• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

D. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Pekerjaan di

2014

Tabel di bawah ini menunjukkan sebaran patient delay pada kasus TB BTA (+) berdasarkan status ekonomi di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun

2014:

Tabel 5.3

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Ekonomi di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

Status Ekonomi Jumlah (Orang) Persentase (%)

Miskin 5 29,4

Kaya 12 70,6

Total 17 100,0

Berdasarkan tabel di atas, penelitian ini menemukan bahwa hampir semua

(70,6%) patient delay memiliki status ekonomi kaya. 17,6 47,1 23,5 11,8 0 20 40 60 80 100 P er set a se (%) Jenis Pekerjaan

E. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Karakteristik jenjang pendidikan patient delay kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 tertera pada grafik di bawah ini:

Grafik 5.2

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

Menurut grafik 5.2 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar (47,1%)

patient delay memiliki riwayat pendidikan pada jenjang dasar.

F. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Tingkat pengetahuan tentang TB merupakan salah satu karakteristik

yang terdapat pada patient delay. Tingkat pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi tingkat pengetahuan rendah, cukup dan baik seperti

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA + Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati

Jakarta Timur Tahun 2014

Tingkat Pengetahuan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Rendah 17 100,0 Cukup 0 0,0 Baik 0 0,0 Total 17 100,0 11,8 47,1 29,4 11,8 0 20 40 60 80 100 Tidak Sekolah/Tidak Tamat Sekolah

Dasar Menengah Tinggi

P er set a se (%) Jenjang Pendidikan

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, dapat diketahui bahwa ternyata seluruh patient delay memiliki pengetahuan rendah tentang TB.

G. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Karakteristik lain yang dimiliki patient delay adalah perilaku merokok, dikarenakan salah satu faktor yang menjadi alasan bahwa gejala

batuk yang dialaminya merupakan akibat dari merokok, sehingga batuk yang

dialaminya di anggap batuk biasa. Berikut sebaran patient delay berdasarkan perilaku merokok:

Tabel 5.5

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

Perilaku Merokok Jumlah (Orang) Persentase (%)

Merokok setiap hari 8 47,1

Merokok kadang-kadang 1 5,9

Pernah/sudah berhenti merokok 2 11,8

Tidak pernah merokok 6 35,3

Total 17 100,0

Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar patient delay

memiliki riwayat merokok, baik merokok setiap hari, kadang-kadang ataupun

pernah/sudah berhenti merokok. Hanya 6 (35,3%) patient delay yang tidak pernah merokok.

Rata-rata setiap harinya, patient delay merokok sebanyak 19 batang atau sekitar 1,5 bungkus. Jumlah rokok yang dihisap paling sedikit berjumlah

5 batang per hari atau sekitar setengah bungkus dan paling banyak adalah 36

Tabel 5.6

Jumlah Batang Rokok yang dihisap oleh Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

n Mean (batang) Minimum (batang) Maximum (batang)

11 19 5 36

Berdasarkan temuan di lapangan, ternyata merokok sudah menjadi

kebiasaan patient delay yang sudah sangat lama. Terbukti bahwa mereka merokok rata-rata selama 22,82 tahun sampai dengan pertama kali

memeriksakan gejala TB yang di alaminya ke Puskesmas, dengan minimal

selama 11 tahun dan maksimal 48 tahun merokok, seperti pada tabel di bawah

ini:

Tabel 5.7

Lama Merokok Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

n Mean (tahun) Minimum (tahun) Maximum (tahun)

11 22,82 11 48

H. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Patient Delay dengan Puskesmas di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Berdasarkan hasil analisis spasial dengan menggunakan distance

matrix peneliti dapat mengetahui jarak rumah patient delay dengan

Puskesmas yang dikunjungi pertama kali sampai dengan pengambilan OAT.

Tabel 5.8

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Patient Delay dengan Puskesmas di Wilayah Kerja

PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Jarak (Km) Jumlah (Orang) Persentase (%)

Dekat (<5) 17 100,0

Jauh (≥5) 0 0,0

Total 17 100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa seluruh patient delay

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa faktor jarak ini tidak dapat menjadi

alasan untuk lebih lama menunda memeriksakan diri pertama kali ke

Puskesmas dikarenakan semua tempat tinggal responden dekat dengan

Puskesmas.

I. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Dukungan Kader TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Peran kader TB komunitas adalah melakukan edukasi tentang TB baik

kelompok maupun perorangan, penemuan suspek di masyarakat dan

mengantarkan suspek memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan termasuk

Puskesmas. Oleh karena itu, tentu saja dukungan kader TB memiliki peranan

pada patient delay seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.9

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Dukungan Kader TB di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

Dukungan Kader TB Jumlah (Orang) Persentase (%)

Tidak Mendapat Dukungan 17 100,0

Mendapat Dukungan 0 0,0

Total 17 100,0

Berdasarkan tabel 5.9 di atas, dapat diketahui ternyata semua patient delay

tidak mendapat dukungan kader TB dalam memeriksakan gejalanya ke

Puskesmas.

J. Lama Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Lama delay merupakan waktu antara pertama kali suspek TB merasakan gejala batuk hingga pertama kali memeriksakan diri ke

Tabel 5.10

Rata-Rata Lama Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

N Mean (bulan) Minimum

(bulan)

Maximum (bulan)

17 2,53 1 8

Berdasarkan tabel 5.10 di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata lama

delay berdasarkan pengakuan responden saat dilakukan wawancara terstruktur adalah 2,53 bulan, minimal 1 bulan dan maksimal 8 bulan.

Sehingga, sebaran patient delay berdasarkan lama delay dari pengakuan responden terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.11

Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Lama Delay di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Lama Delay (Bulan) Jumlah (Orang) Persentase (%)

>2,53 5 29,4

<2,53 12 70,6

Total 17 100,0

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar patient delay

memiliki lama delay di bawah rata-rata lama delay (<2,53 bulan).

K. Alasan Delay pada Patient Delay Kasus TB BTA (+) di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Informasi lain yang didapatkan oleh peneliti terkait dengan alasan

mereka delay disajikan dalam bentuk proporsi seperti pada grafik di bawah ini karena setiap responden diperbolehkan menjawab lebih dari satu alasan

Grafik 5.3

Sebaran Patient Delay Berdasarkan Alasan Delay pada Kasus TB BTA + di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur

Tahun 2014

Berdasarkan grafik 5.3 di atas, menunjukkan bahwa hampir semua

patient delay beralasan bahwa pada saat itu, gejala yang dirasakan adalah batuk biasa yang akan sembuh dengan sendirinya, sehingga mereka merasa

tidak membutuhkan untuk segera melakukan pemeriksaan ke pelayanan

kesehatan. Selain itu, alasan lain yang melatar belakangi patient delay adalah karena masalah ekonomi. Mereka takut akan menghabiskan dana yang besar

untuk pengobatan karena belum tahu bahwa pengobatan TB di biayai oleh

pemerintah. 17,6 82,4 5,9 23,5 0 5,9 5,9 82,4 17,6 94,1 76,5 100 94,1 94,1 0 20 40 60 80 100 P er set a se (%) Alasan Delay Ya Tidak

72 BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan yang ditemukan

selama proses penelitian berlangsung yang tidak dapat diprediksi oleh peneliti

saat masih dilakukannya perencanaan penelitian. Berikut beberapa

keterbatasan pada penelitian ini:

1.Dimungkinkan masih banyak kasus TB BTA (+) yang termasuk patient delay. Namun pada penelitian ini, tidak terhitung sebagai sampel karena sumber datanya adalah data sekunder berupa rekam medis. Pada catatan

rekam medis tersebut, informasi onset ketika pemastian diagnosis tidak

tercatat. Walaupun kasus patient delay tidak banyak dan terbatas jumlah sampel karena kurangnya kualitas data sekunder, namun tujuan penelitian

ini sudah tercapai untuk mendeskripsikan patient delay dengan baik dan lengkap dengan mengembangkan pendekatan mix methods.

2.Ada perbedaan kesimpulan informasi onset yang disampaikan pasien

ketika anamnesis yang tercatat pada rekam medis dengan ketika peneliti

melakukan wawancara langsung. Untuk mengatasi perbedaan yang ada

antara catatan di rekam medis dengan informasi yang didapat langsung

ketika wawancara, peneliti melakukan triangulasi sumber kepada dokter

B. Sebaran Patient Delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Usia di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Usia merupakan salah satu karakteristik orang yang sangat utama,

dimana akan ada perbedaan kerentanan maupun perbedaan pengalaman

terhadap penyakit TB pada usia yang berbeda, sehingga akan terlihat variasi

distribusi patient delay berdasarkan usia yang berbeda pula. Penelitian di Etiopia, menemukan bahwa pasien dengan usia > 55 tahun 2,2 kali berisiko

delay dibandingkan dengan usia 15-34 (Yimer, 2014). Sedangkan di Indonesia pengelompokan usia untuk penyakit TB khususnya untuk

pelayanan kesehatan yang telah menggunakan strategi DOTS terbagi menjadi

kelompok usia 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54 tahun dan > 54

tahun.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, hampir setengah dari

patient delay (41,2%) merupakan kelompok usia 35-44 tahun, dilanjutkan dengan kelompok usia 25-34 tahun sebesar 29,4%. Pada penelitian serupa

yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan hasil yang sama bahwa pada

kelompok 25-34 tahun lebih berisiko dibandingkan dengan kelompok usia

lainnya (Ahmad,dkk, 2011). Hal ini dapat terjadi karena proporsi terbesar

kasus TB BTA (+) di Kelurahan Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar

dan Kelurahan Balekambang berada pada kedua kelompok usia tersebut yaitu

kelompok usia 25-34 tahun dan kelompok usia 35-44 tahun masing-masing

23,1%.

Kelompok usia 35-44 tahun merupakan kelompok usia produktif. TB

paru umumnya mengenai usia produktif yaitu pada rentang umur 15-45

seseorang yang berada pada kelompok usia tersebut memiliki mobilitas yang

tinggi, frekuensi interaksi dengan orang lain lebih banyak dibandingkan

dengan kelompok usia non produktif, sehingga sangat memungkinkan terjadi

penularan ke orang lain di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka (Syafefi,

dkk, 2015).

Saat ini yang perlu mendapat perhatian bukan hanya kelompok usia

produktif yang mengalami gejala batuk selama 2-3 minggu. Mengingat

bahwa di Kecamatan Kramat Jati merupakan wilayah yang berisiko tinggi

terhadap TB dikarenakan prevalensi TB yang tinggi, sehingga wilayah

tersebut merupakan wilayah yang dapat dijadikan sebagai sumber penularan

TB. Dengan demikian, tentu saja semua penduduk/masyarakat khususnya

kelompok usia produktif di Kecamatan Kramat Jati merupakan masyarakat

risiko tinggi terhadap TB. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat sudah

waspada jika dirinya mengalami batuk, meskipun tidak selama 2 minggu.

Dengan demikian, sebaiknya dalam melakukan kegiatan promosi

kesehatan terkait tentang TB, tenaga kesehatan dari Puskesmas ataupun kader

TB lebih memprioritaskan kepada kelompok usia produktif. Kegiatan

promosi yang dilakukan adalah menyampaikan kepada masyarakat untuk

lebih waspada terhadap TB jika mengalami batuk, meskipun tidak selama 2-3

minggu. Jika mengalami batuk, perlu waspada dan segera memeriksakan diri

ke Puskesmas, tidak harus menunggu hingga 2-3 minggu bahkan hingga 1

bulan atau lebih untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kegiatan

promosi ini dapat dilakukan melalui kegiatan Posyandu, Jumantik, arisan,

ke mulut. Kemudian, ketika terdapat masyarakat yang memeriksakan diri ke

Puskesmas dengan keluhan batuk, meskipun kurang dari 2 minggu, maka

sebaiknya dokter menganjurkan masyarakat tersebut untuk melakukan

pemeriksaan dahak sewaktu-pagi sewaktu sebagai masyarakat risiko tinggi

bukan sebagai suspek.

Selain melalui promosi kesehatan dari tenaga kesehatan dan

pelayanan kesehatan di Puskesmas untuk penegakan diagnosis, bagi

masyarakat perlu memanfaatkan karakternya sebagai kelompok masyarakat

yang memiliki mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi untuk meningkatkan

kepedulian dengan lebih aktif dalam mencari informasi yang benar terkait

TB, baik melalui media, tenaga kesehatan, kader TB ataupun dengan

teman/keluarganya. Oleh karena itu, melalui kegiatan tersebut diharapkan

dapat meningkatkan pemahaman mengenai TB secara menyeluruh dan benar

agar menurunkan angka patient delay dan juga kasus TB pada umumnya.

C. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014 Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

perilaku sakit. Perilaku sakit merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang

yang merasa bahwa dirinya sakit, mendefinisikan sehat dan sakitnya serta

aktivitas yang dilakukan seseorang yang sakit tersebut agar sakit yang

dideritanya segera sembuh (Larsen, 2015).

Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar patient delay

(70,6%) adalah laki-laki dan 29,4% adalah perempuan. Hal ini dicurigai

karena laki-laki lebih sibuk dibandingkan perempuan, mereka dianggap

terbatas untuk melakukan pencarian pengobatan ke pelayanan kesehatan.

Selain itu, laki-laki memiliki kebiasaan merokok, terbukti karena 91,7%

patient delay yang merokok adalah laki-laki. Sehingga laki-laki menganggap bahwa dirinya tidak berisiko ketika mengalami batuk lebih dari 2-3 minggu

karena batuk yang dirasakannya merupakan batuk biasa akibat kebiasaan

merokoknya (Kemenkes, 2013).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati sebagian besar tersebar pada

jenis kelamin laki-laki dikarenakan mereka kurang peduli dalam pencarian

pengobatan dibandingkan dengan perempuan, sibuk dengan pekerjaannya dan

menganggap remeh batuk yang dialaminya. Oleh karena itu, diperlukan

edukasi dari petugas Puskesmas, kader TB dan juga dukungan dari keluarga

untuk memberikan edukasi yang lebih baik lagi tentang perilaku sakit yang

seharusnya dilakukan khusunya pada laki-laki agar lebih waspada terhadap

gejala TB dan peduli dengan status kesehatannya.

Edukasi yang diberikan tidak hanya fokus pada laki-laki yang

mengalami batuk selama 2-3 minggu (suspek TB), melainkan diberikan juga

kepada masyarakat secara umum khususnya pada laki-laki. Hal ini

dikarenakan wilayah Kramat Jati merupakan wilayah risiko tinggi terhadap

TB, sehingga waspada TB perlu ditingkatkan tidak hanya pada suspek TB

melainkan seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Kramat

D. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status Pekerjaan di Wilayah Kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur Tahun 2014

Penemuan di lapangan menunjukkan bahwa hampir semua patient delay bekerja sebagai wiraswasta, yaitu sebesar 47,1%. Sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa 50,8% patient delay bekerja sebagai wiraswasta (Fatiregun dan Ejeckam, 2010).

Menurut Sutarminingsih (2004), wiraswasta merupakan salah satu

jenis pekerjaan dari kegiatan perencanaan sampai dengan pengembangan dan

juga risiko untung dan rugi sepenuhnya ditanggung oleh wiraswastawan/ti

tersebut, sehingga mereka lebih membutuhkan banyak tenaga, waktu dan

pikiran untuk keberhasilan usahanya. Dengan demikian, waktu mereka untuk

memeriksakan diri ke Puskesmas dirasa tidak dibutuhkan jika tidak

benar-benar mendesak. Namun, terdapat penelitian lain yang serupa menemukan

hasil yang berbeda, dimana sebagian besar patient delay adalah pengangguran, sedang cuti ataupun ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan

orang yang tidak bekerja lebih malas di bandingkan yang bekerja.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati Jakarta Timur tahun 2014 bekerja sebagai wiraswasta karena tanggung jawab yang

diembannya lebih besar dibandingkan jenis pekerjaan lain sehingga

membutuhkan banyak waktu untuk pekerjaannya dibandingkan

mempedulikan status kesehatannya termasuk memeriksakan diri ke

Puskesmas dengan gejala batuk yang dialaminya.

Dengan demikian, diperlukan pemberian pemahaman dari petugas

kesehatan lebih penting dibandingkan dengan pekerjaan, jika sehat maka

dapat kembali bekerja seperti sedia kala. Namun, jika kesehatan terganggu

dan datang ke Puskesmas dengan kondisi yang sudah parah, justru

mengganggu aktivitas sehari-hari dan tidak dapat bekerja seperti sedia kala.

Selain itu, perlu diberikan pemahaman bahwa dirinya berisiko karena

perilaku merokok dan juga berada pada wilayah yang berisiko tinggi terhadap

TB.

E. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Status