• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Ruang Maya Dalam Budaya Mudik

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 53-59)

T

radisi mudik dalam budaya Indonesia menjelang hari besar Iedul Fitri tidak pernah tergeser dengan kehadiran berbagai faslitas teknologi canggih sekalipun. Di sana ada rahasiah kepuasan batin yang tentu saja tidak pernah terwakili hanya dengan suara atau catatan- catatan pendek lewat media informasi. Kehadiran fasilitas 3G

yang menawarkan tampak wajah dan gerak fisik dalam ber-

komunikasi secara langsung sekalipun tidak menyurutkan Ummat Islam dalam tradisi tahunan di Indonesia untuk mengurungkan niat mudiknya.

Betul bahwa sentuhan lembut orang tua-anak, suami- istri, jabatan tangan seorang saudara dan teman tidak pernah terwakili dengan teknologi apapun. Sehingga dalam konteks komunikasi antar personal, pertemuan yang bersifat lang-

54

sung sesungguhnya tetap menjadi utama karena melahirkan kepuasan batin dan rasa yang tidak pernah terwakili oleh apapun. Hembusan nafas suami-istri (ketika berkomunikasi pada jarak intim), termasuk bau khas tubuhnya, tidak pernah terwakili oleh apapun kecuali keduanya bertemu secara langsung.

Teknologi memang dalam konteks komuninasi hanya membantu sifatnya. Mempermudah menemukan, men- deteksi, mencari informasi, namun bersifat sementara dan instan. Karenanya tidak semua hal bisa diwakilinya, karena sifatnya instant dan sementara. Banyak orang menjadikan teknologi informasi hanya alat pelacak untuk kemudian membuat janji. Selanjutnya berbagai urusan dan isi hati hanya dapat disampaikan secara langsung. Mengapa tidak, padahal teknologi sangat memungkinkan untuk dijadikan alat penyalur isi hati. Tetapi tidak begitu sebab teknologi tidak mampu mewakili intonasi, mimik muka, ekspresi tubuh, rasa hati, emosi juga kehangatan secara bersamaan.

Untuk mengungkapkan selamat Iedul Fitri seorang anak di kota dapat menyampaikannya lewat SMS ke orang tua yang ada di Desa. Jika masih kurang bisa dengan telepon, masih kurang bisa dengan teknologi internet, dan berbagai fasilitas lainnya. Namun fakta gerakan massa menjelang lebaran dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan dalam prediksi beberapa pihak, tahun ini pun pemudik mengalami kenaikan angka. Jadi sesungguhnya tidak ada korelasinya antara semakin canggihnya teknologi dengan tingkat

55

keterwakilan komunikasi antar manusia – paling tidak dalam konteks arus mudik ini.

Sekali lagi, bahasa tubuh manusia sampai saat ini belum bisa dijembatani oleh kehadiran teknologi secanggih apapun. Karenanya masyarakat masih tetap “mengejar” orang-orang yang berkepentingan untuk ditemui walaupun dengan usaha yang sangat sulit dan terkadang mengancam jiwa. Sudah datang ke desa masing-masing pun, setiap orang masih harus tetap datang ke rumah-rumah saudara, tetangga dan siapapun yang dianggap perlu untuk didatangi. Dan begitulah tradisi ini berulang dari tahun ke tahun.

Kokohnya tradisi mudik walaupun perkembangan teknologi semakin canggih, dimungkin beberapa hal, pertama, mudik merupakan budaya bangsa Indonesia, bukan hanya ummat Islam. Tradisi saling mengunjungi dan berkumpul di rumah orang tua atau yang lebih tua ini merupakan ciri khas yang berjalan secara turun temurun. Sehingga untuk menggeser budaya mudik, teknologi informasi harus masih bersabar karena membutuhkan waktu lama, atau mungkin tidak akan tergeser sama sekali.

Kedua, masyarakat Indonesia berada di kawasan dengan tipe komunikasi konteks tinggi. Artinya untuk melakukan komunikasi, bahasa verbal saja tidak cukup. Banyak simbol yang hanya dapat dimengerti jika kita ketemu langsung, itu pun mesti dengan pemahaman budaya bersangkutan, sehingga antara yang mengirim dan menerima simbol komunikasi saling memahi maknanya. Banyak isyarat tubuh,

56

gerak kepala, tatapan mata, gerakan tangan dan simbol- simbol tersebunyi yang tidak akan terungkap hanya dengan saluran teknologi informasi yang ada. Kebiasaan komunikasi yang tidak lugas, serba rikuh, sehingga banyak informasi atau pesan yang masih tersebunyi. Untuk menangkap pesan-pesan tersebunyi tersebut hanya dapat dipahami dengan bertemu langsung.

Dalam budaya kita sudah biasa kalau komunikasi selalu takut menyinggung, takut membebani, takut membuat repot dan lain sebaginya, padahal pada dasarnya kita butuh bantuan orang lain. Karenanya seorang anak di kota yang sudah hidup dalam rasionalitas dan sedikit terbuka, tidak bisa menangkap isyarat dan kebutuhan orang tuanya yang ada di desa kecuali dia mendatanginya dan ketemu secara langsung. Bukankah banyak orang tua yang menahan diri untuk tidak membebani anaknya (walaupun hidup berlebih) yang ada di kota, hanya untuk sedikit uang demi kepentingan berobat karena usianya yang sudah udzur dan sakit-sakitan. Jika berkomunikasi jarak jauh orang tua ini akan mengatakan baik-baik saja, namun kita akan tahu bagaimana sebenarnya kondisi yang terjadi setelah kita bertemu dengannya.

Ketiga, teknologi sebenarnya selalu ditandai dengan

keberadaan fisik. Dari sisi fisik, teknologi informasi dari

waktu ke waktu terus berubah, semakin kecil dan praktis. Untuk berselancar di dunia maya dulu orang harus selalu menggunakan komputer, namun kini ada di genggaman yang sangat mobile. Dari sisi fisiknya, teknologi selain

57

menjadi alat, juga menjadi kebanggaan. Sebagimana halnya simbol kemewahan lainnya seperti pakaian, perhiasan dan kendaraan, teknologi informasi seperti HP dan iPad sangat memungkinkan untuk dipamerkan oleh si empunya kepada siapapun baik langsung maupun tidak langsung.

Anak-anak muda yang pergi ke kota dan kembali di hari raya senantiasa menjadikan teknologi informasi ini sebagai simbol jati dirinya. Semakin bagus alat komunkasinya semakin bangga dia. Karenanya, tidak sedikit orang yang kemudian memaksakan diri untuk memiliki alat komunikasi canggih di bulan ramadhan, bukan hanya karena fungsinya saja tetapi yang lebih penting adalah sebagai kebanggaan untuk dipamerkan kepada saudara, tetangga dan teman-temannya di desa di saat mudik. Karenanya, saat mudik adalah waktu yang ditunggu-tunggu karena akan sampai saat dimana dia akan dipuji banyak orang di desanya karena memiliki alat komunikasi yang harganya mahal. Jadi habis-habisan menguras hasil kerjanya untuk membeli alat komunikasi, bukan untuk mengobati rasa kangen dengan berkomunikasi jarak jauh, tetapi agar orang lain tahu bahwa dirinya punya benda tersebut.

Karenanya, dengan alasan apapun, bagi masyarakat

kita, mudik adalah pilihan final dan tidak bisa diwakili oleh

apapun. Tuntunan silaturahim dan berbaur dengan budaya Indonesia ini mengkristal menjadi sebuah gerakan massa yang rutin setiap tahun. Orang habis-habisan bekerja di kota ujung- ujungnya untuk kepentingan mudik, orang boleh berlama-

58

lama tidak berkunjung ke orang tua di desa, tapi siapa yang

tahan jika iedul fitri tiba. Oleh karena itu, komunikasi di ruang

maya akhirnya menjadi pengantar bagi setiap orang untuk kemudian diperdalam dan lebih hangat lagi ketika berjumpa

nanti pada waktunya, di saat iedul fitri tiba. Taqabbalallahu minna wa minkum

Menggagas Humas Desa

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 53-59)

Dokumen terkait