• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Tafsir al-Qur’ān di Indonesia

B. Bangsa Indonesia dan Dialektika Tafsir al-Qur’ān

2. Perkembangan Tafsir al-Qur’ān di Indonesia

97

2. Perkembangan Tafsir al-Qur’ān di Indonesia

Sejarah Indonesia menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia menaruh perhatian yang sangat besar dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’ān. Sejak tahun 1606 M sekitar abad ke-16, salah satu naskah tertua yang dibawa pedagang VOC dari kesultanan Johor ke Rotterdam Belanda adalah al-Qur’ān.125

Hal ini menunjukkan bahwa perhatian dan usaha mengkaji al-Qur’ān tidak hanya terjadi pada masyarakat yang berada di pusat-pusat kajian tafsir, seperti Mekah, Madinah, dan Irak, namun kajian tentang al-Qur’ān juga terjadi di belahan bumi Indonesia. Pada abad ini, al-Qur’ān telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat muslim Melayu.

Sistem pendidikam Islam pertama di Indonesia dalam pandangan Mahmud Yunus (1899-1982 M) tidak terlepas dari peran al-Qur’ān, bagaimana al-Qur’ān diperkenalkan pada masyarakat Muslim sejak dini melalui kegiatan pengajian al-Qur’ān baik di surau, langgar, maupun di masjid. Yunus bahkan lebih lanjut menyatakan dalam analisisnya bahwa pendidikan al-Qur’ān pada masa itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak sebelum mempelajari dan diperkenalkan dengan praktek-praktek ibadah.126

Upaya mempelajari al-Qur’ān pada tahap berikutnya adalah mengkaji konsep tertentu dari al-Qur’ān, misalnya konsep salat dan puasa. Selanjutnya mempelajari tafsir dan ‘Ulum al-Qur’ān dalam bentuk penjelasan lisan. Selang beberapa waktu kemudian, muncul para ulama yang kompeten terhadap kajian

125 Didin Syafruddin, “Ilmu al-Qur’an sebagai Sumber Pemikiran,” dalam Taufik Abdullah (ed.),

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.), 23.

98

Qur’ān dan tafsir untuk menuangkan ilmunya dalam bentuk karya ilmiah, baik dalam bentuk terjemahan maupun karya tafsir mandiri.

Kajian terhadap al-Qur’ān menempati tempat yang paling khusus dalam masyarakat Muslim Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia, tafsir mengalami kemajuan dan perkembangan yang membanggakan. Hal ini tidak terlepas dari minat dan apresiasi umat Islam Indonesia yang begitu tinggi akan kajian tafsir. Oleh karena itu, terdapat periodenisasi penafsiran al-Qur’ān yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian tafsir di Indonesia, yaitu:

a. Periode Awal: Penafsiran Lisan (Abad I H atau 7/8 M)

Islam hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia pada abad 1/2 H atau abad k 7/8 M, dibawa langsung oleh saudagar Arab Islam dari Jazirah Arab. Pada abad ini, usaha memahami al-Qur’ān dilakukan dengan menggunakan bahasa setempat (lokal), seperti yang diungkapkan pada pembahasan sebelumnya bahwa orang-orang Arab, ada yang menetap di Sumatera dan di Jawa. Tentunya, untuk mempermudah pemahaman terhadap kandungan al-Qur’ān, maka masyarakat Sumatera menggunakan bahasa Melayu dan masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa.

Pada awalnya bahasa yang dipakai dengan menggunakan bahasa lisan (penafsiran lisan). Penafsiran lisan ini masih integral dengan ajaran Islam yang lain, seperti tauhid, fikih, akhlak, tasawuf dan lain sebagainya, dan disajikan secara praktis dalam bentuk amaliyah sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu berpikir panjang karena ilmu yang diberikan dapat langsung dikerjakan secara riil.

99

Contoh populer yang dapat dirujuk pada saat itu adalah istilah molimo yang dikemukakan Sunan Ampel (1401-1481 M) yang mengandung makna emoh

limo (tidak mau melakukan lima hal yang dilarang agama Islam), yang terdiri dari emoh main (tidak mau main judi), emoh ngombe (tidak mau minum minuman

keras atau yang memabukkan), emoh madat (tidak mau menghisap candu atau ganja), emoh maling (tidak mau mencuri), dan emoh madon (tidak mau main perempuan atau berzina).127

Sunan Ampel tidak menjelaskan bahwa apa yang terurai dari lima hal yang dilarang tersebut adalah tafsir dari ayat-ayat al-Qur’ān. Ia hanya menyampaikan bahwa lima perkara tersebut harus ditinggalkan jika ingin selamat di dunia dan akhirat. Bila dicermati dengan seksama, ajaran Sunan Ampel tersebut ditemukan dalam tafsir ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’ān. Ajaran emoh main, emoh

ngombe, dan emoh madat merupakan tafsir dari Q.S. al-Māidah [5]: 90; emoh maling merupakan tafsir dari Q.S. al-Māidah [5]: 38-39; dan emoh madon

merupakan tafsir dari surat Q.S. al-Māidah [5]: 5 dan Q.S. al-Isrā’ [17]: 32.

Meskipun hanya satu contoh yang dikemukan dalam penafsiran secara lisan, namun contoh tersebut cukup mewakili adanya bentuk penafsiran lisan pada periode awal ini. Penafsiran dalam bentuk lisan ini cukup menyatu dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Kurang lebih 8 abad, umat Islam dalam kondisi seperti ini, yaitu mulai abad 1 H/7 M hingga abad 7 H/15 M.

Mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang masih baru mengenal Islam, pada periode ini juga dapat dikatakan periode islamisasi, yaitu

127 Indal Abrar, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia,” Esensia, Vol.3, No.2, 2002. 191. Lihat juga Baidlowi Syamsuri, Kisah Walisongo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya: Apollo, t.th.), 14-15.

100

mengislamkan bangsa Indonesia yang awalnya penganut kepercayaan (animisme) untuk menjadi penganut Islam. Oleh karena itu, hal yang paling baik dalam memberi pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’ān pada masa ini dengan menggunakan penafsiran lisan. Dengan kata lain, karena islam belum membumi dalam masyarakat Indonesia, maka penafsiran dalam bentuk tertulis belum ditemukan dalam periode awal ini.

b. Periode Pertengahan (Abad ke-16-19 M)

Pada periode pertengahan ini, ulama yang mendalami tafsir mulai mengkaji tafsir dalam bentuk tulisan. Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh, memasuki abad ke-16 muncul ulama yang berusaha menulis tafsir al-Qur’ān, walaupun dilakukan dengan terpotong-potong dan dalam penggalan-penggalan surah dan ayat.

Namun demikian, pada periode ini juga ada penulisan tafsir yang berbentuk terjemahan dalam bahasa lokal, dan juga ada penulisan tafsir yang dalam bentuk karya utuh sebuah tafsir seperti karya tafsir Timur Tengah.

Pada periode ini, memasuki abad 16 ditemukan penulisan tafsir yang dilakukan dengan terpotong-potong. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari naskah terjemahan Tafsīr Sūrah al-Kahfi [18]: 9 yang mengikuti tradisi Tafsīr al-Khāzin, namun tidak diketahui siapa penulisnya. Dilihat dari corak dan nuansanya, tafsir ini sangat kental dengan warna sufistik. Ini tentu mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi. Manuskrip tafsir ini dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus (w.1624 M) pada awal abad ke-17 M dan menjadi koleksi

101

Cambridge University Library. Diduga manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana mufti kesultanannya adalah Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630 M), atau bahkan sebelumnya, yaitu pada masa Sultan Sayyid al-Mukammil (1537-1604 M), di mana mufti kesultanannya adalah Hamzah Fansuri (w.1590 M).128

Informasi lain mengenai ditemukannya penggalan-penggalan beberapa surah atau ayat yang ditemukan di Sumenep Madura dan diperkirakan ditulis pada abad ke-16-18 M, yaitu surah al-Ma‘ārij [70]: 1-10 dengan menggunakan tulisan Arab berbahasa Madura.129 Tahun penulisan kitab ini tidak dapat ditemukan, dan bahan yang digunakan untuk menulis memakai kertas kayu.130 Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura sudah terbiasa dengan tulisan (aksara) Arab berkat ajaran para Walisongo. Tidak heran jika mereka menulis pelajaran termasuk tafsir al-Qur’ān dengan menggunakan Arab Jawi. Naskah ini sekarang tersimpan di musium Istiqlal Jakarta.131

Pada periode ini juga ditemukan karya tafsir yang ditulis secara lengkap dan utuh sesuai mushaf mulai dari surat al-Fātih}ah hingga surat al-Nās. Karya tulis lengkap 30 juz ini ditulis oleh Abdur Ra’uf Singkel (1615-1693 M), seorang ulama terkemuka Aceh yang berjudul Tarjumān al-Mustafīd dalam bentuk terjemah bahasa Melayu.

128 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), 43.

129 Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, 192.

130 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 61.

131 Naskah ini berasal dari Sumenep Madura, tersimpan dalam koleksi Museum Istiqlal Jakarta. No. Katalog MD2124.

102

Dengan karyanya tersebut, Singkel merupakan seorang alim pertama dari Melayu yang berjasa menyiapkan tafsir lengkap al-Qur’ān dalam bahasa Melayu. Snouck Hurgronje, tanpa meneliti lebih dahulu menyimpulkan dengan gayanya yang sinis bahwa tafsir Tarjumān al-Mustafīd hanyalah sebuah terjemahan bahasa Melayu yang buruk dari sebuah tafsir Anwār al-Tanzīl karya ‘Abd Allāb b. Abī al-Qāsim al-Bayd}āwī (w. 685 H/1286 M). Namun, Peter G. Riddell dan Salman Harun, dalam telaah mereka, secara meyakinkan dapat membuktikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan dari Tafsīr al-Jalālayn. Hanya pada bagian tertentu saja Singkel memanfaatkan Tafsīr al-Bayd}āwī dan Tafsīr al-Khāzin serta

beberapa tafsir lain.132 Tafsīr al-Bayd}āwī merupakan tafsir yang ekstensif dan rumit, sedangkan Tafsīr Tarjumān al-Mustafīd modelnya singkat, jelas, dan elementer.

Pilihan Singkel terhadap Tafsīr al-Jalālayn merupakan pilihan yang tepat, mengingat tafsir ini sederhana, jelas, dan ringkas, sehingga cocok untuk para pemula. Apalagi jika mengingat kondisi masyarakat Indonesia pada abad 17 M yang berada dibawah penjajahan Belanda. Sedangkan memilih tafsir yang rumit membutuhkan tingkat intelektual yang tinggi, hal ini bukanlah pilihan yang tepat. Karena jika hal tersebut dilakukan, sasaran yang hendak dicapai dalam penyebaran agama Islam akan sulit dicapai.

Memasuki abad 19 M kajian tafsir di Indonesia ditandai dengan munculnya sebuah karya tafsir fenomenal yang berjudul Tafsīr Marah} labīd karya

132 PG. Riddel dan Salman Harun adalah dua orang sarjana yang meneliti tafsir karya Singkel. Riddel berasal dari Australia, sedangkan Harun adalah seorang doktor dari UIN Jakarta. Baca Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII:

103

Syeikh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M) yang ditulis di Mekkah pada tahun 1886 M dan dicetak di Kairo pada tahun 1887 M. Sebelum dicetak, naskahnya disodorkan kepada ulama Mekah dan Madinah untuk diteliti. Atas kecemerlangannya menulis tafsir itu, ulama Mesir memberi gelar pada Nawawi al-Bantani dengan sebutan Sayyid ‘Ulamā’ al-H{ijāz. Nawawi al-Bantani adalah ulama yang paling menonjol pada abad 19 M dan telah menghasilkan lebih dari 100 karya dalam berbagai disiplin ilmu, mulai figh, akhlak, tasawwuf, tata bahasa Arab, hingga tafsir.

Karya tafsir monumental ini terdiri dari dua jilid sebanyak 985 halaman. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak Sunnī sekalipun dalam beberapa bagian merujuk pada tafsir dari kalangan Mu‘tazilah, terutama al-Kashshāf. Ia juga dapat dikatakan seorang neo klasik karena telah memberi tempat penting bagi karya ulama pertengahan, seperti Tafsīr Ibn Kathīr dan Tafsīr al-Jalālayn, serta pada saat yang sama juga merespons perkembangan kontemporer.

Kemunculan tafsir Tarjumān al-Mustafīd dan Tafsīr Marah} Labīd terdapat

rentang waktu yang cukup panjang, terjadi kevakuman tafsir di Indonesia selama kurang lebih dua abad. Di antara asumsi yang dapat dijadikan jawaban atas kevakuman tersebut adalah kondisi objektif bangsa Indonesia yang sedang berada dalam cengkraman penjajah.

Pada rentang waktu ini bukan tidak ada karya tafsir Indonesia, tetapi yang diketemukan hanya potongan beberapa ayat saja, misalnya sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu kitab Farā’id al-Qur’ān. Tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Tafsir ini juga ditulis dalam bentuk yang sangat

104

sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Objek penafsiran naskah ini adalah surah al-Nisā’ [4]: 11-12 yang berbicara tentang hukum waris.

Keterangan yang diberikan sederhana tetapi lebih dari sekedar terjemah. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa ulama Aceh, yaitu Jāmi‘

al-Jawāmi‘ al-Mus}annafāt. Manuskrip buku ini disimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam.133 Munculnya tafsir ini menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-19 M sistematika penyajian tafsir tematik sudah dikenal, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana.

c. Periode Modern (Abad ke-20 M)

Pada periode ini, kajian tafsir di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Beragam model dan corak tafsir muncul, mulai dari sekedar terjemah al-Qur’ān (tafsirīyah) hingga karya tafsir utuh dan bahkan diapresiasi dunia International. Meski demikian, masih ada kajian tafsir dalam bentuk dan model.

Kajian tafsir yang diulas utuh, lengkap dan terperinci dalam bentuk 30 juz secara urut sesuai urutan mushaf yang dimulai dengan surat al-Fātih}ah dan diakhiri dengan surat al-Nās dengan metode analitis, tampak dalam penafsiran yang ditampilkan oleh Hamka (1908-1981 M) dalam karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Azhar, dan tafsir karya Quraish Shihab yang berjudul Tafsir

al-Misbah. Dua karya ini merupakan karya fenomenal sebuah tafsir yang menjadi

kebanggaan masyarakat Indonesia yang diakui dunia International.

105

Tafsir al-Azhar terdiri dari 30 jilid sesuai dengan jumlah juz yang ada

dalam al-Qur’ān. Dalam setiap jilid, Hamka menafsirkan 1 juz dari ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’ān. Hamka menggunakan kata juzu’ dalam setiap jilid tafsirnya. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān yang terdiri dari 30 juz menjadi 15 jilid (volume). Dalam setiap volume tafsirnya, Quraish Quraish kadangkala mengupas tuntas 1 surah dalam al-Qur’ān, kadangkala 2 surah, dan juga ada yang lebih dari 3 surah, seperti dalam volume 1 mengupas tuntas surah al-Fātih}ah dan al-Baqarah, vol. 3 hanya 1 surah, yaitu al-Māidah, dan vol. 9 menafsirkan lebih dari 3 surah, yaitu surah H{ajj, Mukminūn, Nūr, dan al-Furqān.

Tafsir yang ditulis secara utuh terdiri dari 30 juz yang ditulis secara runtut sesuai dengan urutan dalam mushaf dalam bentuk tafsir terjemah (tafsīrīyah) dapat ditemukan dalam karya-karya berikut ini, misalnya Tafsir Qur’an Karim (1922) karya Mahmud Yunus (1899-1982 M), Tafsir al-Qur’an al-‘Az}īm (1923) karya Raden penghulu Tafsir Anom V (1854-1933 M), Furqān fī Tafsīr

al-Qur’ān (1928) karya A. Hasan (1887-1958 M), Qoer’an Indonesia (1932) yang

diterbitkan Syarikat Kwekschool Moehammadiyah, Tafsir Hibarna (1934) karya Iskandar Idris (1900-1982 M), Tafsir al-Syamsiyah (1935) karya Ahamd Sanusi (1889-1950 M), Qur’an Karim (1938) karya Mahmud Yunus (1899-1982 M). Selain itu, juga ada Tafsir Qur’an Bahasa Indonesia (1942) karya Mahmud Aziz,

Tafsir Qur’an Karim yang ditulis oleh tiga orang Sumatera, yakni Halim Hasan,

Arifin Abbas, dan Abdurrahim Haitami, Tafsir al-Qur’ān Karim (1942) karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Sinar karya Malik Ahmad,

106

Ibrīz (1950) karya Bisri Mustofa (1915-1977 M), Tafsir Qur’an Majid

Al-Nur (1952) dan Tafsir al-Bayan (1966) karya TM Hasby Ash-Shiddieqy

(1904-1975 M), Al-Qur’ān dan Terjemahnya serta al-Qur’ān dan Tafsirnya (1967) karya Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ān, Departemen Agama RI,

Terjemah dan Tafsir al-Qur’ān (1978) karya Bakhtiar Surin, al-Qur’ān bacaan Mulia karya H.B Jassin (1917-2000 M), al-Kitabul Mubin karya Muh. Ramli

(1889-1981 M), Tafsir Rahmat (1983) karya Oemar Bakry, dan yang lainnya. Selain itu, sebagian peminat kajian tafsir di Indonesia memilih juz-juz tertentu dari Qur’ān sebagai bahan kajian dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān. Salah satunya adalah Juz ‘Amma. Juz ini memuat surat-surat pendek dalam al-Qur’ān yang sering dibaca oleh imam salat dan banyak dihafal oleh umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika sebagian ulama Indonesia memusatkan pikiran dan keilmuannya untuk memakai Juz ‘Amma sebagai obyek penafsiran al-Qur’ān, misalnya al-Burhan: Tafsir Juz ‘Amma (1922) karya Hamka (1908-1981 M), al-Hidayah: Tafsir Juz ‘Amma (1930) karya A. Hasan (1887-1958 M), Tafsir Al-Qur’an Juz ‘Amma dengan Bahasa Jawa (1938) karya Hadikusuma, Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma karya Anre Gurutta H.M. As’ad (w. 1952 M), al-Abror: Tafsir Juz ‘Amma (1960) karya Mushtofa Baisa, dan lain-lain.

Ada juga para peminat kajian tafsir yang memfokuskan surah-surah tertentu dalam al-Qur’ān sebagai bahan penulisan dalam memahami maksud yang terkandung dalam al-Qur’ān, seperti Tafsir al-Qur’ān Karim, Yaasin (1951) karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir Surah Yaasin dengan Keterangan (1951) karya A.

107

Hasan (1887-1958 M), Tafsir Surah Yaasin (1978) karya Zainal Abidin Ahmad, Tafsir Surah Yasin karya Bisri Musthofa (1915-1977 M), Tafsir Surat al-Kahfi

dengan Bahasa Melajoe (1920) karya Abdoel Wahid Kari Moeda bin Muhammad

Siddik, Kanzur Rah}mah wa luth fī tafsīr sūrat Kahf, Tajrij Qulūb

al-Mu’minīn fī Tafsīr Sūrat Yāsīn, Kasf al-Sa‘ādah fī Tafsīr Sūrat Wāqi’ah, Hidāyah Qulūb al-Shibyān fī Fad}āil Sūrat Tabārak Mulk min Qur’ān, Tafsīr Sūrat

al-Falaq, Tafsīr Surat al-Nās karya Ahamd Sanusi (1889-1950 M). Di samping itu,

juga kajian tafsir yang mengacu pada surah al-Fatihah sebagai obyek kajian, misalnya Risaalatoel Faatihah (1938) karya A. Hasan (1887-1958 M), Tafsir

Qur’ān Karim Surah Fatihah (1955) karya M. Nur Idris, Kandungan

al-Fatihah (1956) karya Bahroem Rangkuti, Samudera al-al-Fatihah (1972) karya Bey

Arifin (1917-1995 M), dan lain-lain.

Pada masa ini para intelektual Muslim Indonesia semakin kreatif dalam mengembangkan karya tafsir di Indonesia. Kajian tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat, setidaknya pada periode ini bermunculan karya tafsir dengan beragam metode dan corak. Namun yang terlihat mendominasi pada masa ini karya tafsir dengan model tematik, yang merespon perkembangan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti persoalan gender, perkembangan politik, hubungan dengan non muslim, dan lain-lain.

Tidak ketinggalan karya tafsir yang berkonsentrasi pada tema-tema tertentu sebagai obyek kajian dalam menafsirkan al-Qur’ān, misalnya Rangkaian

Tjerita dalam al-Qur’ān (1963) karya Bey Arifin (1917-1995 M), al-Qur’ān tentang Wanita (1969) karya M. Said, Ayat-ayat Hukum: Tafsir dan

108

Uraian Perintah dalam al-Qur’ān (1976) karya Dahlan Saleh, Tafsir Ayat Ahkam tentang Beberapa Perbuatan Pidana dalam Hukum Islam (1984) karya Nasikun,

kedua karya terakhir ini memilih ayat-ayat hukum sebagai obyek kajian dalam menafsirkan al-Qur’ān, dan lain-lain.

Di sisi lain juga ada karya tafsir Konsep Kufr dalam al-Qur’ān: Suatu

Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (1991) karya Harifuddin

Cawidu, Tafsir al-Amanah (1992), Membumikan al-Qur’ān (1992), Studi Kritis

Tafsir al-Manar, Lentera Hati (1994), Wawasan al-Qur’ān, Tafsir Maudhu’i Perbagai Persoalan Umat (1996), Mu’jizat al-Qur’ān (1997), Yang Tersembunyi

(2000), Perempuan (2005) karya M. Quraish Shihab, Tafsir bi al-Ma’thur: Pesan

Moral al-Qur’ān (1993) karya Jalaluddin Rahmat, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an (1999) karya Nasaruddin Umar, Dalam Cahaya al-Quran: Tafsir Sosial Politik al-Qur’an (2000) karya Syu’bah Asa, dan lain-lain.

Ini menunjukkan bahwa pada periode ini, ada perkembangan menarik dalam kajian tafsir al-Qur’ān di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin banyaklah intelektual Muslim Indionesia yang berlatar belakang pendidikan umum mengkaji, menulis, dan menafsirkan al-Qur’ān. Misalnya, Ahmad Baiquni, seorang doktor di bidang nuklir dari Universitas Chicago menghasilkan sebuah karya yang berjudul

al-Qur’ān, Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi.

Demikian pula, Baharuddin Lopa, seorang doktor ilmu hukum dari Universitas Diponegoro Semarang menulis al-Qur’ān dan Hak-hak Azazi

109

Muhammadiyah Malang yang menulis karya Ensiklopedi al-Qur’ān, Agus Mustofa seorang ilmuan yang menghasilkan karya tafsir dalam serial diskusi tasawwufnya dengan tema bermacam-macam mulai dari Ternyata Akherat Tidak

Kekal hingga Ternyata Adam Tak Diusir Dari Surga, dan Musta’in Syafi’i dalam

karyanya Tafsir Bahasa Koran.