• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, ALUR, LATAR,

2.1.5 Karta

Karta digambarkan sebagai tokoh tambahan protagonissekaligus tokoh bulat. Dia terlalu percaya diri dan sombong. Nama lengkapnya adalah Karta Parinduri.

Karta digambarkan sebagai orang yang pintar bernyanyi. Suaranya merdu. Dia

mendapat beasiswa musik.

(63) Di belakangnya menyusul Karta, si buluh perindu yang mengangguk sopan. ”Assalamualaikum,” menegur sopan. (Yogyakarta, 2010:5)

(64) Suara Karta Parinduri, sang penyanyi, mahasiswa dari Medan yang mendapat beasiswa musik dan selalu percaya bahwa ia memiliki suara seperti Nat King Cole. (Yogyakarta, 2010:3)

Karta berasal dari Medan. Awalnya dia tidak mempunyai keinginan menjadi

berdarah Batak. Waktu kecil Karta sering diajak ibunya untuk mengikuti

perlombaan.

(65) Duma melirik ke bawah, memerhatikan anak kurus berwajah imut– imut yang gemetar ketakutan. “Dia? Yang akan nyanyi?” katanya setengah tidak percaya.

“Iya dan kamu bisa lihat bahwa ia akan menjadi bintang!” Dengan

kalimat itu ibunya menyeret Karta ke bagian pendaftaran. (Yogyakarta, 2010:39-40).

Karta yang awalnya tidak percaya diri, menjadi percaya diri dan sombong.

Karta yang awalnya tidak menyukai pertunjukan sekarang menyukai pertunjukan

dan menikmati pertunjukan.

(66) Sementara itu, Karta menyadari bahwa ia sangat mencintai saat-saat berada di panggung. Ia dapat menguasai panggung. Ia senang merasa terbuai dan dipuja-puja di sana—dan dengan cepat perasaan di atas panggung dibawanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi seorang laki-laki yang sombong. (Yogyakarta, 2010:42).

Karta diterima di Universitas Gajah Mada jurusan seni. Ibunya

menceritakan pada ayahnya tentang hal itu. Sebenarnya, ayahnya ingin Karta

menjadi tentara seperti dirinya. Akhirnya, ayahnya tahu yang diinginkan dan

yang terbaik untuk anaknya, lalu dia mengizinkan Karta untuk kuliah di

Yogyakarta. Dialah yang justru mencarikan tempat kos di rumah Amanda.

(67) “Kamu bilang ia diterima di Universitas Gadjah Mada, Jogja”?

tanyanya.

Alfina mengangguk. ”Musik. Pa, seni memang hidupnya. Hidupnya

hanya untuk itu.” Henry mengangguk. ”Baiklah. Aku akan berbicara

pada kawanku. Ia mengenal seorang janda di Jogja yang membuka kos, dan menurut cerita kawanku, perempuan itu sangat tegas dan disiplin. Mungkin baik buat Karta kita koskan di sana,” katanya.

Di Yogyakarta, sifat Karta belum juga berubah. Karta tokoh yang memiliki

kesombongan melebihi bintang terkenal. Dia bernyanyi di dekat Olivia untuk

mendekati Olivia.

(68) Karta tersenyum, berhenti bernyanyi. “Nggak apa-apa. Untuk cewek kayak kamu, apa aja jadi nggak apa-apa.” Ia berjalan berdampingan dengan Olivia. ”Kamu tahu nggak, kamu itu mempunyai aura bintang.”

Olivia menatap Karta dan mengerutkan kening. ”Oh, ya? Tau dari

mana?”

“Aku juga punya. Karena itu aku tahu kalau sesama bintang saling

berdekatan”, katanya santai sambil duduk di meja makan.

(Yogyakarta, 2010:114)

Suatu hari, Karta ditelepon seseorang dari studio rekaman untuk audisi. Ia

menerima telepon dengan nada sombong dan penuh percaya diri. Karta yang

percaya diri bahwa demo CD rekamannya akan diterima mencoba mengajak

Olivia makan di luar.

(69) Terdengar suara orang yang berbicara dengan nada bersemangat, makin lama makin keras. Suara Karta, ”Ya, ya, Pak. Saya pasti datang ke sana. Saya akan memberi demo CD saya. Ya. Saya akan

melakukannya dengan senang hati!”

“Wah, selamat, ya!”

“Aku bilang apa! Feeling aku itu kuat banget! Aku punya aura

bintang!” katanya pada Olivia. “Gimana kalau aku traktir kamu nanti malem?” (Yogyakarta, 2010:117).

Kesombongan Karta tidak hanya disitu saja. Saat Karta makan di Malioboro

bersama Olivia, ia menyombongkan diri kepada dua orang pemuda yang sedang

mengamen.

(70) Olivia melihat Karta menatap mereka dan tiba-tiba laki-laki itu tertawa, “Aku melihat kalian antre di ruang tunggu studio rekaman Bar Suara Record! Ternyata suara kalian seperti itu!” ia berkata sambil menunjuk pada gitar dan wajah kedua pemuda di depannya. Kemudian Olivia mendengar Karta berkata lagi, ”Mana mungkin bisa diterima? Aku dong!” katanya. (Yogyakarta, 2010:126).

Karta sangat dekat dengan ibu kosnya. Sudah seperti ibunya sendiri. Setelah

kesombongan demi kesombongan, Karta merasakan batunya. Karta menceritakan

bahwa dia telah gagal untuk menjadi penyanyi terkenal. Karta sempat merasa

putus asa.

(71) Karta mencari tempat duduk di kursi anyaman dan menyerahkan diri dalam pelukan sofa bambu itu. ”Apa yang harus aku lakukan? Alam

membenciku! Semuanya membenciku!” (Yogyakarta, 2010:162).

Karta adalah tokoh bulat terlihat dari sifat sombongnya berubah menjadi

anak penurut. Dia merasa, kesombongannya tidak membuahkan hasil. Kutipan

terlihat dari saat Ananda mengajak pergi Karta untuk mengamen di pinggir jalan

walaupun awalnya Karta tidak mau.

(72) Karta tetap tinggal dalam delman dan dengan enggan turun di warung paling ujung, namun ia telah menyerah. Ia sadar bahwa ia telah menjadi sombong. Alam telah bersikap keras padanya. Dan ia ingin berubah. (Yogyakarta, 2010:176).

Karta sedang mengamen di warung. Pada saat bernyanyi di warung ketiga,

dia bertemu dengan dua pengamen yang pernah diejeknya dulu pada saat makan

bersama Olivia di Malioboro. Rasa malunya semakin memuncak.

(73) Kedua laki-laki itu tercekat.

Dan hati Karta bagai melesak ke dasar. ”Ngapain kamu di sini?” tanya

salah satu dari mereka.

Karta menelan ludah, berusaha tenang agar kakinya tidak gemetar dan

berkata pelan, “Aku ngamen.”

Jarene wis enthuk kontrak rekaman?” mereka bertanya keheranan. Katanya sudah dapat kontrak rekaman? Karta menelan ludah, menelan ego, dan menelan semua masa lalu saat ia selalu membusungkan dirinya melebihi yang seharusnya. ”Tidak. Aku gagal. Aku salah,”

katanya pelan. (Yogyakarta, 2010:177).

Dari pertemuan di warung saat mengamen, Karta berkenalan dengan Budi

mereka. Ternyata berkat Karta yang menghina suara mereka jelek akhirnya

mereka berlatih hingga suara mereka menjadi lebih bagus dan mereka

mengucapkan terima kasih pada Karta. Pertemuan mereka membuat mereka dekat

dan merencanakan untuk membuat band. Karta semakin sadar bahwa

kesombongan tidak menghasilkan apa-apa. Karta juga sempat berkata untuk

mengingatkan kalau dia nanti sombong.

(74) “Tau ndak, kami ini mesti terima kasih sama sampeyan,” kata laki

-laki yang berambut pendek. “Oh, ya. Ngomong-ngomong, aku Budi, dan ini Irwan,” katanya menunjuk pada si hidung bertindik, kemudian ia menyusupkan tubuhnya yang kurus kering di antara jajaran parkiran motor yang memadati tempat itu. (Yogyakarta, 2010:178).

Pada saat mengamen, Ananda bermaksud memperkenalkan Karta pada

temannya. Ananda membiarkan mereka bernyanyi hingga selesai. Ananda

memperkenalkan Karta kepada Pak Nurul, pemilik Bar Suara Record. Pak Nurul

terkesan dengan suara Karta dan meminta Karta datang ke studionya. Karta juga

memperkenalkan kedua teman barunya kepada Pak Nurul. Pak Nurul menawarkan

kedua temannya menjadi backing vocal dan mereka masing-masing memikirkan

tawaran tersebut. Kesombongan Karta mulai pudar dan jalan menjadi penyanyi

mulai terbuka.

(75) Karta berdeham dan mulai menyanyi . . . kemudian Karta memperkenalkan kedua teman barunya pada Ananda...

“Kar ini kebetulan ada Pak Nurul ini pemilik studio rekaman Bar

Suara Record.”

“Saya terkesan Anak Muda. Gimana kalau besok kita tes rekaman satu

lagi?”

Karta membelakkan matanya, ”Benar? Um ….bagaimana dengan dua teman saya?” tanyanya.

“Backing vocal?” tanya Pak Nurul, menatap kedua orang sambil menimbang-nimbang. (Yogyakarta, 2010:179-180).

Karta bisa mewujudkan mimpi menjadi penyanyi. Dia berterima kasih pada

Ananda yang telah membantunya untuk masuk ke dapur rekaman.

(79) “Terima kasih.” Ia yakin, pertemuannya dengan pemilik studio itu bukan sebuah kebetulan. Ananda hanya tersenyum simpul. (Yogyakarta, 2010:180).

Dokumen terkait