BAB VI PEMBAHASAN
M. Karakteristik Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di WIlayah Kerja PKC
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat mendiskripsikan
karakteristik patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 seperti pada bagan 6.1 di bawah ini:
Bagan 6.1
Karakteristik Patient Delay pada Kasus TB BTA+ di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Tahun 2014
Berdasarkan bagan di atas, dapat diketahui bahwa karakteristik patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 menurut orang yaitu patient delay berusia 35-44 tahun, berjenis kelamin laki-laki, memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta dan
berstatus ekonomi kaya. Di samping itu, patient delay memiliki riwayat jenjang pendidikan dasar dengan tingkat pengetahuan rendah tentang TB
karena patient delay memiliki pemahaman yang salah tentang TB dan juga mereka memiliki kebiasaan merokok yang sudah lama, rata-rata selama 22,82
Patient Delay Delay >2,53 bulan Jenjang Pendidikan Dasar Pengetahuan tentang TB rendah Jarak tempat tinggal dan Puskesmas <5Km Tidak mendapat dukungan kader TB Usia 35-44 tahun Wiraswasta Status Ekonomi kaya Merokok Laki-laki Merasa batuk biasa
tahun serta yang melatar belakangi patient delay adalah karena merasa batuk yang dialaminya adalah batuk biasa.
Karakteristik lain yang terdapat pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 menurut tempat
dapat diketahui baik secara fisik maupun soial. Secara fisik, tempat tinggal
patient delay berjarak <5 km ke puskesmas. Sedangkan, secara sosial patient delay tidak mendapat dukungan kader TB baik berupa edukasi tentang TB, dukungan untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas ataupun mengantar
memeriksa diri ke Puskesmas.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa yang
mendasari kejadian patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 adalah karena pengetahuan yang rendah dan
juga tidak adanya dukungan dari lingkungan sosial berupa dukungan kader
TB. Kedua hal tersebut dikarenakan strategi DOTS yang diterapkan dalam
pengendalian TB lebih berfokus pada kuratif terbukti dari indikator
keberhasilan program yang dimulai pada suspek TB tidak pada pengetahuan
masyarakat umum yang merupakan risiko tinggi terhadap TB.
Dampak negatif dari sisi epidemiologi yang ditimbulkan akibat
tingginya angka patient delay adalah semakin meningkatnya risiko penularan TB BTA (+) di masyarakat, mengingat di wilayah Kecamatan Kramat Jati
selain angka patient delay yang tinggi juga merupakan wilayah berisiko tinggi kasus TB BTA (+). Hal ini tentu saja perlu ditingkatkannya
pengendalian TB secara paripurna berupa promosi, pencegahan, penemuan
adalah Puskesmas. Selain itu, sangat diperlukan pengendalian TB
komprehensif pada kelompok rentan termasuk wilayah risiko tinggi TB,
tempat kerja dan kontak erat dengan pasien TB (Kemenkes, 2014).
Kecamatan Kramat Jati merupakan wilayah risiko tinggi TB karena
memiliki prevalensi TB lebih dari 100 per 100.000 penduduk. Oleh karena
itu, promosi kesehatan dan pencegahan TB di wilayah tersebut sangat perlu di
tingkatkan untuk mengurangi angka patient delay dan juga mengurangi risiko penularan kepada masyarakat lebih luas. Promosi kesehatan secara umum
dapat dilakukan dengan menyebarluaskan informasi mengenai TB di
masyarakat secara merata tanpa terkecuali terkhusus terkait dengan gejala
yang perlu diwaspadai TB. Selain itu, dibutuhkan promosi kesehatan secara
khusus yang dilakukan kepada kelompok yang memiliki kontak erat dengan
penderita TB (anggota keluarga dan rekan kerja ataupun tetangga di sekitar
tempat tinggal penderita TB). Ketiga kelompok tersebut merupakan
kelompok rentan dan berisiko tinggi tertular TB.
Perilaku pencegahan penularan TB yang dapat dilakukan oleh
masyarakat bukan penderita TB adalah dengan mengurangi faktor risiko TB
seperti meningkatkan status gizi dan menjaga lingkungan tempat tinggal agar
tetap bersih dan tidak lembab. Namun, rekomendasi cara pencegahan yang
tepat untuk menghindari kontak langsung dengan penderita belum dapat
dilakukan oleh peneliti. Hal ini disebabkan tujuan yang diharapkan dari
penelitian ini adalah dengan diketahuinya karakteristik patient delay dan alasannya, masyarakat akan segera mengetahui gejala TB, sehingga segera
peneliti lain diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut terkait
investigasi kontak dan juga pemberdayaan pasien sebagai agen pencegahan
penularan TB karena berdasarkan observasi di masyarakat, masyarakat sulit
untuk mencegah atau menghindari penderita TB karena masyarakat tidak tahu
bahwa si penderita TB yang kontak dengannya adalah penderita TB.
Di samping itu, agar dapat menurunkan angka patient delay peneliti merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk mengkaji kembali
startegi DOTS yang digunakan agar memperhatikan juga kondisi masyarakat
umum yang merupakan penduduk berisiko tinggi terhadap TB. Selain itu,
peneliti merekomendasikan kepada PKPU, petugas Puskesmas dan juga kader
TB untuk membuat target dan juga SOP dalam melakukan promosi kesehatan
terkait dengan TB sejak dini di masyarakat agar semua masyarakat dapat
dipastikan terjangkau oleh kader TB dan juga dipastikan semua KK
mendapatkan informasi mengenai TB sejak dini terkhusus di wilayah sekitar
tempat tinggal seseorang penderita TB BTA (+). Namun, dalam
pelaksanaannya tidak hanya petugas kesehatan saja yang berperan, melainkan
masyarakat setempat juga sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam
menyebarluaskan inforrmasi TB yang telah didapatkannya tersebut. Dengan
demikian, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
TB yang merupakan salah satu cara menurunkan angka patient delay di wilayah tersebut.
Selain itu, perlu melakukan evaluasi terkait dengan catatan dan
pelaporan kader TB kepada PKPU terkait dengan penemuan suspek, evaluasi
suspek TB dan juga kualitas rekam medis. Selain itu, Kementerian kesehatan
perlu menyebarluaskan informasi mengenai TB melalui berita Televisi agar
masyarakat yakin terhadap informasi yang di sampaikan sehingga lebih
110