• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Corak Tafsir al-Qur’ān (Lawn al-Tafsīr)

73

4. Macam-macam Corak Tafsir al-Qur’ān (Lawn al-Tafsīr)

Teks suci al-Qur’ān itu multi interpretation, sangat terbuka untuk ditafsirkan. Meski demikian, para mufasir ketika menafsirkan al-Qur’ān sangat dipengaruhi kondisi sosio kultural di mana ia tinggal dan situasi politik yang melingkupinya. Dalam diri seorang mufasir juga ada kecendrungan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya ketika memahami al-Qur’ān, sebagaimana disampaikan ‘Abd al-Hayy al-Farmāwī, bahwa karya tafsir selalu diwarnai oleh latar belakang pendidikan pengarangnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah bahasan tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Ada yang memberi porsi lebih pada aspek sastranya, hukum syariah, qiraat, aliran-aliran kalam dan filsafat, tasawuf, teori ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah, dan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Fenomena ini terjadi karena seorang ulama bisa jadi disamping penafsir juga sebagai ahli bahasa, filosof, ahli fikih, ahli falak, teolog, dan lain sebagainya.80 Hal ini yang menjadikan teks-teks al-Qur’ān, walaupun objek kajiannya tunggal, namun hasil penafsirannya plural.81

Bagi Ah}mad Kamal al-Mahdī, kecenderungan semacam ini sering kali muncul dalam karya tafsir, sehingga apabila kandungan suatu ayat mempunyai hubungan dengan bidang ilmu yang menjadi keahliannya, ia akan menuangkan ide-ide ilmunya tersebut, dan bisa jadi ia akan asyik dengan ilmunya

80 al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawd}ū‘ī, 15; Mani‘ ‘Abd H{alim Mah}mūd, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2006), VII.

81 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik

Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), 5. Bandingkan dengan Shihab, Membumikan al-Qur’an, 77.

74

sampai mengesampingkan tafsir.82 Implikasinya, setiap karya tafsir pasti memiliki karakteristik yang unik sebagai wujud dari bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir ketika ia mendialogkan ayat al-Qur'ān dengan realitas objektif yang dihadapinya.

M. Qusaish Shihab memetakan corak atau aliran dalam tafsir menjadi tujuh macam, yaitu corak fiqhī, s}ūfī, ‘ilmī, bayānī, falsafī, adabī, dan ijtimā‘ī.83

Sementara Abdul Jalal berpendapat bahwa aliran-alirat tafsir itu adalah

lughawī/adabī, fiqhī/ah}kām, s}ūfī/ishārī, i‘tizālī, shi‘ī/bat}nī, ‘aqlī/falsafī, dan

ilmī/‘as}rī.84 Dari kedua pendapat ini dapat disintesakan bahwa corak penafsiran

itu adalah al-lughawī/adabī, al-fiqhī, s}ūfī, i‘tiqadī, falsafī, ‘as}rī/‘ilmī, ijtimā‘ī.85

a. Tafsir Corak Sastra Bahasa (Tafsīr al-Lughawī)

Penafsiran dengan corak lughawī berorientasi untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman arti (kosakata) kandungan al-Qur’ān. Hal ini dikarenakan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam, serta lemahnya sebagian orang Arab sendiri dalam bidang sastra. Dalam corak ini, mufasir mengorientasikan penafsirannya pada kaidah bahasa dalam segala seginya, baik

nah}w, s}araf, i‘rāb, i‘lāl, ishtiqāq, juga bidang balaghah dari segi ma‘ānī, badī‘, dan bayān. Bagi Quraish Shihab tafsir ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’ān pada segi ketelitian redaksi al-al-Qur’ān, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan

82 Ah}mad Kāmal al-Mahdī, “Ayāt al-Qasm fī al-Qur’ān al-Karīm,” dalam al-Farmāwī, al-Bidāyah

fī al-Tafsīr, 15.

83 Shihab, Membumikan al-Qur’an, 155.

84 Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini (Jakarta: Kalam, 1990), 72-78.

85 Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’an perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: Kopertais IV, 2003), 18-19.

75

dari tujuan diturunkannya al-Qur’ān, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan.86 Memang dalam al-Qur’ān banyak ditemukan term-term asing, seperti kosakata

malakūt, jālūt, mārūt, dan hārūt. Tentunya, term-term tersebut membutuhkan

penafsiran yang detail untuk mengungkap sebuah makna yang tersembunyi, dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan pendekatan bahasa.

Bagi Muh{ammad ‘Abduh, pengungkapan tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik itu, tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun agar giat beramal serta melaksanakan petunjuk Qur’ān. Hal ini dimaksudkan bahwa al-Qur’ān yang notabene sebagai petunjuk dan rahmat (hudan wa rah{mah) bagi seluruh manusia dapat tercapai dengan baik. Di sisi lain, tafsir dengan corak bahasa dapat menonjolkan ketelitian redaksi ayat al-Qur’ān, sebab al-Qur’ān tersusun secara serasi dan harmonis, sehingga tidak ada satu kalimat pun dalam al-Qur’ān yang dikedepankan atau diakhirkan untuk tujuan fas{ilah seperti yang

terjadi dalam sajak dan sair.87

Memang, sejak awal diwahyukan keindahan sastra al-Qur’ān yang tak tertandingi ini mempesona orang-orang jazirah Arab. ‘Umar b. Khat}t}āb (579-644 M) sendiri berpindah memeluk agama Islam karena terpesona keindahan ayat-ayat al-Qur’ān. Sementara Walīd b. al-Mughīrah (527-622 M) yang terkenal kefasihannya dalam kesusastraan Arab juga mengakui keindahan bahasa al-Qur’ān, yang tidak disibukkan oleh soal-soal mistis atau metafisis seperti yang terungkap dalam kebanyakan sastra Arab.

86 al-Qur’ān, 2 (al-Baqarah): 2.

87 Rif’at Shauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh: Kajian Masalah Akidah dan

76

Terminologi al-Qur’ān juga selaras dengan tuntutan-tuntutan sederhana kehidupan internal dan eksternal jazirah Arab yang mayoritas hidup secara nomaden. Gagasan yang diekspresikan ayat-ayat al-Qur’ān dalam sebuah bentuk syair bebas merupakan sesuatu yang baru dalam struktur bahasa Arab, sehingga mampu menghapuskan kepopuleran syair jahili yang selalu mempertahankan ritme puisi. 88

Penafsiran dengan corak lughawī ini tampak dalam al-Majāz karya Abū Ubaydah Ma‘mar b. Muthannā (728- 825 M), I‘jāz Qur’ān karya ‘Abd al-Qahhār al-Jurjānī (1009- 1078 M), dan Tafsīr al-Kashshāf karya Mah}mūd b. ‘Umar al-Zamahsharī (1075- 1144 M).

b. Tafsir Corak Falsafi (al-Tafsīr al-Falsafī)

Pada masa keemasan Islam (Abbasiyah), ada gerakan penerjemahan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, di antaranya adalah penerjemahan karya Aristoteles (384-322 SM) dan Plato (427-347 SM). Menyikapi hal ini, ulama berbeda pendapat. Pertama,ada ulama yang menolak ajaran filsafat dengan alasan di antara isinya bertentangan dengan akidah dan agama, seperti yang diungkapkan Abū H{āmid al-Ghazālī (1058-1111 M), meskipun ia sendiri melahirkan karya filsafat yang menjadi referensi para pemikir Islam, yaitu Tah}āfut al-Falāsifah.

Kedua, kelompok ulama yang mengagumi filsafat. Mereka menerima dan

menekuni materi-materi filsafat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Kelompok yang kedua ini berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara

88 Mālik Ben Nabī, Fenomena al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-agama Ibrahim, terj. Farid Wajdi (Bandung: Marja’, 2002), 42.

77

keduanya, misalnya Ibn Sinā (980-1037 M), Ibn Rushd (1126-1198 M), dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1209 M) yang melahirkan karya tafsir Mafātīh} al-Ghayb.

Untuk mengkompromikan antara filsafat dan ajaran-ajaran agama Islam, ditempuh dengan dua cara. Pertama, dengan mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Dengan kata lain, cara ini berusaha menundukkan ayat-ayat al-Qur’ān maupun al-Sunnah kepada pandangan-pandangan filosof sehingga keduanya tampak sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān maupun al-Sunnah dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat.89 Kedua cara ini yang pada akhirnya membentuk model tafsīr falsafī, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat atau tafsir yang menempatkan teori-teori filsafat sebagai paradigmanya.

c. Tafsir Corak Ilmiah (al-Tafsīr al-‘Ilmī)

Tafsir corak ilmiah direkonstruksi berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’ān mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.90 Di dalam al-Qur’ān tidak kurang dari delapan ratus ayat-ayat kawnīyah

yang membicarakan perihal langit, bumi, udara (aerologi), hewan (zoologi), tumbuh-tumbuhan (botani), perbintangan (astronomi), industri, geografi, sejarah, fisika, dan lain-lain.91 Hal ini tentu tidak lepas dari perhatian para ahli tafsir untuk mengungkap dan membahasnya dalam sebuah karya tafsir. Oleh karena itu, tafsir

89 ‘Azzah Ah{mad ‘Abd al-Rah{man, Ittijāh{āt al-Tafsīr fī al-Qar’ān al-‘Ishrīn (Kairo: al-Azhar

Press, 2000), 13.

90 ‘Abd al-Mājid ‘Abd al-Salām al-Muh{tasib, Ittijāh{āt al-Tafsīr fī al-As{r al-H{adīth (Beirut: Dār

al-Fikr, 1973), 247. Definisi yang identik juga dikemukakan oleh al-Dhahabī dan Ah{mad ‘Umar Abū H{ajar. Lihat Dhahabī, Tafsīr wa Mufassirūn, 474; Ah{mad ‘Umar Abū H{ajar, Tafsīr

al-‘Ilmī li al-Qur’ān fī al-Mizān (Beirut: Dār Qutaybah, 1991), 65.

91 Lihat Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan (Bandung: Mizan, 2012).

78

corak ini merupakan tafsir yang menempatkan berbagai istilah ilmiah dalam ujaran-ujaran tertentu al-Qur’ān atau berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dan ayat-ayat al-Qur’ān.

Munculnya tafsir corak ilmiah, juga mengundang pro-kontra di kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setuju berpendapat bahwa al-Qur’ān bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia, sehingga apabila ada seseorang yang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat al-Qur’ān, dikhawatirkan ketika pada saatnya teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, bahkan seolah kebenaran ayat tersebut dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan tersebut. Untuk itu tidak diperlukan penafsiran secara ilmiah, jika hanya dimaksudkan untuk melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.

Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak ilmiah adalah al-Jawāhir fī

Tafsīr al-Qur’ān karya T{ant}āwī Jawharī (1870-1940 M), al-Islām fī ‘Asr al-‘Ilmī

karya Muh}ammad Ah}mad al-Ghamrāwī (1893-1971 M), al-Widhā’ wa al-Dawā’ karya Jamāl al-Dīn al-Fandī (1913-1998 M), al-Qur’ān wa al-‘Ilm al-H{adīth karya ‘Abd Razzāq Nawfal (1917-1984 M), dan al-Islām Yatahaddā karya Wah}īd al-Dīn Khān,

d. Tafsir Corak Fikih (al-Tafsīr al-Fiqhī)

Cikal bakal tafsir fikih sebenamya sudah tampak semenjak Nabi Muh}ammad meninggal dunia, di mana saat itu banyak muncul kasus hukum yang pada zaman Nabi belum ada, sehingga belum mendapatkan solusi. Di sisi lain,

79

adanya desakan untuk mendapatkan solusi jawaban yang benar menurut syariat, menyebabkan mereka menggali dasar-dasar hukumnya dari Qur’ān dan al-Sunnah. Kondisi ini, berimplikasi dengan munculnya mazhab hukum fikih yang berbeda-beda di kalangan umat Islam yang pada akhirnya juga memunculkan sikap fanatik yang mempengaruhi orang-orang yang menaruh minat atas kajian hukum fikih. Setiap mazhab memiliki pengikut fanatik terhadap mazhabnya. Sebagai konsekuensinya, tafsīr fiqhī bisa dipastikan untuk tampil mewakili setiap mazhab hukum sesuai kadar fanatisme mufasirnya, sehingga tidak jarang penafsiran dengan corak fikih menjadi tafsir liar karena merepresentasikan penafsiran lafal-lafal tertentu dalam al-Qur’ān di luar yang semestinya.92 Dengan kata lain, aksi penafsiran al-Qur’ān berada di bawah dominasi kepentingan nalar fikih setiap mazhab yang diikuti sang mufasir.

Oleh karena itu, tafsir corak fikih seakan-akan melihat al-Qur’ān sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan93 atau menganggap al-Qur’ān sebagai kitab hukum. Dalam bentuknya yang ekstrim, tafsir model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan diskusi fikih menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra para ulama.

Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak fikih yaitu, Ah}kām al-Qur’ān karya Ah}mad b. ‘Alī al-Rāzī al-Jas}s}ās} (918-981 M)}, Ah}kām al-Qur’ān karya Abū Bakr Ibn al-‘Arabī (1076-1148 M ), al-Jāmi‘ li Ah}kām al-Qur’ān karya ‘Abd Allāh Muh}ammad b. Ah}mad al-Qurt}ubī (1214-1273 M), dan Āyāt al-Ah}kām karya ‘Alī al-S{ābūnī.

92 al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Vol.2, 435.

93 Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990), 24.

80

e. Tafsir Corak Teologis (al-Tafsīr al-I‘tiqādī)

Tafsir corak teologis adalah salah satu jenis penafsiran al-Qur’ān yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang sebuah aliran teologi tertentu. Tafsir corak ini akan lebih banyak mendiskusikan tema-tema teologi dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’ān, sehingga sarat dengan muatan sektarian dan pembelaan terhadap faham teologi yang menjadi referensi utama bagi mufasirnya.

Ayat-ayat al-Qur’ān yang tampak kontradiksi satu sama lain secara lahiriah, seringkali didayagunakankan oleh aliran-aliran teologi sebagai dasar penafsirannya. Faktanya, ayat-ayat seperti ini memang memberi peluang yang potensial untuk dijadikan sebagai alat pembenar atas faham-faham teologi. Di samping, adanya pernyataan dari al-Qur’ān sendiri tentang adanya kategorisasi ayat-ayatnya menjadi muh}kam dan mutashābih. Implikasinya, hal ini menjadi

sumber teoritis perbedaan penafsiran bercorak teologi yang dibangun di atas keyakinan-keyakinan teologis.

f. Tafsir Corak Tasawuf (Tafsīr al-S{ūfī)

Pasca munculnya konflik politis sepeninggal Nabi Muh}ammad, praktik-praktik asketisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam mulai berkembang. Bahkan, oleh sebagian para kalangan tertentu praktek asketisme ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya, sehingga memuncul teori-teori sufisme, semisal khawf, mah}abbah, ma‘rifah, h}ulūl dan wih}dat al-wujūd. Oleh karena itu, dalam dunia Islam muncul dua aliran dalam dunia sufisme, yaitu para praktisi sufi

81

yang cenderung mengedepankan laku-tirakat untuk mendekati Allah, dan para pemikir yang lebih konsen dengan teori-teori mistisnya.

Lahirnya dua model aliran sufistik yang kemudian dikenal dengan istilah

s}ūfī ishārī dan s}ūfī naz}arī ini juga berimplikasi dengan munculnya dua model penafsiran al-Qur’ān dalam perspektif tokoh-tokoh sufi, tafsīr s}ūfī ishārī dan

tafsīr s}ūfī naz}arī. Tafsīr s}ūfī naz}arī adalah sebuah penafsiran yang dibangun untuk mempromosikan salah satu di antara sekian teori mistik dengan menggeser tujuan al-Qur’ān kepada tujuan dan target mistis mufasirnya. Sedangkan tafsīr s}ūfī ishārī adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’ān yang berbeda dengan makna lahirnya, dan disesuaikan dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi antara kedua makna tersebut masih dapat dikompromikan.94

Berpijak pada alasan di atas, maka tafsīr s}ūfī ishārī dapat diterima selama tidak menafikan makna lahir, diperkuat oleh dalil syara’, dan tidak bertentangan dengan dalil syariat. Meskipun demikian, penafsiran yang bersifat sufi ini juga jangan diakui sebagai satu-satunya penafsiran yang dikehendaki oleh Allah. Seorang sufi harus mengakui bahwa pengertian tekstual dari ayat tersebut juga sangat berperan penting dalam sebuah penafsiran.95 Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak s}ūfī adalah Tafsīr Qur’ān Az}īm karya Sahl b. ‘Abd Allāh

al-Tusturī (818-896 M), H{aqāiq al-Tafsīr karya Muh}ammad b. al-H{usayn al-Sulāmī (937-1021 M), dan Tafsīr ‘Arāis al-Bayān fī H{aqāiq al-Qur’ān karangan Ruzbahān al-Baqlī al-Shīrāzī (1128-1209 M).

94 al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Vol.2, 435.

82

g. Tafsir Corak Sosial Budaya Masyarakat (Adabī Ijtimā‘ī)

Tafir corak sosial budaya masyarakat merupakan tafsir yang cenderung menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’ān yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.96 Mufasir yang mengaplikasikan tafsir jenis ini biasanya menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’ān dari segi keindahan bahasa dan kemukjizatannya, menampilkan sunatullah yang tertuang di jagat raya dan sistem-sistem sosial kemasyarakatan, sehingga ia mampu memberikan jawaban bagi persoalan umat Islam secara khusus dan persoalan kemanusiaan secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’ān sebagai rahmat bagi alam semesta dengan menggunakan bahasa yang indah dan mudah dipahami.

Di antara kitab-kitab tafsir yang bernuansa corak ini adalah Tafsīr

al-Manār karya Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905 M) dan Rashīd Rid}ā (1865-1935

M), Tafsīr Qur’ān karya Ah}mad Must}afā Marāghī (1881-1945 M), Tafsīr

al-Qur’ān al-Az}īm karya Mah}mūd Shalt}ūt} (1893-1963 M), dan al-Tafsīr al-Wād}ih karangan Muh}ammad Mah}mūd H{ijāzī.

Tafsir corak sosial budaya masyarakat ini dipopulerkan oleh Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905 M), di mana ia menjelaskan bahwa upayanya menghubungkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat, dimaksudkan agar tafsir dapat diterima masyarakat dengan mudah,

83

mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’ān dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka.97

Fungsi al-Qur’ān sebagai petunjuk (hūdan) mengantarkan manusia untuk selalu mengharapkan hidayah sesuai dengan petunjuk al-Qur’ān, pemberi peringatan dan kabar gembira kepada umat manusia. Al-Qur’ān diturunkan tidak hanya untuk mendidik dan menyucikan jiwa manusia dari sifat syirik, kesesatan, dan perbuatan aniaya, tapi ia juga mengisi jiwa manusia dengan cahaya dan kesucian yang bisa mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang bisa membawa pada kebahagiaan dan menghindarkannya dari kesesatan dan kebodohan. Semua itu pada hakikatnya untuk menuju puncak makrifah Allah yang selalu menuntun manusia untuk hidup bermasyarakat yang didasari semangat cinta dan kesucian jiwa.