• Tidak ada hasil yang ditemukan

83

mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’ān dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka.97

Fungsi al-Qur’ān sebagai petunjuk (hūdan) mengantarkan manusia untuk selalu mengharapkan hidayah sesuai dengan petunjuk al-Qur’ān, pemberi peringatan dan kabar gembira kepada umat manusia. Al-Qur’ān diturunkan tidak hanya untuk mendidik dan menyucikan jiwa manusia dari sifat syirik, kesesatan, dan perbuatan aniaya, tapi ia juga mengisi jiwa manusia dengan cahaya dan kesucian yang bisa mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang bisa membawa pada kebahagiaan dan menghindarkannya dari kesesatan dan kebodohan. Semua itu pada hakikatnya untuk menuju puncak makrifah Allah yang selalu menuntun manusia untuk hidup bermasyarakat yang didasari semangat cinta dan kesucian jiwa.

5. Pendekatan Tafsir al-Qur’ān

Al-Qur’ān berbicara melintasi zaman, tidak dibatasi ruang dan waktu. Namun ada alur yang tak bisa diabaikan, bahwa ia diturunkan kepada Nabi Muh}ammad yang notabene sebagai orang Arab. Meski demikian, al-Qur’ān adalah panduan lengkap mengenai berbagai ritual, politik, dan hukum bagi umat Muslim di seluruh dunia, sebuah masterpiece yang menginspirasi umat dengan kesetiaan, hasrat, ketakutan, dan keagungan walaupun kadang disalahartikan.98

Al-Qur’ān telah mentransformasi Nabi Muh}ammad berpikir tentang dirinya, masyarakatnya, dan dunianya. Wahyu al-Qur’ān telah menjadikan Nabi Muh}ammad menantang kerabat dan kabilah, memotivasi seseorang untuk

97 Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muh{ammad Abduh, 112-113.

84

mengikuti jejaknya, membentuk masyarakat baru dan menjadikan masyarakat sebagai pusat gerakan baru.

Sebagai kitab suci, penekanan pada pembacaan sangat penting untuk memahami formasi dan kekuatan al-Qur’ān. Ia adalah kitab lisan yang berbunyi, sehingga lebih baik diucapkan daripada dibaca diam-diam. Di samping al-Qur’ān sebagai kitab lisan, juga sebagai kitab tulisan. Al-Qur’ān lebih evokatif sebagai pembacaan daripada tulisan, karena ia benar-benar dinamakan al-Qur’ān yang utuh ketika diucapkan dan dibaca.

Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān dibutuhkan perhatian yang sangat besar terhadap persoalan bahasa sebagai media untuk mengkomunikasikan pikiran, terutama dalam kaitannya dengan problem makna (meaning). Charles S. Peirce (1839-1914 M) menawarkan metode dasar logika dalam pengertiannya yang luas. Logika mengejawantah suatu teori tentang kebenaran dan realitas (truth

and reality) dan teori tentang makna (meaning). Makna harus dipahami secara

pragmatis, dan teori tentang makna perlu dirumuskan karena kejelasan gagasan (clarity of ideas) adalah syarat bagi tercapainya pemahaman yang benar.99

Pemahaman sendiri tidak lepas dari konsepsi mengenai keyakinan (belief) sebagai lawan dari keraguan (doubt). Jika sebuah realitas (konteks) juga diragukan, maka seseorang tidak memiliki justifikasi apapun untuk melakukan penelitian (inquiry). Seseorang tidak harus berpura-pura meragukan sesuatu yang tidak meragukan dalam hati.100

99 Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philoshopy (New York: MacMillan Publishing Co, 1981), 41-51.

100 Carl R. Hausman, Charles S. Peirce’s Evolusionary Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 21.

85

Faktanya, manusia secara insting selalu berusaha untuk bergerak dari keraguan menuju keyakinan. Dalam konteks ini, Peirce menyebut empat metode untuk mencapai keyakinan, yaitu metode kegigihan, metode otoritas, metode apriori, dan metode sains atau investigasi.

Di sisi lain, Cahrles J. Adams (1924-2011 M) menawarkan dua aspek yang bisa digunakan dalam memahami agama (Islam), yaitu keyakinan (faith) dan tradisi (tradition). Kedua aspek ini dikategorikan sebagai hal-hal yang bersifat batiniyah dalam agama (inward experience) dan wujud luar atau manifestasi eksternal dari agama yang dapat diamati dan dikomunikasikan (outward

behavior).101

Sama halnya dengan Charles J. Adams (1924-2011 M). Richard C. Martin dan Omid Safi sama-sama menyuguhkan pendekatan yang memadukan metode studi Islam konvensional yang berkarakter deskriptif historis, filologis, dan sastrawi dengan metode humanities studies kontemporer, seperti hermeneutik, fenomenologi, sosiologi, dan antropologi.

Lebih jauh, pendekatan ini diterapkan Martin dalam tiga area subject

matter studi Islam, yaitu kajian teks yang meliputi kajian al-Qur’ān dan al-H{adīth;

kajian terhadap praktek ritual keislaman; dan kajian realitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi.102

101 Charles J. Adams, “Islamic Religiuos Tradition,” dalam Lionard Binder (ed). The Study of

Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Sciences (New York: John

Wiley & Soons, 1976), 31-32.

102 Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies: an Introductory Essay,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies (Tucson: The University of Arizona Press, 1985), 1-3.

86

Sedangkan M. ‘Ābid al-Jābirī (1935-2010 M) mengungkapkan bahwa dalam memahami al-Qur’ān, perlu pendekatan epistemologi rasional (bayānī), empirik (burhānī), dan intuisi (‘irfānī). Pada pendekatan rasional (bayānī), titik tekannya kepada pola pikir yang bersumber dari nas}, ijmā‘, dan ijtihād, serta

otoritas kebenarannya terletak pada wahyu, sementara akal menempati posisi sekunder sebagai perangkat membedah kebenaran yang memiliki otoritas lebih rendah dari wahyu. Akal dalam konteks ini menjelaskan teks yang ada. Burhānī sebagai pengukur benar tidaknya sesuatu, berdasarkan pengalaman manusia dan kemampuan akal yang terlepas dari teks wahyu yang sakral. Realita, data empiris, alam sosial, dan humaniti dapat diperoleh melalui percobaan, pembuktian, peneltian, dan eksprimen. Sedangkan ‘irfānī sebagai pengetahuan langsung yang bertumpu pada hati yang mendapatkan ilham (intuisi) dalam memahami realitas atau hakikat.103

Dalam perkembangannya, kajian-kajian Islam (al-Qur’ān) tidak hanya dilakukan insider (umat Islam), namun juga banyak kalangan outsider (non-Muslim) yang berperan penting dalam tataran ilmiah yang banyak memberi sumbangan pemikiran terhadap Islam. Salah satunya adalah Kim Knott yang berpandangan bahwa terdapat hubungan antara agama, lokalitas, dan masyarakat. Knott mengembangkan metode ilmiah (spatial) untuk menganalisis lokasi agama dalam masyarakat Barat kontemporer.

103 Muh}ammad ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah Tah}līlīyah Naqdīyah li Nuz}ūm al-Ma‘rifah fī al-Thaqāfah al-‘Arabīyah (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wih}dah al-‘Arabīyah, 1990),

467-468. Lihat juga Muh}ammad ‘Ābd Jābirī, Takwīn ‘Aql ‘Arabī (Beirut: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 1991), 11; Muh}ammad ‘Ābid al-Jābirī, al-‘Aql al-Siyāsī al-‘Arabī (Beirut: Markaz al-Thaqafī al-‘Arabī, 1991), 7.

87

Menurut Knott ada tiga konsep dalam memahami lokasi agama, yaitu teori dan metode analisis, tempat dan proses spasial sosial lokasi, dan konseptualisasi operasional agama.104 Di antara outsider yang mendalami al-Qur’ān adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), Paul Ricouer (1913-2005 M), Helmut Gaetje (1927-1986 M), John Wansbrough (1928-2002 M), Johannes Juliaan Gijsbert Jansen (1942-2015 M), dan Bruce Lawrence.

Metode hermeneutika juga dijadikan sebagai tawaran baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān. Ada sebuah keyakinan yang demikian kental dalam sejarah peradaban Islam bahwa teks merupakan inti pokok kebudayaan dan ajaran Islam. Teks al-Qur’ān dan h}adīth telah membentuk dasar-dasar tekstual peradaban Islam. Sepanjang sejarah, telah berlangsung dialektis antara teks dan sejarah pemikiran manusia.

Tafsir hermeneutika merupakan produk dialektika antara teks, pembaca, dan realitas, sehingga betapapun teks yang ditafsirkan suci atau disucikan, namun hasil interpretasi terhadap teks suci tersebut tidaklah suci dan absolut. Oleh karena itu, karena kebenaran tafsir tidak bersifat absolut dan juga tidak suci, maka tentu saja boleh dikritisi, bahkan perlu didekonstruksi jika memang sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan tuntutan zaman.105

Produk-produk penafsiran al-Qur’ān, terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan harus berkorespondensi dengan teori keilmuan kontemporer, sebab

104 Kim Knott, Spatial Theori and Method for Study of Religion (Temenos: The Finnish Society for the Religion, 2005), 153-154.

105 Dekonstruksi adalah suatu tindakan subjek terhadap objek yang tersusun dari berbagai unsur. Tujuannya antara lain untuk mempertanyakan dasar dan dampak, serta menolak kebenaran tunggal yang absolut. Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2003), 15.

88

antara akal, wahyu, dan realitas tidak saling bertentangan. Dengan kata lain, ada kesesuaian antara ayat-ayat Qur’ānīyah dan ayat-ayat Kawnīyah. Tafsir juga bersifat transformatif, yaitu memiliki daya dobrak ke arah perubahan yang positif terhadap konteks yang dihadapi, tentunya sesuai dengan nilai-nilai dan semangat al-Qur’ān.106

Produk tafsir bersifat relatif dan tentatif. Kebenaran tafsir tidaklah bersifat final. Produk penafsiran harus berfungsi sebagai solusi atas problem yang dihadapi umat dan sekaligus sebagai agen perubahan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’ān.107 Bercermin dari formulasi tafsir tersebut, penting sekali melakukan kajian secara intensif terhadap metode tafsir yang ditawarkan para tokoh tafsir modern dan kontemporer dalam merespon permasalahan kontemporer sesuai dengan sosio historis perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern.

Berbicara mengenai dinamika sosial umat Islam (mufasir) memang harus dikaitkan dengan bagaimana pemahaman dan pemaknaan umat Islam terhadap teks-teks ajaran Islam terlebih dahulu, lalu menelisik realitas yang membentuk dinamika tersebut. Umat Islam cenderung mendominasi teks atas konteks dengan ikatan yang sangat kuat hingga nalar mufasir terpenjara oleh teks. Hal inilah yang menjadikan interaksi mufasir dengan teks menjadi aktifitas konsumtif, bukan produktif.

106 Tafsir transformatif adalah tafsir al-Qur’ān yang mengangkat masalah umat di era transformasi sosial budaya dan informatika sebagai titik persoalan dengan pisau pembedah wacana gerakan sosio kultural bernuansa pada transformasi sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Musyarrofah, Tafsir Transformatif: Dialog Historis Tafsir al-Qur’an dengan

Perubahan Sosial (Surabaya: al-Kaff, 2001), 112.

89

Kenyataan ini membutuhkan pergeseran paradigma dan pendekatan dalam memahami al-Qur’ān di tengah realitas (konteks) yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer; dan pendekatan hermeneutika berpotensi dalam memenuhi kebutuhan tersebut dengan tawaran konsep baru, yaitu asbāb al-nuzūl al-jadīdah.

Contoh kasus dalam aplikasi pendekatan hermeneutika, misalnya dalam penafsiran Q.S. al-Nisā’ [4]: 34 yang tema pokoknya berbicara masalah laki-laki dan perempuan.

َمبَِو ٍضْعَ ب ىَلَع ْمُهَضْعَ ب ُهاللا َلاضَف اَمبِ مءاَسِّنلا ىَلَع َنوُمااوَ ق ُلاَجِّرلا

ْممملِاَوْمَأ ْنمم اوُقَفْ نَأ ا

انُهوُظمعَف انُهَزوُشُن َنوُفاََتَ متِ الَّلاَو ُهاللا َظمفَح اَمبِ مبْيَغْلمل ٌتاَظمفاَح ٌتاَتمناَق ُتاَملِااصلاَف

ًلَّيمبَس انمهْيَلَع اوُغْ بَ ت َلََّف ْمُكَنْعَطَأ ْنمإَف انُهوُبمرْضاَو معمجاَضَمْلا مفِ انُهوُرُجْهاَو

اًّيملَع َناَك َهاللا انمإ

اًيرمبَك

۞

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Ayat ini diturunkan karena ada seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah seraya mengadu bahwa sang suami telah memukulnya. Rasulullah menyatakan bahwa suami tidak berhak melakukan hal tersebut. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah memutuskan hukum qis}ās}, yaitu agar istri

memukul suami sebagaimana suami memukul dia.108

108 Jalāl al-Dīn al-Suyūt}ī, Asbāb al-Nuzūl: H{āshiyah Tafsīr Jalālayn (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.),

90

Ayat tersebut berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Suami sebagai seorang imam dalam rumah tangga berkewajiban untuk memberi nafkah dan mempergauli istri dengan baik. Sedangkan seorang istri wajib melaksanakan kewajibannya terhadap suami, menjaga kehormatannya, tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta benda suami jika tidak ada di rumah.

Ibn Jarīr al-T{abārī (224- 310 H) dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1209 M) memahami ayat tersebut sebagai legitimasi superioritas laki-laki (suami) atas perempuan (istri), karena kekuatan akal dan fisiknya,109 sehingga yang pantas menjadi pemimpin itu adalah kaum laki-laki, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun kehidupan sosial yang lebih luas.110

Sedangkan dari kacamata hermeneutik menunjukkan bahwa

kepemimpinan bersifat umum, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang pemimipin. Studi analisis gender mengisyaratkan bahwa kesetaran antara laki-laki dan perempuan itu tidak hanya bersifat given111 namun juga berdasarkan konstruk sosial.112 Analisis ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender merupakan tatanan hidup masyarakat yang diperuntukkan bagi perempuan yang berasal dari kebudayaan yang dapat dirubah manakala tatanan tersebut ternyata menciptakan ketidakadilan bagi perempuan dan manusia pada umumnya.113

109 al-T{abarī, Jāmi‘ al-Bayān, Vol. 3, 20.

110 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīh} al-Ghayb, Vol. 4, (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Arabīyah, 1977), 21.

111 Muh}ammad Rashīd Rid}ā, Tafsīr al-Manār, Vol. 4 (Beirut: Dār al-Fikr, 1973), 68.

112 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 72.

91

Amina Wadud dalam bukunya menjelaskan bahwa ada tujuh istilah dalam mencari akar kebenaran bahwa laki-laki dan perempuan itu sama dalam Islam, yaitu paradigma tauhid, khalifah, teori etika, takwa, keadilan dan derajat manusia, syariat dan fikih, serta kekuatan atau kekuasaan.114 Dengan konsep khalifah tersebut, Amina menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang sama sebagai pengemban tugas khalifah di atas muka bumi. Dengan kata lain, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang pemimpin.

Selain itu, dalam Q.S. al-Nisā’ [4]: 34 dijelaskan bahwa istri tidak boleh melakukan nushūz.115 Jika seorang istri melakukan nushūz, suami berhak untuk memberi pelajaran kepada isteri, mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat baru dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga baru dibolehkan memukul, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Apabila tatacara pertama telah ada manfaatnya jangan dijalankan tatacara yang lain dan seterusnya. Bahkan di dalam suatu h}adīth dijelaskan, jika seorang istri tidak mau melayani suami ketika suami menghendakinya, maka para malaikat melaknatnya hingga menjelang pagi. Artinya, istri diharuskan tunduk pada suami dalam situasi dan kondisi apapun.

Penafsiran bias gender ini banyak ditemukan pada fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh para ahli hukum Islam. Fatwa tersebut

114 Aminah Wadud, Inside the Gender Jihad: Women Reform’s in Islam (England: Oneworld Publication, 2006), 28-54. Baca juga Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 2004), 29-30.

115 Suatu istilah yang digunakan untuk pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, istri tidak mau melayani suami karena adanya alasan tertentu, dan istri tidak taat pada suami.

92

merendahkan dan menghina kaum perempuan atas nama juru bicara Tuhan dan merepresentasikan kehendak Tuhan. Keadaan ini menggelitik Khaleed Abou El-Fadl dengan menawarkan metodologi hermeneutika negosiatif;116 seorang suami harus negosiasi dulu dengan istri jika menginginkan sesuatu sehingga tetap tercipta keharmonisan dalam sebuah rumah tangga. Istri juga harus dihormati, disayangi, dan dijunjung tinggi.

Sementara Nasr H{amid Abū Zayd mengalami kegelisahan yang memuncak dan geram terhadap fatwa yang dikeluarkan ketua Lembaga Kajian dan Fatwa, Syeikh ‘Abd al-‘Azīz b. Bāz (1910-1999 M) di Saudi Arabia yang melecehkan perempuan keluar rumah atau bekerja di sektor publik dengan pernyataan,‘Amal al-Mar’ah min A‘dām Wasāil al-Zinā. Fatwa ini sangat menyudutkan perempuan, dan mengkerangkeng perempuan dengan alasan seks biologis, melakukan zina, dan skandal seks.117

Lebih lanjut, Nasr memberi komentar bahwa ayat tersebut berimplikasi pada kewenangan laki-laki untuk menghukum perempuan dengan cara mendiamkan, pisah ranjang, hingga memukul dalam rangka mendidik. Sedangkan

qawwāmah dalam ayat tersebut merupakan ketetapan tentang perbedaan sosial

dan ekonomi yang terjadi pada manusia. Perbedaan tersebut disebabkan hukum-hukum perubahan sosial. Oleh karena itu, deskripsi ayat tersebut pemberian nasehat dan pelajaran bagi perempuan.118

116 Khaleed Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxforda: Oneworld, 2001), 122.

117 Fatwa tersebut dikutip Nasr H{āmid Abū Zayd dari majalah Ruz al-Yusuf, 24 Agustus 1998, edisi 3663.

118 Nas}r H{āmid Abū Zayd, Dawāir al-Khawf: Qirā’ah fī Khit}āb Mar’ah (Beirut: Markaz

93

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Omid Safi tentang tiga agenda besar yang harus dilakukan Muslim progresif, yaitu mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme.119 Demikian pula pemikiran Islam progresif yang ditawarkan Abdullah Saeed dengan enam karakteristiknya, di mana karakteristik yang keenam adalah menitiktekankan pada keadilan sosial, keadilan gender, Hak Azazi Manusia (HAM), dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.120

Hukum Islam atau fikih dalam kajian historis merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini berkaitan dengan munculnya beberapa mazhab hukum Islam yang beraneka ragam yang memiliki corak masing-masing sesuai dengan latar belakang sosio kultural dan politik di mana mazhab itu tumbuh dan berkembang.121

Dalam paradigma Us}ūl al-Fiqh klasik terdapat lima prinsip hukum Islam yang dapat diterapkan sesuai konteks masa kini, yaitu ijmā‘, qiyās, mas}lah}ah

mursalah,‘urf, dan berubahnya hukum sesuai perkembangan zaman. Kelima

prinsip tersebut dengan jelas memperlihatkan betapa fleksibelnya hukum Islam. Dalam perkembangannya, hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma ke dalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal. Namun demikian, terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut menjadikan ijtihad dibatasi dan akhirnya pintu ijtihad ditutup.

119 Omid Safi, “Introduction,” dalam The Times They Are A-Changin: A Muslim Quest for Justice, Gender Equality, and Pluralism (ed.), Progresive Muslim: On Gender, Justice, and

Pluralism (Oxford: Oneworld, 2005) 9-25

120Abdullah Saeed, Islamic Thought an Introduction (London and New York: Routledge, 2006) 142-151

94

Kenyataan di atas, mendapat respon positif dari Jasser Auda dalam memandang ayat-ayat yang berhubungan dengan kajian hukum Islam. Tawaran yang diberikan Jasser Auda dalam bukunya yang berjudul Maqās}id al-Sharī’ah as

Philosophy of Islamic Law: a Syistems Approach dapat mendobrak paradigma

lama tertutupnya pintu ijtihad. Dalam mengkaji hukum Islam, Auda menawarkan enam karakteristik pendekatan sistem, yaitu sifat kognitif, integritas, keterbukaan, hirarki, multidimensi, dan memiliki tujuan. Sistem tersebut bertujuan untuk kehidupan yang lebih adil, sejahtera, saling menghormati, penuh rahmat, dan penuh kedamaian.122