• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spionase di Media Sosial

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 39-47)

P

ara peselancar media sosial kini tak aman lagi. Badan Intelejen Negara (BIN) sudah menjadikan media sosial sebagai target pengintaian. Kendati di masyarakat kita media sosial baru menjadi trend yang hanya dipakai untuk hura-hura, cenderung berkenalan, curhat dan hal-hal ringan lainnya, namun beberapa fakta di negara Timur Tengah dan Afrika, ternyata media sosial bak pisau yang bisa berfungsi untuk apa saja.

Kecenderungan peningkatan kesadaran masyarakat dari penggunaan media sosial dari hal-hal elementer kepada isu-isu yang lebih serius merupakan potensi yang bisa meledak kapan saja menjadi sebuah gerakan sosial massif dan politis. Fenomena Bibit-Chandra dan Prita telah meng-

40

gebrak kebekuan demokrasi yang serba konfensional. Media sosial menggurita dan mengkristal berubah wujud menjadi peluru raksasa yang bisa menghantam siapa saja – termasuk penguasa sekalipun.

Sifatnya yang lebih terbuka dari hanya sekedar mengirim pesan lewat hand phone, media sosial mudah diduga sesungguhnya sudah lama dipantau oleh pihak berwajib. Hanya saja karakter media sosial yang masih menjadi “mainan” kalangan anak muda – karena mayoritas pengguna media sosial berada di usia 15-35 tahun – maka kontennya tidak terlalu serius terlebih mengancam negara.

Keseriusan BIN dalam memantau media sosial kini sangat wajar, sebab dengan tugas mengumpulkan informasi, media sosial merupakan sebuah dunia lain tempat berkumpulnya masyarakat cyber dengan beragam wacana. Hanya saja tidak semua orang paham betul bahwa setiap konten yang dimunculkan di media sosial itu akan dibaca dan menjadi perhatian berbagai pihak. Buktinya, banyak catatan yang bersifat personal dan tidak perlu dilakukan. Komentar- komentar yang bersifat pribadi, yang mungkin lebih layak dikirim lewat massage pun dipublish di ruang terbuka.

Euporia media sosial memang melupakan para penggunanya atas ekses yang akan terjadi. Kritik yang disampaikan, unek-unek dan keluhan banyak gentayangan di ruang-ruang sempit. Kewajaran dalam memahami fakta penggunaan media sosial bisa jadi disebabkan beberapa karakteristik media sosial (berikut penggunanya) sebagai

41

berikut: pertama, belum fokusnya mayoritas pengguna media sosial. Karena cenderung dijadikan “mainan”, kebanyakan pengguna media sosial belum menemukan fokus dan karakteristik dirinya dalam setiap acount yang dimilikinya. Dia bisa berwajah melankolis, bisa garang, bisa jadi pemberani, bisa sok suci, bisa sok tau, bisa pura-pura tidak tahu, bisa sok keren, sok kritis, narsis, GeJe, dan lain sebaginya. Perubahan wajah (klik, karakteristik) dari pengguna media sosial menunjukkan bahwa belum ada fokus yang jelas dari kehadirannya di dunia maya.

Kedua, mengikuti arah “angin”. Tergantung yang ramai apa, kemudian pengguna media sosial menjadi pengikut dari setiap isu yang berkembang. Dia tidak memiliki karakteristik

yang kemudian orang bisa mengidentifikasi positioning-nya, apa konsennya, apa peminatannya, apa pesan utamanya, dan apa target dari kehadirannya. Tidak banyak dari pengguna media sosial yang berusaha untuk membangun isu utama yang bisa mewarnai sehingga dia pemegang arus isunya.

Ketiga, keaktifan di media sosial bagi kebanyakan penggunanya lebih mengambil posisi aman. Setiap orang pada dasarnya ingin menghindari resiko terkait dengan diri atau orang-orang disekitarnya. Media sosial yang bisa berakibat negatif pada penggunanya lebih banyak dihindari. Karenanya, para pengguna lebih suka berselancar di media sosial hanya untuk sekedar berbagi perasaan, saling mengapresiasi, mengungkapkan perasaan, atau hanya menginformasikan dirinya sedang melakukan apa saat

42

menulis status.

Keempat, media sosial seringkali dipenuhi oleh keisengan-keisengan yang tidak perlu bahkan seharusnya jangan dilakukan. Banyak yang kebablasan, dengan menulis status atau komentar yang menurut dirinya hanya bercanda atau iseng tetapi kemudian menjadi urusan panjang dan beresiko. Praktik seperti ini terkadang tidak hanya dilakukan masyarakat biasa tetapi terkadang juga dilakukan oleh publik

figure. Yang terakhir adalah rapper Amerika menuliskan kata-kata yang tidak perlu bahkan menyinggung masyarakat Jepang yang dilanda bencana.

Beberapa waktu lalu, salah seorang menteri kabinet SBY juga menulis sesuatu yang tidak perlu dilakukannya di twitter, sampai staf ahli kepresidenan yang menyimpan gambar yang cukup beresiko terkait dengan kasus Gayus, masih banyak

keisengan yang berujung konflik dan pengaduan. Semuanya

itu pada dasarnya tidak dilakukan dengan sengaja, buktinya dari semua keisengan, ketika sudah dipersoalkan biasanya langsung meminta maaf.

Hanya saja media sosial selain menjadi ajang remeh temeh, kini terjadi pergeseran yang lebih serius sehingga dapat digunakan untuk motif ekonomi, pendidikan, sosial termasuk politik, juga berpotensi untuk digiring menjadi sebuah ruang untuk melakukan pergerakan-pergerakan yang terorganisir. Prosentasinya mungkin tidak besar, namun keberadaannya bisa selalu meningkat seiring dengan kesadaran dan peningkatan pengetahuan tentang arti

43

penting media sosial.

Dengan naik pangkat menjadi pilar kelima demokrasi, media sosial sangat berpotensi untuk dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dan politik yang lebih serius. Kebebasan menyampaikan pendapat tanpa sensor dalam era media sosial semakin memungkinkan publik merencanakan berbagai hal.

Dalam konteks keseriusan baik dari peningkatan fungsi media sosial dan kesadaran penggunanya, kemudian negara atau siapapun yang “takut” terhadap gerakan-gerakan rakyat patut memantau media sosial. Ruang-ruang sempit yang hanya 140 karakter, sebuah status media sosial bisa menjadi peluru yang ampuh untuk membakar semangat massa. Karena keterbatasan ruang dalam media sosial ini, maka kata-kata yang disampaikan dipaksa untuk to the point sehingga tidak ada kesempatan untuk berbasa-basi atau mengungkapkan alasan untuk sebuah statemen tertentu.

Karenanya, kemudahan dalam melakukan pemantauan (karena bersifat terbuka) dan kecenderungan untuk dimanfaatkan pada hal-hal yang lebih serius, menjadikan media sosial semakin beralasan jika dijadikan objek pemantauan BIN – dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Aktifitas spionase seperti ini juga sangat mungkin dilakukan oleh perusahaan, lembaga pendidikan atau lembaga sosial sekalipun untuk melihat pergerakan “lawan”. Dalam konteks riset pasar, aktivitas spionase seperti ini juga merupakan hal biasa, selain memperhatikan kecenderungan pasar, juga melihat strategi pesaing.

44

Namun media sosial bukanlah media biasa. Dia tidak bisa hanya dimaknai sebagai saluran komunikasi, tetapi sebagai ruang interaksi. Fasilitas up date status, komen tanpa batas dan chat room membuat media sosial melampaui keunggulan media-media sebelumnya yang bersifat satu arah dengan respon yang tertunda. Masyarakat dapat berjejaring dalam sebuah wacana sosial sekaligus dapat menggalang sebuah isu tertentu yang berpotensi melahir-kan aksi sosial kendati tanpa pemimpin yang tegas. Dengan sifat pesan yang bersifat personal media sosial secara psikologis dapat dihitung dari sejauh apa pihak lain merespon dengan menyatakan dukungan atau apresiasi positif pada setiap isu yang disampaikan.

Dengan adanya pemantauan pihak BIN ke ruang media sosial, mau tidak mau, “aktivis” media sosial tentunya harus lebih hati-hati dalam menyatakan pendapatnya. Kebebasan berpendapat kini tidak lagi selonggar dulu. Kendati media sosial tidak ada editornya, namun untuk setiap kata-kata yang terlanjur diposting, semuanya akan terpantau. Maka siap-siap saja untuk setiap account di media sosial berpotensi untuk menjadi objek spionase. Kendati demikian, penutupan account hampir mungkin tidak dilakukan, sebab jika ini dilakukan, sama saja dengan memberangus kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin Undang-undang.

Hanya saja, aktivitas pemantauan pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Apa sebab? Ada dua kelemahan karakteristik yang harus dipertimbangkan, pertama, seperti di atas para pengguna media sosial kini masih cenderung

45

menggunakan media sosial sebagai wahana untuk hal-hal yang kurang serius. Kalau ada status yang bernada keras, terkadang bukanlah yang sebenarnya, biasa saja itu sekedar candaan yang tidak berefek secara sosial.

Kedua, ada karakteristik bahasa tulis yang tidak bisa disamakan dengan bahasa verbal. Tulisan tidak bisa menggambarkan intonasi dan mimik muka. Dalam komunikasi, sebagian besar komunikasi adalah bahasa non verbal. Kalau yang dibaca adalah bahasa tulisan, maka sangat berpotensi salah persepsi. Menganggap seseorang serius padahal bercanda.

Karenanya, melihat tingkat keseriusan seseorang tidak bisa dilihat dari satu atau dua status, tetapi harus dilihat dari konsistensi dan karakteristik pemilik accountnya. Kemudian sejauhmana pengolahan isu dalam media sosialnya, untuk melihat tingkat keseriusan atau hanya guyonan semata. Ini penting, sebab jangan sampai dengan proses pemantauan media sosial kemudian melakukan protect yang tidak perlu karena pemantau terlalu serius padahal publik hanya guyon

dan tidak ada niat apapun kecuali iseng dan hura-hura semata. Ini harus dipahami sebab mayoritas pengguna media sosial masih berada pada tarap hiburan dan bersenang-senang.

Mandirikan Masyarakat Lewat

Dalam dokumen Spionase di Media Sosial id (Halaman 39-47)

Dokumen terkait