• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan pasien Covid-19 di ruang rawat inap isolasi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus 2021 – Oktober 2021 yang sudah memenuhi kriteria inklusi penelitian. Karakteristik subjek penelitian secara lengkap disajikan pada tabel 4.1.

57 Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Karakteristik Median(Min-Maks) n(40) Persentase (%) Usia (tahun)

Karakteristik demografi dari 40 subjek penelitian ini memiliki median usia sebesar 39,5(19-65) tahun. Karakteristik usia pada penelitian ini menggunakan nilai median dan nilai minimal-maksimal, hal ini dikarenakan sebaran data usia terdistribusi tidak normal. Jenis kelamin subjek penelitian terdiri dari perempuan sebanyak 27 subjek (67,5%) dan laki-laki sebanyak 13 subjek (32,5%). Tingkat pendidikan subjek penelitian adalah SMA sebanyak 25 subjek (62,5%) dan sarjana sebanyak 15 subjek (37,5%). Status pekerjaan subjek penelitian paling banyak

58 adalah tidak bekerja 13 subjek (32,5%) dan paling sedikit adalah petani sebanyak satu subjek (2,5%). Suku subjek penelitian paling banyak adalah suku Karo sebanyak 14 subjek (35,0%) dan paling sedikit adalah suku Aceh sebanyak 2 subjek (5,0%). Pada penelitian ini didapatkan karakteristik pasien Covid-19 saat pemeriksaan fungsi kognitif pada fase akut sebanyak 31 sampel (77,5%) dan pasien Covid-19 lewat fase akut sebanyak 9 sampel (22,5%). Karakteristik nilai RNL, nilai CRP, nilai D-dimer, serta nilai serum feritin pada penelitian ini menggunakan nilai median dan nilai minimal-maksimal, hal ini dikarenakan sebaran data nilai RNL, nilai CRP, nilai D-dimer, serta nilai serum feritin terdistribusi tidak normal. Pada penelitian ini didapatkan karakteristik nilai rasio neutrofil limfosit pada subjek penelitian diperoleh nilai median 3,4(1,4-9,3), nilai CRP pada subjek penelitian diperoleh nilai median 12,6mg/L(1,4-17,2), nilai D-dimer pada subjek penelitian diperoleh nilai median 227 ng/mL(126-1600), serta nilai serum feritin pada subjek penelitian diperoleh nilai median 308,5 ng/mL(17,3-1789).

4.1.2 Hubungan antara Rasio Neutrofil Limfosit dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

Pada subjek penelitian yang memiliki RNL normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan Forward Digit Span (FDS) didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan FDS abnormal sebanyak 1 subjek (2,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki RNL meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 14 subjek (35,0%) dan FDS abnormal sebanyak 13 subjek (32,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang

59 signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain atensi (FDS) dengan p value sebesar 0,012 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,369.

Tabel 4.2 Hubungan antara Rasio Neutrofil Limfosit dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

Fungsi Kognitif Rasio Neutrofil Limfosit r p Normal Meningkat

uji korelasi dengan contingency coefficient test

Pada subjek penelitian yang memiliki RNL normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 11 subjek (27,5%) dan BDS abnormal sebanyak 2 subjek (5,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki RNL meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan BDS abnormal sebanyak 15 subjek (37,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain working memory (BDS) dengan p value sebesar 0,016 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,356.

60 Pada subjek penelitian yang memiliki RNL normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan TMT-A abnormal sebanyak 1 subjek (2,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki RNL meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 16 subjek (40,0%) dan TMT-A abnormal sebanyak 11 subjek (27,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain fungsi eksekutif (TMT-A) dengan p value sebesar 0,033 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,320.

Pada subjek penelitian yang memiliki RNL normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan TMT-B abnormal sebanyak 1 subjek (2,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki RNL meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 15 subjek (37,5%) dan TMT-B abnormal sebanyak 12 subjek (30,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain fungsi eksekutif (TMT-B) dengan p value sebesar 0,020 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,345. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2 di atas.

61 4.1.3 Hubungan antara C-Reactive Protein dengan Fungsi Kognitif pada

Penderita Covid-19

Pada subjek penelitian yang memiliki CRP normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan FDS abnormal sebanyak 2 subjek (5,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki CRP meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 14 subjek (35,0%) dan FDS abnormal sebanyak 12 subjek (30,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CRP dengan domain atensi (FDS) dengan p value sebesar 0,044 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,304.

Pada subjek penelitian yang memiliki CRP normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 11 subjek (27,5%) dan BDS abnormal sebanyak 3 subjek (7,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki CRP meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 12 subjek (30,0%) dan BDS abnormal sebanyak 14 subjek (35,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CRP dengan domain working memory (BDS) dengan p value sebesar 0,048 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,299.

62 Pada subjek penelitian yang memiliki CRP normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 13 subjek (32,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 1 subjek (2,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki CRP meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 15 subjek (37,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 11 subjek (27,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CRP dengan domain fungsi eksekutif (TMT-A) dengan p value sebesar 0,021 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,344.

Pada subjek penelitian yang memiliki CRP normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 13 subjek (32,5%) dan TMT-B abnormal sebanyak 1 subjek (2,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki CRP meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 14 subjek (35,0%) dan TMT-B abnormal sebanyak 12 subjek (30,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CRP dengan domain fungsi eksekutif (TMT-B) dengan p value sebesar 0,012 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,369. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.

63 Tabel 4.3 Hubungan antara C-Reactive Protein dengan Fungsi Kognitif

pada Penderita Covid-19

uji korelasi dengan contingency coefficient test

IV.1.4 Hubungan antara D-Dimer dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

Pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 18 subjek (45,0%) dan FDS abnormal sebanyak 4 subjek (10,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 8 subjek (20,0%) dan FDS abnormal sebanyak 10 subjek (25,0%).

Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara d-dimer dengan domain atensi (FDS) dengan p value sebesar 0,014 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,363.

64 Tabel 4.4 Hubungan antara D-dimer dengan Fungsi Kognitif

pada Penderita Covid-19

uji korelasi dengan contingency coefficient test

Pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 16 subjek (40,0%) dan BDS abnormal sebanyak 6 subjek (15,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 7 subjek (17,5%) dan BDS abnormal sebanyak 11 subjek (27,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara D-dimer dengan domain working memory (BDS) dengan p value sebesar 0,031 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,322.

Pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 19 subjek (47,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 3

65 subjek (7,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 9 subjek (22,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 9 subjek (22,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara D-dimer dengan domain fungsi eksekutif (TMT-A) dengan p value sebesar 0,013 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,367.

Pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 18 subjek (45,0%) dan TMT-B abnormal sebanyak 4 subjek (10,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki D-dimer meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 9 subjek (22,5%) dan TMT-B abnormal sebanyak 9 subjek (22,5%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara D-dimer dengan domain fungsi eksekutif (TMT-B) dengan p value sebesar 0,033 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,320. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.4 di atas.

4.1.5 Hubungan antara Serum Feritin dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

Pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS

66 normal sebanyak 17 subjek (42,5%) dan FDS abnormal sebanyak 4 subjek (10,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan FDS didapatkan hasil pemeriksaan FDS normal sebanyak 9 subjek (22,5%) dan FDS abnormal sebanyak 10 subjek (25,0%).

Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara d-dimer dengan domain atensi (FDS) dengan p value sebesar 0,026 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,332.

Pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 16 subjek (40,0%) dan BDS abnormal sebanyak 5 subjek (12,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan BDS didapatkan hasil pemeriksaan BDS normal sebanyak 7 subjek (17,5%) dan BDS abnormal sebanyak 12 subjek (30,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara d-dimer dengan domain working memory (BDS) dengan p value sebesar 0,012 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,369.

Pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 19 subjek (47,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 2 subjek (5,0%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin

67 meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-A didapatkan hasil pemeriksaan TMT-A normal sebanyak 9 subjek (22,5%) dan TMT-A abnormal sebanyak 10 subjek (25,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara serum feritin dengan domain fungsi eksekutif (TMT-A) dengan p value sebesar 0,003 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi sedang dengan nilai r=0,425.

Tabel 4.5 Hubungan antara Serum Feritin dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

uji korelasi dengan contingency coefficient test

Pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin normal dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 18 subjek (45,0%) dan TMT-B abnormal sebanyak 3 subjek (7,5%), sedangkan pada subjek penelitian yang memiliki serum feritin meningkat dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan TMT-B didapatkan hasil pemeriksaan TMT-B normal sebanyak 9 subjek (22,5%) dan TMT-B abnormal sebanyak 10 subjek (25,0%). Berdasarkan uji korelasi dengan

68 contingency coefficient test terhadap 40 sampel penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara serum feritin dengan domain fungsi eksekutif (TMT-B) dengan p value sebesar 0,010 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,378. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.5 di atas.

4.2. Pembahasan

Penelitian ini bersifat analitik korelatif dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional) tanpa perlakuan pada sumber data primer yang diperoleh secara konsekutif dari semua pasien Covid-19 yang dirawat di ruang isolasi RSUP H. Adam Malik Medan. Penentuan gangguan fungsi kognitif pada subjek penelitian menggunakan tools pemeriksaan fungsi kognitif berupa FDS, BDS, TMT-A, dan TMT-B. Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40 pasien Covid-19 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

4.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan usia termuda adalah 19 tahun dan usia tertua adalah 65 tahun. Jenis kelamin subjek penelitian terbanyak adalah perempuan dengan 27 subjek (67,5%). Berdasarkan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pembagian kategori usia penderita Covid-19 adalah rentang 18-29 tahun yang dijadikan grup referensi karena pada rentang usia ini terdapat kumulatif jumlah kasus Covid-19 terbesar dibandingkan grup rentang usia lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase usia penderita Covid-19 terbanyak adalah pada rentang usia 50-64 tahun. Hasil penelitian ini sesuai berdasarkan data dari CDC yang menunjukkan bahwa group rentang usia 50-64 tahun dibandingkan dengan grup rentang usia 18-29 tahun memiliki jumlah pasien Covid-19 empat kali lebih tinggi.78 Ada korelasi antara usia dan kekebalan alami yang disimpulkan

69 bahwa pada orang yang lebih tua sangat rentan untuk terkena infeksi karena imunitas alami menurun secara bertahap pada usia yang lebih tua.Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Biwas dkk. pada tahun 2020, yang melaporkan penelitian mereka mengenai faktor risiko menunjukkan bahwa pasien pria dengan Covid-19 dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian yang signifikan sebesar 1,86 kali dibandingkan dengan pasien wanita dengan koefisien interval 1,67-2,07 dengan p<0,00001. Menariknya, jika dibandingkan dengan faktor risiko jenis kelamin yang positif SARS-CoV-2, ditemukan bahwa pasien laki-laki dikaitkan dengan hanya 28% peningkatan risiko infeksi dikonfirmasi oleh pandemik SARS-CoV-2 secara signifikan dibandingkan pasien wanita sebesar 1,28 kali dengan koefisien interval 1,11-1,47 dengan p=0,0006.79

Rasio neutrofil limfosit dihitung dengan cara membagikan nilai neutrofil absolut dengan nilai limfosit absolut. Pada penelitian ini hasil ukur RNL ≤ 2,4 adalah normal dan dikatakan meningkat bila RNL > 2,4.31 Pada penelitian ini didapatkan nilai minimal RNL 1,4 dan nilai maksimal RNL 9,3. Menurut Nalbant dkk. pada tahun 2020, didapatkan hasil RNL dan demam ditemukan menjadi tinggi pada kasus Covid-19. Tidak ada perbedaan peningkatan nilai RNL pada perbedaan usia dan jenis kelamin.8 Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau terjadi kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh infeksi maupun yang bukan infeksi, kadar CRP meningkat sampai 100 kali atau lebih.39 Pada penelitian ini hasil ukur CRP senilai 0-10,90 mg/L dikatakan normal dan meningkat bila CRP 10,90 mg/L.77 Pada penelitian ini didapatkan nilai minimal CRP 1,4 mg/L dan nilai maksimal CRP 17,2 mg/L. Suatu penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa peningkatan serum CRP, procalcitonin (PCT), D-dimer, dan kadar serum feritin dikaitkan dengan

70 peningkatan perburukan prognosis dan mortalitas dari Covid-19 yang parah, ARDS, serta pasien Covid-19 dengan kebutuhan perawatan ICU. Selain itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa kadar CRP juga dapat digunakan dalam memantau progresivitas dan perbaikan pasien Covid-19.9 D-dimer merupakan produk degenerasi fibrin yang berguna untuk mengetahui abnormalitas pembentukan bekuan darah atau kejadian trombotik dan untuk menilai adanya pemecahan bekuan atau proses fibrinolitik.47 Pada penelitian ini hasil ukur D-dimer senilai 0-240 ng/ml dikatakan normal dan meningkat bila D-dimer senilai >240 ng/ml.77 Pada penelitian ini didapatkan nilai minimal D-dimer 126 ng/ml dan nilai maksimal D-dimer 1600 ng/ml. Pada penelitian ini hasil ukur serum feritin senilai 23,9-336,2 ng/ml dikatakan normal dan meningkat bila serum feritin senilai >336,2 ng/ml.77 Pada penelitian ini didapatkan nilai minimal serum feritin 17,3 ng/ml dan nilai maksimal serum feritin 1789 ng/ml. Menurut Qeadan dkk. pada tahun 2021, di antara pasien dengan nilai serum feritin dan D-dimer awal yang rendah, tetapi kemudian nilai serum feritin dan D-dimer yang diperiksa beberapa hari berikutnya meningkat, ada kemungkinan tinggi untuk berkembang menjadi sindrom badai sitokin, membutuhkan ventilasi invasif, atau mengalami kematian di rumah sakit. Namun, pasien dengan kadar serum feritin dan D-dimer pada saat awal pemeriksaan yang tinggi, dan saat diperiksa beberapa hari berikutnya didapatkan nilai yang stabil atau menurun, memiliki kemungkinan rendah untuk berkembang menjadi sindrom badai sitokin, membutuhkan ventilasi, atau mengalami kematian. Hal ini mungkin menunjukkan mekanisme umpan balik biologis dan fisiologis yang berbeda selama infeksi SARS-CoV-2 di antara kelompok pasien tertentu yang rentan, karena faktor

71 kerentanan genetik dapat berkontribusi pada perubahan kondisi pasien menuju sindrom badai sitokin.80

4.2.2 Hubungan antara Rasio Neutrofil Limfosit dengan Fungsi Kognitif pada Penderita Covid-19

Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain atensi (FDS) dengan p value sebesar 0,012 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,369. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain working memory (BDS) dengan p value sebesar 0,016 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,356. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain fungsi eksekutif (TMT-A) dengan p value sebesar 0,033 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,320. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil limfosit dengan domain fungsi eksekutif (TMT-B) dengan p value sebesar 0,020 (p<0,05) mempunyai arah korelasi yang positif dan kekuatan korelasi lemah dengan nilai r=0,345.

Berdasarkan penelitian, rasio RNL berkaitan dengan respon imun bawaan dan inflamasi dapat membantu dalam membedakan pasien Covid-19 yang kasus berat dan kasus tidak berat.35 Seyit, dkk. pada tahun 2020, juga mendapatkan hasil penelitian yaitu kadar CRP, LDH, RPL, dan RNL tetap lebih tinggi secara signifikan pada pasien terkonfirmasi positif Covid-19, sementara kadar eosinofil, limfosit, dan trombosit meningkat secara signifikan pada pasien negatif Covid-19.36

72 Menurut penelitian Daroische dkk. pada tahun 2021, berdasarkan bukti yang dilaporkan, tampaknya pasien dalam berbagai derajat Covid-19, menderita gangguan kognitif jangka pendek setelah infeksi Covid-19. Dibandingkan dengan kontrol yang sehat, semua studi yang disertakan melaporkan bahwa persentase yang lebih tinggi dari pasien memiliki gangguan kognitif global. Berkenaan dengan domain kognitif tertentu, terutama fungsi atensi dan eksekutif tampaknya rentan terhadap gangguan. Para peneliti menemukan bahwa infeksi Covid-19 dapat menyebabkan gangguan kognitif, dan gangguan tersebut kemungkinan akan mempengaruhi beberapa domain kognitif. Menurut Rogers dkk. pada tahun 2020, meskipun sedikit data penelitian dilaporkan dari infeksi SARS-CoV atau Mers CoV terkait gangguan fungsi kognitif, ditemukan bahwa meskipun sepertiga pasien mengalami kesulitan kognitif pada fase awal, hanya seperlima pasien yang mengalami kesulitan kognitif gangguan kognitif pada tahap selanjutnya. Sementara itu, menurut De Lorenzo dkk. pada tahun 2020, hal ini sesuai dengan seperempat pasien Covid-19 menunjukkan gangguan kognitif setelah keluar. Menurut Del Brutto dkk. pada tahun 2021 yang mempelajari pasien sekitar enam bulan setelah dimulainya pandemi SARS-CoV-2 menemukan fungsi kognitif yang lebih rendah pada 21% pasien dengan infeksi ringan. Ini mungkin menunjukkan bahwa pasien dengan Covid-19 mungkin mengalami gangguan kognitif jangka panjang setelah infeksi. Del Brutto dkk. secara kebetulan memiliki, penilaian kognitif pra-pandemi, membuat mereka dapat memiliki desain pra-pasca. Mereka menemukan penurunan skor MoCA antara pra dan pasca-pandemi yang dua kali lebih besar dari dua penilaian MoCA pra-pandemi, pada individu dengan infeksi simtomatik ringan. Di sisi lain, Del Brutto dkk. menemukan bahwa orang dengan infeksi SARS-CoV-2

73 bergejala ringan bahkan tanpa penyakit parah selama penyakit akut memiliki kemungkinan 18 kali mengalami gangguan kognitif, dibandingkan individu tanpa infeksi yang ditunjukkan secara serologis.81

Mekanisme bagaimana peradangan sistemik dan peningkatan NLR mengakibatkan disfungsi kognitif masih belum jelas. Peradangan meningkatkan beban aterosklerotik dan menurunkan stabilitas plak, yang dapat menyebabkan peningkatan mikroemboli ke otak. Selanjutnya, peradangan meningkatkan kerentanan terhadap cedera saraf.83 Belum banyak penelitian mengenai hubungan RNL dengan gangguan fungsi kognitif, namun seperti yang kita tahu pada penyakit Alzheimer terdapat gangguan fungsi kognitif. Menurut Kuyumcu dkk. pada tahun 2012, ditemukan bahwa orang tua dengan penyakit Alzheimer memiliki RNL lebih tinggi daripada kontrol dengan fungsi kognitif normal. Sejauh pengetahuan kami, ini adalah studi pertama yang menyelidiki tingkat RNL pada penyakit Alzheimer.

Karena peningkatan kadar RNL biasanya dianggap sebagai penanda inflamasi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inflamasi berperan dalam patogenesis penyakit Alzheimer. Studi prospektif lebih lanjut diperlukan untuk membangun hubungan

Karena peningkatan kadar RNL biasanya dianggap sebagai penanda inflamasi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inflamasi berperan dalam patogenesis penyakit Alzheimer. Studi prospektif lebih lanjut diperlukan untuk membangun hubungan