• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian umum perempuan dalam sarasamuccaya

Dalam dokumen AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN (Halaman 133-145)

EKSISTENSI PEREMPUAN HINDU Kajian Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang

F. Analisa Masalah

1. Kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya

1.1 Kajian umum perempuan dalam sarasamuccaya

Mahabhrata maka, dalam hal ini penulis

kutipkan dari Kitab Sarasamuccaya dalam pengantarnya sebagai berikut :

Dan ada lagi keutamaannnya yang lain, jika seseorang telah mendengarkan kesedapan rasa puitis sastra suci itu, sekali-kali ia tidak akan berkemauan untuk mendengarkan cerita-cerita lain, termasuk nyanyian-nyanyian rebab, seruling dan lain-lain semacam itu, sebagai misalnya orang yang sudah pernah mendengarkan keindahan suara burung kutilang, yang telah meresap kedalam hatinya keindahan suara burung itu dan dapat membangkitkan kesenangan hatinya, tidak ada kemungkinannya ia akan berkemauan untuk mendengarkan kengerian suara burung Gagak, demikianlah kata Bhagavan Vararuci menghormati Bhagavan Vyasa, serta lanjut mengutarakan keutamaan cerita Mahabharata yang dinamai Sarasamuccaya, Sara artinya intisari dan Muccaya artinya himpunan, demikianlah sebabnya maka Sarasamuccaya disebut sastra suci karya Bhagavan Vararuci, inilah petuah yang dipergunakan oleh Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya pada beliau menceritakan Mahabharata. Inilah asal mula Sarasamuccaya (Nyoman Kajeng, 1997 : p. 5-6).

Dari kutipan pengantar tersebut, maka asal mula Sarasamuccaya bermula dari peristiwa yang terjadi dalam keturunan Bharata kemudian dihimpun oleh Bhagavan Vyasa yang disebut kitab Mahabhatara. Dari penjelasan Adi

Parva (P.J. Zoetmulder, 2005) bahwa Kitab

Mahabhatara menceritakan kehidupan keturunan Bharata sampai meletusnya perang Saudara antara Pandava dan Kurava yang disebabkan karena perebutan kekuasaan dan dalam Adi parva inipula dijelaskan tentang ringkasan cerita 18 Parva dalam Kitab Mahabharata.

1.1 Kajian umum perempuan dalam sarasamuccaya

Hindu adalah kebenaran yang abadi

(Sanatana Dharma) yang ajarannya bersumber

dari Veda. Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang kedudukan perempuan

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

dalam Kitab Sarasamuccaya. Akan tetapi, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang perempuan dalam pustaka seperti, Bhagavad-Gita, Niti Sastra, Manava Dharmasastra, Atharva Veda dan lainnya yang digunakan penulis sebagai referensi dalam memahami perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya tentang kedudukan perempuan dalam kitab tersebut. Kitab Veda sesungguhnya sangatlah menghormati dan menghargai martabat perempuan. Dalam kitab Manava

Dharmasastra III:56 menjelaskan bahwa ketika

wanita tidak dihormati, maka segala yajna tidak berpahala. Kemudian Atharva Veda V.17.3.4 menerangkan bahwa jika perempuan dihormati maka negara akan sejahtera. Kemudian Bhagavad-Gita IX.17 menjelaskan bahwa Aku adalah Bapa, Ibu, pelindung dari alam semesta ini. Kemudian dijelaskan dalam Yajur Veda 39 menerangkan bahwa meletakan lagi diatas tempat dudukmu, air agni dan bumi. Padanya engkau yang menakjubkan berbaring seperti diatas pangkuan seorang ibu (Griffith, 2006 : p. 216).

Selain itu, ada juga dari Kama Sutra dan Brhadaranyaka Upanisad yang menempatkan perempuan pada singgasana yang mulia. Pada Kama Sutra karya Rsi Vatsyayana menerangkan bahwa peranan perempuan sangatlah vital dalam hubungan seksualitas dan penerus keturunan (Suwantara, 2007). Dan pada

Brhadaranyaka Upanisad VI.2.13 dinyatakan

bahwa pada hubungan suami istri bahwa alat kelamin perempuan disimbolkan dengan api yajna (Radhakrisnan, 2008). Hal ini juga dijelaskan dalam Lontar Ganapati Tattva bahwa untuk melanjutkan penciptaan maka, perempuan mempunyai kewajiban untuk mengandung anaknya denga laki-laki yang mulia untuk mendapatkan anak yang suputra (Bantas, 2000).

Dengan demikian, kitab Hindu sangatlah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Akan tetapi, karena adanya pembahasan yang dikhususkan untuk hal-hal tertentu, seperti untuk pemimpin, pandita, seseorang yang memasuki tahapan wanaprasta dan sannyasin. Pembahasan tentang sloka 424-442 yang berkaitan dengan perempuan seolah-olah bertolak belakang dengan keseluruhan kitab Hindu tersebut yang sebenarnya selalu menghormati perempuan. Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini bertujuan agar selalu berpegang teguh pada

dharma, sehingga malapetaka besar yang dialami leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara antara Pandava dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak Kaurava dan pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi Drupadi yang dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena penghinaan pihak kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak disepakati, ahkirnya meletuslah perang dahsyat itu.

Selanjutnya, dalam pembahasan kitab Sarasamuccaya ini, pembahasan tentang perempuan sudah ada dari sloka awal yang membahas perempuan. Karena pemahaman suatu teks ini selalu berkaitan antara teks satu dengan yang lainnya (Teeuw, 2003 : p. 120-212). Untuk itulah, penulis akan membahas sloka-sloka dalam Kitab Sarasamuccaya yang berkaitan dengan perempuan, sebelum membahas lebih jauh tentang sloka ini maka, penulis sajikan kutipan teks Sarasamuccaya sloka 424-442 sebagai berikut :

a) Sloka 424: Na strbhyah kincidanyadvai pāpyo bhuvi vidyate, stryo mūlamanarthānām manasāpi ca cintitāh. Artinya :

Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita dalam hal membuat kesengsaraan; apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat; karenanya singkirilah wanita itu, meskipun hanya di angan-angan, hendaklah ditinggalkan saja.

b) Sloka 425 : Strkto grāmanigamah strktah krayavikrayah, stryo mūlamanarthānām tasmānnaitāh parişvajet. Artinya :

Adapun mereka yang ingin berdiam di dalam desa, adalah wanita yang menyebabkannya demikian pula orang yang mau berjual beli dan berdagang, adalah wanita pula yang menyebabkannya; pendeknya yang disebut wanita itu merupakan pangkal prihatin saja; oleh karenanya, janganlah hati tertambat kepadanya.

c) Sloka 426 :

Antakah pavano mtyuh pātālam va-avāmukham,

kşuradhārā vşam sarpo

vahnirityekatah striyah.

Artinya :

Maut pracandanila, yaitu angin yang luar biasa kencangnya dewa maut, wadawanala, yaitu api berkepala kuda di dasar bumi, tajamnya pisau cukur, bisa atau racun kalkuta, ular berbisa, prakupitagni, yaitu api berkobar-kobar dengan dahsyatnya, kesemuanya itu, adalah wanita dinamakannya; pun salah satu dari kesemuanya itu, sesungguhnya disebut pula wanita.

d) Sloka 427 :

ānāyamiva matsyānān pañjaracakuneriva,

samastapācam mūdasya bandhanan vāmalocanā.

Artinya :

Sebab wanita itu, menyebabkan datangnya cinta, matanya yang galak-pikir doyan asmara; merupakan alat pengikat, rantai pembelenggu si bodoh, sebenarnya itu seperti misalnya jala, pukat, pajang, adalah diadakan untuk perangkap ikan, dan sangkar burung itu diadakan adalah memenjarakan burung. e) Sloka 428 : Nāsām kaşcidagamyo’sti nāsām vayasi nişcayah, virūpam vā surūpam va pumānityena bhunjate. Artinya :

Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita; tidak patut aku pergi kesitu, sebab keadaanku begini; akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati; tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu; sebaiknya ia pergi saja dan tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda ataupun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk, laki-laki ini, demikian

saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang.

f) Sloka 429

Anarthivanmanusyana bhayāt paribhavāt tathā,

maryādāyāmamaryadah striyaşistanti bharṭ ṛ şu.

Artinya :

Kesimpulannya, wanita itu umumnya berlaku buruk, tidak dapat dibatasi; meskipun telah dibatasi, kepadanya telah diberikan ajaran-ajaran yang benar, namun sebab ia bukan karena patuh waktu dinasehati, hanya tampaknya tunduk terhadap suaminya; sebab yang sesungguhnya ia berbuat demikian, agar dia jangan digarap (disakiti) lagi; juga sang suami jangan membujuk-bujuknya; mungkin karena takutnya, mungkin karena takut disiksa, maka ia berlaku demikian (terhadap suaminya).

g) Sloka 430 :

Uşanā veda yacchāstram yacca veda vhaspatih,

ubhe te na vişisyeta strbuddhistu vişişyate.

Artinya :

Biarpun ilmu Bhagavan Sukra dan ilmu pengetahuan Bhagavan Wrhaspati, dapat keduanya itu, dengan tiada begitu sukar dikuasai dengan jalan selalu mengulang-ulanginya, sehari-hari harus digiatkan dan diusahakan; sebaliknya pikiran wanita itu sangat sulit untuk dimengerti tak dapat dipastikan bahwa ia dapat dikuasai, biarpun sehari-hari dengan giat diusahakan; penuh kekecewaan sesungguhnya hamba; apa nian cara orang menjaga akan dia.

h) Sloka 431 : Nāgnistrpyati kāstānām napagānāmahodadhih, nāntakah servabhutānām na pumsam vāmalocanā Artinya :

Tidak ada puas-puasnya api itu, biarpun segala rupa pohon kayu, semua yang tumbuh di muka bumi

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

ini dijatuhkan kepadanya, pasti tidak akan menjadikan kepuasannya, bahkan semakin bertambah besar saja nyalanya, oleh kesemuanya itu; demikian pula laut itu tidak kenyang-kenyang meminum air dari sungai-sungai, begitu pula sang maut tidak puas-puas mencaplok jiwa semua mahluk; maka demikianlah si wanita itu tidak ada kepuasan nafsu birahinya akan persetubuhan.

i) Sloka 432

Yasya jihvāsahasra syājjvecca şarada şatam,

ananyakarmā strdosān naivoktvā nidhana vrajet.

Artinya :

Tidak ada henti-hentinya dosa wanita itu jika diceritakan, bilamana ada orang yang berlidah seribu dan berusia seratus tahun serta tidak melakukan pekerjaan lain, melainkan hanya dosa wanita itu saja yang diceritakannya, pasti tidak akan berakhir ceritanya sampai jangkanya datang dicaplok maut.

j) Sloka 433 :

Angārasadrşi nar

ghrtakumbhasamah pumān,

ye prasakta vilnāste ye sthitaste pade sthitāh.

Artinya :

Dan wanita itu adalah bara sesamanya, sedang si pria itu sama halnya dengan minyak, artinya apabila pria berahi itu datang mendekat kepada si wanita, pasti akan hancur lebur, tidak bergaya; sebaliknya jika orang tetap berlaku arif bijaksana, tidak terkuasai hatinya oleh wanita, niscaya ia tetap selalu dalam keadaan selamat.

k) Sloka 434 :

Strnāma māyā niktih krodhamātsaryavigrahā,

dtūrā tyajedanāryām tāmjvalitamedhyavadbudhah.

Artinya :

Sesungguhnya wanita itu tidak lain dari pada sulap, berbahaya,

berwujud kemarahan, cemburu; oleh karena itu maka dijatuhkan oleh sang pandita, sebab tiada bedanya dengan sesuatu yang tidak suci (untuk digunakan kurban kebaktian), sesuatu yang menjijikkan, sesuatu yang kotor.

l) Sloka 435 :

Svabhāvaccaiva nāriām narāamiha dūsanam,

itthvam vai na pramādyanti pramadāsu vipaşcitah.

Artinya :

Kebiasaan wanitalah yang berbuat bencana kepada orang; dukacita dan prihatin ditimbulkan olehnya, serta membatalkan segala kerja; sadarlah sang pandita akan hal itu; karenanya, selalu berusaha menjauhi wanita.

m) Sloka 436 :

Yeşu yeşu pradeşcesu kāyo’tyantajugupsitah,

teşu teşu janah sakto vairagyam kèna yāsyati.

Artinya :

Adalah suatu alat pada tubuh si wanita, sangat menjijikkan dan sangat kotor; mestinya dibenci, dan dijauhi, jangankan dapat demikian, untung sekali, jika orang tidak sampai lekat, rindu berahi dan cinta kasmaran pada alat tersebut; orang yang bersikap demikian, apakah mungkin tidak terikat pada asmara.

n) Sloka 437 :

Ko hi nāma manusyesu jānannapi vicakşaah,

harinpadamātrea carmana nā khalktah.

Artinya :

Sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya cukup bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada tubuh wanita, yaitu kulit yang berukuran sebesar jejak kaki kijang.

o) Sloka 438 :

Prasvedamaladig dhena vahatā mūtraşoitam,

vraena vivtenaiva sarvamandhktam jagat

Artinya :

Ditengah-tengah kulit sebesar jejak kaki kijang, terdapatlah luka yang menganga yang tidak pernah sembuh, yang menjadi salura jalan air seni dan darah, penuh berisi keringat dan segala macam kotoran; itulah yang membuat orang bingung di dunia ini, kegila-gilaan, buta dan tuli karenanya.

p) Sloka 439 :

Kūlāni nāsya pātyante na kathamapi khanyate,

khanakaiva kşaya yāti balena ca hanena ca.

Artinya :

Luka itu digangsir selalu, tapi tidak ada yang rapuh, tidak ambruk pinggirnya, malahan alat penggangsirnya yang menjadi lemah, hilang kekuatannya, lenyap kekayaannya.

q) Sloka 440 :

Yānyeva malavāhini pūticchidrai yositām,

tānyeva khalu kāmyani aho pumsāviambanā

Artinya :

Terlalu menjijikkan luka itu, menurut pendapat hamba; mengeluarkan segala macam kotoran badan; luka itu diselubungi oleh semacam jerat burung (tampus=Bali), yang berlemak lagi sangat alot, itulah yang menyebabkan berahi, terikat cinta asmara di dunia ini; heran sesungguhnya hamba buka alang kepalang bencana di dunia ini.

r) Sloka 441 :

Yositām na kathā şravyā na nirksyā nirambarāh,

kadāciddarşanat tāsām durbalānavişedrajah.

Artinya :

Oleh karena itu hendaklah dijauhi wanita itu; jangan didengarkan kata-katanya, apalagi segala bisik-bisiknya, jangan dipandang wajahnya, apalagi bila ia telanjang

bulat, sebab akan tampak itu, dan terdengar akan perkataannya, itulah yang menyebabkan merasuknya nafsu berahi.

s) Sloka 442 :

Mātrā svasrā duhitrā vā na viviktāsano bhavet,

balavānindriyagrāmo vidvāsamapi karşati.

Artinya :

Jangan tidak berhati-hati, jangan bersenda gurau, bercakap-cakap berduaan dengan ibu anda, saudara anda, anak anda, karena cepat benar menyusup pengaruh indria (nafsu birahi) itu, meski sang pandita sekalipun tertarik olehnya. (Nyoman Kajeng, 1999 : p. 331-344)

Merujuk dari uraian tentang sloka tersebut, bahwa yang menjadi fokus naskah penulis adalah sloka 424-442, dengan adanya 19 sloka tentang stri ini bukanlah untuk menjauhi perempuan secara fisik karena seolah-olah pembawa kesengsaraan. Akan tetapi, yang menjadi pokok permasalahannya adalah pengendalian diri seorang laki-laki terhadap objek perempuan, janganlah sampai berpikir negatif tentang perempuan dan hindarilah wanita yang bukan miliknya karena akan menyebabkan kesengsaraan baik diri sendiri maupun orang lain. Hal inilah isi dari wejangankan Rsi vaisampayana kepada Janamejaya bahwa yang dijauhkan bukanlah wanitanya, akan tetapi pikiran laki-lakilah yang harus menjauhi hal-hal yang negatif terhadap perempuan jangan sampai menjadi pelayan nafsu dan selalu berada dijalan dharma.

Bagian dari kitab Sarasamuccaya diuraikan tentang perempuan (Stri) yaitu dari sloka 424 sampai dengan 442 (N. Kajeng, 1999) pada uraian sloka-sloka ini menjelaskan tentang perempuan dipandang sebagai pembawa kesengsaraan dan harus dijauhkan terutama oleh golongan Pandhita (Sloka 434-435). Padahal, Sarasamuccaya itu merupakan kitab suci Veda yang harus dipahami oleh umat Hindu khususnya, tetapi karena pemahaman yang keliru tentang bagian sloka ini maka kedudukan perempuan dalam Sarasamuccaya itu seolah-olah direndahkan dan dijauhkan. Hal ini terutama jika dipahami oleh umat Hindu pada umumnya selain golongan pandhita.

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014

Perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan guru rupaka yang berperan dalam pelaksana agama bersama suami terutama Nitya

karma, hal ini menunjukan kesamaam hak dan

kewajiban yang sama dalam mencari kesucian, pelaksanaan dharma, berhak mendapat samskara sebagai Dwijati (Pandita). Dalam hal inilah perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki untuk mencapai kehidupan spiritual dan mencapai tujuan akhir yaitu pembebasan. Dengan demikian, dalam mencapai tataran kehidupan spiritual ini tidak ada tembok pemisah antara laki-laki dengan perempuan, namun pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk mencapai pendakian spiritual.

Hal tersebut misalnya, pada kitab Sarasamuccaya yang secara keseluruhan mengandung ajaran moral yang tinggi yang merupakan intisari kitab Mahabharata yang ditulis oleh Bhagavan Wararuci yang berisi wejangan Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya. Ajarannya mengandung nilai moral (etika) dan spiritual yang tinggi yang merupakan pedoman untuk para pemimpin agar dapat menjalankan pemerintahannya dengan benar dan rakyatnya sejahtera serta sebagai pedoman bagi seseorang yang termasuk golongan Pandhita (rohaniawan). Karena menurut konsep Hindu dalam kehidupan ini seorang manusia mengalami 4 tahapan kehidupan, yaitu masa menuntut ilmu (Brahmacari), berumah tangga (grhasta), wanaprasta dan sanyasin, sehingga tujuan hidup ini tercapai setelah dharma, artha, kama terpenuhi dan akan memcapai pembebasan (Gede Rudia Adiputra, 2003).

Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini bertujuan agar selalu berpegang teguh pada dharma, sehingga malapetaka besar yang dialami leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara antara Pandava dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak Kaurava dan pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi Drupadi yang dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena penghinaan pihak kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak disepakati, ahkirnya meletuslah perang dahsyat itu. Merujuk dari sloka-sloka tersebut perempuan begitu direndahkan, dari cara pandang yang demikian ini, sangatlah cocok dengan empat

tahapan kehidupan (Catur Asrama) yang terakhir dalam Hindu yaitu Saniyasin, karena pada tahapan ini diharuskan menjauhi seks yang selalu dikaitkan dengan perempuan sebab dia sudah menjalaninya pada tahapan Grhasta. Dengan kata lain, kehidupan sex tidak lagi menjadi tugas seorang yang memasuki Sanyasin, tugasnya adalah mempelajari sastra suci untuk bekal kehidupan selanjutnya menuju alam keabadian. Dari Pemahaman sloka Sarasamuccaya hanya diperuntukan untuk golongan rohaniawan terutama golongan sanyasin akan tetapi, umat Hindu pada umumnya membaca sebagian potongan sloka itu maka, secara spontan mereka akan memberikan komplain atas sloka tersebut bahwa ternyata kedudukan perempuan dalam kitab suci Veda seolah-olah dimarginalkan dan seluruh latar belakang dari Sarasamuccaya sebagai kitab Etika Hindu hilang karena 19 sloka tersebut. Dari uraian tentang perempuan tersebut bukanlah secara sembarangan dijauhkan akan tetapi, karena perempuan itu suci dan agung sehingga, jauhilah sifat-sifat yang menjelekan tentang perempuan. Dengan demikian, yang dijauhkan bukanlah diri perempuan sebagai objek pembawa kesengsaraan, akan tetapi cara berpikir laki-laki tentang perempuan yang seharusnya dikendalikan. Dan bahkan perempuan itu menurut pandangan para Maharsi adalah altar dari pada suatu yajna dan sakti dari laki-laki sebagai kekuatannya (Titib, 2000).

2.Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan Hindu Dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 424-442

Ajaran Etika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) yang membentuk sistem nilai dalam suatu golongan atau masyarakat (K. Berten, 1997: p. 16 dalam Bantas dan Wirawan, 2009: p. 2). Pada dasarnya ada dua kecenderungan sifat manusia sebagaimana yang telah diuraikan dalam Kitab Sarasamuccaya yaitu Sadhujana, sifat orang yang suka berbuat baik dan berbudi luhur dan Durjana, sifat orang yang bertabiat buruk yang selalu membicarakan noda orang lain walaupun sebesar biji sawi dan tidak terlihat olehnya noda sendiri walau sebesar buah maja (Sarasamuccaya 341). Dari penjelasan awal bahwa Kitab Sarasamuccaya merupakan sebuah ajaran yang mengandung

nilai etika yang sangat tinggi yang harus dipedomani oleh setiap manusia, khususnya umat Hindu. Pada pembahasannya merupakan suatu yang saling berkaitan antara teks sebelumnya dan teks setelahnya, yaitu membicarakan tentang dharma, penggunaan Artha, pemenuhan kama dan pada bagian akhir membicarakan tentang kelepasan (Moksa).

Ajaran etika Hindu tidak menggunakan istilah yang bersifat dogmatik, baik atau jahat, surga atau neraka. Hal ini karena etika Hindu dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan yang merupakan tiga konsep kebahagiaan (Tri Hita Karana) untuk mencapai tujuan akhir penjelmaan manusia (Gede Jaman, 2006).

a. Nilai Pendidikan Tat Twam Asi

Merujuk sloka diatas mengandung makna yang sangat dalam bahwa Tat Twam Asi berarti engkau adalah itu, engkau adalah aku dan aku adalah engkau dan semua makhluk adalah Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu oleh karena itu, jiwatmaku dan prakerti semua makhluk adalah tunggal dengan jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Dengan demikian, engkau adalah aku dan aku adalah engkau, itulah kebenaran. Ajaran Tat Twam Asi ini mengakui dan mengajarakan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama. Perbedaannya adalah pada guna (sifat) dan kerja serta kualitas pengabdiannya (Gede Rudia Adiputra, 2003 : p. 75).

Selanjutnya, Kitab Sarasamuccaya sloka ini menjelaskan bahwa Rsi Waisampayana menganjurkan agar seorang raja harus mengayomi rakyatnya, dengan melaksanakan swadharmanya merupakan sebagai suatu kewajiban tanpa adanya pamrih dan tanpa terpengatuh godaan-godaan nafsu duniawi terutama dengan godaan nafsu birahi yang disalurkan secara tidak benar kepada sembarangan perempuan, kecuali dengan pasangan sendiri dalam bingkai Grhasta melalui pernikahan yang sah. Selain itu, dalam hal spiritual Bhagavan Vaisampayana mengajarkan bahwa seorang raja harus selalu melakukan tapa (pengendalian diri), terutama mengendalikan pikirannya agar tidak terjerembab dalam lembah kehancuran dan penderitaan serta sopan santun terhadap semua orang tanpa membedakan drajat dalam struktur masyarakat.

b. Nilai Pendidikan Viveka

Viveka artinya daya pembeda yang

dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, amal, dan dosa, baik-buruk, sejati dan palsu; ini sangat menentukan “keputusan hati’ yang disebut Nisacaya Jnana. Sedangkan “keputusan hati” akan mendorong dan mewarnai ucapan maupun tindakan.“Dadi

pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi Artinya : Bila

keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku” (Sarasamuccaya 79. Nyoman Kajeng, 1999). Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik).

Dengan demikian, pengendalian terhadap pikiran itu sangatlah penting jika menguasai atas indria ini maka seseorang akan menjadi sosok yang bijaksana. Dinyatakan dalam sloka 437 bahwa “sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya ssangatlah bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada pada tubuh wanita, sebesar jejak kaki kijang”. Oleh karena itulah Bhagavan Vararuci menjabarkan wejangan tersebut bahwa walaupun seorang pendeta yang bijaksana sekalipun dapat terikat oleh benda sebesar kaki kijang (sloka 437), sehingga ia terjatuh dalam gelombang duniawi. Hal ini seperti Bhagavan Viswamitra yang digoda oleh bidadari Menaka, dan akhirnya gagalah pertapaan beliau, karena dalam hal ini belum adanya pengendalian pikiran atas indriya yang selalu mengikat seseorang untuk menikmatinya.

Hal ini Bhagavan Vararuci mengamanatkan bahwa walapun seorang pandita ada kelemahan berpikir mengenai subjek seorang perempuan, apalagi perempuan itu sedang dilanda asmara, jika pikiran tidak terkendali maka akan terperosok dalam lembah kesengsaraan dan kehancuran. Jadi, Bhagavan

Dalam dokumen AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN (Halaman 133-145)