• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Covid-19

2.1.4 Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 belum diketahui seutuhnya, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak diketahui.6,17 Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel inangnya. Virus tidak bisa hidup tanpa sel inang. Penempelan dan masuknya virus ke sel inang diperantarai oleh protein spike yang ada dipermukaan virus. Protein spike virus berikatan dengan reseptor di sel inang yaitu ACE2. Angiotensin converting enzyme (ACE2) dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, otak, ginjal, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari ribonucleic acid (RNA) genom virus.

Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus.25,26

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh

13 beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari. Studi pada SARS menunjukkan virus bereplikasi di saluran napas bawah diikuti dengan respons sistem imun bawaan dan spesifik.26

Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV (lihat gambar 2.3.). Efek sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2.

Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan.17 Pada tahap pertama terjadi kerusakan difus alveolar, makrofag dan infilrasi sel T dan proliferasi pneumosit tipe 2. Pada rontgen toraks di tahap awal infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti bercak-bercak. Pada tahap kedua, organisasi terjadi sehingga terjadi perubahan infiltrat atau konsolidasi luas di paru.26

Gambar 2.3. Masuknya SARS-CoV-2 dan mekanisme infeksi.

14 Keterangan: a-d, SARS-CoV-2 diinternalisasi oleh sel melalui (i) fusi membran atau (ii) endositosis. SARS-CoV-2 spike terikat pada angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) melalui receptor binding domain (RBD) dan selanjutnya melepaskan RNA (b), yang akan diproses menjadi protein virus (c, d). e-h, Protein ini akan membentuk replikasi kompleks untuk membuat RNA tambahan (e) yang selanjutnya akan berkumpul dengan protein virus menjadi virus baru (f), yang akan dilepaskan (g, h). Transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2) merupakan protease yang terbukti mempengaruhi masuknya virus, meskipun knockout tidak menghambat infeksi sel oleh SARS-CoV-2.

Dikutip dari: Florindo, H. F., Kleiner, R., Vaskovich-Koubi, D., Acurcio, R.

C., Carreira, B., Yeini, E. et al. Immune-mediated Approach Against COVID-19. Nature Nanotechnology. 2020; 15(8): 630-45.

Proses imunologik dari host belum banyak diketahui. Dari data kasus yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Sejauh ini dari penelitian ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta (IL-1β), interferon-gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10) dan monocyte chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan mengaktifkan T-helper-1 (Th1).6 2.1.5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis Covid-19 beragam, mulai dari keadaan asimptomatik sampai sindrom gangguan pernapasan akut dan disfungsi multiorgan. Gambaran klinis yang umum termasuk demam, batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, nyeri kepala, mialgia dan sesak napas.24 Beberapa pasien memiliki gejala gastrointestinal termasuk anoreksia, mual dan diare.

Baru-baru ini, anosmia, hiposmia dan dysgeusia juga telah ditemukan sebagai karakteristik utama selama fase awal Covid-19. Anosmia dan ageusia telah dilaporkan hingga 68% pasien dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria.Gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam dan batuk kering,

15 bersamaan dengan sesak napas.2,7 Waktu rata-rata dari timbulnya gejala sampai dispnea adalah lima hari, rawat inap tujuh hari dan ARDS delapan hari. Pemulihan dimulai pada minggu kedua atau ketiga.24 Durasi rata-rata rawat inap di rumah sakit pada seseorang yang pulih sekitar 10 hari. Sekitar 5-10% pasien memerlukan perawatan ke ICU dan ventilasi mekanis.2

Outcome yang buruk dan kematian lebih sering terjadi pada orang tua dan orang-orang dengan komorbiditas yang mendasari (50-75% dari kasus fatal).Komplikasi yang terlihat termasuk cedera paru akut, ARDS, syok dan cedera ginjal akut.24 Biasanya, komplikasi muncul sekitar hari ke 10-12 setelah gejala awal, sering kali terkait dengan pemicu kaskade inflamasi yang mengarah ke ”badai sitokin”.2 Faktor risiko komplikasi Covid-19 termasuk usia yang lebih tua, penyakit kardiovaskular, penyakit paru-paru kronis, diabetes dan obesitas. Tidak jelas apakah kondisi lain (misalnya, infeksi human immunodeficiency virus yang tidak terkontrol atau penggunaan obat-obatan imunosupresi) dapat meningkatkan resiko komplikasi, tetapi karena kondisi ini mungkin terkait dengan hasil yang lebih buruk setelah terinfeksi patogen pernapasan lain, diperlukan pemantauan ketat terhadap pasien Covid-19 yang memiliki kondisi ini.

Meskipun SARS-CoV-2 telah diamati terutama mempengaruhi sistem pernapasan, keterlibatan neurologis telah dilaporkan dalam beberapa ilmiah yang diterbitkan. Beberapa buletin berita medis, blogs dan artikel di seluruh dunia juga telah mengemukakan keprihatinan tentang invasi ke otak oleh jenis coronavirus tertentu ini.27 Saat pandemi Covid-19 berkembang, dilaporkan manifestasi neurologis meningkat; hingga saat ini, 901 pasien

16 telah dilaporkan. Manifestasi ini dapat dianggap sebagai efek langsung virus pada sistem saraf, penyakit yang dimediasi oleh pra-infeksi atau pasca-infeksi, dan komplikasi neurologis dari efek sistemik Covid-19.22 Manifestasi neurologis dari infeksi virus yang dilaporkan sejauh ini dapat dibagi menjadi gejala sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Gambaran SSP termasuk nyeri kepala, pusing, ataksia, perubahan kesadaran, ensefalitis, stroke dan kejang, sedangkan gejala sistem saraf perifer sebagian besar mengacu pada cedera muskuloskeletal dan keterlibatan saraf tepi dalam bentuk hiposmia dan hipogeusia. Nyeri kepala bisa menjadi gejala infeksi virus dan tetap berhubungan dengan demam. Penelitian telah melaporkan kejadian nyeri kepala berkisar 6-13% pada kasus Covid-19. Namun, kekhawatiran telah dikemukakan dalam korespondensi baru-baru ini jika gejala khusus ini merupakan manifestasi dari meningitis virus atau ensefalitis virus seperti drowsiness dan kejang.27

Parameter tes darah yang umum termasuk limfositopenia, peningkatan interleukin-6 (IL-6), CRP, LDH, D-dimer, feritin, transaminase, high sensitivity troponin, dan N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-pro-BNP). Sedangkan kadar prokalsitonin biasanya sangat rendah, hasil ini yang membantu membedakan Covid-19 dari infeksi bakteri akut. Perlu dicatat bahwa parameter ini berkembang secara dinamis selama perjalanan penyakit: misalnya, jumlah sel darah putih sering berkembang dari jumlah total normal dengan limfositopenia menjadi leukopenia pada kasus yang parah. Selain itu, rasio neutrofil-limfosit tampaknya terkait dengan keparahan penyakit.2

17 2.1.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien infeksi Covid-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi Covid-19 disertai gejala klinis dan komorbid. Gejala klinis bervariasi tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama adalah demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri abdomen. Gejala yang paling sering ditemui hingga saat ini adalah demam (98%), batuk dan mialgia.6

Kasus suspek didefinisikan sebagai kasus dengan demam, sakit tenggorokan dan batuk yang memiliki riwayat perjalanan ke China atau daerah lain transmisi lokal persisten atau kontak dengan pasien dengan riwayat perjalanan serupa atau individu dengan Covid-19 yang dikonfirmasi infeksi. Namun kasus mungkin asimtomatik atau bahkan tanpa demam. Kasus yang dikonfirmasi adalah kasus suspek dengan uji molekul positif.24 Pengujian diagnostik untuk mengidentifikasi saat individu terinfeksi SARS-CoV-2 biasanya melibatkan pendeteksian asam nukleat SARS-SARS-CoV-2 melalui uji PCR. Tepat sebelum dan segera setelah timbulnya gejala, sensitivitas tes PCR pada swab nasofaring tinggi. Jika tes negatif pada individu yang diduga menderita Covid-19, maka pemeriksaan ulang disarankan. Spesifisitas sebagian besar pengujian SARS-CoV-2 PCR hampir 100% selama tidak terjadi kontaminasi pemprosesan spesimen.7

18 Pemeriksaan laboratorium lainnya biasanya tidak spesifik. Jumlah sel darah putih biasanya normal atau rendah. Limfopenia; jumlah limfosit

<1000 telah dikaitkan dengan penyakit yang parah. Jumlah trombosit biasanya normal atau agak rendah. C-reactive protein (CRP) dan erythrocyte sedimentation rate (ESR) umumnya meningkat tetapi kadar prokalsitonin biasanya normal. Kadar prokalsitonin tinggi kemungkinan menunjukkan koinfeksi bakteri. Alanin transaminase / Aspartat transaminase (ALT/ AST), waktu protrombin, kreatinin, D-dimer dan lactate dehydrogenase (LDH) mungkin menjadi tinggi dan kadar yang tinggi dikaitkan dengan penyakit yang parah.24 Gambaran foto toraks pneumonia yang disebabkan oleh infeksi Covid-19 mulai dari normal hingga ground glass opacity, konsolidasi. CT scan thoraks dapat dilakukan untuk melihat lebih detail kelainan, seperti gambaran ground glass opacity, konsolidasi, efusi pleura dan gambaran pneumonia lainnya. Diagnosis pasti atau kasus terkonfirmasi ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan ekstraksi RNA virus SARS-CoV-2. Corona virus disease (Covid-19) menggunakan RT-PCR untuk mengekstraksi dua gen SARS-CoV-2.6

2.1.7. Penatalaksanaan

Saat ini belum tersedia rekomendasi tatalaksana khusus pasien Covid-19, termasuk antivirus. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah terapi simptomatik dan oksigen. Pastikan paten jalan napas sebelum memberikan oksigen. Indikasi oksigen adalah distress pernapasan atau syok dengan desaturasi, target kadar saturasi oksigen >94%. Oksigen dimulai dari lima liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai

19 target. Pada kondisi kritis, boleh langsung digunakan nonrebreathing mask.

Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi mekanik.17 Pengobatan Covid-19 tergantung pada stadium dan derajat keparahan penyakit. Karena replikasi SARS-CoV-2 paling besar sebelum atau segera setelah onset gejala, obat antivirus (misalnya, remdesivir dan pengobatan berbasis antibodi) kemungkinan paling efektif bila digunakan lebih awal.Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang telah digunakan secara luas untuk virus RNA, termasuk MERS/SARS-CoV, penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat menginhibisi infeksi virus secara efektif.18 Ketika dengan keadaan hiperinflamasi dan koagulopati dianggap menyebabkan komplikasi klinis;

dalam tahap ini, obat antiinflamasi, imunomodulator, antikoagulan, atau kombinasi merupakan pengobatan yang mungkin lebih efektif daripada agen antivirus. Tidak ada pengobatan yang direkomendasikan untuk Covid-19, tetapi beberapa obat terbukti bermanfaat.7

2.2 Rasio Neutrofil Limfosit 2.2.1. Definisi

Rasio neutrofil limfosit (RNL) merupakan parameter sederhana yang dapat digunakan untuk menilai status inflamasi dari seseorang. Rasio neutrofil limfosit dihitung dengan cara membagikan nilai neutrofil absolut dengan nilai limfosit absolut. Rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai pengukur risiko mortalitas seseorang pada penyakit jantung, sebagai faktor prognosis pada beberapa tipe kanker, atau sebagai prediktor dan sebuah penanda dari infeksi patologis dan komplikasi setelah operasi.28,29 Rasio neutrofil limfosit adalah rasio jumlah neutrofil absolut dengan jumlah limfosit

20 absolut dan digunakan sebagai salah satu penanda inflamasi yang cepat, sederhana, hemat biaya dan marker proses inflamasi yang indikatif dari tubuh manusia yang dapat diperoleh pada analisis hitung darah lengkap.30 Namun sampai saat ini, nilai cut-off optimal untuk RNL belum didefinisikan dengan nilai cut-off varibel yang digunakan antara studi.31 Neutrofil terdapat pada darah manusia dengan persentase kisaran antara 20% dan 70%, memiliki ukuran sekitar 10-12 mikron dengan karakteristik nukleus berbentuk bulan dan rendah sitoplasma.32 Neutrofil merupakan leukosit pertama yang menjangkau daerah inflamasi dan mengawali pertahanan host melawan patogen serta neutrofil diketahui berperan mayor selama proses inflamasi akut.28,33

2.2.2. Rasio Neutrofil Limfosit pada Pasien Covid-19

Penghitungan sel darah putih, rasio neutrofil limfosit (RNL), dan rasio platelet limfosit (RPL) adalah marker untuk inflamasi sistemik. Marker-marker ini berguna sebagai prediktor untuk prognosis dan follow up pada pasien dengan pneumonia viral. RNL adalah indikator yang sangat berguna, cepat, dan ekonomis. Dari penelitian ini didapatkan RNL dan demam ditemukan menjadi tinggi pada kasus Covid-19. Tidak ada perbedaan peningkatan nilai RNL pada perbedaan usia dan jenis kelamin.8 Penelitian menunjukkan bahwa parameter limfosit cell population data (CPD) memiliki potensial diagnostik untuk infeksi SARS-CoV-2 dan dapat digunakan untuk diagnosis awal dari penyakit Covid-19.34 Rasio neutrofil limfosit (RNL) dapat digunakan sebagai tanda peringatan awal untuk infeksi Covid-19 berat yang memburuk dan dapat menyediakan sebuah dasar objektif untuk deteksi

21 awal dan menajemen pneumonia berat akibat Covid-19.35 Berdasarkan penelitian, rasio RNL berkaitan dengan respon imun bawaan dan inflamasi dapat membantu dalam membedakan pasien Covid-19 yang kasus berat dan kasus tidak berat.36 Seyit, dkk. pada tahun 2020, juga mendapatkan hasil penelitian yaitu kadar CRP, LDH, RPL, dan RNL tetap lebih tinggi secara signifikan pada pasien terkonfirmasi positif Covid-19, sementara kadar eosinofil, limfosit, dan trombosit meningkat secara signifikan pada pasien negatif Covid-19.37 Respon imun bawaan digambarkan dengan sebuah aliran masuk neutrofil di paru-paru, terutama di alveoli. Pelepasan sitokin antiinflamasi yang berkelanjutan dapat menyebabkan apoptosis limfosit yang meluas, mengakibatkan limfopenia.38 Rasio neutrofil limfosit (RNL) memiliki nilai prediksi yang baik pada keparahan penyakit dan mortalitas pasien Covid-19. Mengevaluasi RNL dapat membantu klinisi mengidentifikasi kasus potensial gawat secara lebih dini, dalam memilah pasien saat awal masuk dan menginisiasi manajemen efektif dalam segi waktu, yang mungkin dapat mengurangi mortalitas secara keseluruhan dari Covid-19.39

2.3 C-Reactive Protein 2.3.1. Definisi

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik dan juga terdapat dalam serum normal dalam jumlah yang sangat sedikit (1ng/L). Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau terjadi kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh infeksi maupun yang bukan

22 infeksi, kadar CRP meningkat sampai 100 kali atau lebih.40

C-Reactive Protein pertama kali dipaparkan oleh Willem Tiller dan Thomas Francis di Institut Rockefeller pada tahun 1930. Mereka mengekstrasi protein dari serum pasien yang menderita Pneumonia Pneumococcus yang akan membentuk presipitasi dengan C-Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus. Karena reaksi antara protein dan polisakarida menyebabkan presipitasi maka protein ini diberi nama C-reactive protein.40,41 2.3.2. Struktur dan Sintesis C-Reactive Protein

C-reactive protein (CRP) merupakan protein fase akut pentamer, suatu protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk berbentuk cakram dengan berat molekul 110-140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.42

C-reactive protein merupakan marker inflamasi sistemik non spesifik terutama dihasilkan oleh hepatosit di bawah pengaruh sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNFα). C-reactive protein terdapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi, dan kerusakan jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami disosiasi dan dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan adiposa dan makrofag.42

23 2.3.3. C-Reactive Protein pada Pasien Covid-19

C-reative protein (CRP) adalah penanda diagnostik yang banyak digunakan terutama untuk menilai inflamasi yang sedang berlangsung. C-reative protein (CRP) adalah protein kunci dari respon fase akut, muncul dalam darah 6-10 jam setelah adanya kerusakan jaringan, memiliki waktu paruh plasma 19 jam, dan diproduksi tanpa respon memori. Meskipun kemunculannya dalam darah dikaitkan dengan respon inflamasi yang sedang berlangsung, CRP tidak selektif terakumulasi ke dalam jaringan atau organ apa pun pada pasien yang sedang mengalami inflamasi.43 Suatu penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa peningkatan serum CRP, procalcitonin (PCT), D-dimer, dan kadar serum feritin dikaitkan dengan peningkatan perburukan prognosis dan mortalitas dari Covid-19 yang parah, ARDS, serta pasien Covid-19 dengan kebutuhan perawatan ICU. Hasil estimasi ini tidak secara signifikan dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, penyakit kardiovaskular, diabetes dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). C-reative protein (CRP) adalah protein inflamasi fase akut yang diproduksi oleh hati yang dapat meningkat dalam beberapa kondisi, seperti inflamasi, penyakit kardiovaskular, dan infeksi. Dari penelitian ini didapatkan bahwa peningkatan nilai CRP berkaitan dengan Covid-19 berat, kebutuhan perawatan ICU, namun tidak berkaitan dengan angka mortalitas.

Terlepas dari memprediksi outcome yang buruk pada pasien Covid-19, perlu diketahui bahwa berbagai faktor dapat mempengaruhi kadar CRP yaitu usia, jenis kelamin, status merokok, berat badan, kadar lipid, tekanan darah, serta cedera hati. Selain itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa kadar CRP juga

24 dapat digunakan dalam memantau progresivitas dan perbaikan pasien Covid-19.9 Menurut Ahnach, dkk. tahun 2020, dari penelitian ditemukan bahwa nilai CRP saat pasien masuk menggambarkan sebuah faktor yang simpel dan independen yang dapat berguna untuk deteksi dini dari keparahan selama Covid-19 dan petunjuk awal untuk perawatan primer.44 Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa nilai median CRP berkorelasi dengan tingkat keparahan Covid-19 dan merupakan prediktor kematian yang independen.

Lebih lanjut, hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa peningkatan CRP selama tujuh hari pertama rawat inap dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi perkembangan penyakit dan menetukan kebutuhan untuk transfer ICU lebih awal.45 Pasien Covid-19 dengan kadar prokalsitonin, CRP, D-dimer, dan LDH yang tinggi dan kadar serum albumin yang rendah harus dipantau secara ketat untuk meminimalkan risiko perkembangan penyakit yang parah.46

2.4 D-dimer 2.4.1. Definisi

D-dimer adalah produk degradasi cross-linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik.

Sejak tahun 1990, tes D-dimer digunakan untuk pemeriksaan trombosis.

Konsentrasi D-dimer plasma dapat mewakili indikasi fibrinolisis. Suatu hasil tes yang menunjukkan kadar D-dimer di bawah nilai rujukan dapat mengesampingkan kecurigaan adanya trombus, namun pada hasil yang menunjukkan keadaan D-dimer di atas nilai rujukan dapat menandai adanya trombus namun tidak dapat menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan

25 etiologi-etiologi potensial lain.47

D-dimer merupakan produk degenerasi fibrin yang berguna untuk mengetahui abnormalitas pembentukan bekuan darah atau kejadian trombotik dan untuk menilai adanya pemecahan bekuan atau proses fibrinolitik.48

Fibrinolisis adalah proses aktivitas enzim hidrolitik plasmin untuk mencerna fibrin dan fibrinogen yang secara progresif mereduksi bekuan (trombus).49 Plasmin menyebabkan degradasi fibrin, meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut.49,50 Fibrin degradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D, dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer.50

2.4.2. D-dimer pada Pasien Covid-19

Penelitian ini juga menemukan bahwa peningkatan D-dimer berkaitan dengan peningkatan outcome yang buruk, terutama mortalitas dan Covid-19 yang berat. Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa infeksi SARS-CoV-2 dapat menyebabkan disfungsi pada sistem hemostatik, yang dapat menyebabkan status hiperkoagulasi, suatu kondisi yang secara umum dapat menyebabkan sepsis. Namun, etiologi peningkatan serum D-dimer adalah multifaktorial dan nilai optimal dari peningkatan D-dimer pada pasien dengan Covid-19 masih harus ditetapkan.9

Kadar D-dimer pada pasien dengan Covid-19 berkorelasi dengan outcome, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat seberapa berguna D-dimer dalam menentukan prognosis.51 Menurut Yao, dkk. pada tahun 2020, dari penelitian mereka menyimpulkan kadar D-dimer biasanya meningkat pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2. D-dimer dengan nilai

26 yang signifikan tinggi ditemukan pada pasien Covid-19 yang kritis dan kemungkinan dapat digunakan sebagai marker prognostik untuk mortalitas pasien Covid-19 yang dirawat inap.52 Dari suatu penelitian juga didapatkan bahwa D-dimer dengan nilai abnormal sering diamati saat pasien Covid-19 saat masuk dan dikaitkan dengan penyakit kritis, trombotik, gagal ginjal akut, dan angka mortalitas yang lebih tinggi. Penatalaksanaan optimal pada pasien Covid-19 dengan peningkatan D-dimer membutuhkan penelitian lebih lanjut.53

2.5 Serum Feritin 2.5.1. Definisi

Feritin adalah sebuah protein penyimpanan zat besi utama yang penting untuk homeostasis besi dan terlibat dalam berbagai proses fisiologis dan patologis. Feritin digunakan sebagai sebuah marker serum dari total zat besi yang tersimpan. Serum feritin memiliki peranan penting pada diagnosis dan manajemen pada kasus kekurangan atau kelebihan zat besi. Peningkatan serum feritin dan jaringan berkaitan dengan penyakit arteri koroner, keganasan, dan prognosis buruk setelah transplantasi stem sel. Feritin secara langsung terlibat dalam penyakit-penyakit yang kurang umum tetapi berpotensi merusak yaitu anemia sideroblastik, penyakit neurodegeneratif, dan sindrom hemofagositik.54

Zat besi bebas merupakan toksik terhadap sel, dan tubuh akan menjaga sel-sel. Organisme akan menguraikan beberapa mekanisme pertahanan untuk mengikat zat besi pada beberapa bagian jaringan. Sehingga, zat besi disimpan dalam kompleks untuk protein sebagai feritin atau

27 hemosiderin. Feritin adalah protein globular kompleks, terakumulasi dalam sel-sel sistem retikuloendotelial, ginjal dan semua sel, terutama dalam sintesis kompos dengan besi (prekursor eritroid) dan dalam cadangan besi dan metabolisme (makrofag dan hepatosit). Bentuk bebasnya adalah apoferitin, ketika feritin tidak ada hubungannya dengan elemen zat besi. Feritin adalah sebuah molekul mikro dengan berat molekul 600.000 dalton dan dibuat dalam

27 hemosiderin. Feritin adalah protein globular kompleks, terakumulasi dalam sel-sel sistem retikuloendotelial, ginjal dan semua sel, terutama dalam sintesis kompos dengan besi (prekursor eritroid) dan dalam cadangan besi dan metabolisme (makrofag dan hepatosit). Bentuk bebasnya adalah apoferitin, ketika feritin tidak ada hubungannya dengan elemen zat besi. Feritin adalah sebuah molekul mikro dengan berat molekul 600.000 dalton dan dibuat dalam