• Tidak ada hasil yang ditemukan

56

memiliki pengetahuan tentang objek uraian ayat. Syarat ini menjadi penting mengingat seseorang tidak mungkin dapat memahami dengan baik, misalnya ayat-ayat tentang ekonomi atau embriologi, tanpa memiliki latar belakang pengetahuan tentang ilmu-ilmu tersebut.51

3. Klasifikasi Metode Tafsir

Dalam menafsirkan al-Qur’ān, seorang penafsir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidak jarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer. Adapun metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf dalam menafsirkan Qur’ān adalah: (1) tafsir berdasarkan riwāyah (tafsīr bi

al-ma’thūr), (2) tafsir berdasarkan dirāyah yang dikenal dengan tafsīr bi al-ra’y atau

bi ijtihād, dan (3) tafsir berlandaskan isyarat yang popular dengan nama al-tafsīr al-ishārī.52

Tafsīr bi al-ma’thūr, yaitu keterangan atau penjelasan ayat-ayat al-Qur’ān

dengan perincian ayat-ayat al-Qur’ān sendiri, sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, dan penjelasan yang dikutip dari para sahabat. Sedangkan penafsiran yang berdasarkan penukilan dari para tābi‘īn, masih terdapat perselisihan. Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}īm al-Zarqānī (w. 1367 H/ 1948 M) membatasi tafsīr bi

al-ma’thūr dengan tafsir yang hanya diberikan oleh ayat-ayat al-Qur’ān, h}adīth

Nabi, dan perkataan para sahabat tanpa penafsiran dari para tābi‘īn.53 Hal ini dikarenakan banyak di antara tābi‘īn yang menafsirkan al-Qur’ān terpengaruh riwayat isrā’ilīyāt yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya.

51 Ibid., 397-398.

52 al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān, Vol. 2, 11.

57

Faktanya, dalam diskursus kajian tafsir riwayat isrā’ilīyāt tidak selamanya harus ditanggapi negatif sebgai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān. Jika

isrā’ilīyāt tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan al-Sunnah, maka isrā’ilīyāt

bisa diterima. Namun jika bertentangan dengan al-Qur’ān dan al-Sunnah, maka riwayat isrā’ilīyāt tersebut tidak diperkenankan untuk menjadi acuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān.54

Sedangkan al-Dhahabī (1915-1977 M) memasukkan penukilan dari tābi‘īn ke dalam tafsīr bi al-ma’thūr. Dia berpendapat, walaupun tābi‘īn tidak menerima tafsir langsung dari Nabi, namun kitab-kitab yang termasuk tafsīr bi al-ma’thūr, misalnya Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karangan Ibn Jarīr al-T{abarī 310 H) yang terkenal dengan sebutan Tafsīr al-T{abarī tidak hanya memuat tafsir al-Qur’ān dari al-Qur’ān sendiri, dari Nabi, dan sahabat, namun juga berisi tafsir dari tābi‘īn.55 Tidak hanya al-T{abarī, sebagian besar mufasir juga mendayagunakan al-Qur’ān, h}adīth Nabi, pendapat para sahabat, dan pendapat

tābi‘īn sebagai rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān.

Berdasarkan hal tersebut, maka tafsīr bi ma’thūr meliputi tafsir al-Qur’ān dengan al-al-Qur’ān; tafsir al-al-Qur’ān dengan h}adīth Nabi baik yang qawlī,

fi‘lī, maupun yang taqrīrī; tafsir al-Qur’ān dengan nukilan dari pendapat sahabat

dan tābi‘īn. Aplikasi dari model tafsīr bi al-ma’thūr diawali dengan mencari ayat-ayat al-Qur’ān yang bisa didayagunakan untuk menjelaskan ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, selanjutnya jika tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ān yang notabene

54 Jamāl Mus}t}afā ‘Abd al-H{umayd, Us}ūl al-Dakhīl fī Tafsīr āy al-Tanzīl (Kairo: Jāmi‘ah al-Azhār,

2001), 27.

58

bisa difungsikan sebagai penjelasan ayat yang dimaksud, maka harus merujuk pada h}adīth Nabi Muh}ammad. Apabila penafsiran al-Qur’ān dengan h}adīth Nabi tidak diperoleh, maka penafsiran al-Qur’ān dengan nukilan pendapat para sahabat, dilanjutkan dengan pendapat para tābi‘īn.

Sedangkan tafsīr bi al-ra’y atau yang dikenal juga dengan sebutan tafsīr bi

al-dirāyah dan tafsīr bi al-ma’qūl adalah penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’ān

melalui pemikiran (nalar) dan ijtihad. Dalam tafsir ini, seorang yang akan menafsirkan al-Qur’ān (mufasir) dianjurkan untuk memahami bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafal-lafal Arab dan segi-segi petunjuk yang benar mengenai maknanya (dalālah), mengkaji syair-syair Arab sebagai pendukung, dan memperhatikan asbāb al-nuzūl, nāsikh-mansūkh,

muh}kam-mutashābihāt, ‘ām-khās, makkīyah-madanīyah, qirā’at, dan lain-lain.

Metode ini bisa diaplikasikan oleh mufasir dengan uraian yang sangat panjang (it}nāb) dalam menafsirkan al-Qur’ān, misalnya oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1209 M) dalam karyanya al-Tafsīr al-Kabīr, ‘Abd Allāh Muh}ammad b. Ah}mad al-Qurt}ubī (1214-1273 M) dalam karyanya al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān, dan Mah}mūd b. ‘Abd Allāh al-H{usaynī al-Alūsī (1802-1854 M) dalam karyanya

Rūh al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur’ān wa al-Sab‘ al-Mathānī. Ada juga yang

mengaplikasikannya dengan uraian yang singkat (i’jāz), seperti al-Fayruz Abādī (1329-1414 M) dalam karyanya Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, dan ada pula yang mengambil dengan cara pertengahan (musāwah), seperti ‘Abd Allāb b. Abī al-Qāsim al-Bayd}āwī (w. 685 H/1286 M) dalam karyanya Anwār al-Tanzīl

59

wa Asrār al-Ta’wīl, dan Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905 M) dan Rashīd Rid}ā

(1865-1935 M) dalam karyanya Tafsīr al-Manār.

Menurut Mannā’ al-Qat}t}an (1925-1999 M), tafsīr bi al-ra’y biasanya dibuat pedoman oleh mufasir untuk menjelaskan makna dalam suatu pemahaman tertentu, sehingga dalam perkembangannya tafsīr bi al-ra’y bisa mengalahkan

tafsīr bi al-ma’thūr. Dengan kata lain, tafsīr bi al-ra’y pada akhirnya lebih banyak

diminati dari pada tafsīr bi al-ma’thūr sebagai rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān.56 Dari tafsir yang mengandalkan nalar ini berkembanglah corak

tafsir sehingga pembahasan tafsir menjadi sangat luas dalam menelusuri ayat demi ayat dalam mengungkap makna al-Qur’ān.

Tafsīr ishārī merupakan bentuk penakwilan ayat-ayat al-Qur’ān dengan

penawilan yang menyalahi ketentuan-ketentuan z}āhir ayat, karena ingin mengemukakan isyarat-isyarat yang tersembunyi yang terlihat oleh mufasir penganut sufi setelah melakukan berbagai bentuk latihan kerohanian sehingga ia sampai pada satu keadaan yang bisa menerima isyarat-isyarat dan limpahan-limpahan Ilahi, serta makna-makna ilhamīyah yang datang kepada hati orang-orang arif tersebut.

Kaum sufi sebagai ahli hakikat dan pengemban isyarat mengakui makna lahiriah al-Qur’ān, akan tetapi dalam menafsirkan kandungan batin al-Qur’ān kaum ini mengemukakan hhal yang terkadang tidak sejalan dengan tujuan al-Qur’ān dan eksistensinya sebagai kitab berbahasa Arab yang jelas. Ucapan-ucapan sufi dalam menafsirkan al-Qur’ān adalah tafsir-tafsir yang hakiki bagi

60

makna-makna al-Qur’ān, dan bukan sekedar bandingan-bandingan saja bagi makna-makna tersebut.

Tidak bisa dipungkiri adanya suatu limpahan rahmat dan isyarat-isyarat anugerah Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki di antara makhluk-makhluk-Nya. Dan juga bukan hal yang mustahil, jika Allah berkehendak, maka Allah pasti memberikan kekhususan dan keistimewaan bagi sebagian hamba-hamba-Nya dengan rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang dimiliki-Nya.

Dalam perkembangan kajian metodologi tafsir dewasa ini, para pakar studi tafsir mengklasifikasikan metode tafsir al-Qur’ān menjadi empat metode, yaitu metode analitis (tah}līlī), global (ijmālī), perbandingan (muqārin), dan tematik (mawd}ū‘ī).57 Hal ini bisa dirujuk pada temuan ulama kontemporer yang dianut

sebagian pakar studi al-Qur’ān semisal al-Farmāwī, M. Quraish Shihab, dan Nasaruddin Baidan. Bahkan, menanggapi adanya kerancuan istilah tehnis dalam pengelompokan metode tafsir,58 Nashruddin Baidan menyebut istilah tafsīr bi

al-ma’thūr dan tafsīr bi al-ra’y sebagai bentuk atau jenis penafsiran yang diterapkan

oleh para mufasir sejak pada masa Nabi hingga dewasa ini,59 sedangkan al-tafsīr

al-ishārī dikategorikan sebagai corak penafsiran.60

57 ‘Abd al-H{ayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī (Kairo: al-H{ad}arah al-‘Arabīyah,

1977), 11.

58 Seperti tampak dalam buku Membumikan al-Qur’an oleh M. Quraish Shihab dalam halaman 83-84, di mana tafsīr bi al-ma’thūr dan tafsīr bi al-ra’y, misalnya dinyatakan sebagai “corak dan metode tafsir.” Kemudian pada halaman 85-86 dinyatakan pula ada empat metode tafsir berdasarkan pendapat al-Farmāwī, yaitu tah}līlī, ijmālī, muqārin, dan mawd}ū‘ī.

59 Pembagian tafsīr yang hanya ada dua (al-tafsīr bi al-ma’thūr dan al-tafsīr bi al-al-ra’y) ini mengacu pada beberapa karya ‘Ulūm al-Qur’ān, di antaranya al-Itqān karya al-Suyūt}ī, al-Tafsīr

wa al-Mufassirūn karya M. H{usayn al-Dhahabī, al-Burhān karya al-Zarkashī, Manāhil al-‘Irfān

61

Berikut ini elaborasi singkat dari masing-masing metode tafsir dan karya-karya yang mendukungnya:

a. Metode Analitis (Tah}līlī)

Metode analitis adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’ān dari segala segi dan maknanya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’ān sebagaimana tercantum dalam mushaf. 61 Di dalam metode ini mufasir memaparkan arti kosakata, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat baik unsur i‘jāz,

balāghah dan keindahan susunan kalimatnya, asbāb al-nuzūl, munāsabah,

pendapat para ulama tafsir dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat-ayat al-Qur’ān.

Di dalam metode ini juga dijelaskan tentang sesuatu yang dapat diistinbatkan dari ayat baik hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah, perintah, larangan, janji, ancaman, h}aqīqah, majāz,

kināyah, isti‘ārah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya

dengan suatu surah sebelum dan sesudahnya. Bāqir al-S{adr (1935-1980 M) memberi nama lain pada metode tah}līlī dengan metode tajzī’ī, yaitu menafsirkan

ayat-ayat al-Qur’ān dari beberapa segi.62

Qur’ān Subh}ī S{ālih}, dan lain-lain. Sedangkan tafsīr bi al-ishārī ini hanya di temukan dalam karya

yang sangat sedikit, di antaranya al-Tafsīr wa Manāhijuh karya Mah}mūd Basuni Fawdah.

60 Proyeksi Nashruddin Baidan ini lebih pada upaya untuk membedakan identifikasi serta didorong oleh kebutuhan terhadap kajian tafsir yang sesuai dengan kebutuhan zaman, agar tafsir al-Qur’ān dapat berkembang sejalan dengan perkembangan umat yang semakin modern dengan teknologi yang semakin canggih. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 369-370.

61 Shihab, Membumikan al-Qur’an, 86; S}alāh}’Abd al-Fattāh} al-Khālidī, al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī bayn al-Naz}arīyah wa al-Tat}bīq (t.t.: Dār al-Nafā’is, 1997), 27.

62 Muh}ammad Bāqir al-S{adr, al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī wa al-Tafsīr al-Tajzī’ī fī al-Qur’ān al-Karīm

62

Sitematika metode analitis biasanya diawali dengan mengemukakan korelasi (munāsabah), baik antar ayat maupun surat. Lalu menjelaskan latar belakang turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), menganalisis kosa kata dalam konteks bahasa Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang dapat dipetik dari ayat, dan terakhir menerangkan makna dan tujuan syara’ yang terkandung dalam ayat. Khusus untuk corak tafsir ilmu pengetahuan (‘ilmī) dan sastra sosial kemasyarakatan (al-adabī al-ijtimā‘ī), biasanya si penulis karya tafsir memperkuat argumennya dengan mengutip pendapat para ilmuan dan teori ilmiah kontemporer.63

Karya tafsir yang mengadopsi metode ini bisa dalam bentuk tafsīr bi

ma’thūr, seperti Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl ay al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-T{abarī

(224-310 H), Ma‘ālim al-Tanzīl karya H{usayn b. Mas‘ūd al-Baghawī (433-516 H), dan Tafsīr al-Qur’ān al-Az}īm karya Ismā‘īl b. ‘Umar b. Kathīr (701-774 H).

Bisa juga dalam bentuk tafsīr bi al-ra’y yang berorientasi pada corak disiplin tertentu, seperti Ah}kām al-Qur’ān karya Ah}mad b. ‘Alī al-Rāzī al-Jas}s}ās} (918-981 M) yang bercorak hukum, H{aqā’iq Tafsīr karya Muh}ammad b. H{usayn al-Sulamī (937-1021 M) yang bercorak sufi, Jawāhir al-Qur’ān karya Abū H{amīd Muh}ammad b. Muh}ammad al-Ghazālī (1058-1111 M) dan al-Qur’ān wa al-‘Ilm

al-H{adīth karya ‘Abd al-Razzāq Nawfal (1917-1984 M) yang bercorak ilmu pengetahuan, serta Tafsīr al-Manār karya Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905 M)

63

dan Rashīd Rid}ā (1865-1935 M) dan Tafsīr Maraghī karya Ah}mad Mus}t}afā al-Marāghī (1881-1945 M) yang bercorak sastra sosial masyarakat.64

Dalam penyampaiannya, metode ini bisa dipergunakan mufasir dengan uraian yang sangat panjang, misalnya Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-T{abārī (224- 310 H), Mafātīh} al-Ghayb karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1209 M), al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān karya ‘Abd Allāh Muh}ammad b. Ah}mad Qurt}ubī (1214-1273 M), dan Rūh} Ma‘ānī fī Tafsīr Qur’ān wa

al-Sab‘ al-Mathānī karya Mah}mūd b. ‘Abd Allāh al-H{usaynī al-Alūsī (1802-1854

M). Ada juga yang menguraikannya dengan cara singkat (ījāz) seperti Jalāl al-Dīn Suyut}ī (1445-1505 M) dengan karyanya Durr Manthūr fī Tafsīr bi

al-Ma’thūr dan al-Fayruz Abādī (1329-1414 M) dalam Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās. Ada pula yang mengambil dengan cara pertengahan (musāwah), yaitu

‘Abd Allāb b. Abī Qāsim Bayd}āwī (w. 685 H/1286 M) dalam Anwār

al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, Ismā‘īl b. ‘Umar b. Kathīr (701-774 H) dalam Tafsīr al-Qur’ān al-Az}īm, dan Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905 M) dan Rashīd Rid}ā (1865-1935 M) dalam Tafsīr al-Manār.65

b. Metode Global (Ijmālī)

S}alāh} ‘Abd al-Fattāh} al-Khālidī mendefinisikan metode ijmālī sebagai suatu metode untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan cara mengemukakan makna global, tanpa penjelasan panjang lebar dan terperinci.66 Dengan kata lain, metode ini digunakan mufasir menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān dengan uraian

64 al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī, 18-29.

65 ‘Alī H{asan al-Arīd}, Tārīkh ‘Ilm al-Tafsīr wa Manāhij al-Mufassirīn (Kairo: al-Azhar, 1992), 41-42.

64

yang singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya saja tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.

Dengan metode ini, mufasir kadangkala menafsirkan al-Qur’ān dengan lafal saja sehingga bagi yang membacanya merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’ān yang penyajiannya mudah dan indah. Pada ayat-ayat tertentu, juga diungkapkan sebab turun ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan h}adīth Nabi dan hikmah dibalik sabdanya, dan lain-lain. Dengan uraian yang demikian ini diharapkan dapat mengkaji al-Qur’ān dengan mudah, bagus, terarah, dan sempurna.67

Prosedur metode ijmālī yang praktis dan mudah dipahami pada akhirnya turut memotivasi mufasir untuk menulis karya tafsir dengan menerapkan metode ini. Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsīr

al-Jalālayn karya Jalāl al-Dīn al-Mah}allī (1389-1459 M) dan Jalāl al-Dīn al-Suyūt}ī

(1445-1505 M), Tafsīr al-Qur’ān al-Az}īm karya Muh}ammad Farīd Wajdī (1878-1954 M), S{afwat al-Tafāsir karya Muh}ammad ‘Alī al-S{ābūnī, al-Tafsīr al-Wasī}t yang diplubikasikan oleh tim Majma‘ Buh}ūth Islamīyah Universitas al-Azhar Mesir, dan al-Tafsīr al-Mukhtas}ar karya Commite Ulama produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam.68

c. Metode Perbandingan (Muqārin)

Metode muqārin didefinisikan sebagai suatu metode penafsiran yang bersifat perbandingan dengan mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān yang

67 al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī, 29-30.

65

ditulis oleh para penafsir.69 Dalam hal ini, seorang penafsir mengkoleksi sejumlah ayat-ayat al-Qur’ān, lalu dikaji dan diteliti penafsiran para pakar tafsir menyangkut ayat-ayat tersebut dengan mengacu pada karya-karya tafsir yang mereka sajikan. Sementara yang menjadi sasaran kajiannya meliputi: perbandingan ayat al-Qur’ān dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur’ān dengan h}adīth, dan perbandingan penafsiran penafsir dengan penafsir lain. Di antara karya tafsir yang menerapkan metode ini adalah Durrāt al-Tanzīl wa

Ghurrāt al-Ta’wīl karya Muh}ammad al-Khat}īb al-Iskāfī (w. 420 H/1028 M).70 Dalam membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut ayat al-Qur’ān, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) kondisi sosial politik pada masa seorang penafsir hidup; (2) kecenderungan dan latar belakang pendidikannya; (3) pendapat yang dikemukakannya, apakah pendapatnya sendiri, atau pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga merupakan pendapat pengulangan; dan (4) melakukan analisis untuk mengemukakan penilaian tentang pendapat tersebut.71

Keunggulan metode muqārin terletak pada kemampuannya dalam memberikan wawasan penafsiran yang realtif luas kepada pembaca, mentolerir perbedaan pandangan sehingga dapat mencegah sikap fanatik pada suatu aliran tertentu, memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat, h}adīth, dan

69 Nashruddin Baidan menyatakan, jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para pakar tafsir, maka pola semacam ini tidak dapat dinamakan metode komparatif (muqārin). Dalam konteks ini ia menyitir pendapat al-Farmāwī yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif (muqārin) adalah “menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.” Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998),

68. Lihat juga al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī, 30. Khālidī, Tafsīr al-Mawd}ū‘ī, 28.

70 Shihab, Membumikan al-Qur’an, 119.

66

pendapat penafsir lain. Sementara kelemahannya terletak pada tidak cocoknya untuk dikaji oleh penafsir pemula, karena memuat materi bahasan yang luas dan terkadang agak ekstrim, kurang dapat diandalkan dalam menjawab problem sosial yang berkembang di masyarakat, dan terkesan dominan membahas penafsiran ulama terdahulu dibanding penafsiran baru.72

d. Metode Tematik (Mawd}ū‘ī)

Satu metode tafsir yang mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’ān dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Metode ini di Indonesia dikenal dengan metode tafsir Tematik, yang kemudian di kembangkan oleh Quraish Shihab, salah seorang pakar tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’ān kebanggaan masyarakat Indonesia.73

Secara umum, metode mawd}ū‘ī memiliki dua model. Pertama, penafsiran

mengenai satu surat dalam al-Qur’ān dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang menjadi tema sentralnya, kemudian menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya sesuai tema sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kedua, Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’ān yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surah al-Qur’ān dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat

72 Baidan, Metodologi Penafsiran, 142-144.

67

tersebut, untuk menarik petunjuk al-Qur’ān secara utuh tentang masalah yang dibahas.

Dua model tersebut berpijak pada pendapat al-Shāt}ibī yang mengatakan bahwa setiap surah walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu tema sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah yang berbeda tersebut. Lebih jauh Ibrāhīm b. Mūsā al-Shāt}ibī (w. 790 H/1388 M) menjelaskan bahwa satu surah walaupun mengandung beberapa masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.74 Oleh karena itu, seseorang yang mengkaji al-Qur’ān hendaknya jangan mengarahkan pandangannya pada awal surah saja, namun juga harus memperhatikan akhir surah, atau sebaliknya. Karena jika tidak demikian, maka maksud ayat-ayat yang diturunkan tersebut terabaikan.

Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir tematik merupakan metode tafsir terhadap ayat yang membahas satu tema spesifik diluar tema-tema al-Qur’ān yang lain. Ruang lingkupnya dibatasi pada ayat-ayat yang mempunyai kesamaan tema. Selain itu, tafsir ini juga dibatasi pada ayat-ayat yang terdapat dalam satu surah, yang kemudian dikenal dengan tafsir tematik dalam satu surah (wah}dah

al-muwd}ūīyah fī al-sūrah).

Pada bulan Januari 1960 M, Shaikh Mah}mūd Shalt}ūt} (1893-1963 M) menyusun kitab yang berjudul Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm dalam bentuk penerapan ide. Shalt}ūt} tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surah demi surah, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surah, dengan menjelaskan

68

tujuan utama dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surah tersebut. Meski demikian, apa yang ditempuh Shalt}ūt} belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Qur’ān dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surah, seperti masalah riba akan ditemukan dalam berbagai surah, misalnya dalam Q.S. al-Baqarah, Q.S. Āl ‘Imrān, dan Q.S. al-Rūm. Atas dasar ini, timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh. Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Ah}mad Sayyid al-Kūmī (1912-1991 M) pada akhir tahun 1960, yang pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari metode yang dicetuskan