• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, ALUR, LATAR,

2.1.7 Tarjo

Tarjo tokoh tambahan protagonis sekaligus tokoh bulat. Tarjo yang berasal

dari Madura sangat dekat dengan ibunya. Nama lengkapnya adalah Tarjo

Adisukma. Ayahnya seorang kiai. Tarjo adalah mahasiswa jurusan akuntansi

Universitas Gadjah Mada.

Tarjo juga digambarkan pemeluk Islam yang taat. Dia berpendapat bahwa

melihat perempuan yang berpakaian mini adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan

ajaran agamanya.

(85) ”Astagfirullah,” desah Tarjo.

“Astagfirullah,” sekali lagi Tarjo berusaha untuk tidak melihat perempuan itu. Ia tidak ingin melihat perempuan berpakaian mini seperti itu. Haram. (Yogyakarta, 2010:9).

Saat kilas balik masa kecil Tarjo diceritakan bahwa Tarjo kecil sangat dekat

dengan ibunya. Mereka selalu mempunyai acara rutin yaitu jalan pagi ketika di

Madura.

(86) Tarjo selalu menyukai acara jalan paginya. Ia melonjak-lonjak sambil menggenggam tangan ibunya dengan erat dan mereka terus berjalan sampai tiba di dekat rumah mereka (Yogyakarta, 2010:31).

Tarjo juga digambarkan sebagai anak orang kaya. Ayahnya adalah orang

kaya di Madura. Rumahnya tergolong rumah mewah di Madura.

(87) Mereka berjalan menuju sebuah rumah berpagar putih bertingkat yang terletak paling ujung dari kompleks baru itu. Keluarga mereka merupakan salah satu dari sedikit orang yang memiliki mobil mewah berpelat M. Madura. (Yogyakarta, 2010:34).

Tarjo anak yang belum tahu pilihan hidupnya. Dia tidak tahu apa yang

terbaik untuk masa depannya. Dia bingung dengan alasannya dia memilih

akuntasi. Padahal dia sudah memutuskan menolak permintaan ayahnya masuk

pesantren.

(88) “Kenapa lo suka Akuntansi?” tanya Olivia.

“Nggak tahu kenapa”.

“Lo nggak tahu kenapa lo suka Akuntansi?” tanya Olivia.

Tarjo berpikir-pikir. ”Yah, mungkin karena Akuntasi itu kan tentang keseimbangan.” (Yogyakarta, 2010:102).

Keyakinan Tarjo berubah setelah ia bertemu dengan bayangan seorang

laki-laki saat berkemah di Candi Boko. Pria itu memberi masukan dan membuka

pikiran Tarjo. Akhirnya ia tahu yang dia mau dan tahu tujuan hidupnya, yaitu

menyelesaikan kuliah jurusan akuntasi dan masuk pesantren.

(89) Tarjo menatap laki-laki itu—sepertinya ia pernah melihatnya di suatu tempat. Entah di mana.

Laki laki itu tersenyum. ”Adik kuliah?”

“Iya. Akuntansi. Tapi aku pikir aku seharusnya masuk pesantren.” “Yah ... bagaimana mungkin anak kiai tidak belajar di pesantren? Bapak mau aku masuk pesantren.”

“Dan kamu?” tanya laki-laki itu.

Tarjo menatatap bebek-bebek itu. ”Aku seharusnya nurutin Bapak. Dari kecil Ibu selalu suruh aku nurut Bapak.”

“Kamu bebek yang pertama atau yang ngikutin?’

Tiba-tiba kaki Tarjo terasa lemas dan ia terjatuh dengan berlutut. Sesuatu terjadi pada dirinya. Ia menyadari satu hal.

Seorang pecinta Allah dapat menjadi apa pun, dan ia tetap seorang pecinta Allah.

“Tapi abis lulus aku akan tetep belajar ke pesantren,” katanya. (Yogyakarta, 2010:226-227).

Berdasarkan analisis tokoh dan penokohan di atas dapat disimpulkan bahwa

tokoh utama protagonis adalah Yudhistira dan Olivia. Tarjo, Karta, Yahya,

tidak berbentuk tokoh, tetapi peristiwa-peristiwa masa lalu dari masing- masing

tokoh. Peristiwa masa lalu tersebut menjadi konflik bagi masing–masing tokoh. Yudhistira berkonflik dengan masa lalunya, yaitu trauma dengan kekasih

pertamanya. Olivia berkonflik dengan perjodohan yang ditentukan oleh orang

tuanya. Gerson berkonflik dengan trauma kematian ayahnya. Yahya berkonflik

dengan ibunya yang single parent. Tarjo berkonflik dengan ambisi ayahnya untuk

menjadikan Tarjo seorang kiai dan penderitaan ibunya akibat dipoligami. Karta

yang berkonflik dengan ambisi orang tuanya yang menginginkan Karta menjadi

penyanyi atau tentara.

2.2 Alur

Alur dalam novel Yogyakarta tergolong unik. Alur novel ini berbeda dari

novel konvensional pada umumnya. Novel ini menceritakan tokoh yang berbeda

pada tiap bab. Pada bab-bab selanjutnya tokoh-tokoh tersebut bersinggungan dan

barulah terlihat kelanjutan cerita tokoh-tokoh tersebut. Alur ini dinamakan alur

tokohan.

Alur tokohan pada novel ini terjadi pada bab pertama yang menceritakan

tokoh Gerson, bab kedua menceritakan masa lalu Tarjo, bab ketiga menceritakan

Karta masa kecil diarahkan ibunya menjadi penyanyi, bab keempat menceritakan

Yahya sewaktu di Pontianak, bab kelima menceritakan peristiwa yang membuat

Olivia memutuskan pergi ke Jogja, bab keenam menceritakan kenangan

Yudhistira, bab ketujuh kembali menceritakan Tarjo bersama Olivia, bab

Cerita yang berkembang pada masing-masing tokoh menambahkan

pengetahuan pembaca tentang hal yang terjadi, walaupun sebenarnya jika

alur-alur tersebut dihilangkan bukanlah hal yang berarti atau tidak akan mengubah

akhir cerita. Hal inilah yang dimaksud dengan alur longgar.

Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dalam novel ini adalah alur maju.

Alur maju pada novel ini terlihat jelas pada setiap bab. Meskipun pada tiap bab

mengisahkan tokoh yang berbeda, tetap saja cerita yang disajikan saling

melengkapi. Hal ini terlihat pada bagian prolog, bab pertama, kedua, hingga bab

terakhir, bahkan epilog.

Novel ini diawali dengan kegiatan pagi hari di kos Ananda yaitu sarapan

pagi rutin pukul 06.15, sebelum mereka melakukan aktivitas di luar rumah.

Selanjutnya cerita dimulai dari masing-masing tokoh yang berasal dari suku yang

berbeda dan mereka mempunyai masalah masing-masing sebelum mereka

merantau ke Yogyakarta. Pada bab selanjutnya, mereka mulai mengejar cinta

seorang gadis bernama Olivia. Tarjo, Karta, Gerson, dan Yahya berusaha

mendekati Olivia. Hanya satu laki-laki yang tidak mau mengejar cintanya yaitu

Yudhistira, anak ibu kos. Akan tetapi, di akhir cerita, justru Yudhistira yang bisa

merebut hati Olivia walaupun awalnya Olivia telah dijodohkan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sudah jelas bahwa cerita pada bab yang

sudah disebutkan di atas ternyata saling berurutan dan berkaitan satu sama lain.

Cerita terus disampaikan menggunakan alur maju. Namun demikian, alur maju

seorang tokoh teringat masa lalunya. Masa lalu tokoh tersebut diceritakan

sebagian, kemudian tokoh tersebut kembali ke keadaan sekarang.

Teknik pembalikan cerita, atau penyorotbalikan peristiwa-peristiwa ke tahap

sebelumnya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Mungkin pengarang

”menyuruh” tokoh merenung kembali ke masa lalunya, menuturkannya kepada

tokoh lain baik secara lisan maupun tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa

lalu tokoh lain, atau pengarang sendiri yang menceritakannya. (Nurgiyantoro,

1995:155)

Tokoh-tokoh dalam novel ini terkadang mengingat masa lalunya sehingga

novel ini menggunakan sorot balik beberapa bagian. Dengan demikian, alur yang

dipakai novel ini adalah alur campuran.

Peristiwa-peristiwa yang menampilkan alur sorot balik ada pada beberapa

bab. Hal ini akan terlihat pada pembahasan tahapan alur. Ada lima tahap alur yaitu

tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap

klimaks, dan tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian dalam novel ini ditandai dengan pelukisan dan

pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap penyisuasian dalam novel

ada pada bagian prolog, bab 1, bab 2, bab 3, bab 4, bab 5, bab 6, bab 13, dan bab

18. Sebelum penulisan bab satu, novel Yogyakarta menampilkan bagian yang

diawali tulisan 2009, yang dalam tulisan ini selanjutnya disebut prolog.

Bagian prolog melukiskan kegiatan pagi hari yaitu sarapan bersama

anak-anak kos. Seluruh penghuni kos Ananda wajib hadir di meja makan pukul 06.15.

(90) Ananda mengedarkan pandangannya ke seluruh meja bundar itu. Para mahasiswa itu telah duduk rapi. Mereka semua adalah mahasiswa tahun pertama dan berkuliah di Universitas Gadjah Mada. (Yogyakarta, 2010:5)

Bab satu melukiskan Gerson yang teringat kejadian kerusuhan antar-agama

Kristen dan Islam di Ambon saat Gerson berusia sepuluh tahun. Ayah Gerson

meninggal dan ibunya menjadi gila karena kehilangan suaminya. Setelah kejadian

itu Gerson ditolong Yesaya yang beragama Kristen. Beberapa bulan setelah

kerusuhan di Ambon, Yesaya membawa Gerson dan ibunya untuk tinggal di

Jakarta. Gerson diterima di Universitas Gadjah Mada dan memutuskan untuk

tinggal di Yogyakarta.

Bab kedua melukiskan Tarjo yang teringat akan masa lalunya di Madura.

Tarjo teringat kembali peristiwa saat Tarjo dan ibunya jalan bersama tiap pagi di

Madura. Ayah Tarjo juga hobi menikah. Bapak Tarjo adalah seorang kiai dan

berharap Tarjo masuk pesantren, tetapi Tarjo malah memilih jurusan akuntansi.

Bab ketiga melukiskan Karta yang teringat akan masa kecil di Medan. Karta

yang awalnya tidak tidak suka menyanyi, tetapi karena ibunya sering menyuruh

Karta untuk ikut perlombaan dan Karta menang. Karta senang menjadi seorang

penyanyi. Rasa percaya dirinya bertambah dan menjadikan Karta anak yang

sombong.

Ayahnya berharap Karta menjadi tentara seperti ayahnya, tetapi malah

kuliah di jurusan seni. Ayahnya yang awalnya tidak setuju akhirnya mengizinkan

Karta untuk masuk jurusan seni. Ayahnya berpikir mungkin itu jalan hidupnya.

Yahya dan ibunya dekat, tetapi ada peristiwa seorang laki-laki yang datang, yaitu

ayahnya, untuk menemui Yahya, ibunya menjadi galak dan suka marah-marah.

Ibunya juga melarang Yahya berpacaran dengan Monalisa.

Bab kelima melukiskan Olivia yang teringat waktu berada di Jakarta. Olivia

dijodohkan oleh orang tuanya dengan Bernard Wibowo. Karena tidak suka

dengan Bernard Wibowo, Olivia memutuskan untuk mencari jalan keluar dengan

cara melakukan penelitian di Yogyakarta.

Bab keenam mengisahkan Yudhistira waktu usia lima belas tahun. Pada

waktu itu dirinya berlibur di New York. Dia jatuh cinta dengan gadis bernama

Antonia. Kisah cintanya tidak berjalan lama. Sebelum Yudhistira kembali ke

Indonesia mereka berencana bertemu.

Yudhistira menunggu Antonia, namun tidak datang. Malah teman Antonia

yang datang dan mengabarkan bahwa Antonia sudah meninggal. Antonia dituduh

mencuri oleh ibu asrama, padahal dia hanya mau mengambil kertas lagu untuk

Yudhistira. Sejak saat itu Yudhistira tidak pernah jatuh cinta lagi pada siapa pun.

Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

(91) Gadis berambut keriting itu mendesah pelan, menimbang-nimbang

selama beberapa saat, dan akhirnya memutuskan berbicara. “Antonia

ketahuan mencuri dan ia dipukul Tante. ...

“Antonia seharusnya lebih tahu kalau masuk ke dalam kamar Ibu

artinya hukuman mati. Sudah begitu, pakai alasan kertas musik lagi!”

ia mencibirkan bibirnya. (Yogyakarta, 2010:96)

Bab ketiga belas melukiskan Ananda yang teringat masa mudanya waktu

dia jatuh cinta pada Fritz yang berbeda suku, ras dan adat istiadat. Hubungan

menyelesaikan urusan keluarganya, Fritz ke Surabaya tanpa Ananda. Fritz harus

ikut orang tuanya pindah ke Surabaya untuk membuka usaha keluarga.

Dua tahun kemudian Fritz datang lagi dan mengajak Ananda untuk pindah

ke Australia tetapi Ananda tidak mau pergi karena dia sudah dijodohkan orang

tuanya. Dia tidak bisa menolak keinginan orang tua.

Bab delapan belas juga menunjukkan alur sorot balik. Yahya teringat

kembali akan kisah cintanya di Pontianak. Ibu Yahya tidak setuju dengan

hubungan Yahya dan Monalisa karena dianggap sebagai pelacur. Yahya yang

tidak percaya dengan perkataan ibunya, pergi menemui Monalisa. Monalisa

membenarkannya. Monalisa memutuskan untuk tetap tinggal bersama ayah

tirinya. Setelah itu Yahya memutuskan ke Yogyakarta dan meninggalkan

Monalisa, padahal mereka berdua saling mencintai.

Dari pembahasan di atas, bab–bab yang termasuk tahap penyituasian, kecuali prolog, ditampilkan pengarang melalui alur sorot balik. Pelukisan tokoh

Gerson, Tarjo, Karta, Yahya, Olivia, Yudhistira, dan Ananda dimunculkan

melalui lamunan atau kenangan masa lalu tokoh. Sedangkan bagian prolog

menggambarkan situasi tokoh-tokoh dalam novel Yogyakarta yang berada di satu

tempat, yaitu rumah kos Ananda.

Setelah pengenalan tokoh dan latar pada tahap penyituasian, tahap

meningkat menjadi tahap pemunculan konflik. Hal ini terlihat pada bab kelima,

bab ketujuh, bab sembilan, bab sepuluh, dan bab sebelas.

Bab lima melukiskan Yahya melihat Olivia pertama kali. Konflik batin

pacarnya. Yahya mengajak Olivia pergi untuk makan malam, tetapi Olivia tidak

bisa karena malam itu Olivia akan mengetik.

Yahya yang sempat patah arang kembali bangkit setelah Olivia mengajak

makan siang. Hal ini terlihat dalm kutipan berikut.

(92) Ia memerhatikan gadis itu dan gejolak dalam dada karena teringat

Monalisa berkecamuk, menggila, menuntut perhatian. ”Kamu ada acara malam ini?” tanyanya tiba-tiba, tidak dapat menahan diri untuk tidak mengucapkannya.

. . .

“Um … aku nggak bisa malem ini. Mau ngetik. Mungkin besok siang?” tanya Olivia.

Yahya yang sebelumnya sudah patah arang, merasa semangatnya

bangkit kembali. ”Oh, ya? Um … makan siang?” Olivia mengangguk.

Yahya tersenyum. ”Oke. Sampai nanti gitu.” (Yogyakarta, 2010:64)

Bab ketujuh melukiskan kedekatan Tarjo dengan Olivia. Olivia diajak Tarjo

makan di alun-alun. Sambil makan bersama, Olivia dan Tarjo saling bercerita

tentang jurusan yang mereka ambil dan tentang keluarga mereka masing-masing.

Olivia yang penasaran mencoba menanyakan kepada Tarjo tentang

kuliahnya di jurusan akuntasi padahal Tarjo anak seorang kiai. Tarjo menjawab

dengan pertanyaan bahwa anak kiai tidak harus menjadi kiai. Pembicaraan Tarjo

dan Olivia yang lain kembali memunculkan ingatan Tarjo tentang ayahnya.

Konflik batin Tarjo yang antipoligami adalah bagian dari tahap pemunculan

konflik novel ini.

Konflik berikut yang muncul adalah saat Ananda menyuruh Yudhistira

mengantarkan Olivia mencari tempat internetan, tapi Yudhistira menolak.

Selanjutnya Gersonlah yang menawarkan diri untuk mengantarkan Olivia. Hal ini

Bab sembilan mengisahkan tentang Karta yang sedang berbicara dengan

nada bersemangat dan penuh percaya diri bahwa dia yakin diterima. Dengan

penuh kepercayaan diri akan diterima, Karta mengajak semua yang tinggal di kos

untuk makan bersama. Karta yang akan mentraktir.

Ananda yang melihat kesombongan Karta merasa khawatir. Ananda sempat

memberi tahu Karta bahwa belum ada kepastian diterima demo CD-nya. Jadi,

lebih baik menunda perayaan keberhasilannya. Akan tetapi, Karta tidak peduli.

Dia merasa bahwa dirinya tidak akan gagal untuk menjadi seorang penyanyi. Hal

ini terlihat dalam kutipan berikut.

(93) Ananda mengerutkan keningnya. ”Kamu baru disuruh bawa demo

suara kamu, kan?” tanyanya.

Karta menatap Ananda dengan agak sebal. ”Ah, Bude. Masak Bude ragu sama aku? Mereka pasti nerima! Bude percaya deh sama aku!”

...

“Pamali loh nanti,” kata Ananda, masih menatap Karta dengan agak

khawatir. Anak ini sombong sekali, pikirnya. (Yogyakarta, 2010:117)

Bab sepuluh mengisahkan Yahya yang pergi ke mal bersama Olivia. Mereka

berdua makan. Saat mereka berdua jalan berdua jalan bersama, Yahya teringat

kembali pada Monalisa yang ingin dia lupakan. Hal ini terlihat dalam kutipan

berikut.

(94) Setiap denyut nadinya masih merindukan Monalisa, dan semakin lama ia berpisah dengan perempuan itu semakin terasa sebuah kepedihan yang dalam.Ia tertawa kikuk. ”Batas antara cinta dan benci itu seperti batas antara benar dan salah,”katanya. ( Yogyakarta,2010:120)

Pada bab sepuluh juga diceritakan tentang Karta yang menunjukkan

kebolehannya menyanyi dan bermain musik di hadapan juri dengan penuh

keyakinan bahwa dia pasti berhasil menjadi penyanyi terkenal. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

(95) Karta mengangguk, menyerahkan rekaman demonya sambil membungkuk hormat kepada laki-laki itu. Terima kasih, Pak. Bapak

nggak akan menyesal.” Karta berjalan keluar dengan perasaan baru

keluar dari kelas ujian akhir nasional—berdebar-debar.

Ia yakin, ibunya pasti senang dengan hasilnya. (Yogyakarta, 2010: 123)

Pada bab sebelas diceritakan Olivia mengadakan penelitian tentang keraton

sambil ditemani Yudhistira. Saat itu, perasaan Yudhistira pada Olivia mulai

muncul. Olivia pun merasakan hal yang sama. Detak jantungnya bergitu cepat

waktu Olivia duduk di sebelah Yudhistira. Sesampai di rumah, Ananda melihat

Yudhistira pulang bersama Olivia. Ananda senang melihatnya. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

(96) Yudhistira menatap ke depan kembali. Ia tidak berkata apa-apa lagi, dan Olivia berkutat dengan debar jantungnya sendiri sementara semilir angin memabukkan jiwa, sampai mereka tiba di depan rumah. (Yogyakarta, 2010:135)

Setelah pemunculan konflik terjadi, tahap berikutnya adalah tahap

peningkatan konflik antartokoh satu dengan tokoh yang lain. Hal ini terlihat pada

bab sepuluh, bab sebelas, bab dua belas, bab empat belas, bab enam belas, dan

bab tujuh belas.

Konflik yang telah muncul dalam diri Karta, yaitu keinginan menjadi

penyanyi semakin meningkat di bab sepuluh novel ini. Bab ini melukiskan Karta

yang pergi bersama Olivia di pinggir Malioboro. Saat mereka duduk untuk

memesan makanan, Olivia dan Karta melihat dua pengamen. Karta merasa pernah

mendengarkan suara mereka Karta memberi komentar. Karta menganggap suara

mereka jelek dan mengejeknya. Kesombongan Karta semakin bertambah dan hal

tersebut membuat Olivia kesal.

Konflik lain dialami oleh Yudhistira dan Olivia pada bab sebelas. Pada bab

ini dikisahkan Yudhistira dan Olivia sedang menikmati makan siang bersama di

sebuah restoran. Yudhistira yang mulai merasa tertarik pada Olivia berpikir

bahwa dia tidak mungkin jatuh cinta pada gadis lain selain Antonia. Yudhistira

mencoba menyangkal perasaan sukanya pada Olivia.

Olivia yang berada di samping Yudhistira menanyai Yudhistira, tetapi

malah dibentak oleh Yudhistira. Selama sesaat Yudhistira ingin meminta maaf

pada perempuan itu, tetapi perasaan lain yang muncul adalah tidak ingin meminta

maaf pada Olivia.

Selanjutnnya, konflik Yudhistira semakin meningkat. Hal tersebut

ditampilkan dalam bab kedua belas. Bab kedua belas mengisahkan Yudhistira

yang benci pada keadaannya. Kebencianya terhadap Olivia hilang. Yudhistira

akhirnya menyerah dan keluar dari kamarnya untuk meminta maaf pada Olivia.

Sebagai permintaan maaf karena sudah bersikap kasar pada Olivia, Yudhistira

mencoba untuk mengajak Olivia pergi ke Taman Sari. Olivia hanya terdiam dan

tidak menjawab ya atau tidak dengan ajakan Yudhistira. Olivia masih kesal atas

pelakuan Yudhistira yang bertindak kasar padanya. Hal ini terlihat dalam kutipan

Bab keempat belas mengisahkan Olivia bersama Yudhistira pergi ke Taman

Sari. Mereka saling berbagai cerita. Awalnya Olivia bertanya tentang umur

Yudhistira dan Yudhistira bertanya balik.

Olivia bertanya pada Yudhistira tentang masalah pacar. Yudhistira

menjawab bahwa dia belum punya pacar dan Yudhistira bertanya pada Olivia

kembali. Jawaban Olivia bahwa dirinya sudah dijodohkan membuat Yudhistira

kaget.

Bab keenam belas melukiskan Gerson yang pergi bersama Olivia ke klub.

Di klub itu Olivia diganggu oleh dua pemuda yang tidak kenalnya. Yudhistira

yang berada di rumah merasa khawatir dengan Olivia yang hingga larut malam

belum pulang.

Tiba saat Gerson mengantarkan Olivia pulang. Sampai di depan rumah kos,

saat Olivia turun dari mobil, seorang teman Gerson sengaja menabrak Olivia.

Teman Gerson yang lain turun dan muntah. Mbok Sekar yang membukakan pintu

melihat hal itu dan menegur. Pemuda itu menghina perempuan tua itu. Gerson

yang mendengar perkataan itu dan mengira bahwa Ananda yang berbicara,

menjadi berang. Karena tidak terima dengan perkataan Gerson, mereka berkelahi.

Salah satu dari mereka mencoba untuk melukai Olivia dengan pisau.

Gerson panik dan teringat kembali pertikaian di Ambon. Hal ini membuat

Gerson tidak bisa berbuat apa–apa. Gerson hanya berteriak minta tolong. Tak lama kemudian Yudhistira datang membantu. Saat membantu, Yudhistira sempat

tusukan pisau, Yudhistira sempat berkata pada Olivia bahwa dia cemburu pada

Gerson.

Pada bab selanjutnya, bab tujuh belas, konflik yang dialami Olivia dan

Yudhistira semakin meningkat. Dari penyebutan nama Antonia, berlanjut dengan

rasa penasaran Olivia. Bab tujuh belas ini mengisahkan Yudhistira yang dibawa

ke rumah sakit karena terluka akibat menolong Olivia. Olivia yang masih

penasaran dengan nama Antonia bertanya pada Yudhistira tentang Antonia. Tetapi

Yudhistira tidak mau menjawab.

Konflik-konflik yang muncul, semakin meningkat tajam, dan puncaknya

adalah tahap klimaks. Tahap klimaks dalam novel terdapat pada bab tiga belas

dan bab dua puluh. Bab ketiga belas mengisahkan Karta yang gagal masuk

rekaman. Dia sedih karena merasa sudah gagal untuk menjadi penyanyi terkenal.

Ananda yang melihat Karta sedih mencoba untuk menenangkan. Ananda memberi

nasihat agar dia tidak putus asa dan gampang menyerah. Ananda juga menyuruh

Karta untuk menuruti perkataannya. Ananda meminta Karta berubah menjadi

orang yang rendah hati. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(97) Karta menatap Ananda. ”Apa?”

“Pokoke kowemeski nurut. Mau ndak?” tanya Ananda lembut.

“Terus?”

“Abis tu, mesti ada yang berubah,” katanya tenang, suaranya demikian

Dokumen terkait