• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tafsir di Indonesia

B. Bangsa Indonesia dan Dialektika Tafsir al-Qur’ān

3. Karakteristik Tafsir di Indonesia

109

Muhammadiyah Malang yang menulis karya Ensiklopedi al-Qur’ān, Agus Mustofa seorang ilmuan yang menghasilkan karya tafsir dalam serial diskusi tasawwufnya dengan tema bermacam-macam mulai dari Ternyata Akherat Tidak

Kekal hingga Ternyata Adam Tak Diusir Dari Surga, dan Musta’in Syafi’i dalam

karyanya Tafsir Bahasa Koran.

3. Karakteristik Tafsir di Indonesia

Corak tafsir di Indonesia terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakat. Sejak masuknya Islam di Indonesia, kajian al-Qur’ān selalu merujuk pada model pemahaman yang diterapkan oleh ulama abad pertama Islam, karena Islam datang ke Indonesia dibawa oleh saudagar-saudagar Islam yang berdagang sambil menyiarkan Islam. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk mengkaji tafsir al-Qur’ān. Kajian tafsir ini tidak hanya merujuk pada ulama abad pertengahan saja, namun juga mengacu pada karya ulama modern, sehingga memunculkan karakteristik unik yang menjadi ciri khas tafsir di Indonesia.

a. Bentuk Tafsir Indonesia

Rujukan yang dipergunakan mufasir Indonesia dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān merujuk pada rujukan yang dipakai juga oleh mufasir-mufasir yang berada di pusat-pusat Islam, yaitu tafsīr bi al-ma’thūr (tafsir yang disandarkan pada keterangan Nabi, sahabat, dan tābi‘īn) dan tafsīr bi ra’y (penafsiran al-Qur’ān yang menggunakan kaidah bahasa sebagai patokan dengan mempertajam

110

akal dalam tafsirannya dan tidak memprioritaskan riwayat dari Nabi, sahabat, dan

tābi‘īn.

Tafsir di Indonesia yang berbentuk tafsīr bi al-ma’thūr tampak pada karya Jalaluddin Rahmat yang berjudul Tafsir bi al-Ma’thur: Pesan Moral al-Qur’ān yang merujuk pada Tafsīr al-Durr al-Manthūr karya Jalāl al-Dīnal-Suyut}ī (1445-1505 M). Cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa tafsīr bi al-ma’thūr tidak banyak diminati oleh para penulis tafsir di Indonesia. Fenomena ini nampaknya semakin mengukuhkan pernyataan Mannā‘ Khalīl al-Qat}t}ān (1925-1999 M) yang mengatakan bahwa tafsīr bi al-ra’y mengalahkan kepopuleran

tafsīr bi al-ma’thūr.134 Hal ini dapat dipahami bahwa akal yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia memiliki keistimewaan yang selalu muncul dan berkembang sesuai perkembangan zaman. Tentunya hal dapat dicapai secara sempurna jika tidak berlawanan dengan syariat yang telah ditentukan.

Tafsīr bi al-ra’y ini ada yang terpuji (mah}mūd) dan ada yang tercela (maz}mūm). Tafsīr bi al-ra’y yang tepuji adalah yang mengkombinasikan antara kaidah bahasa dan syariat, seperti Tafsir al-Azhar, Tafsir al-Misbah, Al-Qur’an

dan Tafsirnya, dan lain-lain. Sedangkan yang tercela adalah tafsir yang

semata-mata menggunakan akal dan menyimpang dari kaidah syariat dan kaidah bahasa Arab.

b. Metode Tafsir Indonesia

Dilihat dari segi metode, tafsir-tafsir al-Qur’ān yang muncul di Indonesia menggunakan tiga metode dari empat metode yang diperkenalkan ‘Abd al-H{ayy

111

al-Farmāwī, yaitu metode ijmālī, tah}līlī, dan mawd}ū‘ī. Untuk metode muqārin,

penulis belum mendapatkan data yang kongkrit, siapa yang memakai metode ini dalam menafsirkan al-Qur’ān. Namun demikian, Nashruddin Baidan mengungkap lengkap akan metode muqārin beserta aplikasinya terhadap ayat-ayat yang beredaksi mirip dalam karyanya Metode Penafsiran al-Qur’ān: Kajian Kritis

terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (2002).

Penerapan metode ijmālī dalam menafsirkan makna ayat-ayat al-Qur’ān, misalnya tampak pada Tafsir Qur’an Karim (1922) karya Mahmud Yunus (1899-1982 M), Tafsir Rahmat (1981) karya Oemar Bakry, Tafsir al-Bayan (1966) karya Hasby As Shiddieqy (1904-1975 M), al-Ibrīz (1950) karya Bisri Mustofa (1915-1977 M), dan lainnya. Untuk tafsir Indonesia yang menerapkan metode tah}līlī, misalnya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang terdiri dari 30 volume sesuai jumlah juz yang ada dalam al-Qur’ān, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur'an (2003) karya M. Quraish Shihab yang terdiri dari 15 volume, dan Al-Qur’an dan Tafsirnya (1967) karya sekelompok ulama yang kompeten terhadap

penafsiran al-Qur’ān yang dinaungi Departemen Agama Republik Indonesia. Sementara tafsir Indonesia yang mengaplikasikan metode mawd}ū‘ī, misalnya Samudera al-Fatihah (1972) karya Bey Arifin (1917-1995 M), Konsep

Kufr dalam al-Qur’an: Studi Kajian Teologis dengan pendekatan Tafsir Tematik

(1991) karya Harifuddin Cawidu, Konsep Perbuatan Manusia menurut

al-Qur’an: Suatu Kajian Tematik (1992) karya Jalaluddin Rahmat, Manusia

Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an (1992) karya Musa Asy’arie, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci (1996)

112

karya Dawam Raharjo, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis terhadap

Konsepsi al-Qur’an (1996) karya Machasin, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudli’i Pelbagai Persoalan Umat (1996) karya Quraish Shihab, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (1998) Muhammad Ghalib Mattola, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an (1999) karya Nasaruddin Umar, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Menggali Konsep Wanita dalam al-Qur’an: Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam al-Qur’an (1999) karya Nashruddin Baidan, Tafsir Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Nisa’ (2000 M) karya Didin Hafidhuddin, Dalam Cahaya al-Quran: Tafsir Sosial Politik al-Qur’an (2000 M) karya Syu’bah

Asa, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya Ahmad Mubarak, Tafsir Tematik al-Qur’ān tentang Hubungan Sosial antar

Umat Beragama (2000) karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam

PP. Muhammadiyah, Tafsir Maudlu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial

Kontemporer (2001) karya Nashruddin Baidan, Tafsir Tarbawi: Pesan-pesan al-Qur’an tentang Pendidikan (2013) Kadar M. Yusuf, dan lainnya.

c. Corak Tafsir Indonesia

Jika dilihat dari segi coraknya, karya-karya tafsir di Indonesia memiliki corak yang beragam. Ada tafsir yang karakteristiknya menonjolkan corak adabī

ijtimā‘ī (sastra budaya kemasyarakatan), yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan

petunjuk ayat-ayat al-Qur’ān yang berkaitan langsung dengan problem kehidupan masyarakat. Hal ini tampak pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān yang tertuang dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Misbah karya M. Quraish

113

Shihab. Namun demikian, jika Tafsir al-Azhar ditelaah lebih jauh tampak juga kajian tafsirnya bercorak kalam dan teologi. Sedangkan Tafsir al-Misbah juga menonjol corak bahasanya (lughawī).

Selain itu, ada juga karya tafsir yang menonjol corak sufinya, seperti

Tafsir Sufi Surah al-Fatihah karya Jalaluddin Rahmat. Sementara tafsir bercorak

ilmiah, misalnya Samudera al-Fatihah (1972) karya Bey Arifin (1917-1995 M),

Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi al-Qur’an yang Terlupakan (2008) karya Agus

Purwanto, dan Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz ‘Amma (2014) karya Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB. Tafsir yang bercorak fiqhī dapat ditemukan dalam karya Q. Shaleh, A.A. Dahlan, dan M.D. Dahlan dalam karyanya Ayat-ayat

Hukum: Tafsir dan Uraian-uraian Perintah dalam al-Qur’ān (1976), dan Nasikun

dalam karya Tafsir Ayat Ahkam tentang Beberapa Perbuatan Pidana dalam

Hukum Islam (1984), Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum (2011)

karya Kadar M. Yusuf, dan Tafsir Ahkam Ayat-ayat Ibadah (2016) Muhammad Amin Suma.

Sedang corak yang ditampilkan dengan kombinasi corak s}ūfī, falsafī, ‘ilmī,

dan i‘tiqādī dapat ditemukan dalam karya tafsir Agus Mustofa dalam serial diskusi tasawufnya, seperti Ternyata Akherat Tidak Kekal, Terpesona di Sidratul

Muntaha, Tak Ada Azab Kubur, Tahajud Siang Hari Dluha Malam Hari, dan

lainnya.

Hal di atas menunjukkan bahwa kajian tafsir di Indonesia semakin lama semakin mengalami perkembangan yang cukup membanggakan, dan disampaikan

114

dengan beragam metode dan corak penafsiran. Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa minat terhadap kajian tafsir di Indonesia juga cukup tinggi.