahir di alam hantu kelaparan (Peta) yaitu Paradattupajivika, yang bersangkutan juga sebaiknya mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga dapat berterima kasih atas kebajikan ini.

Manfaat pelaksanaan pattidana dalam

Tirokudda Sutta disebutkan bahwa hantu Paradattupajivika adalah hantu yang dapat

merasakan turut berbahagia atas perbuatan baik yang dilakukan oleh sanak keluarganya (manusia), sehingga mereka dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Pelaksanaan pelimpahan jasa bermanfaat bagi makhluk lain, seperti yang diuraikan oleh Bhikkhu Nagasena kepada Raja Milinda:

”Siapapun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan memperaktikkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai, kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahunpun kebajikannya akan semakin tumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat ” (Pelasa, 1969: p. 161-162).

Pelimpahan jasa adalah perbuatan luhur (karma luhur) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Pikiran yang melakukan pelimpahan jasa di arahkan kepada sanak keluarga yang telah meninggal, dengan harapan bahwa mendiang mengetahui adanya perbuatan luhur ini dan menikmati jasa atau karma luhur ini.

Bagi yang melakukan pelimpahan jasa; dengan tindakan’melimpahkan jasa’ merupakan tindakan yang identik dengan menimbun dan menambah karma luhur di dalam dirinya. Bersama dengan itu, tindakan ini juga sama berdampak pada terkikisnya karma rendah yang berpotensi pada penderitaan. Dengan proses pertukaran karma dari pelimpahan jasa ini yaitu menambah karma luhur dan mengurangi karma rendah, melahirkan kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa.

Demikian pula bagi yang menerima pelimpahan jasa, yaitu mahluk-mahluk dan mendiang, jasa yang diterima merupakan bentuk karma luhur yang pada kondisi tertentu dapat mengikis karma rendah yang ada di dalam mahluk-mahluk itu. Disini juga terjadi proses pertukaran karma. Dengan proses pertukaran karma ini yaitu menambah karma luhur dan mengikis atau mengurangi karma rendah melahirkan kebahagiaan bagi yang menerima pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagian bagi yang menerima pelimpahan jasa.

Dengan pemahaman ini menunjukkan bahwa pelimpahan jasa terdapat dampak dan manfaat baik bagi yang melakukan pelimpahan jasa maupun yang menerima pelimpahan jasa. Pengamatan yang lebih seksama maka pelimpahan jasa merupakan proses bentuk pertukaran karma.

Bakti anak kepada leluhur

Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia. Banyak berbagai bentuk budaya dalam penghormatan kepada leluhur, misalnya masyarakat Tionghoa (Cina) memberikan sesaji dan doa di klenteng atau tempat ibadah, masyarakat Batak Toba penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya.

Begitu juga dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang leluhur dipindahkan ke kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tula. Hampir sama dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau. Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengancara upacara, juga menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama-nama seseorang. Misalnya orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu juga namaTionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti. Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki dariHasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang ibu yang bermarga Koto. Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua.

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

Kehidupan manusia didunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orang tuanya. Orangtua senantiasan melaksakan kewajiban dengan baik untuk membahagikan anak-anaknya. Sang Buddha pernah menerangkan di dalam Sigalovāda Sutta, Dīgha

Nikāya tentang kewajiban orangtua terhadap

anaknya. Ada lima cara, yaitu: 1) menjauhinya dari kejahatan; 2) mendukungnya dalam melakukan kebaikan; 3) mengajarinya beberapa keterampilan; 4) mencari istri yang pantas; dan 5) pada waktunya mewariskan warisan kepadanya (Walshe, 2009: p. 491). Lebih lanjut kewajiban orang tua terhadap anak Wowor (2004: p. 62) menjelaskan orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anak adalah menghindarkan anak dari perbuatan yang tidak baik, menganjurkan anak untuk selalu berbuat baik dan berguna, memberikan pendidikan yang baik untuk anak. memiliki peran sebagai pola asuh bagi anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, menunjukkan otoritasnya, dan memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Tarmudji, 2011: p. 4). Berdasarkan pendapat Tarmudji orang tua berperan aktif dalam membangun interaksi dengan anak-anaknya. Orang juga memberikan aturan-aturan demi kebapkan anak-anaknya. Orangtua senantiasa memberikan perhatian kepada anak-anaknya dalam segala kondisi suka maupun duka.

Salah satu peran orang tua adalah menjadi guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Keluarga dengan penuh cinta kasih orang tua mendidik anaknya agar menghindari kejahatan dan menimbun kebaikkan. Anak yang mendapat pendidikan yang baik akan berbakti dengan menunjang orang tuanya (Mukti, 2006: p. 321). Berdasarkan penjelasan dari Mukti dapat disimpulkan bahwa orang tua berjasa dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih.

Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakir adalah ayah (Anggutara Nikaya 11. 4) dalam Enawaty, dkk., 2008: p.. 34). Ayah dan ibu merupakan ladangan yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sunggguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak

perempuan yang memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti hendaknya melaksanakan kewajiban anak terhadap orang tua.

Ada lima cara bagi seorang putra untuk melayani ibu dan ayahnya sebagai arah timur. [Ia harus berpikir;] “Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. Aku harus melakukan tugas-tugas mereka untuk mereka. Aku harus menjaga tradisi keluarga. Aku akan berharga bagi silsilahku. Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku akan membagikan

Dalam dokumen AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN (Halaman 41-51)