• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Masyarakat (Media) Sosial

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 33-39)

D

imanakah tempat nongkrong Anda sekarang? Selain mall, cafe, pinggir jalan, tempat rekreasi dan ruang- ruang terbuka lainnya, kini ada tempat nongrong yang lebih privat, yaitu cukup di kamar atau ruang pribadi lainnya. Menjalin pergaulan kini tidak perlu lagi beranjak dari tempat tidur sehingga harus ribet mandi, berdandan dan bersolek ria. Nongrong kini dilakukan generasi masyarakat baru di lokasi tempat paling pribadi sekalipun.

Kemudahan saling bersapa dan berbagi cerita termasuk gambar dan video dilakukan setiap orang, setiap saat dan tak kenal batas. Kongkow sebagai bentuk pergaulan masyarakat dilakukan dengan cara yang benar-benar baru. Pagi-pagi betul kini masyarakat maya sudah saling menyapa dunia, berbagi cerita, menyampaikan apa yang dirasakan, hingga bertanya

34

tentang sesuatu yang akan dicarinya hari itu.

Karakteristik masyarakat maya kini berkolaborasi dalam media sosial yang sekaligus menandakan masyarakat baru dengan gaya hidup baru yang penuh warna dan kemudahan. Sebagai ruang pergaulan, media sosial menawarkan berbagai ragam harapan yang mungkin dimanfaatkan oleh setiap individu. Pertama, media sosial menghilangkan jarak profesi dan status sosial. Kalau di dunia nyata anak sekolah tidak mudah menyapa guru apalagi kepala sekolah, mahasiswa menyapa dosen atau rektor, karyawan menyapa bosnya, namun di ruang media sosial semuanya sekat itu hilang. Seorang anak SD bisa ngobrol akrab dengan seorang Guru Besar tentang persoalan remeh-temeh. Seorang ABG bisa bercanda dengan seorang tokoh agama. artis bisa saling berbagi dengan fansnya yang itu tidak bisa dilakukan secara langsung.

Semua aktivitas itu dilakukan mengalir apa adanya. Mungkin jarang yang membayangkan, bagaimana jika hal itu terjadi dalam realitas nyata. Karyawan yang selalu segan kalau ketemu atasan, tiba-tiba menjadi akrab dan bisa haha... hihi...saat ketemu di ruang maya. Dalam stataus facebook

kita bisa menemukan beragam orang yang terkadang tidak kenal, atau kenal tetapi tidak pernah kita bertegur sapa kalau ketemu, apakah karena kita segan atau karena dia kita anggap sepele. Kita akan terus aktif berinteraksi dengan beragam macam manusia dengan nada gembira, humor dan setengah hura-hura. Padahal tatkala kita benar-benar ketemu dengan

35

orangnya, kita tidak menemukan proses pergaulan serupa dengan apa yang telah dilakukannya di dunia maya.

Kedua, di dunia sosial, kebanyakan orang di negara kita selalu menyembunyikan status yang sebenarnya, khususnya tekait dengan pekerjaan atau profesi. Positifnya dari perilaku masyarakat maya seperti ini adalah tidak banyak orang yang tahu kalau yang diajak “nongkrong” dan berdialog adalah orang penting atau tokoh tertentu. Di sini berbagai profesi manusia menyatu dalam sebuah pergaulan yang bersifat universal. Sangat jarang di ruang sosial maya seperti ini kita berchating dan berbagi ceritera perihal profesi atau status pekerjaannya. Orang-orang lebih senang menutup rapat hal- hal seperti ini dan lebih suka menyajikan wacana dan status yang sekiranya dapat diterima semua orang. Sehingga ketika melakukan interaksi tidak ada orang yang canggung dan gengsi dengan kondisi dan profesi dirinya. Pergaulan lintas profesi seperti ini amat susah dilakukan dalam dunia nyata, yang justru lebih homogen dan ekslusif.

Ketiga, munculnya daya kritis alamiah publik. Di tengah persoalan sosial yang muncul di dunia nyata, baik terkait dengan infrastruktur, pelayanan dan hal-hal kecil lainnya, tidak banyak orang yang berani melakukan kritik secara langsung. Namun suara nurani itu dapat kita temukan dalam pergaulan sosial maya dengan sangat berani. Ketidak puasan atas kondisi jalan yang hancur misalnya, hanya dapat diceriterakan dan dibagi dalam ruang maya belum tentu kritik itu dilakukan secara langsung. Ruang-ruang keberanian itu menemukan

36

identitasnya ketika ruang sosial maya memberikan fasilitas yang dapat menyalurkan suara-suara kekecewaan itu kepada siapapun yang mau atau sekedar kebetulan membacanya. Kita juga dapat menemukan kritikan masyarakat itu dalam bebebrapa kasus seperti teroris, ketidak adilan hukum, kerusakan moral para artis, perilaku wakil rakyat hingga masalah pendidikan, sosial dan ekonomi. Semuanya mengalir begitu saja.

Keempat, media sosial pada dasarnya hanya menyambungkan masyarakat maya satu dengan yang lainnya melalui kesepahaman dan persamaan kepentingan. Media sosial tidak menjadi waras yang dapat menghantam siapa saja yang dianggapnya musuh. Di dalam media sosial, setiap orang adalah teman, dia menyambungkan satu orang dengan yang lainnya, sehingga dapat melakukan kolaborasi sosial untuk sebuah kepentingan tertentu. Karenanya tidak ada permusuhan yang berarti di dalamnya. Mengapa demikian, karena media sosial sebagaimana halnya kita up date status, hanya mengundang komentar mereka yang mau dan setuju saja dengan komentar kita, selain itu, mereka yang tidak sepakat dengan status itu boleh mengabaikannya. Sehingga jejaring yang dibangun media sosial pada dasarnya adalah bersifat menambah perkawanan bukan menambah musuh.

Selain itu, masyarakat (media) sosial juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, mereka relatif cair. Karenanya tidak ada pengikat yang secara permanen dapat membuat kohesivitas semakin terjaga. Teman dalam pergaulan sosial

37

maya bisa datang dan pergi setiap saat. Setiap teman kongkow

kita bisa bertambah namun pada saat yang sama ada yang hilang. Kecuali yang sudah memiliki ikatan khusus, selebihnya kita pun tidak pernah mempertanyakan secara serius kemana teman yang baru saja gabung sehari yang lalu. Padahal dalam realitas sesungguhnya, kita akan merasa kehilangan bahkan berusaha mencari jika satu dari sekian banyak teman kita tidak hadir tanpa kabar. Namun masyarakat maya akan abai, tidak merapati bahkan cuek mengapa kita tidak menjadi teman abadi saja.

Kedua, tidak semua informasi dan percakapan dapat dipercaya. Karena longgarnya ikatan pertemanan masyarakat maya, maka di media sosial sangat memungkinkan orang memberikan informasi yang tidak benar tentang dirinya, dengan berbagai alasan. Kita dapat melihat status orag lain, informasi pribadi hingga percakapan yang panjang lebar. Apakah kita yakin bahwa semua informasi yang kita dapat tentang dia itu sepenuhnya benar? Wallahu a’lam. Karenanya, media sosial di samping media strategis untuk menambah teman, namun juga harus ekstra hati-hati.

Karenanya, sampai saat ini penulis belum pernah mendapat informasi kalau sebuah perusahaan mencari calon karyawannya lewat facebook, twitter atau media sosial lainnya. Mungkin saja salah satu persoalannya adalah tingkat faliditas informasi yang meragukan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan di negara-negara maju misalnya, dimana media sosial suda menjadi salah satu instrumen dalam proses

38

perekrutan karyawan perusahaan. Sebelum perusahaan memanggil calon karyawannya, mereka akan terlebih dahulu melihat media sosialnya, berbekal informasi itu, perusahaan akan menambah keyakinan bahwa orang yang dia panggil tidak salah.

Ketiga, media sosial tidak memberikan pembentukan struktur sosial dengan menjadikan seseorang sebagai leader. Pertemanan yang sangat banyak berjalan mengalir tanpa adanya pemimpin di antara mereka, bahkan senioritas pun tidak ada. Sifat egaliter ini akan dirasa menjadi sebuah kelemahan ketika para peselancar media sosial ini membutuhkan gerakan nyata. Mereka semua sederajat, teman biasa dan tidak ada yang dijadikan pemimpin. Sehingga rujukan pendapat atau pemimpin aksi menjadi kendala.

Masyarakat cyber yang bergaul dalam media sosial memang menjadi fenomena baru dunia modern. Karakteristik yang khas tidak mudah dibaca dengan hanya membandingkannya dengan pergaulan masyarakat nyata yang berada di ruang-ruang publik. Mereka ada tapi tidak ada, ada di ruang-ruang maya, tetapi (seperti) tidak ada dalam ruang nyata. Mereka bersembunyi di sudut-sudut bumi yang sangat pribadi. Mereka hanya hadir dalam dunia virtual

yang tidak mudah dilacak secara fisik. Sekaligus, masyarakat

yang tampak di media sosial juga memiliki karakteristik yang (terkadang) sama sekali berbeda dengan manusia aslinya ketika mereka muncul dari “persembunyiannya”.

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 33-39)

Dokumen terkait