• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.

Dalam dokumen HAM DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM (Halaman 83-86)

C. Alternatif Pemecahan Masalah Penegakan HAM di Indonesia

6. Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.

Salah satu formulasi politik hukum HAM pemerintah terlihat dari substansi RAN- HAM ini adalah maksud dan tujuannya yaitu untuk memberikan jaminan bagi peningkatan, pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia. Pelaksanaan RAN HAM ini selama lima tahun dari 1998-2003.

Pada tataran lain, lahirnya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan langkah yang sangat maju bagi proses penegakan HAM dalam transisi demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU ini juga berarti kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diadili di Pengadilan HAM (Pasal 43) meskipun UU ini hanya mengatur pelanggaran HAM berat yaitu Kejahatan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan.

Untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dengan payung hukum hukum UU ini tentu saja tidak mudah. Menurut Eddy Djunaedi K (2003:91) setidaknya ada tujuh permasalahan yang dihadapi Pengadilan HAM yaitu :

1. Tidak lengkapnya peraturan perundang-undangan mengenai Pengadilan HAM di Indonesia.

2. Kurang terjaminnya saksi dalam penyampaian kesaksian di persidangan, terlebih dengan belum terlaksananya tata cara persidangan yang tertutup dalam hal-hal khusus.

3. Pembatasan waktu penahanan dan penyelesaian perkara di Pengadilan HAM, padahal yang diperiksa adalah kejahatan yang termasuk kategori kejahatan internasional yang serius yang memerlukan waktu pemeriksaan yang relatif lama.

4. Tidak meratanya pemahaman HAM Hakim dan pejabat lainnya.

5. Sulitnya memanggil terdakwa dan saksi-saksi yang berada di luar negeri

6. Kurang terjaminnya ketertiban dan keamanan dalam melaksanakan persidangan- persidangan

7. Belum lengkapnya sarana penunjang pengadilan

Sementara menurut Romli Atmasasmita (2001:139) mewujudkan suatu pengadilan HAM tidaklah semudah menuliskannya atau mengucapkannya karena lima hal yaitu: pertama, masalah pelanggaran HAM merupakan peristiwa baru bagi bangsa Indonesia; kedua, suatu pelanggaran HAM tidak identik dengan kejahatan biasa; ketiga, lembaga yang sudah ada belum terbiasa menangani pelanggaran HAM dan yurisprudensi hukum internasional dalam kasus pelanggaran HAM belum banyak dari Mahkamah Ad Hoc, keempat, larangan pemakaian penafsiran analogi dalam sistem hukum pidana, kelima, tuntutan masyarakat internasional melalui PBB agar serius menangani kasus pelanggaran HAM

Alasan ini ada benarnya, karena sampai saat ini hanya ada beberapa kasus yang secara limitatif diperintahkan diajukan ke Pengadilan diantaranya melalui Keppres Nomor 96 Tahun 2001 yaitu kasus pelanggaran yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah Liquica, Dili dan Soae pada bulan April 1999 dan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Padahal dari hasil penelitian Eko Pasetyo (2003:170) dalam kurun waktu dua dasawarsa begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi seperti peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) dengan korban sipil tewas 10.000, peristiwa Tanjung Priok dengan korban 50 tewas, 16 hilang, 63 luka-luka, peristiwa Nipah Sampang Madura dengan korban tewas 4 orang, peristiwa penculikan aktivis 12 orang dinyatakan hilang dan lain-lain.

Bahkan menurut Landry Haryo Subianto (2000:146) bahwa ada ribuan kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu 1960-an sampai tahun 1990-an. Kasus- kasus itu terangkum dalam tiga tema utama, yaitu pertama, tindakan kekerasan yang

dilakukan oleh aparat negara, kedua, bentuk pelanggaran HAM yang terjadi sebagai ekses kolusi antara aparat pemerintah dengan kalangan bisnis pada umumnya menimpa sektor pertambangan, kehuatanan dan industri, penggusuran tanah secara paksa dan ketiga, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu atau kelompok massa terhadap individu dan kelompok massa lainnya dalam bentuk kerusuhan dan konflik horizontal.

Sementara menurut Aswab Mahasin (1990:103) setidaknya terdapat tiga bentuk umum praktek pelanggaran HAM yang dapat dapat kita temui, yaitu pertama, masih cukup populernya praktek represi politik oleh aparat negara, sekalipun intensitasnya belakangan ini mengalami kecenderungan menyurut; kedua, praktek pembatasan partisipasi politik, ketiga, praktek eksploitasi ekonomi beserta implikasi sosialnya baik yang dilakukan secara terorganisir maupun yang tidak terorganisir.

Dengan demikian penegakan HAM masih dalam tahapan proses konseptual karena implementasinya masih jauh dari harapan. Dilihat dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Timor-Timur, masih menyimpan pertanyaan seputar daftar tersangka dan vonis hakim Pengadilan HAM Ad Hoc yang cenderung lebih banyak menghukum sipil daripada militer. Namun yang pasti bahwa banyak yang berharap bahwa pengadilan pertama kasus-kasus pelangaran HAM berat ini mejadi tonggak sejarah penegakan HAM di Indonesia. Dalam hubungan ini Asmara Nababan dalam Budairi (2003:132) mengemukakan bahwa inilah kesempatan paling baik bagi kita untuk memikirkan kembali gerak demokrasi bangsa ini. Transisi menuju demokrasi seharusnya berarti transisi menuju perdamaian dan penghormatan atas esensi kemanusiaan.

Pada tataran lain, proses penyelesaian kasus-kasus HAM di Indonesia dalam transisi demokrasi mensyaratkan adanya konsolidasi demokrasi, yaitu pertama, adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat. Kedua, adanya masyarakat politik dimana tokoh-tokohnya diberi kesempatan terbuka untuk bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan. Ketiga, dianutnya ideologi supremasi hukum. Dalam konteks ini akan sangat terkait dengan kemampuan negara dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang memang menjadi tanggung jawab negara. Keempat, adanya sebuah birokrasi yang mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tuntutan dari berbagai kelompok korban kepada Polri dan Kejaksaan juga merupakan tuntutan

terhadap birokrasi. Kelima, terciptanya sebuah masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat untuk menjalankan perekonomian.

Dengan kelima parameter itu, menurut Tanuredjo dalam Satya Arinanto (2003:373) di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Ideologi negara hukum yang seharusnya dipegang dan dijadikan acuan justru menjadi tameng untuk mempertahankan kekuasaan. Teknis-teknis hukum justru dijadikan dalih untuk menghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti terlihat dari bagaimana Kejaksaan Agung menggunakan masalah teknis hukum untuk menghambat proses penyelidikan kasus Semanggi I dan II yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Kejaksaan Agung sebagai sebuah birokrasi aparat penegak hukum seharusnya mendukung kerja-kerja masyarakat sipil, seperti KPP HAM Trisaksti dan Semanggi.

Dalam dokumen HAM DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM (Halaman 83-86)