• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

G. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Timur Tahun 2014

Pengetahuan yang baik tentang TB baik penyebab, gejala, cara

penularan, pengobatan dan juga peran petugas kesehatan atau kader TB dapat

mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan patient delay. Pada penelitian ini menemukan bahwa ternyata seluruh patient delay memiliki pengetahuan rendah tentang TB, yaitu menjawab pertanyaan dengan benar hanya <60%

dari semua pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Penelitian sebelumnya

menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik mengenai TB

0,45 kali dapat menurunkan risiko patient delay dibandingkan dengan yang tingkat pengetahuannya buruk (Konda, 2014).

Semua patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 masih berada pada tahap tahu, yaitu dapat

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan informasi

mengenai TB yang pernah didapat sebelumnya. Meskipun sudah pada tahap

tahu, namun terdapat beberapa patient delay yang sama sekali tidak mengetahui apapun tentang TB. Dengan demikian, tentu saja seluruh patient delay belum mencapai pada tahap paham, penerapan, analisis, sintesis bahkan evaluasi. Sehingga, memang benar mereka tidak segera mememeriksakan diri

ke pelayanan kesehatan dikarenakan memang belum pada tahap penerapan

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa patient delay pada kasus TB BTA (+) di wilayah kerja PKC Kramat Jati tahun 2014 100% memiliki

tingkat pengetahuan rendah dan masih pada tahap tahu, sehingga wajar

mereka tidak segera memeriksakan diri ke Puskesmas saat mengalami gejala

batuk 2-3 minggu. Walaupun begitu, tentu saja tidak dapat dibiarkan, mereka

perlu mendapatkan pemahaman dari petugas kesehatan Puskesmas ataupun

kader TB mengenai TB. Pada kegiatan penyuluhan tersebut petugas

kesehatan perlu memberikan pre test dan post test kepada peserta agar dapat mengevaluasi pengetahuan yang sudah didapatkannya.

Pengetahuan tentang TB merupakan salah satu faktor yang menjadi

karakteristik pada diri patient delay. Dengan bekal pengetahuan tentang TB yang baik, maka mempengaruhi perilaku untuk segera memeriksakan diri ke

Puskesmas. Hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan salah satu faktor

pendorong dalam pencarian pengobatan, seseorang yang sudah pada tahap

tahu, maka dapat paham, menerapkan bahkan menganalisis dan mengevaluasi

informasi yang telah didapatkannya. (Sunaryo, 2004).

Pada penelitian ini menemukan bahwa seluruh patient delay memiliki pengetahuan rendah mengenai TB. Setelah dilakukan wawancara mendalam,

ternyata mereka benar-benar tidak mengetahui gejala TB yang sebenarnya,

seperti kutipan wawancara di bawah ini:

MU:”Gejala TB ya batuk aja batuk berdarah, dikasih taunya lewat

omongan aja. Gak paham, soalnya saya gak mikirin sih. Soalnya saya langsung ke dokter aja gak mikirin dulu orang pernah bilang ada

batuk TBC”

ER:”Batuk yang berdarah, taunya gak ada obatnya sampe kurus

banget bisa sampe meninggal taunya gitu aja. Lewat cerita orang, denger-denger aja. Gak ngeh, gak paham saya. Gak ada manfaatnya

buat pencarian pengobatan saya, pokoknya jangan sampe batuk

darah aja.”

MA:”Orang-orang ya bilangnya batuk keluar darah, gak ngeh juga

gak kepake juga”

Berdasarkan hasil kutipan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa

patient delay menerima informasi yang salah mengenai gejala TB yang didapatkan sebelumnya. Mereka mengira bahwa dirinya TB ketika dirinya

sudah mengalami batuk darah, namun saat batuk biasa sampai tiga minggu

sekalipun ketika tidak ada dahak bercampur darah tidak akan menjadi

masalah bagi mereka, sehingga membuat mereka tidak segera memeriksakan

diri ke Puskesmas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan bekal

pengetahuan yang rendah dan salah, maka mereka tidak dapat menganalisis

bahkan mengevaluasi informasi tersebut untuk segera memeriksakan diri ke

Puskesmas ketika sudah mengalami batuk 2-3 minggu.

Selain itu, menurut teori Health Belief Model perilaku pencarian

pengobatan adalah hasil dari persepsi keparahan. Persepsi keparahan yaitu

tingkat kepercayaan seseorang bahwa akan adanya konsekuensi masalah

kesehatan yang semakin parah. Di samping itu, perilaku merupakan hasil dari

petunjuk untuk bertindak, dimana ketika batuknya sudah mengeluarkan darah

merupakan petunjuk untuk bertindak memeriksakan diri ke Puskesmas.

Sedangkan, jika tidak mengeluarkan darah maka tidak akan memeriksakan

diri ke Puskesmas (Edberg, 2010).

Sama dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria dengan

menggunakan desain cross sectional menemukan bahwa 15% responden menggunakan sumber informasi hanya dari teman/kerabat. Dikhawatirkan

akan adanya pemberian informasi yang salah karena tidak semua

teman/kerabat memiliki pengetahuan yang baik tentang TB, sehingga perlu

menyadarkan masyarakat bahwa sebaiknya tidak hanya mengandalkan

informasi dari teman/ kerabat saja tetapi perlu informasi dari sumber lain

yang lebih terpercaya (Biya, dkk, 2014).

Dalam mencari informasi apapun termasuk informasi kesehatan,

patient delay terbiasa menggunakan televisi sebagai sumber informasinya termasuk informasi tentang TB seperti pengertian, bahaya, gejala, cara

penularan dan pengobatan ataupun permasalahan TB di masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, peneliti menarik kesimpulan bahwa

patient delay akan menerima dan lebih yakin/percaya jika informasi tersebut bersumber dari televisi dan disampaikan dalam bentuk berita karena dirasa

informasi tersebut nyata dan terpercaya.

Selain itu, patient delay juga akan lebih yakin jika informasi-informasi tentang TB disampaikan oleh kader TB yang diutus oleh

kelurahan/Puskesmas ataupun lembaga-lembaga kesehatan karena mereka

yakin bahwa kader TB yang telah diutus tentunya memiliki pengetahuan yang

lebih karena telah mendapatkan pelatihan di bandingkan dengan masyarakat

lain pada umumya. Seperti yang diutarakan oleh beberapa informan berikut

ini:

RA:”Ya percaya aja klo dari berita di TV, ya kan emang banyak

terjadi. Ya percaya sih kan emang nyata klo dari kader itu”

SM:”Dari TV percaya, percaya kader yang udah di utus ya dia pasti udah di bina, udah ada penataran gitu lah ibaratnya”

ER:”Ya percaya klo dari berita. Berarti dia udah dikasih pendidikan, tambahan pengetahuan klo udah di utus”

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam menjalankan tugasnya

atau melakukan kegiatan di masyarakat, kader TB selalu mengenalkan dirinya

bahwa dirinya adalah utusan dari Puskesmas dan PKPU. Sayangnya, karena

memang tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat di wilayahnya, sehingga

patient delay merasa tidak mendapat dukungan kader TB. Oleh karena itu,

patient delay merasa butuh mendapatkan informasi mengenai TB dan akan percaya jika disampaikan oleh kader TB yang telah diutus oleh Kelurahan,

Puskesmas ataupun lembaga kesehatan lainnya.

Metode pemberian informasi TB yang membuat masyarakat yakin

untuk waspada terhadap TB adalah melalui berita di televisi dan juga dari

kader TB yang diutus oleh Kelurahan, Puskesmas ataupun lembaga kesehatan

lainnya. Mereka berpendapat bahwa metode tersebut dapat dipercaya karena

berita di Televisi merupakan berita yang nyata, sedangkan jika melalui kader

TB yang telah diutus mereka telah memiliki bekal pengetahuan tentang TB

yang baik karena telah mendapatkan pelatihan sebelumnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI NO. 46 tahun 2014 tentang

Sistem Informasi kesehatan menyebutkan bahwa sumber informasi kesehatan

dapat berasal dari media cetak atau elektronik, fasilitas kesehatan, perorangan

ataupun kelompok. Televisi merupakan media elektronik yang memainkan

peran penting pada masyarakat modern, karena apa yang mereka lihat, dengar

dan baca menjadi gudang utama informasi yang dapat mempengaruhi

bagaimana mereka bertindak, melihat, berpikir, bersuara tentang sesuatu

(Edberg, 2010). Banschofter dalam Mulayana, 2002 menyatakan bahwa

sebesar 65%, sedangkan lewat media dengar saja sebesar 10% dan lewat

media pandang saja sebesar 20%.

Selain itu, masyarakat akan yakin jika informasi tentang TB yang

didapatkannya berasal dari kader TB yang diutus oleh kelurahan, puskesmas

ataupun lembaga kesehatan lainnya karena mereka merasa kader TB yang

diutus dapat memberikan informasi tentang TB yang benar dan dapat

dipercaya. Dalam menyebarkan informasi kesehatan akan lebih efektif jika

dilakukan dengan metode komunikasi yang berbeda-beda, seperti dalam

penelitian ini menggunakan metode berita dari televisi dan kader TB (Hornik,

2002).

Dengan demikian, Kementerian Kesehatan RI perlu menyebarluaskan

informasi mengenai TB melalui berita di Televisi. Selain itu, Puskesmas atau

PKPU perlu mengenalkan kepada masyarakat bahwa kader TB yang berada

di wilayah mereka merupakan utusan dari Puskesmas dan PKPU dan telah

mendapatkan pelatihan tentang TB sebelumnya, sehingga masyarakat lebih

waspada terhadap TB. Selain itu, mereka sudah memiliki pengalaman tentang

TB sebelumnya, sehingga mereka dapat dijadikan sebagai pembelajaran oleh

masyarakat lain dari pengalaman tersebut, (vicarious learning) (Edberg, 2010). Dengan demikian, diharapkan mereka dapat lebih peduli dan aktif

dengan memberikan paparan informasi yang benar mengenai TB kepada

masyarakat, agar informasi yang didapatkan dapat disebarluaskan kepada

masyarakat luas. Begitupun Islam telah mengajarkan kepada kita semua

bahwa سانلل مهعفنأ سانلا ريخsebaik baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

H. Sebaran Patient delay pada Kasus TB BTA (+) Berdasarkan Perilaku