• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Produk Hukum dan Perkembangannya

Dalam dokumen HAM DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM (Halaman 34-42)

Untuk mengkualifikasi apakah suatu poduk hukum responsif atau konservatif, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan, sifat-fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat kedua kualifikasi produk hukum tersebut.

a. Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi kempok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat.

b. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat

positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan idiologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan- tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.

Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.

Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak

masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari produk masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat

positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.

Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum yang berkarakter responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Oleh sebab itu, produk hukum yang berkarakter responsif biasanya memuat hal-hal penting yang cukup rinci, sehingga sulit bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.

Hasil telaah atas kasus-kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi polotik. Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karaker produk hukum yang dilahirkannya cenderung renponsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi yang otoriter maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.

Secara lebih spesifik perkembangan karakter produk hukum tentang Pemilu, Pemda, dan Agraria menurut penggalan waktu (periodisasi) konfigurasi poitik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hukum Pemilu

Setelah proklamasi kemerdekaan (selama periode 1945-1959) berbagai eksperimen perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi Pemilu yang benar-benar fair, yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada tahun 1955 dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953. UU ini memuat materi sangat rinci (139

pasal) sehingga tidak memberikan spase yang terlalu besar kepada eksekutif untuk menafsirkannya dengan peraturan pelaksanaan menurut visi politiknya sendiri. Organisasi penyelenggara Pemilu adalah independen dan tidak diintervensi oleh kekuatan poitik pemerintah. Pengangkatan anggota DPR maupun konstituante yang tidak berdasar hasil Pemilu hanya dimungkinkan bila terjadi situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah yang berhalangan menyelenggarakan pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan untuk sementara), atau karena kursi-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi habis setelah dibagi-bagi menurut perimbangan perolehan suara, atau karena tidak terpenuhinya jumlah minimal tertentu untuk golongan minoritas Cina, Arab, dan Eropa. Dengan demikian produk hukum Pemilu pada era ini dikualifikasi sebagai produk hukum yang lebih berwatak responsif/populistik.

Pada era demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu, sesuai dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga perwakilan rakyat yang ada mengalami emaskulasi untuk akhirnya dibubarkan oleh Presiden.

Logika pembangunan ekonomi pada era Orde Baru (1966-1998) telah menyebabkan pemerintah mengambil sikap tertentu tentang pemilu, yakni pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (dengan sebutan kekuatan Orde Baru) harus menang. Oleh sebab itu, yaitu UU No.15 tahun 1969, yang kemudian hampir selalu diperbaharui setiap menjelang pemilu, lebih cenderung berwatak konservatif/ortodoks/elitis. Artinya lebih banyak memberi keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. Di dalam UU tersebut dianut sistem pengangkatan secara tetap (untuk jumlah tertentu) yang ditentukan oleh dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggaraan pemilu dinilai tidak netral dan peraturan-peraturan pelaksanaanya yang merupakan interprestasi resmi atas UU Pemilu (elektoral laws) dinilai tidak fair. UU No. 15 Tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal memang memberi space sangat luas kepada pemerintah untuk memberikan interprestasi, yang dalam banyak hal dinilai tidak sekedar “interprestasi teknis”.

b. Hukum Pemda

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang cenderung liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama. Pada periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental dalam wujud lahirnya UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU No.1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum hukum Pemda pada era 1945-

1959 ini dapat dikualifikasikan sebagai hukum yang berkarakter sangat responsif/populistik karena luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah. Pada era ini pemerintah daerah sangat leluasa dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas otonomi nyata seluas-luasnya. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan (medebewind) lebih banyak ditangani oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangat fair, yakni dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum ada UU tentang Pemilihan Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juga kontrol pusat terhadap produk Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal tertentu yakni pada masalah- masalah yang menyangkut kepentingan umum.

Pemerintah pada era demokrasi terpimpin memandang sistem otonomi atau desentralisasi yang berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan keutuhan nasional karena tendensi pada timbulnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presiden Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara total dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun 1959 menggeser dominasi asas desentralisasi ke arah sentralisasi atau pengendalian daerah secara ketat oleh pusat. Meskipun Penpres tersebut secara “formal” masih menyebut asas otonomi nyata yang “seluas-luasnya”, namun asas tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan Penpres itu memuat ketentuan-ketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi. Kepala daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan sekaligus sebagai pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di daerah yang diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD. Penpres ini kemudian digantikan oleh UU No. 18 Tahun 1965 yang lebih merupakan penggantian “baju hukum” karena isinya tidak mengandung perubahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18 Tahun 1965 mengambil hampir seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1959 sebagai materinya. Dengan demikian, produk hukum tentang Pemda pada periode ini memiliki karakter yang sangat konservatif/ortodoks/elitis.

Era Orde Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang “persatuan dan kesatuan” melakukan perubahan tehadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal Orde baru, MPRS menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan MPRS ini harus diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi yang seluas-luasnya bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga harus diganti dengan asas

otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih merupakan kewajiban bagi daerah. Asas otonomi nyata dan bertanggung jawab ini dituangkan dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak seekstrem UU No.18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974 ini dapat dikualifikasikan sebagai produk hukum yang cenderung berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pusat secara lebih dominan. Kepala Daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan daerah berdasarkan hasil pemilihan DPRD itu harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pusat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa tunggal dalam bidang pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas daerah otonom. Kontrol pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan

represif, dan pengawasan umum. Dengan demikian desentralisasi menurut UU No.5 Tahun 1974 sebenarnya lebih diwarnai oleh sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan produk yang berwatak responsif.

c. Hukum Agraria

Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukum-hukum agraria yang ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti dengan hukum agraria yang lebih responsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur untuk memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai Panitia Perancang Hukum Agraria Nasional. Peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial itu dibuat untuk sementara sambil menunggu lahirnya hukum agraria nasional yang materi-materinya berisi pencabutan terhadap bidang-bidang tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti pencabutan hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan Tanah dengan UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 6 Tahun 1952) dan sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang masih bersifat parsial mempunyai kerakter yang lebih responsif/populistik.

Sejak awal kemerdekaan pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk membuat hukum agraria nasional yang komprehensif melalui pembentukan berbagai Panitia Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948), kemudian disusul dengan Panitia Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956). Rangkuman hasil-hasil kerja berbagai

panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada DPR sebagai RUU. Namun RUU yang diajukan pada era demokrasi liberal ini kemudian ditarik oleh pemerintah karena terjadi perubahan kontitusi berkenaan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbaharui atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada dalam UUD 1945 dan konsepsi demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU pada tahun 1960 oleh Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No.5 Tahun 1960 yang dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). UUPA menghapus semua watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang menyertainya, yaitu watak dualistik, feodalistik, dan eksploitatif. UUPA juga memuat asas “fungsi sosial” bagi hak atas tanah serta prinsip pembatassan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki secara adil. Domeinverkelaring dinyatakan dicabut dan diganti dengan asas “hak menguasai dari negara “ yang berorientasi pada upaya mengusahakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian UUPA berkarakter sangat responsif/populistik.

Kasus UUPA menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter responsif pada era demokrasi tepimpin yang otoriter. Hal ini bisa dijelaskan dari empat hal, yaitu: Pertama, UUPA berasal dari warisan (rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda karena ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat materi yang membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh semua pemimpin Indonesia, baik pemimpin yang demokratis maupun otoriter. Ketiga, materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun. Keempat, UUPA tidak hanya memuat aspek publik (hukum administrasi negara), tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).

Pada era Orde Baru tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agraria nasional karena Indonesia sudah memiliki UUPA. Oleh sebab itu, hanya dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang sifatnya parsial. Ada tuntutan bagi Orde Baru untuk melakukan pembaruan terhadap beberapa masalah (parsial) dalam bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU Landreform (UU No. 56/PRP/1960).

Dapat juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde Baru telah menyebabkan meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigening (pencabutan hak atas tanah), seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap pragmatis Orde

Baru telah melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam bidang agraria ini yang dapat dikualifikasi cenderung berkarakter konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan Pembangunan, di samping materinya secara hirarkis tidak proporsional karena memuat materi UU atau mengatur cara lain daripada yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak memberikan alternatif jika “musyawarah” untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di dalam praktik banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan pihak yang ingin membebaskan tanah.

Dalam pada itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang sebagai poduk peraturan perundang-undangan yang lebih mmenuhi keperluan praktis pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya materi kedua peraturan perundang-undangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk hukum setingkat UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada prosedur musyawarah yang lebih terbuka untuk menentukan ganti rugi. Terlihat juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi ditolak pemilik hak atas tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian gubernur. Jika penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigening). Namun karena substansinya sangat penting, materi Kepres No. 55 Tahun 1993 seharusnya diberi baju hukum dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan dengan UU No. 20 Tahun 1961. 4. KASUS PELANGGARAN DAN UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA A. Penggolongan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang secara melawan hukum mengurangi,menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia (UU RI Nomor 39 Tahun 1999). Kapan dinyatakan adanya pelanggaran HAM ? Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan seharai–hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu baik dilakukan oleh negara/ pemerintah maupun oleh masyarakat. Richard Falk, salah seorang pemerhati HAM

mengembangkan suatu standar guna mengukur derajat keseriusan pelanggaran hak–hak asasi manusia. Hasilnya adalah disusunnya kategori–kategori pelanggaran hak–hak asasi manusia yang dianggap kejam, yaitu :

a. Pembunuhan besar–besaran (genocide). b. Rasialisme resmi.

c. Terorisme resmi berskala besar. d. Pemerintahan totaliter.

e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan– kebutuhan dasar manusia. f. Perusakan kualitas lingkungan.

g. Kejahatan–kejahatan perang.

Akhir–akhir ini di dunia Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan banyak pelanggaran hak asasi manusia dalam wujud teror. Leiden & Schmit, mengartikan terror sebagai tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman–ancaman tak berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang–barang dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam bentuk pembunuhan, penculikan, sabotase, subversiv, penyebaran desas–desus, pelanggaran peraturan hukum, main hakim sendiri, pembajakan dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan oleh pemerintah mapun oleh masyarakat (oposan).

Teror sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kejam (berat), karena menimbulkan ketakutan sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi dapat dirasakan. Dalam kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat sulit untuk melakukan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam upaya mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan bermartabat. Penggolongan pelanggaran HAM di atas merupakan contoh pelanggaran HAM yang berat dikemukakan Ricahard Falk. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang berat adalah :

a. pembunuhan masal (genocide);

b. pembunuhan sewenang–wenang atau diluar putusan pengadilan; c. penyiksaan;

d. penghilangan orang secara paksa;

Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM biasa antara lain: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan, menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam dokumen HAM DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM (Halaman 34-42)