KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR TAHUN 2014
SKRIPSI
Oleh: Faizatul Islamiyah
1111101000141
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 13 Agustus 2015
Nama: Faizatul Islamiyah, NIM: 1111101000141
Karakteristik dan Alasan Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014
xiv + 122 halaman, 3 grafik, 16 tabel, 10 bagan, 1 gambar, 8 lampiran
ABSTRAK
Patient delay di Puskesmas Kecamatan (PKC) Kramat Jati menempati peringkat ketiga terbesar (54,54%) se-Jakarta Timur. Kelurahan Kampung Tengah, Batu Ampar dan Balekambang merupakan 3 wilayah kerja PKC Kramat Jati yang memiliki proporsi TB BTA (+) terbesar pada tahun tersebut. Secara umum, tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik dan alasan patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus dengan pendekatan
mixed methods pada 17 patient delay.
Penelitian ini menemukan bahwa 41,2% patient delay tersebar pada kelompok usia 35-44 tahun, 70,6% berjenis kelamin laki-laki, 47,1% bekerja sebagai wiraswasta, 70,6% memiliki status ekonomi kaya, 47,1% memiliki jenjang pendidikan dasar. Selain itu, ditemukan bahwa 100% patient delay
berpengetahuan rendah tentang TB, 64,7% memiliki riwayat merokok, 100% berjarak <5 km dari tempat tinggal ke Puskesmas, 100% tidak mendapat dukungan kader dalam pencarian pengobatan serta rata-rata lama delay selama 2,53 bulan. Di samping itu, diketahui bahwa alasan delay patient delay karena mereka merasa batuk yang dialaminya merupakan batuk biasa yang akan sembuh dengan sendirinya.
Dengan demikian, untuk menurunkan angka patient delay dan juga mengurangi penyebaran menularnya TB BTA (+) dapat dilakukan kerjasama antara pmerintah, petugas kesehatan, kader TB, tokoh masyarakat dan juga masyarakat itu sendiri. Sehingga, informasi yang diberikan dapat tersampaikan ke semua masyarakat di wilayah kerja kader TB untuk segera mememeriksakan diri ke Puskesmas saat mengalami gejala batuk selama 2-3 minggu.
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION Undergraduate Thesis, 13rd August 2015
Name: Faizatul Islamiyah, ID Number: 1111101000141
Characteristics and Reason of Patient Delay in Case of TB Smear (+) at The Coverage Area of Kramat Jati Community Health Center, East Jakarta 2014 xiv + 122 pages, 3 graphics, 16 tables, 10 schemes, 1 pictures, 8 attachments
ABSTRACT
Patient delay in Kramat Jati community health center was the third-highest (54.54%) in East Jakarta at 2014. Kampung Tengah, Batu Ampar and Balekambang are the three coverage area of Kramat Jati community health center which have the largest proportion of TB smear (+) at the time. The purpose of this study is to determine the characteristics and reason of patient delay in TB smear (+) cases in the coverage area of Kramat Jati community health center, East Jakarta at 2014. This study uses a case study design with mixed methods approach on 17 patient delay.
This study found that 41.2% of patients are 35-44 years old, 70.6% are male, 47.1% work as self-employed, 70.6% have a rich economic status, 47.1% have a basic education. In other hand found that 100% patient delay have lack of knowledge about TB, 64.7% have a history of smoking, 100% has <5 km from residance to community health center, 100% was not supported by TB cadre in seeking medication and average length of delay was 2,53 months.In addition, it is known that the reason for the delay patient delay because they feel taht cough is a common cough that will go away by itself.
Thus, to reduce the number of patient delay, the cooperation between the parties (government, health workers, TB cadres, community leaders and the community itself) is needed to disseminate information to the public about TB. So that people get more aware of TB and will seek a medication to the community health center when experiencing symptoms of cough for 2-3 weeks.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Faizatul Islamiyah Tempat tanggal
lahir
: Banyuwangi, 6 Januari 1993
Jenis Kealamin : Perempuan Kewarganegaraan : Indonesia
Suku : Jawa
No. Telp : 085781237226
Alamat email : [email protected]
Alamat : Gang Saad No.56 Rt 004/02 Kelurahan Tengah Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur
Hobi : Berorganisasi
Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa Arab dan bahasa Inggris
Perguruan Tinggi : Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
ةتاكربو ه ةمحرو كي ع اسلا
Alhamdulillaahi robbil „aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memberikan rahmat hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Karakteristik dan Alasan Patient Delay pada Kasus TB
BTA (+) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur
Tahun 2014”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik patient
delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014”.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan dari
semua pihak, baik berupa doa, perhatian, arahan, waktu, tenaga maupun biaya,
sehingga penulis dapat terus menimba ilmu, mencari pengalaman dan juga dapat
mengabdikan diri kepada masyarakat hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik
dan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait. Dengan ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua, Bapak H. Ahmad Nurrudin dan Ibu Hj. Siti Mahmudah
2. Adik, Ahmad Nur Zamzami, Nadzif Aulia Rohmah dan Natasa Liwa‟un Nabilah
3. Keluarga besar Alm. H. Miseri dan H. Koserin
5. Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, bapak Dr. H. Arif Sumantri,
SKM, M.Kes
6. Ka. Prodi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D
7. Penanggungjawab Peminatan Epidemiologi sekaligus sebagai dosen
pembimbing skripsi, Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes
8. Dosen pembimbing skripsi, Ibu Ir. Febrianti, M.Si
9. Dosen Peminatan Epidemiologi, Ibu Hoirun Nisa, Ph.D
10. Dosen mata kuliah GIS, Bapak Fajar Nugraha
11. Petugas Program Pengendalian TB PKC Kramat Jati, PKL Kampung Tengah,
PKL Batu Ampar dan PKL Balekambang
12. Petugas Rekam Medis PKC Kramat Jati, PKC Jatinegara, PKC Makasar,
PKC Cipayung, PKC Pasar Rebo, PKL Kampung Tengah, PKL Batu Ampar
dan PKL Balekambang
13. Keluarga besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta
14. Alumni SDN Tengah 02
15. Keluarga besar CSS MoRA UIN Jakarta
16. Sahabat seperjuangan Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
17. Keluarga besar Epidemiology Student Association UIN Jakarta
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan baik pada
isi maupun penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini. Terima kasih.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ... iii
C. Pertanyaan Penelitian ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 10
1. Tujuan Umum ... 10
2. Tujuan Khusus ... 10
E. Manfaat Penelitian ... 12
1. Bagi Peneliti Lain ... 12
2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . 12 3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ... 13
4. Bagi PKC Kramat Jati, PKL Kampung Tengah, PKL Batu Ampar dan PKL ... Balekambang ... 13
5. Bagi Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur ... 13
6. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ... 14
7. Bagi Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) ... 14
8. Bagi Masyarakat ... 14
F. Ruang Lingkup ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16
A. Definisi TB ... 16
B. Klasifikasi TB ... 16
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh (Anatomical Site) yang Terkena ... 18
3. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya ... 20
4. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit ... 21
C. Diagnosis TB Paru ... 21
D. Gejala TB Paru ... 22
E. Cara Penularan ... 23
F. Patogenesis TB Paru ... 26
G. Keterlambatan (Delay) ... 27
H. Epidemiologi Deskriptif ... 28
1. Karakteristik Orang ... 29
2. Karakteristik Tempat... 37
3. Karakteristik Waktu ... 39
I. Kerangka Teori ... 39
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 42
A. Kerangka Konsep ... 42
B. Definisi Operasional dan Definisi Istilah ... 46
BAB IV METODE PENELITIAN ... 51
A. Desain Penelitian ... 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52
C. Alur Penelitian ... 53
D. Populasi, Sampel dan Informan Penelitian ... 53
E. Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 56
1. Sumber Data ... 56
2. Cara Pengumpulan Data... 56
3. Instrumen Pengumpulan Data ... 57
F. Pengolahan Data ... 58
BAB V HASIL PENELITIAN ... 63
B. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 64 C. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis Pekerjaan di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 64 D. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Ekonomi di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 65 E. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenjang Pendidikan . di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 66 F. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 66 G. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 67 H. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jarak Tempat ... Tinggal Patient Delay dengan Puskesmas di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati ... Jakarta Timur Tahun 2014 ... 68 I. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Dukungan Kader TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 69 J. Lama Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC ... Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 69 K. Alasan Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC... Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 70 BAB VI PEMBAHASAN ... 72 A. Keterbatasan Penelitian ... 72 B. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Usia di Wilayah ... Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 73 C. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 75 D. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Pekerjaan di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 77 E. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Ekonomi di .... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 78 F. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenjang Pendidikan .. di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 80 G. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
I. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jarak Tempat ... Tinggal Patient Delay dengan Puskesmas di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati ...
Jakarta Timur Tahun 2014 ... 89
J. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Dukungan Kader TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 91
K. Lama Delay pada Patient delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC ... Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 99
L. Alasan delay pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014. ... 101
M. Karakteristik Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di WIlayah Kerja PKC ... Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Simpulan ... 110
B. Saran ... 112
1. Bagi Peneliti Lain ... 112
2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 112 3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ... 112
4. Bagi PKC Kramat Jati, PKL Kampung Tengah, PKL Batu Ampar dan PKL ... Balekambang ... 113
5. Bagi Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur ... 113
6. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ... 114
7. Bagi Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) ... 114
8. Bagi Masyarakat ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 116
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 46
Tabel 3.2 Definisi Istilah ... 50
Tabel 4.1 Kriteria Informan Penelitian ... 55
Tabel 4.2 Triangulasi Sumber ... 61
Tabel 5.1 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Usia di ... Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 64
Tabel 5.2 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014... 64
Tabel 5.3 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Ekonomi di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 65
Tabel 5.4 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA + Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 66
Tabel 5.5 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 67
Tabel 5.6 Jumlah Batang Rokok yang dihisap oleh Patient Delay pada Kasus TB BTA+ di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 68
Tabel 5.7 Lama Merokok Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 68
Tabel 5.8 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Patient Delay dengan Puskesmas di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 68
Tabel 5.9 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Dukungan Kader TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 69
Tabel 5.10 Rata-Rata Lama Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 70
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis
Pekerjaan di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 65
Grafik 5.2 Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 66
Grafik 5.3 Sebaran Patient Delay Berdasarkan Alasan Delay pada Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 ... 71
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Tahap Penularan TB ... 17
Bagan 2.2 Rantai Penularan TB ... 25
Bagan 2.3 Delay pada Penyakit TB ... 28
Bagan 2.4 Kerangka Teori ... 40
Bagan 2.5 Kerangka Teori ... 41
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 42
Bagan 3.2 Kerangka Pikir ... 45
Bagan 4.1 Alur Penelitian ... 53
Bagan 4.2 Alur Pengambilan Sampel ... 54
Bagan 6.1 Karakteristik Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di WIlayah Kerja PKC Kramat Jati Tahun 2014 ... 105
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah kesehatan secara
global dan merupakan salah satu pembunuh berbahaya di dunia. Di dunia
pada tahun 2012, angka kematian akibat TB paru mencapai 15,1% dan
lebih dari 95% kematian tersebut terjadi di negara berkembang (WHO,
2013, WHO, 2014a). Indonesia merupakan negara berkembang dengan
pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Nigeria dan
Pakistan pada tahun 2013 (WHO, 2014b). Selain itu, pada tahun 2013
prevalensi TB paru di Indonesia sebesar 0,4% (Kemenkes, 2014).
Prevalensi TB paru di Provinsi DKI Jakarta (0,6%) pada tahun
2013 menempati urutan ke-3 tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat dan
Papua dengan angka kematian sebesar 2 per 100.000 penduduk
(Kemenkes, 2013). Pada tahun 2012, prevalensi TB paru yang menempati
urutan ke-3 tertinggi di DKI Jakarta adalah Jakarta Timur (0,24%) setelah
Jakarta Pusat dan Kepulauan Seribu. Berdasarkan capaian indikator Suku
Dinas Kesehatan Jakarta Timur tahun 2014, capaian target penemuan
kasus baru TB paru BTA (+) (Case Detection Rate) di Jakarta Timur sudah
baik karena telah mencapai target nasional, yaitu 95% (target
Puskesmas Kecamatan (PKC) Kramat Jati merupakan salah satu
PKC di Jakarta Timur yang telah menerapkan strategi Directly Observed
Treatment, Short Course (DOTS). Fokus utama strategi ini adalah
penemuan kasus dan penyembuhannya. Penemuan kasus dan
penyembuhannya menurut strategi ini merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. Selain itu, bank dunia menyatakan bahwa
strategi ini merupakan strategi yang secara ekonomis sangat efektif (cost
effective) karena setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program
pengendalian TB akan menghemat sebesar US $55 selama 20 tahun
(Kemenkes, 2014).
Meskipun telah menerapkan strategi DOTS yang terbukti efektif
dalam pengendalian TB tersebut, namun prevalensi TB pada tahun 2014
masih sangat besar karena melebihi 100 per 100.000 penduduk, yaitu 144
per 100.000 penduduk. Angka tersebut menunjukkan bahwa Kecamatan
Kramat Jati merupakan wilayah berisiko tinggi terhadap penyakit TB
(WHO, 2013). Selain itu, indikator CDR di wilayah tersebut belum
mencapai target nasional, yaitu 67,80%. Belum tercapainya indikator ini
salah satunya disebabkan karena akses masyarakat ke pelayanan kesehatan
masih kurang, termasuk keterlambatan pencarian pengobatan ke pelayanan
kesehatan.
Keterlambatan dalam pencarian pengobatan ke Puskesmas karena
gejala batuk yang dialaminya selama ≥1 bulan (patient delay),
mengakibatkan terlambat pula mendapatkan diagnosis dan pengobatan TB
masyarakat berisiko TB BTA (+) di wilayah tersebut yang belum
mendapatkan diagnosis TB dibandingkan dengan yang sudah mendapatkan
diagnosis TB, sehingga capaian indikator CDR di wilayah tersebut belum
mencapai target nasional.
Patient delay merupakan penyebab diagnosis delay (Chang, 2007).
Selain itu, patient delay dapat menjadi penyebab health system delay dan
juga total delay. Patient delay merupakan awal terjadinya delay, dimana
jika terjadi patient delay maka akan berdampak pada diagnosis delay,
treatment delay, health system delay dan tentunya total delay. Di Uganda,
patient delay dapat berkontribusi 50% total delay, sedangkan di Yaman
berkontribusi 90% total delay. Total delay yaitu interval waktu dari
munculnya gejala hingga diberikan terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
(WHO, 2006; Sendagire, 2010).
Dampak yang akan didapatkan ketika fenomena patient delay ini
tidak segera ditangani adalah akan semakin banyak orang yang tertular TB
dari orang yang kemungkinan besar jika diperiksa dan mendapatkan
diagnosis benar bahwa orang tersebut TB BTA (+). Hal ini disebabkan
karena diperkirakan pasien TB BTA (+) yang tidak segera diobati dapat
menularkan rata-rata lebih dari 10 orang setiap tahunnya (Farah, 2006).
Selain itu, dapat meningkatkan keparahan dan mortalitas serta dapat
memperburuk situasi ekonomi pasien dan keluarga pasien (Sendagire,
2010).
Setelah dilakukan telaah rekam medis ataupun register Practical
bahwa proporsi patient delay di wilayah kerja PKC Kramat Jati (54,54%)
menempati urutan ketiga terbesar setelah PKC Cakung (82,6%) dan PKC
Duren Sawit (80,95%). Fenomena besarnya patient delay ini menunjukkan
adanya "fenomena gunung es" dimana masih banyak suspek TB di wilayah
kerja PKC Kramat Jati yang belum ditemukan untuk segera dilakukan
diagnosis lebih lanjut dan tentunya tidak segera pula mendapatkan
pengobatan.
Kecamatan Kramat Jati memiliki 7 wilayah kerja, yaitu Kelurahan
Cawang, Kelurahan Cililitan, Kelurahan Kramat Jati, Kelurahan Dukuh,
Kelurahan Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan
Balekambang. Dari 7 wilayah tersebut, Kelurahan Kampung Tengah,
Kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan Balekambang merupakan 3 wilayah
kerja yang memiliki proporsi TB BTA (+) baru terbesar di Kecamatan
Kramat Jati pada tahun 2014. Selain itu, angka patient delay di tiga
wilayah tersebut lebih besar dibandingkan dengan empat wilayah kerja
lainnya, yaitu 35,29% di Kelurahan Kampung Tengah, 23,33% di
Kelurahan Batu Ampar dan 17,39% di Kelurahan Balekambang.
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi patient delay adalah faktor usia, jenis kelamin, status
pekerjaan, status ekonomi, jenjang pendidikan, tingkat pengetahuan
tentang TB, status merokok, jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan
dan dukungan kader TB. Di Etiopia, pasien dengan usia > 55 tahun 2,2 kali
berisiko delay dibandingkan dengan usia 15-34 tahun (Yimer, 2014).
dibandingkan perempuan (WHO, 2006). Hal yang sama ditemukan di
Uganda bahwa laki-laki berisiko 1,61 kali delay dibandingkan perempuan
(Buregyeye, 2014). Namun, di India laki-laki menurunkan risiko 0,42 kali
dibandingkan dengan perempuan (Konda, 2014). Baik laki-laki atau
perempuan yang tidak bekerja 2,2 kali berisiko menjadi patient delay
dibandingkan dengan yang bekerja.
Hasil meta analisis, menemukan bahwa jenjang pendidikan rendah
2,14 kali dapat meningkatkan risiko patient delay (Li, 2013). Jenjang
pendidikan mempengaruhi kesempatan dalam mengakses informasi
kesehatan, termasuk informasi tentang TB. Sehingga, semakin rendah
pendidikan semakin sedikit kesempatan untuk mengakses informasi
tentang TB. Dengan demikian, seseorang tersebut tidak segera datang ke
pelayanan kesehatan untuk memeriksakan gejala pada dirinya karena
ketidaktahuan tentang informasi TB.
Pasien yang mengetahui bahwa TB dapat diobati 0,36 kali dapat
menurunkan risiko patient delay (Sendagire, 2010). Di samping itu, pasien
yang memiliki pengetahuan baik mengenai TB 0,45 kali dapat
menurunkan risiko patient delay (Konda, 2014). Namun, dapat terjadi
kondisi yang bertentangan, dimana seseorang yang memiliki pengetahuan
baik tentang TB justru menunda memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan karena tahu bahwa gejala TB adalah batuk selama 2-3 minggu
ataupun karena malu jika orang lain mengetahui bahwa dirinya menderita
Perilaku merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
delay. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki kebiasaan merokok
sudah terbiasa batuk yang disebabkan perilaku merokoknya. Sehingga,
saat mengalami gejala batuk lebih dari 2-3 minggu, patient delay mengira
bahwa gejala batuk yang di alaminya adalah batuk biasa karena perilaku
merokonya. Hasil penelitian sebelumnya, menemukan bahwa seseorang
yang merokok 2,5 kali berisiko delay dibandingkan dengan yang tidak
merokok (Tarimo, 2012). Begitu juga di India, merokok 1,9 kali dapat
meningkatkan patient delay (Mor, 2013). Selain itu, di Nepal, merokok > 5
kali per hari dapat meningkatkan 2,4 kali delay dibandingkan dengan yang
tidak merokok (Rajeswari, 2002).
Kader TB merupakan salah satu masyarakat peduli TB yang
memiliki peran untuk menemukan suspek di masyarakat, memberikan
informasi tentang TB dan mengantarkan suspek TB memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan (Aisyiyah, 2015). Sehingga, keberadaan kader TB
dan dukungan kader TB kepada suspek TB untuk segera memeriksakan
diri ke pelayanan kesehatan menjadi penting untuk menurunkan angka
patient delay.
Selain beberapa faktor di atas, perlu diketahui alasan yang
melatarbelakangi patient delay terlambat dalam memeriksakan diri ke
Puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa
beberapa alasan yang melatarbelakangi patient delay adalah merasa batuk
biasa, akan sembuh dengan sendirinya; tidak dapat mengakses fasilitas
pergi ke fasilitas kesehatan, tidak ingin orang lain mengetahui bahwa
dirinya TB; jauh dari fasilitas kesehatan; takut mendapatkan diagnosis;
takut terisolasi dari lingkungan sosial; masalah ekonomi; perilaku petugas
kesehatan yang tidak baik serta kualitas pelayanan yang tidak baik
(Schneider, dkk, 2010, WHO, 2006).
Penelitian mengenai patient delay di Indonesia sampai saat ini baru
dilakukan di 2 provinsi, yaitu Provinsi DI Yogyakarta dan Bandung.
Sedangkan di DKI Jakarta belum pernah dilakukan penelitian serupa,
apalagi di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana karakteristik dan alasan patient
delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta
Timur tahun 2014.
B. Rumusan Masalah
Kecamatan Kramat Jati merupakan wilayah berisiko tinggi
terhadap TB dikarenakan prevalensi TB di Kramat Jati tahun 2014 sebesar
144 per 100.000 penduduk. Selain itu, indikator CDR di wilayah tersebut
belum mencapai target nasional karena akses masyarakat ke pelayanan
kesehatan masih kurang, termasuk keterlambatan pencarian pengobatan ke
pelayanan kesehatan (patient delay).
Berdasarkan hasil telaah rekam medis, menunjukkan bahwa
terdapat 54,54% patient delay di PKC Kramat Jati Tahun 2014 dan
menempati peringkat ke tiga terbesar setelah PKC Cakung dan PKC Duren
delay terbesar pada tahun 2014 adalah Kelurahan Kampung Tengah,
Kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan Balekambang. Dengan demikian,
penelitian ini dilakukan di 3 wilayah kerja tersebut.
Tingginya angka patient delay di wilayah tersebut artinya tinggi
pula penderita TB yang seharusnya sudah mendapatkan pengobatan, tetapi
belum memeriksakan gejala ke Puskesmas. Pada kondisi ini pula artinya
akan semakin banyak orang berisiko tertular bakteri TB dari patient delay
yang ternyata TB BTA (+). Faktor yang dapat meningkatkan risiko patient
delay adalah faktor usia, jenis kelamin, status pekerjaan, status ekonomi,
jenjang pendidikan, tingkat pengetahuan tentang TB, perilaku merokok,
jarak tempat tinggal patient delay dengan Puskesmas serta dukungan kader
TB.
Penelitian terkait dengan patient delay belum pernah dilakukan di
wilayah tersebut. Oleh karena itu, penelitian terkait dengan karakteristik
dan alasan patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC
Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 sangat penting dan perlu dilakuakn
sebagai dasar pembuatan rekomendasi dalam menyelesaikan masalah
tersebut khususnya di wilayah kerja PKC Kramat Jati.
C. Pertanyaan Penelitian 1. Kuantitatif
a. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan usia di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur
b. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta
Timur tahun 2014?
c. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan jenis pekerjaan di wilayah kerja PKC Kramat Jati
Jakarta Timur tahun 2014?
d. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan status ekonomi di wilayah kerja PKC Kramat Jati
Jakarta Timur tahun 2014?
e. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan jenjang pendidikan di wilayah kerja PKC Kramat Jati
Jakarta Timur tahun 2014?
f. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan tingkat pengetahuan tentang TB di wilayah kerja PKC
Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014?
g. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan perilaku merokok di wilayah kerja PKC Kramat Jati
Jakarta Timur tahun 2014?
h. Bagaimana Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan jarak tempat tinggal patient delay dengan puskesmas di
wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014?
i. Bagaimana sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+)
berdasarkan dukungan kader TB di wilayah kerja PKC Kramat Jati
j. Berapa lama delay pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah
kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014?
2. Kualitatif
Apa alasan delay pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah kerja
PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
a. Kuantitatif
Tujuan umum pendekatan kuantitatif pada penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik patient delay pada kasus TB BTA (+)
di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014.
b. Kualitatif
Tujuan umum pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui alasan patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah
kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014.
2. Tujuan Khusus a. Kuantitatif
Tujuan khusus pada pendekatan kuantitatif ini adalah untuk
mengetahui:
1) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan usia di
2) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun
2014.
3) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan jenis
pekerjaan di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun
2014.
4) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan status
ekonomi di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun
2014.
5) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan
jenjang pendidikan di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta
Timur tahun 2014.
6) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan
tingkat pengetahuan tentang TB di wilayah kerja PKC Kramat
Jati Jakarta Timur tahun 2014.
7) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan
perilaku merokok di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta
Timur tahun 2014.
8) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan jarak
tempat tinggal patient delay dengan puskesmas di wilayah kerja
PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014.
9) Sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan
dukungan kader TB di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta
10) Lama delay pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah
kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014.
b. Kualitatif
Alasan delay pada patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah kerja
PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi
untuk melanjutkan penelitian lain terkait patient delay dengan
epidemiologi analitik. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan penelitian selanjutnya terkait dengan diagnosis delay,
health system delay, treatment delay ataupun total delay.
2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan literatur
perpustakaan terkait dengan karakteristik dan alasan patient delay pada
kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur
tahun 2014 yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Selain
itu, hasil penelitian ini dapat pula dijadikan sebagai referensi tempat
3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
informasi kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan bahwa di
masyarakat sangat dibutuhkan kerjasama antar petugas kesehatan dalam
melakukan pelayanan kesehatan baik berupa preventif, kuratif maupun
rehabilitatif. Oleh karena itu, diharapkan dalam kegiatan perkuliahan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan dapat menerapkan kerjasama
lintas profesi kesehatan sebagai bekal bagi mahasiswa dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan di masyarakat di kemudian hari.
4. Bagi PKC Kramat Jati, PKL Kampung Tengah, PKL Batu Ampar dan PKL Balekambang
Bagi PKC Kramat Jati, PKL Kampung Tengah, PKL Batu Ampar
dan PKL Balekambang, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan evaluasi terkait dengan kualitas data rekam medis. Selain
itu, untuk bagian Program Pengendalian TB di 4 puskesmas tersebut
dapat dilakukan evaluasi terkait dengan penemuan kasus dan promosi
kesehatan kepada masyarakat tentang pentingnya segera memeriksakan
diri ke pelayanan kesehatan saat mengalami gejala TB.
5. Bagi Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi
dan masukan dalam manajemen Program Pengendalian TB baik pada
6. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Bagi Kementerian Kesehatan RI diharapkan dapat melakukan evaluasi
Program Pengendalian TB khususnya pada orientasi strategi DOTS
yang masih fokus pada pendekatan kuratif.
7. Bagi Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
evaluasi pelaksanaan pembinaan kader TB di masyarakat dalam
pencegahan dan pengendalian TB khususnya pada edukasi perorangan
atau masyarakat, penemuan suspek, mengantarkan suspek ke pelayanan
kesehatan serta pencatatan dan pelaporan. Dengan demikian,
diharapkan peran kader TB dalam menurunkan angka patient delay
dapat meningkat di wilayah kerja PKC Kramat Jati.
8. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
masyarakat terkait dengan karakteristik dan alasan patient delay pada
kasus TB BTA (+). Dengan demikian, masyarakat dapat meningkatkan
pengetahuan, memperbaiki persepsi yang salah tentang TB ataupun
kesadaran untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan lebih dini
ketika sudah mengalami gejala batuk selama 2-3 minggu. Selain itu,
masyarakat dapat menyebarkan informasi yang di dapat kepada
masyarakat lain, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka patient
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan
desain studi kasus melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed
methods). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan
alasan patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat
Jati Jakarta Timur tahun 2014. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Desember 2014 sampai bulan Juli 2015.
Responden pada penelitian ini adalah 17 patient delay tahun 2014
di wilayah kerja PKC Kramat Jati, sedangkan 9 di antaranya merupakan
informan penelitian ditambah dengan 9 informan pendukung lainnya yang
berasal dari kader TB, petugas TB, dokter dan juga petugas PKPU.
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari TB
03, TB 01 dan rekam medis/register PAL, sedangkan data primer berasal
dari wawancara terstruktur, plotting dan wawancara mendalam. Selain itu,
analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis spasial
16 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi TB
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri
dari orang ke orang lain melalui droplet orang yang terinfeksi TB (WHO,
2014a; Kemenkes 2011). Penyebab penyakit ini adalah bakteri
Mycobacterium tuberculosis (the tubercle bacillus) yang memiliki
hubungan spesies terdekat dengan Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti, Mycobacterium caprae,
Mycobacterium pinnipedii, Mycobacterium canetti dan Mycobacterium
mungi (Enarson, 2003; CDC, 2014). Sebagian besar bakteri tersebut
menyerang paru yang biasa disebut TB paru, tetapi dapat menyerang organ
tubuh lainnya yang disebut TB ekstra paru, seperti tulang belakang, ginjal
dan otak (CDC, 2009; CDC 2012).
B. Klasifikasi TB
TB dibedakan menjadi penyakit TB/aktif TB dan infeksi laten TB.
Klasifikasi ini dikarenakan tidak setiap orang yang terinfeksi bakteri TB
menjadi sakit TB. Penyakit TB terjadi ketika bakteri TB aktif (berkembang
biak) di dalam tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh sistem imun,
sehingga orang dengan imunitas rendah lebih berisiko tinggi dibandingkan
sebagai sakit TB/aktif TB, dapat menimbulkan gejala dan dapat menularkan
bakteri kepada orang lain (CDC, 2012; Curry, 2007).
Sedangkan, infeksi laten TB terjadi pada kondisi yang sebaliknya
dengan orang yang sakit TB/aktif TB, yaitu ketika bakteri TB yang ada di
dalam tubuh tidak mengakibatkan sakit dan tidak menimbulkan gejala tetapi
dapat menularkan kepada orang lain. Sembilan dari sepuluh orang dengan
sistem imun yang normal tidak akan berubah menjadi kondisi sakit. Namun,
dapat berubah menjadi sakit tergantung dengan pola hidup. Berikut ini
orang dengan infeksi laten TB yang berisiko menjadi sakit, yaitu orang yang
terinfeksi HIV dan penyakit lain dengan gangguan sistem imun, orang yang
terinfeksi bakteri TB dua tahun sebelumnya, anak berusia <4 tahun dan
orang yang mempunyai riwayat TB yang tidak diobati atau pengobatan
tidak lengkap (CDC, 2012; Curry, 2007). Secara visual tahap penularan TB
baik pada sakit TB/TB aktif maupun infeksi TB laten dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:
Bagan 2.1 Tahap Penularan TB
Berdasarkan bagan di atas, dapat diketahui bahwa 95% kuman TB di
udara menimbulkan TB laten. Meskipun demikian, namun TB laten tidak
dapat menularkan ke lingkungan. TB laten akan berubah menjadi aktif TB
sebesar 5 %, tetapi bagi pendeita HIV sangat besar risiko menjadi aktif TB,
yaitu sebesar 50%. Bagi penderita TB (aktif TB) jika mendapatkan
pengobatan yang tepat, maka kemungkinan 95% dapat disembuhkan, 5%
relaps (kambuh) dan 50% meninggal (Koul, dkk, 2011).
Selain klasifikasi tersebut, terdapat empat klasifikasi TB lainnya, yaitu
(Kemenkes, 2009; Kemenkes, 2011):
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh (Anatomical Site) yang Terkena
Organ tubuh yang terkena TB, terbagi menjadi TB paru dan TB ektra
paru:
a. TB paru. TB paru adalah kondisi dimana bakteri Mycobacterium
tuberculosis menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk
bagian pleura dan kelenjar pada hilus (Kemenkes, 2011).
b. TB ekstra paru. Klasifikasi ini merupakan kondisi dimana bakteri TB
menyerang organ tubuh selain organ paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang belakang,
persendian, kulit, usus, ginjal, alat kelamin dan organ tubuh lainnya
selain organ paru (CDC, 2009; Kemenkes, 2009).
2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Pemeriksaan dahak mikroskopis dilakukan untuk penegakan
diagnosis yang dikumpulkan sebanyak tiga spesimen dahak dalam dua
pelayanan kesehatan), Pagi (dahak dikumpulkan oleh suspek TB saat di
rumah pada hari ke dua pagi hari tepat setelah bangun tidur), Sewaktu
(dahak dikumpulkan saat pengumpulan dahak pagi di pelayanan
kesehatan). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB
dibedakan menjadi (Kemenkes, 2011):
a. TB Paru BTA (+)
1) Dua dari tiga hasil pemeriksaan spesimen dahak yang diperiksa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu menunjukkan bahwa hasil BTA (+).
2) Satu spesimen dahak yang dilakukan pada
Sewaktu-Pagi-Sewaktu hasilnya menunjukkan BTA (+) dan hasil foto toraks
dada menunjukkan gambaran TB.
3) Satu spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu hasilnya
menunjukkan BTA (+) dan biakan kuman TB (+).
4) Satu atau lebih spesimen dahak menunjukkan hasil (+) setelah
tiga spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya menunjukkan BTA (-) dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non Obat Anti TB
(OAT).
b. TB Paru BTA (-)
TB paru BTA (-) merupakan kasus yang tidak memenuhi
kriteria pada TB paru BTA (+). Kriteria diagnostik TB paru BTA
(-) meliputi:
1) Hasil tiga spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu menunjukkan
2) Hasil foto toraks menunjukkan abnormal.
3) Bagi pasien dengan HIV (-), tidak ada perubahan setelah
pemberian antibiotika non OAT
3. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya terdiri dari
kasus baru, kasus yang sebelumnya pernah diobati, kasus pindahan dan
kasus lain, seperti penjelasan di bawah ini (Kemenkes, 2009):
a. Kasus Baru. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari 4 minggu. Pada tipe ini tidak membedakan hasil pemeriksaan
BTA.
b. Kasus yang Sebelumnya Diobati, teridiri dari:
1) Kasus Kambuh. Kasus kambuh adalah pasien TB yang pernah mendapat pengobatan sebelumnya dan telah dinyatakan
sembuh oleh petugas kesehatan atau telah melakukan
pengobatan lengkap kemudian dilakukan didiagnosis kembali
dan hasilnya BTA (+).
2) Kasus Setelah Putus Berobat (Default). Kasus default adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat (tidak
menyelesaikan pengobatan) selama 2 bulan atau lebih dengan
klasifikasi BTA (+).
menjadi (+) setelah sebelumnya sudah (-) pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
4) Kasus Pindahan (Transfer In). Kasus pindahan adalah pasien yang dipindahkan ke register lain (pelayanan kesehatan dengan
register TB lain) untuk melanjutkan pengobatannya.
5) Kasus Lain. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan kasus diatas, seperti tidak diketahui
riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak
diketahui hasil pengobatannya, kembali diobati dengan BTA
(-)serta kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
4. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan dikategorikan dengan
berat dan ringan yang dilihat dari hasil foto toraks, yaitu berat jika
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas dan atau keadaan umum pasien buruk. Sedangkan kondisi ringan
adalah kondisi yang sebaliknya, dimana hasil foto toraks
menggambarkan kerusakan paru yang sempit (Kemenkes, 2009).
C. Diagnosis TB Paru
Penegakkan diagnosis TB paru dilakukan dengan (Kemenkes, 2011):
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
bakteri TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
D. Gejala TB Paru
Masa inkubasi TB, yaitu mulai masuknya bakteri TB sampai timbul
gejala atau reaksi tes TB (+) sekitar 2-10 minggu (Chin, 2012). Gejala yang
biasa timbul pada penderita TB paru adalah batuk yang berlangsung selama
tiga minggu atau lebih, batuk dengan disertai darah atau lendir, nyeri dada,
kesulitan bernapas, menggigil, demam, kelemahan atau kelelahan,
penurunan berat badan, nafsu makan menurun, dan berkeringat berlebihan
tanpa aktivitas terutama di malam hari (WHO, 2014a; Vyas, 2013; CDC,
2012). Bagi seseorang yang memiliki infeksi TB laten tidak akan merasa
sakit, tidak memiliki gejala dan tidak dapat menularkan kepada orang lain
E. Cara Penularan
Sumber penularan TB paru adalah pasien TB/aktif TB dengan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis menunjukkan BTA (+) (Kemenkes, 2011).
Namun, dapat juga bersumber dari infeksi TB laten. Hal ini terjadi
dikarenakan sangat besar kemungkinan di dalam tubuh seseorang yang
infeksi TB laten terdapat BTA positif, hanya saja belum mendapatkan
diagnosis, sehingga pada infeksi TB laten justru lebih berisiko tinggi
menularkan kepada orang lain.
Penyakit ini menular melalui udara dari satu orang ke orang lain yang
berasal dari percikan dahak (droplet nuclei) penderita TB paru BTA
(+)/infeksi TB laten yang batuk, bersin, meludah berbicara atau bernyanyi,
sehingga orang lain menghirup bakteri TB dan mengakibatkan orang lain
tersebut tertular penyakit ini (CDC, 2012; Kemenkes, 2011; WHO, 2014a).
Namun, seseorang dengan BTA positif tidak dapat menularkan ke orang
lain melalui berjabat tangan, berbagi makanan atau minuman, menyentuh
seprai atau toilet, menggunakan sikat gigi bersama-sama ataupun bergantian
pakaian (CDC, 2012).
Seseorang dengan BTA (+) setiap kali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak, sedangkan seseorang yang menghirup bakteri
TB meskipun dalam jumlah sedikit, bakteri tersebut dapat menginfeksi
orang yang menghirupnya tersebut (Kemenkes, 2011; WHO, 2014a).
Dengan demikian, semua orang berisiko tinggi menjadi sakit TB. Apalagi
wilayah berisiko tinggi karena prevalensi TB pada tahun 2014 melebihi 100
per 100.000 penduduk, yaitu sebesar 144 per 100.000 penduduk.
Secara teoritis, seorang penderita TB tetap menular sepanjang
ditemukan basil TB di dalam sputum penderita. Penderita yang tidak diobati
atau yang diobati tidak sempurna akan tetap mengandung kuman TB selama
bertahun-tahun (Chin, 2012). Tingkat penularan sangat tergantung pada
hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlah kuman TB yang dikeluarkan
2. Virulensi kuman TB
3. Terpajannya kuman TB dengan sinar ultra violet
4. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat
bernyanyi
Mycobacterium tuberculosis merupakan agent penyebab TB yang
terdapat pada reservoir, yaitu pasien TB/aktif TB. Kemudian keluar melalui
paru-paru menularkan dan masuk ke dalam paru-paru orang lain dengan
cara droplet pada seseorang yang tidak memiliki kekebalan terhadap TB
ataupun biasa disebut dengan kelompok berisiko (susceptible host) termasuk
kelompok/penduduk Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur. Dengan
demikian, untuk menurunkan prevalensi TB di wilayah tersebut perlu
memutus rantai penularan baik pada susceptible host ataupun pada
reservoir. Secara visual, rantai penularan TB dapat dilihat pada bagan di
Bagan 2.2 Rantai Penularan TB
Pemutusan rantai penularan pada susceptible host dan juga reservoir
dapat dilakukan dengan cara sesegera mungkin memeriksakan diri ke
Puskesmas ataupun pelayanan kesehatan ketika mengalami batuk selama
2-3 minggu baik disertai maupun tidak disertai gejala tambahan lainnya
(keringat di mlaam hari tanpa aktivitas, BB menurun, nafsu makan
berkurang, nyeri dada ataupun batuk disertai darah). Tidak terlambat
memeriksakan diri ke Puskesmas ataupun pelayanan kesehatan lainnya
sangat bermanfaat karena akan segera mendapatkan pemastian diagnosis
bahwa dirinya positif ataupun tidak menderita TB. Dengan demikian, jika
memang benar postif TB, maka segera diobati agar tidak menularkan
kepada orang lain (susceptible host) dan tidak menunggu kondisi tubuh
Pemutusan rantai penularan pada kelompok rentan TB (susceptible
host) dapat dilakukan dengan cara lebih cepat tanggap untuk segera
memeriksakan diri ke Puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya ketika
mengalami gejala batuk tanpa harus menunggu gejala batuk selama 2-3
minggu. Hal ini dikarenakan pada kelompok rentan ini sudah terpapar
bakteri TB dari penderita TB ataupun infeksi TB laten. Sehingga sangat
besar kemungkinan batuk yang dialaminya meskipun belum mencapai 2-3
minggu adalah gejala TB. Selain itu, tentunya bakteri TB pada kelompok
rentan ini sudah mengalami masa inkubasi selama 2-10 minggu.
Dengan demikian, jika pemutusan rantai penularan TB dilakukan pada
reservoir dan juga susceptible host sangat besar peluang untuk menurunkan
prevalensi TB di wilayah Kramat Jati Jakarta Timur. Pemutusan rantai
penularan ini sangat dibutuhkan kerjasama semua pihak baik dari
masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, petugas kesehatan termasuk dokter
yang melakukan diagnosis maupun pemerintah.
F. Patogenesis TB Paru
TB paru disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberkulosis.
Organisme ini merupakan basil tahan asam, aerob dan tidak dapat
membentuk spora. Infeksi TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet
nuklei yang mengandung basil tuberkel tersebut dan dapat mencapai alveoli
paru-paru. Kemudian basil tuberkel tersebut tertelan oleh makrofag alveolar,
namun terdapat sebagian basil yang hancur dan terhambat. Beberapa basil
mati. Jika basil tersebut hidup, dapat menyebar melalui saluran limfatik atau
melalui aliran darah ke jaringan yang lebih jauh dan beberapa organ selain
paru-paru, seperti kelenjar getah bening, apeks paru-paru, ginjal, otak dan
tulang (BMJ, 2013). Basil tersebut dapat hidup di tempat yang gelap dan
dingin dalam waktu yang lama. Namun, tidak dapat bertahan hidup (mati)
bila terkena sinar matahari, panas, pasteurisasi, mendidih dan sinar ultra
violet (Melake,dkk, 2012).
G. Keterlambatan (Delay)
Keterlambatan (delay) pada penyakit TB ini terbagi menjadi lima
keterlambatan (WHO, 2006), yaitu:
1. Keterlambatan pasien (patient delay) adalah interval waktu antara onset
dan kehadiran pertama kali di pelayanan kesehatan. Rata-rata lama delay
di indonesia adalah 30 hari (1 bulan), sehingga dapat dikatakan patient
delay adalah jika jarak antara onset dan kehadiran pertama kali ke
pelayanan kesehatan untuk memeriksakan gejala adalah 30 hari (1
bulan)
2. Keterlambatan diagnosis (diagnosis delay) adalah interval waktu antara
timbulnya gejala dan diagnosis dokter sebagai penderita TB. Hasil
penelitian di Yogyakarta menemukan bahwa lama diagnosis delay
adalah 1 minggu (Ahmad, dkk, 2011).
3. Keterlambatan pengobatan (treatment delay) adalah interval waktu
4. Keterlambatan sistem pelayanan kesehatan (health care system delay)
adalah interval waktu antara tanggal kehadiran pertama kali di
pelayanan kesehatan dan pemberian OAT pertama kali. Di Iraq, Yaman
dan Somalia ditemukan bahwa health care system delay adalah jika
interval tersebut mencapai 5-27 hari, di Vietnam 49 hari bahkan di
Pakistan mencapai 90 hari.
5. Keterlambatan total (total delay) adalah jumlah diagnosis delay dan
treatment delay. Selain itu, total delay merupakan jumlah dari patient
delay dan health care system delay. Hasil penelitian di Yogyakarta
menemukan bahwa total delay, jika interval tersebut selama 5 minggu
dan 8-12 minggu (Ahmad, dkk, 2011; Mahendradhata, dkk, 2008).
Sedangkan, di negara lain 46 hari di Iraq, 57 hari di Mesir, 59 hari di
Yaman, 60 hari di India, dan 99 hari di Nepal.
Secara visual, keterlambatan tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini
Bagan 2.3
Delay pada Penyakit TB
Diagnostic Delay Treatment Delay
Patient Delay Health System Delay
H. Epidemiologi Deskriptif
Epidemiologi deskriptif merupakan karakteristik distribusi suatu
kejadian atau masalah kesehatan yang di tinjau dari tinjauan eidemiologi.
Suatu pola kejadian penyakit atau masalah kesehatan terbagi berdasarkan
Tanggal Kehadiran Pertama Kali di Yankes
karakterisitik orang, tempat dan waktu dan karakteristik tersebut merupakan
ciri dari epidemiologi deskriptif (CDC, 2005). Patient delay pada kasus TB
BTA (+) merupakan masalah kesehatan yang dapat diketahui pola
kejadiannya berdasarkan orang, tempat dan waktu seperti pada penjelasan di
bawah:
1. Karakteristik Orang
Karakteristik orang dapat dilihat berdasarkan faktor
sosiodemografi, seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan
sosioekonomi. Pada penelitian ini, faktor yang menjadi karakteristik
orang patient delay adalah usia, jenis kelamin, status ekonomi, status
pekerjaan, pengetahuan tentang TB, seperti penjelasan di bawah ini:
A. Usia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), umur
adalah lama waktu hidup seseorang sejak dilahirkan (Kemendikbud,
2008). Sedangkan pada penelitian ini, usia patient delay
didefinisikan sebagai lama waktu hidup seseorang sejak dilahirkan
hingga ulang tahun terakhir pada saat datang ke puskesmas pertama
kali dengan keluhan batuk dengan satuan tahun. Pembatasan ini
digunakan karena peneliti ingin mengetahui karakteristik patient
delay sebelum datang ke pelayanan kesehatan bukan saat penelitian
dilakukan.
Usia merupakan salah satu karakteristik orang yang sangat
utama, dimana akan adanya perbedaan kerentanan maupun
berbeda, sehingga akan terlihat variasi distribusi patient delay
berdasarkan usia. Penelitian di Etiopia, menemukan bahwa pasien
dengan usia > 55 tahun 2,2 kali berisiko delay dibandingkan dengan
usia 15-34 (Yimer, 2014). Sedangkan di Indonesia pengelompokan
usia untuk penyakit TB khususnya untuk strategi DOTS terbagi
menjadi kelompok usia 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun,
45-54 tahun dan > 45-54 tahun. Hasil penelitian di Yogyakarta
menunjukkan bahwa pada kelompok 25-34 tahun lebih berisiko
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (Ahmad,dkk, 2011).
B. Jenis kelamin
Menurut KBBI, jenis kelamin adalah sifat atau keadaan yang
mencirikan laki-laki atau perempuan (Kemendikbud, 2008).
Penelitian di Yaman, menemukan bahwa laki-laki 2,03 kali berisiko
delay dibandingkan perempuan (WHO, 2006). Hal yang sama
ditemukan di Uganda bahwa laki-laki berisiko 1,61 kali delay
dibandingkan perempuan (Buregyeye, 2014). Namun, di India
laki-laki menurunkan risiko 0,42 kali dibandingkan dengan perempuan
(Konda, 2014).
Faktor ini mempengaruhi patient delay karena adanya
perbedaan keterbukaan keluhan yang dirasakan dan perbedaan
penggunaan pelayanan kesehatan. Selain itu, laki-laki lebih banyak
delay dibandingkan perempuan karena laki-laki lebih sibuk
dibandingkan perempuan, laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Di samping itu, proporsi
merokok pada laki-laki lebih besar di bandingkan perempuan
sehingga laki-laki menganggap bahwa dirinya tidak berisiko ketika
mengalami batuk lebih dari 2-3 minggu (Kemenkes, 2013). Mereka
menganggap bahwa gejala batuk yang di alaminya bukan karena TB
melainkan karena perilaku merokok.
C. Status Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu rangkaian tugas yang dirancang untuk
dikerjakan oleh satu orang dan sebagai imbalan diberikan upah dan
gaji menurut kualifikasi dan berat ringannya pekerjaan tersebut.
Sedangkan jenis pekerjaan adalah kumpulan pekerjaan yang
mempunyai rangkaian tugas yang bersamaan dalam satu kelompok
(BPS, 2002). Penelitian di DI Yogjakarta menemukan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan patient delay.
Namun, sebagai karakteristik orang, faktor pekerjaan perlu
diketahui karena untuk mendeskripsikan kareakteristik
sosioekonomi. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa laki-laki memiliki risiko lebih besar delay dibandingkan
perempuan karena kesibukan waktu bekerja, sehingga tidak ada
waktu untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan yang
mengakibatkan delay. Pengelompokan status pekerjaan dibagi
menjadi tidak bekerja/ibu rumah tangga, pegawai swasta,
D. Status Ekonomi
Menurut BPS, status ekonomi masyarakat ditentukan dengan
garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya pengeluaran
seseorang per kapita per bulan dalam satuan rupiah untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimum makanan dan bukan makanan untuk tetap
berada pada kehidupan yang layak. Kebutuhan dasar makanan
seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, bahan minuman,
bumbu-bumbuan, makanan dan minuman siap saji, tembakau dan sirih serta
konsumsi lainnya. Sedangkan kebutuhan dasar bukan makanan
diantaranya perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa,
pakaian, barang tahan lama, pajak dan asuransi serta keperluan pesta
dan rumah tangga (BPS, 2014)
Sedangkan, penduduk miskin adalah penduduk jika memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan. Garis kemiskinan pada September 2014 di Indonesia
sebesar Rp 326.853. Sedangkan, di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp
459.560 (BPS, 2014; BPS, 2015). Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya terdapat hubungan yang bermakna antara status
ekonomi dengan patient delay (Rajeswari, 2002).
E. Jenjang Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Sedangkan, yang dimaksud dengan tingkat/jenjang
pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan
kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi,
yaitu:
1) Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang menjadi
landasan jenjang pendidikan menengah, yaitu Sekolah Dasar (SD)
sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat.
2) Pendidikan menengah adalah jenjang lanjutan dari pendidikan
dasar, baik pendidikan menengah umum atau pendidikan
menengah kejuruan, seperti Sekolah Menengah Atas (SMA)
sederajat.
3) Pendidikan tinggi merupakan jenjang lanjutan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh
pendidikan tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian di Malawi, India dengan desain
hubungan dengan terjadinya patient delay dimana jenjang
pendidikan dasar cenderung lebih lama waktu delay dibandingkan
dengan jenjang pendidikan menengah. Selain itu, pasien yang tidak
sekolah juga memiliki hubungan yang bermakna dengan patient
delay. Hal ini disebabkan karena pasien yang memiliki jenjang
pendidikan rendah bahkan tidak sekolah sedikit memiliki
kesempatan untuk mendapatkan informasi mengenai TB
dibandingkan dengan pasien yang memiliki jenjang pendidikan lebih
tinggi (Makwakwa, 2014).
F. Tingkat Pengetahuan tentang TB
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan khususnya mata dan telinga terhadap objek
tertentu. Pengetahuan seseorang termasuk objek yang mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku (Sunaryo,
2004). Pengetahuan terbagi menjadi enam, yaitu:
a. Tahu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah
yang diartikan sebagai recall teori yang telah dipelajari
sebelumnya. Indikator bahwa seseorang tahu adalah ketika
seseorang tersebut dapat menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan dan menyatakan.
b. Paham, memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap
objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan tetapi orang
objek yang diketahui tersebut. Indikator bahwa seseorang paham
adalah ketika seseorang dapat menjelaskan, memberikan contoh
dan menyimpulkan.
c. Penerapan, penerapan diartikan apabila orang yang telah
memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada situasi dan kondisi
nyata.
d. Analisis, analisis adalah kemampuan seseorang untuk
menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari
hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam
suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis, kemampuan seseorang untuk menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Ukuran sintesis adalah ketika seseorang
dapat menyusun, meringkas, merencanakan dan menyesuaikan
suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi, kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan kriteria yang telah ada atau di
susun sendiri.
Penelitian di India menemukan bahwa pasien yang memiliki
pengetahuan bahwa batuk lebih dari 3 minggu merupakan gejala TB
Pasien tersebut memiliki lama delay yang lebih lama dibandingkan
yang tidak tahu. Keadaan ini dapat terjadi, dicurigai karena pasien
tidak percaya bahwa dirinya menderita TB, pasien tersebut
menunggu batuk yang dialaminya selama 3 minggu sebelum datang
ke pelayanan kesehatan. Selain itu, dapat disebabkan karena mereka
memiliki stigma bahwa TB memiliki hubungan yang sangat erat
dengan penyakit HIV/AIDS (Makwakwa, dkk. 2014).
G. Status Merokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus yang
dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotina Rustica, dan
spesies lainnya, atau sintesis yang mengandung nikotin dan tar
beserta bahan tambahan. Menurut laporan Global Adult Tobacco
Survey (GATS) Indonesia tahun 2011, Indonesia (34,7%) merupakan
negara dengan prevalensi perokok terbesar ketiga di dunia (GATS,
2012).
Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah China dan India (WHO, 2008). Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Riskesdas 2013 yang menunjukkan
bahwa 47,5% perokok setiap hari adalah laki-laki dan 1,1% adalah
perempuan. Sedangkan rata-rata batang rokok yang dihisap per hari
per orang di Jakarta hampir sama dengan rata-rata batang rokok yang
di hisap per hari per orang se Indonesia, yaitu 11,6 batang,
sedangkan di Indonesia adalah 12,3 batang atau setara dengan satu