MEMAHAMI NOVEL YOGYAKARTA KARYA DAMIEN DEMATRA: SEBUAH KAJIAN STRUKTURAL
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Progam Studi Sastra Indonesia
Oleh
Febriani
NIM: 064114026
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DRAMA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 Juli 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan dan penyertaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan serta dukungan dari segala pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada :
1. Ibu S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah membantu penulis dengan sabar untuk menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku pembimbing II telah membantu penulis dengan sabar untuk menyelesaikan skripsi.
3. Drs. Hery Antono, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen-dosen pengampu mata kuliah di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang telah mengajar penulis dengan penuh sabar, kasih sayang, dan perhatian.
4. Staf Sekretariat Sastra Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan yang baik.
5. Petugas Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan yang baik.
6. Ibu Basilia Retnoningsih, B.A. selaku orang tuaku yang telah memberi dukungan doa dan semangat kepada penulis.
7. Drs. J.C Kundjono selaku pakdhe saya, Gertudis Rumanti selaku budhe saya, dan Benediktus Dani Satrio selaku adik saya yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Tidak lupa buat sahabatku Anatasia Ramita yang telah membantu penulisan
dengan tenaga dan pikiran.
9. Tidak lupa buat kakak sepupu mbak Tungga yang telah membantu penulisan dengan tenaga dan pikiran
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan Bapak/Ibu dan Saudara. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati untuk kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 22 Juli 2013
HALAMAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ABSTRAK
Febriani. 2013. Memahami Novel Yogyakarta Karya Damien Dematra: Sebuah Kajian Struktural. Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas unsur-unsur struktur dalam novel Yogyakarta yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan; kedua, mendeskripsikan unsur alur; ketiga, mendeskripsikan unsur latar; dan keempat, merumuskan tema dalam novel
Yogyakarta karya Damien Dematra.
Penelitian dilaksanakan melalui tiga tahap yang berurutan: pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, tokoh dalam novel Yogyakarta adalah Yudhistira sebagai tokoh utama protagonis, Olivia sebagai tokoh utama protagonis, Ananda sebagai tokoh protagonis, Yahya sebagai tokoh tambahan, Karta sebagai tokoh tambahan dan tokoh bulat, Gerson sebagai tokoh tambahan, Tarjo sebagai tokoh tambahan.
Kedua, alur dalam novel Yogyakarta ditinjau dari urutan waktu adalah alur campuran. Jika dilihat dari pengarang mengakhiri novel ini, novel Yogyakarta tergolong alur tertutup. Cerita ditutup dengan akhir kisah para tokohnya. Berdasarkan kriteria jumlah, novel ini beralur tunggal dan sub-plot. Apabila ditinjau dari kepadatannya termasuk alur longgar. Sedangkan berdasarkan kriteria isi adalah alur tokohan.
Ketiga, latar terdiri dari latar tempat, latar waktu, latar sosial. Latar tempat pada novel Yogyakarta, yaitu Ambon, Madura, Medan, Pontianak, New York, Jakarta, dan Yogyakarta. Latar waktu dalam novel terjadi antara tahun 1966 sampai dengan tahun 2009. Kejadian berlangsung dari pagi hari, sore hari, dan malam hari. Latar sosial terlihat dalam struktur sosial. Struktur sosial masyarakat dalam novel Yogyakarta adalah struktur sosial golongan masyarakat atas.
ABSTRACT
Febriani. 2013. Understanding a Novel Entitled Yogyakarta by Damien Dematra: A Structural Study. A Thesis of Undergraduate Program (S-1). Yogyakarta. Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Letters. Sanata Dharma University.
This thesis discusses structural elements of a novel entitled Yogyakarta covering characters and characterization, plots, setting, and themes.
This thesis aims to: first, describe the elements of characters and characterization; second, describe the element of plots; third, describe the element of setting; and fourth, formulate the themes of the novel entitled Yogyakarta by Damien Dematra.
The research was conducted following three successive stages, i.e. data collection, data analysis, and presentation of data analysis results. The results of this study are as follows. First, the characters in the novel entitled Yogyakarta are Yudhishthira as the main protagonist character, Olivia as the main protagonist character, Ananda as the protagonist, Yahya as an additional character, Karta as both an additional character and a round character, Gerson as an additional character as well as Tarjo as an additional character.
Second, the plots of Yogyakarta novel viewed from time sequence were mixed plots. Considering the way the author closed the novel, the plots of Yogyakarta novel belong to closed plots. The story was ended with the end story of the characters. Based on the criteria of number, this novel had single plots and sub-plots. In terms of density, the plots of the novel belong to loose plots. Meanwhile, based on the criteria of content, the plots of the novel belong to character plots.
Third, the setting of the novel consisted of place, time, social setting. The place setting of Yogyakarta novel consisted of Ambon, Madura, Medan, Pontianak, New York, Jakarta, and Yogyakarta. The time setting of Yogyakarta novel occurred between 1966 and 2009. The incident took place in the morning, in the afternoon, and in the evening. Social setting emerged in the social structure. The social structure of the community in Yogyakarta novel was the social structure of social classes.
Fourth, the theme of Yogyakarta novel included a main theme and several additional themes. The main theme is love arising in the conditions where differences in races, religions, ethnicity, and cultures exist. There were several additional themes. First, that pride will not make someone successful. Second, inter-religious conflict resulting in deep trauma. Third, efforts to determine the
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACK... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 3
1.4 Manfaat Hasil Penelitian... 4
1.5 Tinjauan Pustaka... 4
1.6 Landasan Teori... 4
1.6.1Kajian Struktural……… 4
1.6.2Tokoh dan Penokohan………... 7
1.6.3Alur……… 9
1.6.4Latar……….. 14
1.6.5Tema ……….… 15
1.7Metode Penelitian... 17
1.7.1 Metode Pengumpulan Data……….. 17
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data………. 18
1.8 Sistematika Penyajian... 18
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, ALUR, LATAR, DAN TEMA DALAM NOVEL YOGYAKARTA KARYA DAMIEN DEMATRA ... 19
2.1.1Yudhistira Mangkubumi... 19
2.1.2Ananda Karmila... 23
2.1.3Olivia Purnakasih... 29
2.1.4Gerson... ... 35
2.1.5Karta... ... 38
2.1.6Yahya... 43
2.1.7Tarjo... 46
2.2Alur... 48
2.3Latar... 64
2.3.1 Latar Tempat... 64
2.3.2 Latar waktu... 75
2.3.3 Latar Sosial... 77
2.4Tema... 80
BAB III PENUTUP ... 84
DAFTAR PUSTAKA... 87
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Wellek (1989:14), sastra merupakan karya imajinatif. Karya
sastra ini dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan
sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan
sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik.
Sebuah karya sastra fiksi (novel) menurut kaum strukturalisme adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara koherensi oleh berbagai unsur
(pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan
sebagai susunan, penegasan, gambaran semua bahan dan bagian
komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah
(Abrams via Nurgiyantoro, 1995:36).
Novel dapat dilihat sebagai suatu sistem tanda yang utuh (Wellek,
1989:159). Novel terdiri dari unsur–unsur yang saling berhubungan. Karena
terdiri dari unsur-unsur, novel merupakan satu kesatuan. Demikian juga
novel Yogyakarta karya Damien Dematra, novel ini merupakan satu
kesatuan struktur.
Novel ini mengisahkan kehidupan empat pemuda dari keempat daerah
asalnya. Di Yogyakarta, mereka tinggal di tempat kos di daerah keraton
milik Ananda Karmila. Ananda dikenal galak, disiplin, tetapi sangat
perhatian kepada anak-anak kos. Dia mempunyai anak yang bernama
Yudhistira yang juga memiliki konflik tersendiri.
Saat mereka tinggal dalam satu atap inilah, konflik masa lalu
tokoh-tokoh tersebut muncul kembali setelah kedatangan Olivia, gadis dari
Jakarta. Permasalahan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam novel
Yogyakarta dituturkan secara padu dalam alur dan latar. Unsur tokoh—
penokohan, alur, dan latar membentuk satu kesatuan struktur yang
terumuskan dalam tema cerita.
Alasan pemilihan novel Yogyakarta sebagai bahan analisis adalah
novel ini sangat menarik dari segi tema. Tema dalam novel Yogyakarta
berkaitan dengan permasalahan yang dialami hampir setiap orang dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, melalui novel ini kebudayaan dan
tempat-tempat wisata, khususnya daerah Yogyakarta bisa dikenal lebih mendalam.
Hal tersebut membuat penulis ingin menggali potensi tokoh dan penokohan,
alur, latar, dan tema novel Yogyakarta. Dalam novel ini juga diceritakan
perbedaan agama, ras, dan adat istiadat.
Novel disajikan oleh Damien Dematra dengan sangat sederhana
sehingga memberi kemudahaan bagi pembaca untuk memahaminya.
Pengarang mampu menampilkan realitas yang ada di sekelilingnya dan
dapat memberikan gambaran tentang kehidupan sehari-hari di dalam rumah
dibiarkan mengalir sendiri supaya dapat dilihat bahwa kehangatan keluarga
terjadi bukan hanya di rumah, tetapi juga di luar rumah. Selain itu,
perjodohan ternyata juga masih ada di zaman sekarang. Novel karya
Damien Dematra jika disimak dapat memberi pelajaran hidup. Pelajaran
untuk saling menghargai perbedaan, pelajaran untuk menghargai setiap
usaha dan pengorbanan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan dalam penelitian ini
meliputi unsur-unsur dalam struktur novel Yogyakarta yaitu:
1. Bagaimana unsur tokoh dan penokohan dalam novel Yogyakarta karya
Damien Dematra?
2. Bagaimana unsur alur dalam novel Yogyakarta karya Damien Dematra?
3. Bagaimana unsur latar dalam novel Yogyakarta karya Damien Dematra?
4. Bagaimanakah tema dalam novel Yogyakarta karya Damien Dematra?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan novel Yogyakarta karya
Damien Dematra,
2. mendeskripsikan unsur alur novel Yogyakarta karya Damien Dematra,
3. mendeskripsikan unsur latar novel Yogyakarta karya Damien Dematra,
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut.
1. Secara teoritas, penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan
analisis struktur.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah
kajian sastra Indonesia.
3. Meningkatkan apresiasi sastra Indonesia, khususnya landasan teori
dalam novel Yogyakarta.
1.5 Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai novel Yogyakarta sebelumnya pernah dibahas
oleh Adji (2011). Dalam tulisan tersebut, Adji mengungkapkan alur serta
representasi dan ideologi kota Yogyakarta dalam novel Yogyakarta.
1.6 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian
struktural, yang meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema.
1.6.1 Kajian Struktural
Stanton (2007:8-37) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke
dalam tiga bagian: fakta, tema, sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah
cerita meliputi karakter (tokoh dan penokohan), alur, dan latar. Elemen–
elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita.
faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Struktur faktual merupakan salah
satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari sudut
pandang.
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu
diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian
atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut,
kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri,
disilusi, atau bahkan usia tua. Beberapa cerita bermaksud menghakimi
tindakan karakter-karakter di dalamnya dengan memberi atribut ’baik’ atau
’buruk’ (Stanton, 2007:36-37).
Pengarang memanfaatkan tema sejauh tema memberi makna
pengalaman. Tema bisa mengambil bentuk yang paling umum dari
kehidupan. Tema bisa berwujud satu fakta dari pengalaman kemanusiaan.
Bahkan, tema juga berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh.
Satu-satunya generalisasi yang paling memungkinkan dirinya adalah bahwa tema
membentuk kesatuan pada cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa.
Bila seorang pengarang berkisah, dia tidak akan menjelaskan tema yang ia
maksud di dalam paragraf-paragraf lain. Seorang pengarang akan
meleburkan fakta dan tema dalam satu pengalaman. Tema akan muncul dari
fakta-fakta dan memunculkannya adalah pekerjaan kita (Stanton, 2007:8-9).
Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme” dipergunakan dengan
tetap antara kelompok-kelompok gejala. Sebagai contoh tokoh utama dan
tokoh tambahan. Antara pelaku utama dan para pelaku pendukung terdapat
hubungan asosiasi, antara pelaku utama dan para lawan ada hubungan
oposisi. Hubungan-hubungan tersebut bersifat tetap, artinya tidak
tergantung pada sebuah novel tertentu (Luxemburg, 1984:36).
Menurut Junus (via Endraswara, 2008:49) strukturalisme memang
sering dipahami sebuah bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Strukturalisme
mampu menggambarkan pemikiran pemilik cerita.
Menurut parafrase Hawkes, seperti diungkapkan Jean Piaget (via
Teeuw, 1988:141), strukturalisme memiliki tiga aspek konsep struktur.
Pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian
atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang
menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua,
gagasan tranformasi (transformation), dalam arti struktur itu menyanggupi
prosedur-prosedur tranformasi yang terus-menerus memungkinkan
pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan regulasi diri berarti
struktur tidak memerlukan hal–hal di luar dirinya untuk mempertahankan
prosedur transformasinya; struktur itu otonom terhadap rujukan pada
sistem-sistem lain.
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
Analisis perlu dilakukan secara menyeluruh, meliputi tema dan fakta
cerita (tokoh-penokohan, alur, dan latar), bahkan jika perlu sarana-sarana
sastra. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan
sebuah stuktur yang kompleks dan unik. Di samping itu, setiap karya
mempunyai ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal inilah
antara lain yang membedakan antarkarya sastra yang satu dengan yang lain
(Nurgiyantoro, 1995:37-38).
Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya membahas tema dan fakta
cerita (tokoh dan penokoham, alur, dan latar) sedangkan sarana sastra tidak
dibahas karena unsur tersebut diasumsikan telah terkandung pada
pembahasan tema dan fakta cerita.
1.6.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh merupakan bagian penting dari
suatu cerita karena merupakan penggerak dalam sebuah prosa. Menurut
Abrams, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan merupakan pelukisan yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (via Nurgiyantoro,
1995:165).
Berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh dapat
tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak muncul dalam cerita, baik sebagai
pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama adalah yang
dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuat sinopis. (Nurgiyantoro,
1995:176-177).
Tokoh tambahan adalah tokoh yang kemunculannya dalam cerita
cenderung lebih sedikit dan kehadirannya tidak terlalu dipentingkan serta
berkaitan dengan tokoh utama baik secara langsung maupun tidak langsung
(Nurgiyantoro, 1995:176-177).
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, tokoh dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd dan Lewis (via
Nurgiyantoro,1995:178-179), tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi.
Tokoh ini merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal
bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
pandangan dan harapan-harapan kita pembaca. Sedangkan tokoh penyebab
terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis dikatakan
beroposisi dengan tokoh protagonis. Akan tetapi, kadangkala konflik yang
dialami tokoh protagonis tidak disebabkan oleh tokoh antagonis. Penyebab
konflik seperti itu disebut sebagai kekuatan antagonis.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam
tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh
bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang
saja. Sifat dan tingkat laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton,
hanya mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan tokoh bulat adalah
tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi lain
kehidupan, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja miliki watak
tertentu yang diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak
tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia bahkan mungkin seperti
bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 1995:181-183).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kehadiran tokoh sangat
diperlukan karena melalui penokohan cerita menjadi nyata dalam
angan-angan pembaca. Melalui penokohan itulah, pembaca dapat dengan jelas
menangkap wujud manusia dengan jalan kehidupan yang sedang diceritakan
oleh pengarang.
1.6.3 Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.
Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung
secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang
menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak
dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa
kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperi ujaran atau
tindakan,tetapi tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau
pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel
pengubah dalam dirinya. (Stanton, 2007:26).
Setiap cerita memiliki alur yang merupakan kesatuan tindak, yang
disebut juga an artistic whole. Alur dapat dikatagorikan ke dalam beberapa
jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang
berbeda pula. Pembedaan alur yang ditemukan di bawah ini berdasarkan
pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan
(Nurgiyantoro, 1995:153).
Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi tiga.
Pertama, alur lurus, alur maju, atau juga disebut alur progresif. Alur sebuah
novel dikatakan maju jika peristiwa-peristiwa dikisahkan bersifat
kronologis. Peristiwa-peristiwa pertama diikuti (atau penyebab kejadian)
peristiwa-peristiwa kemudian. Secara urut, cerita dimulai dari tahap awal
sampai tahap akhir. Kedua, alur mundur atau flash back yang dinamakan
juga alur regresif. Alur ini berisi urutan kejadian yang dikisahkan dalam
karya fiksi dengan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap
awal, tetapi mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir. Ketiga, alur
campuran. Pengkategorian alur sebuah novel ke dalam progresif atau flash
back, sebenarnya, lebih didasarkan pada mana yang lebih menonjol. Hal ini
disebabkan pada kenyataannya sebuah novel akan mengandung keduanya,
atau alur campuran: progrestif-regresif (Nurgiyantoro, 1995:153).
Berdasarkan kriteria jumlah, alur dibedakan menjadi dua. Pertama,
”dominasi” seorang tokoh tertentu sebagai hero atau permasalahan tertentu
yang di-tokoh-utamai seorang yang tertentu pula. Kedua, alur sub-subplot.
Sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur yang dikisahkan,
atau terdapat lebih dari konflik yang dihadapinya. Struktur alur yang
demikian dalam sebuah karya barangkali dihadapi berupa adanya sebuah
alur utama (main alur) dan alur-alur tambahan (sub-subplot) (Nurgiyantoro,
1995:153).
Berdasarkan kriteria kepadatan, alur dibagi menjadi dua. Pertama,
alur padat. Novel yang beralur padat akan menyajikan cerita secara cepat.
Peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat,
hubungan antar-peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah
selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya. Antara peristiwa yang
satu dengan lain-yang berkadar fungsional tinggi-tak dapat dipisahkan atau
dihilangkan salah satunya Kedua, alur longgar. Dalam novel yang beralur
longgar, pengganti peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat di
samping hubungan antar-peristiwa tersebut pun tidaklah erat benar. Artinya,
antara peristiwa tersebut pun tidaklah erat benar. Artinya antara peristiwa
penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa
”tambahan”, atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan
suasana, yang kesemuanya dapat memperlambat ketegangan cerita.
Berdasarkan kriteria isi, Friedman membedakan alur jenis ini ke
dalam tiga golongan. Pertama, alur peruntungan. Alur peruntungan
menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan. Kedua alur tokohan. Alur
tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang
menjadi fokus perhatian. Alur tokohan lebih banyak menyoroti keadaan
tokoh daripada kejadian-kejadian yang ada atau berururusan dengan
pengaluran. Kejadian-kejadian itu sendiri menjadi penting sepanjang
mengungkapkan diri tokoh. Ketiga, alur pemikiran. Alur pemikiran
mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan,
perasaan, berbagai macam obsesi, dan lain-lain hal yang menjadi masalah
hidup dan kehidupan manusia. Unsur-unsur pemikiran tersebut dalam novel
jenis ini mendapatkan penekanan, lebih daripada pada masalah kejadian dan
tokoh ceritan yaitu sendiri (via Nurgiyantoro, 1995:155-162).
Selain rincian di atas, ada lima tahapan alur menurut Richard
Summers (via Nurgiyantoro, 1995:149-150). Kelima tahapan itu adalah
sebagai berikut.
Tahap situation adalah tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi
pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian infomasi awal. dan lain-lain
yang,terutama,berfungsi untuk meladastumpui cerita dikisahkan pada tahap
berikut (Nurgiyantoro, 1995:149).
Tahap generating circumstances adalah tahap pemunculan konflik,
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik
mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya
menjadi konflik-konflik pada berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada
pembagian ini tampaknya, berkesesuaian dengan tahap awal pada
penahapan (Nurgiyantoro, 1995:149).
Tahap ricing action adalah tahap peningkatan konflik. Konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan.
Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya,
pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari(Nurgiyantoro, 1995:150).
Tahap climax adalah tahap ketika konflik dan
pertentangan-pertentangan yang terjadi yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intersitas puncak klimaks. Klimaks sebuah cerita
akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang mungkn saja memiliki
lebih dari satu klimaks atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. Tahap
ketiga dan keempat pembagian ini tampaknya berkesuaian dengan tahap
tengah penahapan di atas(Nurgiyantoro, 1995:150).
Tahap denouement adalah tahap penyelesaian. Konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangaan dikendorkan.
Konflik-konflik yang lain, sub-subKonflik-konflik, atau Konflik-konflik-Konflik-konflik tambahan, jika ada,
juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 1995:150).
1.6.4 Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita. Latar memberi pijakan cerita secara konkrit. Hal ini penting untuk
memberi kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
seolah-olah ada. Dalam sebuah cerita fiksi latar dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar memiliki beberapa
bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 1995:
217).
Selain itu, latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di
mana dan kapan kejadian –kejadian dalam cerita berlangsung atau dapat
disebut pula sebagai landasan tumpuh, yakni menyarankan pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan tempat peristiwa terjadinya
(Nurgiyantoro, 2010:216).
1.6.4.1 Latar Tempat
Latar tempat menujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin
lokasi tertentu tempat tertentu nama jelas (Nurgiyantoro, 1995:227).
Banyak sedikitnya tempat yang digunakan tidak berhubungan dengan
kadar keliteran karya yang bersangkutan. Keberhasilan latar tempat lebih
ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan
unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi
1.6.4.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
juga harus dikaitkan dengan latar tempat (juga sosial) sebab pada
kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan suatu peristiwa yang
diceritakan mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena
tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu (Nurgiyantoro,
1995:230).
1.6.4.3 Latar Sosial
Latar sosial merupakan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang digambarkan dalam karya
fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks. Hal tersebut bisa berupa kebiasaan hidup,
cara pandang, dan juga cara bersikap (Nurgiyantoro, 1995:233).
1.6.5 Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema bisa
mengambil bentuk yang paling umum dari kehidupan, bentuk yang mungkin
dapat atau tidak dapat mengandaikan adanya penilaian moral. Tema bisa
berwujud satu fakta dari pengalaman kemanusiaan yang digambarkan atau
dieksplorasi oleh cerita seperti keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan tema
juga dapat berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh (Stanton,
Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau
secara singkat: makna cerita. Makna cerita dalam sebuah karya fiksi-novel,
mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya: lebih dari satu interpretasi.
Hal inilah yang menyebabkan tema pokok atau tema utama atau tema mayor
tidak mudah ditentukan. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar
cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita
saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat
diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna
tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema–tema tambahan, atau tema
minor (Nurgiyantoro, 1995:83).
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel,
Stanton (2007:44-45) mengemukakan adanya sejumlah kriteria seperti
berikut.
1. Interpretasi yang baik mempertimbangkan tiap detil cerita yang
menonjol. Kriteria ini adalah yang terpenting.
2. Interpretasi yang baik tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang
saling berkontradiksi.
3. Interpretasi yang baik tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti
yang tidak secara jelas diutarakan.
4. Interpretasi yang dihasilkan diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan.
Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, harus
tertentu cerita. Tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus
menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana”
(Nurgiyantoro, 1995: 68).
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi metode pengumpulan data, metode analisis
data, dan metode penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode pustaka. Peneliti membaca secara cermat pustaka berupa novel
Yogyakarta, Representasi dan Idelogi Kota Yogyakarta,Metologi Penelitian
Sastra, Pengatar Ilmu,Teori Pengajian Fiksi, Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra, Teori Fiksi Robert Stanton, sastra dan ilmu,Teori
kesusastraan,kemudian mencatat data-data berupa kata, kalimat, dan
paragraf yang mengungkapkan tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema.
1.7.2 Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data, digunakan metode analisis konten (Ratna,
2012:48-49; Endraswara, 2008:160-166). Dengan metode ini akan
diungkapkan struktur novel Yogyakarta yang meliputi tokoh dan
penokohan, alur, latar, dan tema.
Adapun sumber data yang dianalisis, sebagai berikut.
Judul : Yogyakarta
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2010
Tebal buku : 262 + viii halaman
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode yang dipakai untuk menyajikan hasil analisis data adalah
metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan mendeskripsikan
unsur-unsur karya sastra, kemudian dianalisisRepresentasi dan Idelogi Kota
Yogyakarta,Metologi Penelitian Sastra, Pengatar Ilmu, Teori Pengajian
Fiksi,Teori,Metode,danTeknik PenelitianSastra,Teori Fiksi Robert Stanston,
sastra dan ilmu,Teori kesusastraan.
1.8 Sistematika Penyajian
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis
struktur yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, latar, serta tema dalam
novel Yogyakarta. Bab III berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan
BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, ALUR, LATAR, DAN TEMA DALAM NOVEL YOGYAKARTA KARYA DAMIEN DEMATRA
Dalam bab II ini, akan dianalisis unsur struktural dalam novel Yogyakarta
yang meliputi tokoh, penokohan, alur, latar, dan tema. Analisis ini dipakai sebagai
dasar untuk menelaah hubungan antarunsur.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan yang dianalis dalam novel Yogyakarta adalah tokoh
Yudhistira, Yahya, Tarjo, Gerson, Olivia, dan Ananda. Dalam novel Yogyakarta,
Yudhistira adalah tokoh yang bertanggung jawab dan tertutup bahkan terhadap
kedua orang tuanya. Yahya adalah orang yang pendiam, setia pada pasangannya,
dan menyayangi ibunya. Tarjo adalah orang yang plin-plan, namun manja. Gerson
adalah orang yang penakut. Olivia adalah orang yang keras kepala dan naif.
Ananda adalah orang yang sabar, penyayang, mau mendengarkan orang lain.
Berikut analisis masing-masing tokohnya.
2.1.1 Yudhistira Mangkubumi
Yudhistira adalah tokoh utama sekaligus tokoh bulat protagonis dalam
novel Yogyakarta karya Damien Dematra.
Secara penokohan, Yudhistira digambarkan sebagai pria berumur 35 tahun
dan tingginya 175 cm. Nama lengkap Yudhistira adalah Yudhistira Mangkubumi.
(1) Yudhistira Mangkubumi membuka matanya di tempat tidur besar berkelambu. Mungkin sudah tiga puluh lima tahun ia menatap benda-benda yang sama.
Yudhistira Mangkubumi bergeser pelan di tempat tidur kayu tua yang mengeluarkan bunyi protes. Yudhistira tersenyum. Seakan-akan tempat tidur itu mengeluh. Padahal ia tidak berat-berat amat. Hanya tujuh puluh dua kilogram dengan tinggi seratus tujuh puluh tiga dan angka-angka itu sudah lama tidak bergerak. Ia pergi ke gym dengan teratur seminggu dua kali keliling alun-alun setiap sore. (Yogyakarta, 2010:1-2).
Yudhistira bekerja sebagai seorang kolumnis untuk Indonesia dan Amerika.
Pekerjaannya sebagai kolumnis surat kabar Amerika sudah dimulainya sejak lulus
dari program master di Harvard University.
(2) Yudhistira menatap Olivia sejenak. ”Kolumnis,” katanya dengan tenang. ”Aku nggak ngejar-ngejar berita. Aku baca berita dan menulis
pendapatku,” (Yogyakarta, 2010:81).
(3) Yudhistira bekerja sebagai kolumnis bagi dua negara. Indonesia dan juga Amerika, sebagai koresponden surat kabar luar negeri, pekerjaan yang ditekuninya sejak lulus dari progam master di Harvad University. Saat di Amerika, ia magang pada perusahaan cetak perusahaan itu, sedangkan sekarang ia dipindahkan ke bagian situs webnya dan mengomentari masalah-masalah yang terjadi di seputar kawasan Asia. (Yogyakarta, 2010:82).
Yudhistira adalah seorang pria yang pernah mengalami trauma di masa
mudanya. Pada saat berlibur di New York, Yudhistira bertemu Antonia. Mereka
berdua saling jatuh cinta. Akan tetapi, pada saat Yudhistira benar-benar
menyayanginya, Antonia meninggal karena dipukul ibu asrama pada saat
mengambil kertas lagu di ruangan ibu asrama. Ibu asrama berpikir Antonia
mencuri kertas lagu tersebut.
Secara penokohan, Yudhistira digambarkan sebagai seorang yang
mengetahui kematian Antonia dia tidak menceritakannya kepada kepada siapa
pun. Dia hanya pulang dengan wajah sedih.
(4) Puntadewa yang melihat wajah anaknya yang sembap tidak menanyakan sebabnya. Air mata berarti kesedihan dan kesedihan berarti perpisahan dan kekecewaan. Apa pun bentuknya. Dan Yudhistira pun tidak menceritakan pada ayahnya. Atau siapa pun. Yudhistira tidak menyadari bahwa ia telah mengulang ingatan itu kembali untuk kesekian ratus kalinya. Sudah dua puluh dua tahun. Gadis itu masih membekas dalam ingatan, sekalipun ia sudah tidak merasa sakit itu lagi. Hanya saja perasaan terluka itu demikian membekas dalam dirinya. (Yogyakarta, 2010:98-99).
Setelah pulang dari New York, Yudhistira berubah menjadi pria yang cuek
terhadap perempuan. Ia bersikap seolah-olah tidak ada wanita lain selain Antonia.
Hanya Antonia yang selalu ada di dalam hati dan pikirannya.
(5) Wajah Ananda seketika menjadi cerah. ”Ah, ini Yudith. Olivia cari tempat untuk internetan. Di depan kan ada. Kamu bisa anterin?”
Gerson menatap Yudhistira yang terlihat enggan. (Yogyakarta, 2010: 107).
Yudhistira adalah anak yang patuh pada ibunya, walaupun mereka tidak
dekat sebagaimana ibu dan anak yang selalu berbagai cerita. Waktu Olivia di
Yogyakarta, Ananda menyuruh Yudhistira untuk mengantarkan Olivia keliling
keraton. Awalnya, Yudhistira tidak mau mengantarkan Olivia. Akan tetapi,
Yudhistira tidak ingin mengecewakan ibunya. Akhirnya Yudhistira mau
mengantarkan Olivia untuk keliling keraton.
(6) Saat Ananda menoleh pada Olivia “Kamu selalu jalan-jalan ngeliat keraton sendirian?”
Olivia menggangguk. “Apa Bude mau nemenin aku?” godanya. “Ndak, tapi Yudith bisa,” katanya menatap anaknya.
“Ma, Mama masih ikut camping kita tiap tahun! Masak Mama mau
bilang keliling keraton aja udah nggak kuat?” kata Yudhistira menatap ibunya, namun ia segera menyesal telah bersikap membangkang. Ia menatap Ananda yang menatapnya dengan tatapan marah seorang
Pada hari yang ditentukan, Yudhistira mengantar Olivia keliling keraton.
Sikap Yudhistira mulai berubah. Ia tidak secuek biasanya. Ia mulai bersikap
lembut dan perhatian pada Olivia.
(7) Olivia mengangguk-angguk kemudian mengikuti langkah Yudhistira yang tegap. Dengan tenang laki-laki itu menerangkan satu per satu bagian keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Kita makan dulu, ya? tanyanya dengan lebih lembut dan gadis itu mengangguk. ”Oke.” (Yogyakarta, 2010:133).
Seusai acara keliling keraton, Yudhistira mengajak Olivia makan. Mulai
saat itu, Yudhistira menyukai bahkan membuka hatinya untuk Olivia. Akan tetapi,
muncul pertentangan dalam dirinya. Ia memutuskan tidak menyukai siapa pun
lagi termasuk Olivia, karena takut akan kehilangan cintanya lagi.
(8) Yudhistira melirik Olivia. Tidak benar. Perasaan ini tidak benar, pikirnya resah. Aku tidak mungkin menyukai perempuan manapun dan seperti apa pun.
Apalagi anak kos Mama. Aku tidak akan pernah menyukai siapa pun lagi. Tidak! Tidak selamanya! (Yogyakarta, 2010:139).
Yudhistira juga digambarkan tidak memiliki kedekatan dengan ibunya. Hal
ini terlihat saat ibunya bertanya tentang hal yang terjadi antara Yudhistira dan
Olivia.
(9) Ananda berdiri dan mengerutkan kening, ”Apa sih yang terjadi sama kamu? Apa kamu itu manusia dari batu? Bahkan ayahmu mengatakan hal itu padaku.
Yudhistira berdiri, MA! Jangan bawa-bawa Papa!” (Yogyakarta, 2010:140).
Yudhistira orang yang bertanggung jawab atas kesalahannya. Dia minta
maaf pada Olivia karena ia marah tanpa alasan pada saat makan berdua di restoran
(10) “Sori, aku kasar tadi siang tanpa alasan,” kata Yudhistira tiba-tiba. (Yogyakarta, 2010:147).
Setelah meminta maaf. Yudhistira menawarkan diri untuk mengantarkan
Olivia ke Taman Sari. Yudhistira merasa mulai menyukai Olivia.
(11) Ia tidak berkata apa-apa. Cukup apa yang dialami hari itu untuk mengatakan pada dirinya menyukai perempuan itu.
Ia menyukainya seperti ia pernah menyukai Antonia. (Yogyakarta, 2010:168).
Yudhistira digambarkan cemburu pada Gerson karena Olivia pergi ke klub
malam bersama Gerson. Sebelum Yudhistira pingsan karena luka akibat
membantu Olivia yang diganggu sekelompok orang, Yudhistira menunjukkan
perasaan cintanya dengan sebuah pertanyaan.
(12) Yudhistira menatap Olivia. ”Kenapa kamu pergi sama laki-laki lain?” tanyanya. Dan ia pingsan dalam pelukan Olivia. (Yogyakarta, 2010: 194).
Perasaan cinta Yudhistira pada Olivia semakin nyata. Kejadian-kejadian
yang mereka alami menjadikan mereka semakin dekat. Puncaknya saat acara
camping bersama di Candi Boko, Yudhistira menyatakan cintanya pada Olivia.
(13) “Aku cinta kamu,” katanya pelan, menatap gadis itu. ”Olivia, aku cinta kamu.” Ia tertawa sendiri-campuran antara kepahitan, ketegangan, bahagia, dan lega. (Yogyakarta, 2010:234-235).
2.1.2 Ananda Karmila
Ananda Karmila adalah tokoh utama protagonis. Dia keturunan bangsawan.
Ananda adalah seorang wanita yang anggun, berwibawa, berwajah cantik,
bersuara indah, dan selalu memakai kebaya. Ia sudah lima belas tahun menjanda.
(14) “Assalammualaikum,” sapa sebuah suara semi-alto yang teduh. Yudhistira menoleh dan melihat ibunya, Ananda Karmila, dalam balutan kain panjang cokelat dan kebaya putih. Tubuh perempuan itu mungil, namun tidak ada sesorang pun yang tidak akan merasa sungkan apabila berlalu di hadapannya. Sesuatu dalam diri ibunya membuatnya disegani.
Aura keraton. Keanggunan seorang aristokrat dan kewibawaan seorang perempuan yang terlihat matang. Rambutnya yang panjang dengan sentuhan putih di sana-sini selalu disanggul dengan rapi ke belakang dan diberi hiasan bunga melati. Tidak ada sehelai rambut pun yang keluar yang jalur. Ia memakai kacamata bingkai putih kecil dengan rantai sulur warna cokelat-keputihan. Cantik dan elegan di atas hidung mungil. Matanya hitam besar dan tajam dihiasi bulu mata lentik, dan rias wajah alami. Perempuan itu telah menjanda sejak lima belas tahun yang lalu dan selalu hidup sendiri sejak itu. (Yogyakarta, 2010:3-4).
Ananda memiliki sikap yang ramah pada Gerson. Ia selalu memberikan
toleransi bila Gerson terlambat datang sarapan pagi.
(15) “Duduklah,” kata Ananda ramah. Yudhistira memperhatikan bahwa ibunya selalu ramah dan mentolerin keterlambatan laki-laki itu, namun tidak bagi yang lain. (Yogyakarta, 2010:6)
Kepada anaknya Ananda terlihat cuek. Akan tetapi, sebenarnya ia
memikirkan masa depan anaknya. Dalam hati, Ananda sempat menduga-duga
bahwa Yudhistira seorang gay karena ia tidak pernah dekat dengan perempuan
lain setelah Antonia meninggal.
(16) Ia melirik putra bungsunya yang masih melajang sampai sekarang. Ia mendesah. Telah lama ia berusaha mengira-ngira apakah ada sesuatu yang berbeda dengan anaknya. Mungkinkah ia gay? (Yogyakarta, 2010:6-7).
Ananda yang merasa anaknya,Yudhistira seorang Gay, berusaha mencarikan
jodoh untuk anaknya, dengan cara menerima perempuan di kosnya.
(17) Waktunya mengatakan sebuah pemberitahuan. “Anak-anak, aku ada
“Kos ini akan menerima seorang mahasiswi putri dari Jakarta,“
katanya dengan suara tenang. (Yogyakarta, 2010:7).
Ananda adalah tokoh yang mempunyai watak yang cerewet. Ananda
cerewet kepada Olivia karena lupa gosok gigi, terlihat dari kutipan di bawah ini.
(18) “Kamu nggak sikat gigi dulu?” tanya suaranya lagi.
Oh, sial! perempuan ini lebih cerewet daripada ibunya. (Yogyakarta, 2010:113).
Ananda merasa harus melakukan sesuatu untuk Karta. Ananda tahu bahwa
Karta anak yang baik dan harus dibantu.
(19) Ananda memerhatikan laki-laki itu dan diam-diam merasa bahwa dia harus membantunya. Ia yakin Karta yang sesungguhnya adalah seorang anak yang baik. (Yogyakarta, 2010:130).
Ananda yang tadi ingin menjodohkan anaknya dengan Olivia sempat ragu,
karena dia merasa ada perbedaan di antara mereka yaitu perbedaan agama. Tapi
keraguan itu lenyap karena dia tahu bahwa anaknya menyukai Olivia.
(20) “Waalaikumsalam,” sambut Ananda, melirik pada Olivia.
Perempuan itu berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun, namun Ananda dapat melihat bahwa ia sempat terkejut ketika salam itu diucapkan.
Seakan-akan tersadar bahwa mereka memiliki agama berbeda. . . .
Namun dari semua perempuan yang melamar untuk menanyakan tempat kos, hanya Olivia yang menarik hatinya. (Yogyakarta, 2010: 137).
Meskipun Ananda tidak dekat dengan Yudhistira, Ananda tahu yang terjadi
pada anaknya. Waktu Yudhistira berada di New York, ayahnya memberi tahu
Ananda tentang hal yang terjadi pada Yudhistira.
Ananda adalah ibu bagi anak kos. Dia sangat dekat dengan Gerson, Karta,
Yahya. Gerson nyaman di dekat Ananda karena Ananda telah dianggapnya seperti
ibunya sendiri.
Gerson menceritakan tentang trauma yang dialaminya.
(22) Sebuah pertikaian, pembunuhan, dan penganiayaan. Bukan sesuatu yang mudah dilupakan.
Mungkin hanya waktu yang dapat mengurangi penderitaannya, pikirnya.
. . .
Ananda menunggu. Tidak ingin memaksa. . . .
Ananda menghirup tehnya dengan tenang.
Laki-laki itu akan berbicara kalau ia sudah merasa siap. (Yogyakarta, 2010:182).
Ananda memberi semangat kepada Karta yang gagal masuk ke dapur
rekaman supaya Karta bangkit dari kegagalan.
(23) Ananda mendesah dan menepuk-nepuk laki-laki itu .
Ia sudah dapat menduganya. Dalam hatinya, laki-laki itu masih kanak-kanak yang berusaha mengatakan pada ibunya bahwa ia dapat menyanyi, dan menangis ketika mengetahui bahwa ia telah gagal membuat ibunya terkesan.
(Yogyakarta, 2010:163).
Ananda yang merasa bahwa Yahya selama ini bermasalah dengan ibunya
menyuruh Yahya menelepon ibunya untuk meminta maaf dan mengabarkan
bahwa dirinya bersama Monalisa.
(24) Ananda menggeleng. ”Aku juga seorang ibu, Nak. Aku mengerti apa
yang diharapkan seorang ibu dari anaknya.” Ia tersenyum tipis.
(Yogyakarta, 2010:241).
Ananda Karmila adalah seorang bangsawan Jawa tulen yang mempunyai
Waktu berusia enam belas tahun, ia berkenalan dengan Fritz, orang keturunan
Cina-Belanda. Mereka saling mencintai.
(25) Tidak ada yang terlalu istimewa dengan asal-usul Fritz, kecuali bahwa dirinya adalah seorang yang luar biasa di mata Ananda. Laki-laki itu memiliki semua yang dibutuhkan seorang gadis untuk mencintainya, dan terutama . . . laki-laki itu mencintainya. (Yogyakarta, 2010:155).
Ananda adalah seorang yang tegas, termasuk hubungannya dengan Fritz.
Fritz beragama Kristen, dia hanya keturunan orang biasa, orang tuanya bekerja
sebagai pedagang kue. Fritz adalah anak baru di sekolahnya. Tanpa mereka sadari,
mereka saling jatuh cinta. Sebenarnya mereka tidak boleh bersatu karena ada jarak
perbedaan yang menghalangi mereka yaitu agama, ras, dan keturunan.
(26) “Jadi, kamu ndak peduli apa kata orang?”
“Njih. kalau kamu mulai peduli, kamu nggak usah sama aku,” katanya
tegas. (Yogyakarta, 2010:155).
Ananda yang keturunan bangsawan, menyatakan sanggup menghilangkan
status sebagai seorang bangsawan setelah Ananda jatuh cinta pada Fritz. Status
baginya sudah tak dihiraukan lagi. Ananda berciuman dengan Fritz.
(27) Dan Fritz menciumnya.
Bukan di pipi. Di bibir. Pertama-pertama, segala rasa yang aneh, segala pertentangan antara didikan yang ketat, tata krama, dan semua yang selalu dibawanya dan mendarah daging bergumul untuk saling beradu dan berusaha lebih unggul. Namun, akhirnya perasaannya menang. (Yogyakarta, 2010:156)
Hubungan Ananda dan Fritz tidak berjalan mulus hingga suatu hari orang
tua Fritz memutuskan pindah ke Surabaya untuk membuka usaha baru. Ananda
takut kehilangan Fritz untuk selamanya. Akan tetapi, Fritz berjanji untuk
tentang hubungan mereka. Ananda yang tidak pernah lagi bertemu Fritz
menganggap bahwa orang tua Fritz tidak setuju dengan hubungan mereka.
(28) Ananda menatapnya dengan tidak percaya. Tidak mungkin. Laki-laki itu tidak mungkin meninggalkannya. Ia sudah menjadi bagian dari dirinya, dari hidupnya, dan laki-laki itu telah berjanji. Ia akan selalu mencintainya. Ia akan mengatakannya pada orangtua Ananda bahwa ia mencintai putri mereka.
Ananda menggelengkan kepalanya dengan tegas. ”Tidak! Kamu akan
bicara sama Papa dan Mama.” (Yogyakarta, 2010:157).
Ananda tokoh yang mempunyai sifat yang terbuka dan halus pada saat berbicara kepada orang tua. Ananda sudah mencoba memberitahukan pada orang tuanya secara tidak langsung bahwa dirinya sudah memiliki laki-laki yang dia cintai. Tetapi orang tuanya tidak setuju karena orang tua Ananda menginginkan anaknya menikah dengan Puntadewa Mangkubumi, laki-laki pilihan mereka.
(29) Putri tunggal keluarga Jawa ningrat itu mencoba mengutarakan perasaannya dalam sebuah pengandaian. Ia menceritakan kisah kasihnya dalam wujud samaran temannya. “Kalau Papa jadi temanku,
apa Papa akan kasih izin?” tanyanya.
Ayahnya dan ibunya saling berpandangan mengetahui pertanyaan sangat halus yang ditanyakan putri mereka adalah tentang hubungan cintanya.
“Sebaiknya tidak, Nak,” katanya ayahnya akhirnya. “Ngomong
-ngomong kamu nggak lupa, kan kalau sudah dijodohkan dengan
Puntadewa Mangkubumi,” tanya ayahnya. (Yogyakarta, 2010:158)
Akan tetapi di sisi lain, Ananda adalah tokoh tertutup. Dia tidak menunjukkan kesedihan, karena dia harus menikah dengan Puntadewa, laki-laki yang dijodohkan dengannya. Bukan dengan Fritz, laki-laki yang dia cintai. Ananda tidak mau bersama orang lain lagi, selain Fritz.
(30) Malam hari itu, Ananda Karmila menangis dalam diam. Ia menyadari bahwa ia telah membiarkan dirinya menikmati cinta itu terlalu jauh. Ia tidak akan memberontak pada apa yang digariskan baginya. Tidak, kecuali Fritz . . . kecuali Fritz bersedia menemaninya.
Namun ia sendirian. Tidak ada Fritz.
Dan tidak ada lagi yang diinginkannya. (Yogyakarta, 2010:158).
Ananda adalah tokoh yang mempunyai komitmen. Dia menerima
menghilang tanpa kabar mencoba mendatangi Ananda tetapi semua sudah
terlambat. Akhirnya Fritz dan Ananda berpisah, tetapi dia berjanji pada Fritz
hanya Fritz yang ada di hati Ananda.
(31) “Tapi sekarang, aku sudah berjanji dan mengambil keputusan untuk
menikahinya.
“Aku akan memastikan bahwa apa pun yang terjadi di antara kita
tidak akan pernah terulang lagi pada siapa pun yang berada di
dekatku, ” katanya pelan. ”Itu janjiku.” (Yogyakarta, 2010:160).
2.1.3 Olivia Purnakasih
Olivia datang ke Yogyakarta dan tinggal untuk sementara di kamar kos
milik Ananda. Olivia adalah tokoh utama protagonis sekaligus tokoh bulat. Secara
penokohan, Olivia digambarkan sebagai seorang mahasiswi dari Jakarta. Dia
beragama Katolik.
(32) “Kos ini akan menerima sesorang mahasiswa putri dari Jakarta,” katanya dengan suara tenang.
“Um…agamanya apa Bude?” tanya Tarjo.
“Katolik,” kata Ananda. “Setidaknya itu yang dikatakannya.” (Yogyakarta, 2010:7-8).
Olivia adalah seorang gadis yang cerdas, cantik, bertubuh langsing, dan
berkulit putih. Ia keturunan Cina, Jerman, dan Jawa. Penampilannya menunjukkan
bahwa ia gadis metropolitan dengan dandanan khas anak muda. Tinggi badannya
sekitar 164 cm.
(33) Sesosok perempuan bertubuh langsing melangkah masuk ke dalam. Tubuhnya menebarkan wangi buah, dibalut celana pendek putih dan
tank-top kuning cerah dengan bahunya berselimutkan scarf panjang
Olivia Purnakasih adalah mahasiswi sosiologi Universitas Negeri Jakarta.
Usianya 21 tahun. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya
bekerja di pabrik dan sudah menikah, sedangkan kakak keduanya pergi ke
Amerika bekerja disana dan menikah. Olivia adalah anak dari keluarga kaya raya.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
(34) Kirana Kunibert Purnakasih adalah model tahun 1980-an, seorang peranakan Cina-Jerman yang masih selalu berdandan seperti model— juga ia menikah dengan pengusaha kaya pemilik pabrik furnitur, Swastika Purnakasih. (Yogyakarta, 2010:66).
(35) Dan sekarang, laki-laki itu menatap wajah putri bungsunya. Putra sulungnya telah menikah dan bekerja di pabrik.
Putra keduanya pergi ke Amerika, menikah dan bekerja di sana. Tinggal putri terakhir. (Yogyakarta, 2010:72).
Olivia adalah gadis yang lugu, yang belum pernah jatuh cinta. Pada usia 21
tahun dia tidak punya pacar walaupun banyak laki-laki yang menyukai dirinya.
Akan tetapi, Olivia hanya menganggap mereka teman biasa.
(36) Ia mungkin saja sudah cukup dewasa dan banyak laki-laki yang meneleponnya atau mengajaknya pergi, tapi ia belum merasa siap untuk menikah. Dengan siapa pun.
Tidak ada cowok yang disukainya. Tidak ada mereka yang berjenis kelamin laki-laki, atau pun perempuan, yang pernah benar-benar menarik hatinya.
Ia tidak tahu apa artinya jatuh cinta. Ia tidak pernah mengalaminya. (Yogyakarta, 2010:67-67).
Olivia adalah wanita yang keras kepala. Meskipun dia keras kepala, dia
sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hal ini terlihat waktu orang tuanya
mempertemukan dia dengan Bernard Wibowo. Dia tidak menolak, tetapi setelah
pulang Olivia mengungkapkan perasaannya pada ayah dan ibunya. Olivia tidak
(37) “Pa, Ma, aku nggak suka sama dia,” kata Olivia langsung dalam perjalanan pulang.
Ayahnya melirik spion dengan agak keheranan. ”Kamu nggak suka?
Jadi, laki-laki seperti apa yang kamu suka” tanyanya. ”Papa nggak pernah ngeliat kamu ngajak satu pun temen kencan ke rumah— sekadar untuk referensi.”
Olivia mendesah keras. ”Pa, aku nggak pernah bawa karena aku juga
belom tahu aku suka cowok yang gimana dan seperti apa.” (Yogyakarta, 2010:73).
Olivia akan dijodohkan dengan anak rekan kerja ayahnya, bernama Bernard
Wibowo. Bernard Wibowo adalah anak seorang pengusaha gula. Untuk
menghindari perjodohan yang dilakukan ayahnya, Olivia mempunyai ide untuk
membuat proposal penelitian tentang keraton.
(38) Hei! Bagaimana kalau di Yogyakarta? Ia selalu ingin ke sana. Tidak mungkin seorang mahasiswi sosiologi tidak pernah mengunjungi Yogyakarta, kota budaya! Ia segera browsing di internet tentang Yogyakarta, keraton, dan tempat-tempat yang mungkin didatanginya di sana.
Tentang keraton! Ya. Ia akan membuat makalah dengan tema Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta, 2010:74-75).
Olivia adalah gadis cantik. Anak-anak kos di Yogyakarta menyukainya.
Mereka adalah Tarjo, Gerson, Yahya, dan Karta. Mereka mencoba mendekati
Olivia dengan mengajak jalan-jalan keliling kota Yogyakarta. Tarjo mencoba
mendekati Olivia. Ia mengajak Olivia makan gudeg di pinggir jalan dekat
Malioboro.
(39) Mereka memasuki sebuah restoran kecil. Meja-meja pendek dari bambu ditebar secara rapi. Olivia melepas sepatunya, kemudian duduk
bersila dan mempelajari menu. ”Kamu harus pesen kreceknya. Enak banget. Itu khas Jogja,” kata Tarjo.
“Oh, ya, aku tahu. Oke. Aku pesen satu nasi gudeg komplet,” kata
Yahya juga mencoba mendekati Olivia. Yahya mengajak Olivia ke mal dan
mengajaknya makan di restoran yang ada di mal.
(40) “Apa aja,” kata Olivia sambil mengedarkan pandangannya ke dalam mal. Berbagai toko menyajikan berbagai makanan-mulai dari
franchise yang berbau kentang dan burger sampai santapan asli Yogyakarta. ”Aku mau makanan tradisional aja. Gimana kalau makan ayam goreng?” tanya Olivia. (Yogyakarta, 2010:119).
Karta mencoba mendekati Olivia. Dia mengajak Olivia pergi ke Malioboro
dengan alasan merayakan keberhasilannya menjadi penyanyi.
(41) “Kau dengar kata Bude, kan? Kita tidak akan merayakan apa pun.
Belum.”
“Oke. Kalau begitu kita makan di pinggir Malioboro aja, gimana?” “Oh, makan lesehan itu, ya?” tanya Olivia, membayangkan kehidupan Yogyakarta di waktu malam. ”Oke.” Ia menyerah, berjalan keluar.
(Yogyakarta, 2010:124).
Gerson menyukai Olivia dan mencoba melakukan pendekatan pada Olivia.
Gerson mengajak Olivia pergi ke klub malam. Olivia menerima ajakan Gerson.
Sesampainya di sana, Olivia sempat digoda oleh laki-laki karena kecantikannya.
(42) Klub itu ramai dan terletak di tengah kota. Klub itu khusus bagi orang dewasa karena minuman keras diedarkan di sana. Ia melihat Gerson berkenalan dengan beberapa anak kafe yang ada dan beberapa perempuan. Beberapa laki-laki mendekati Olivia. ”Kamu keren banget deh. Jadi cewek gue, ya?”
“Sori. Gue dateng sama Gerson,” kata Olivia, menatap laki-laki yang terlihat menikmati suasana itu. (Yogyakarta, 2010:188).
Pendekatan Yudhistira terhadap Olivia dimulai saat mereka pergi bersama
untuk melakukan penelitian tentang keraton. Olivia mulai merasakan bahwa ia
mencintai Yudhistira. Hati Olivia jadi tidak menentu saat duduk berdekatan di
dalam becak.
Dan entah mengapa, duduk berdampingan, menempel pada sisi laki-laki itu membuat jantung Olivia berdebar lebih cepat. (Yogyakarta, 2010:134).
Olivia digambarkan sebagai seorang wanita yang belum pernah jatuh cinta
pada siapa pun. Akan tetapi, di Yogyakarta dia mulai tertarik pada laki-laki
bernama Yudhistira. Yudhistira adalah putra ibu kosnya.
(44) Yudhistira menatap ke depan kembali. Ia tidak berkata apa-apa lagi, dan Olivia berkutat dengan debar jantungnya sendiri sementara semilir angin memabukkan jiwa, sampai mereka tiba di depan rumah. Yudhistira melompat turun dan mengulurkan tangan untuk membantu Olivia yang menerima bantuannya. (Yogyakarta, 2010:135)
Olivia digambarkan sebagai gadis yang mempunyai sikap yang tegas dan
tidak pendendam. Sikap itu terlihat waktu Yudhistira mencoba meminta maaf
pada Olivia karena memarahi Olivia tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi, Olivia
tidak langsung menjawab permintaan Yudhistira yang mengajaknya ke Taman
Sari.
(45) Olivia dapat memilih. Ia dapat menghempaskan harga diri laki-laki yang sedang ringkih itu, atau menerima tawarannya. Ia akan mengambil pilihan pertama kalau masih marah. Kemarahannya belum surut dengan sempurna, namun ia mendengar dirinya berkata pendek,
”Oke.” (Yogyakarta, 2010:149).
Olivia gadis yang pencemburu. Hal itu terlihat pada saat Yudhistira
menyebut nama Antonia dan Olivia marah. Yudhistira pernah menyebut nama
Antonia pada saat leher Olivia dilukai laki-laki tak dikenal menggunakan pisau.
Olivia sempat ragu dan marah pada Yudhistira karena tidak mau
menceritakan Antonia kepadanya. Olivia benci dengan perasaan cintanya pada
Yudhistira. Ia merasa dibohongi oleh Yudhistira.
(47) Olivia benci keadaan ini. Ia benci akan dirinya, akan perasaannya yang terasa mudah dipermainkan.
Cinta itu payah! pikirnya. Aku nggak mau lagi jatuh cinta. Ia tahu ia sedang berbohong.
Ia ingin selamanya berada dalam ayunan cinta dan tidak ingin sendirian. (Yogyakarta, 2010:232).
Olivia sangat menyanyangi Yudhistira. Terlihat waktu Yudhistira
membantu Olivia saat terluka di Candi Boko. Olivia masih penasaran dengan
Antonia mencoba mencari tahu tentang Antonia dengan cara merayu Yudhistira.
(48) Olivia menatap wajah Yudhistira yang menatapnya dengan sangat
sedih, dan di tengah dera sakitnya, ia bertanya. ”Siapa sih Antonia itu
Yud? Ceritain dong. Aku mau sayang kamu. Aku mau sayang kamu. Tapi kamu mesti jujur sama aku, Yud. Bilang dong, cerita sama aku,“ bisik Olivia mengernyit. (Yogyakarta, 2010:233-234)
Olivia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Orang tuanya tahu bahwa
Olivia mencintai Yudhistira. Mereka merestui hubungan Olivia dengan Yudhistira
dan membatalkan perjodohan dengan Bernard Wibowo. Olivia ditanya oleh orang
tuanya tentang keputusannya membuat jalinan cintanya dengan Yudhistira yang
berbeda agama. Akhirnya orang tua Olivia setuju pun dan Olivia memutuskan
untuk kembali lagi ke Yogyakarta. Olivia dan Yudhistira berjanji tidak akan
berpisah lagi.
(49) Dan Olivia berlari ke arahnya, memeluk lehernya, kemudian mencium
pipinya dengan keras, ”Pa, makasih, ya. Papa ngebatalin perjodohannya, ya?”
Ayahnya menepuk–nepuk tangan Olivia. ”Papa sayang kamu. Papa nggak mau lihat kamu sengsara karena ngelaksanain kemauan Papa
Mama.”
“Gentleman harus berani membuat janji dan menghadapinya kembali,
bahkan kalau dia salah. Tidak ada yang mustahil di dunia ini,
Sayang.” (Yogyakarta, 2010:247-248).
Olivia sudah memastikan bahwa dia telah memilih Yudhistira sebagai
pendampingnya. Olivia kembali ke Yogyakarta untuk menemui Yudhistira dan
berjanji untuk tidak berpisah lagi.
(50) Olivia terdiam, dan Yudhistira menarik gadis itu ke tempat tidur, membuatnya terpekik, kemudian memeluknya dengan sangat erat.
“Jangan pernah pergi-pergi lagi kayak gitu,” katanya.
Olivia menggeleng dalam pelukan laki-laki itu. ”Aku nggak akan
pergi, kecuali sama kamu,” katanya menatap Yudhistira. (Yogyakarta, 2010:253).
2.1.4 Gerson
Gerson adalah tokoh tambahan protagonis sekaligus tokoh bulat yang
bernama lengkap Gerson Geraldi. Secara penokohan, Gerson digambarkan
sebagai laki-laki yang tampan, gagah, bertubuh atletis, dan berasal dari Manado.
(51) Terdengar langkah cepat dan suara yang yang agak terengah-engah. Sesosok tubuh atletis yang gagah menghampiri mereka Gerson Geraldi seorang Ambon keturunan Manado yang berkulit cokelat susu bersih, bermata cokelat besar dengan raut wajah tampan. Seperti biasa rambutnya masih kucel. (Yogyakarta, 2010:6).
Gerson mempunyai keluarga yang hidup bahagia, walaupun orang tuanya
berbeda agama. Ayahnya bernama Givano Geraldi, orang Ambon, beragama
Islam sedangkan ibunya bernama Maria keturunan Manado-Potugis, beragama
Katolik. Gerson terlahir dari keluarga yang beragama. Ayahnya bekerja sebagai
sesorang ahli geologi laut.
sehingga Gerson dapat membayangkan bentuk-bentuk ikan itu. (Yogyakarta, 2010:17).
Kebahagiaan itu hilang setelah kejadian kerusuhan antar-agama Kristen dan
Islam. Kejadian itu menyebabkan kematian ayahnya. Ayahnya meninggal di
hadapannya. Ibunya menjadi gila karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa
suaminya sudah meninggal.
(53) Gerson membuka matanya dengan lemah, melihat jilatan api yang terus-menerus menyambar dalam rumahnya. “Papa?” ia berkata lemah, air mata terus menetes deras. Laki-laki setengah baya yang mengangkatnya menggelengkan kepala. ”Biarkan ia pergi dengan tenang.” (Yogyakarta, 2010:20-21).
(54) “Mama!” Berlinang air mata Gerson berlari memeluk ibunya.
Rasa syok yang dialami Maria demikian dahsyat dan ia nyaris tak dapat merasakan apa-apa lagi. Ia telah melampau garis batas kesadaran. (Yogyakarta, 2010:21).
Gerson sangat menyayangi ibunya. Ibunya menjadi gila karena ditinggal
suaminya. Gerson tetap merawatnya ibunya.
(55) Gerson mendongak, melihat ibunya, jari-jarinya meremas pinggang perempuan itu. “Ma?”
Yesaya akhirnya juga menampung Maria yang lebih banyak menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri, dan setiap hari, Gerson berusaha menghiburnya dengan berbagai macam cara. Beberapa bulan kemudian Yesaya berkata pada Gerson bahwa ia akan pindah ke Jakarta dan mengajak mereka. (Yogyakarta, 2010:21).
Setelah peristiwa kerusuhan antar-umat beragama di Manado, ibu Gerson
menjadi gila. Gerson menjadi benci pada orang-orang yang telah membunuh
ayahnya.
Setelah kejadian itu, beberapa bulan kemudian Gerson pindah ke Jakarta
bersama orang yang telah menyelamatkan mereka yang bernama Yesaya. Gerson
diajak naik pesawat Bunyi pesawat membuat ia teringat kembali kejadian
kerusuhan di Ambon. Trauma dirinya belum hilang.
(57) Gerson kecil belum pernah pergi naik pesawat dan bunyi pesawat itu sangat bising. Sekeras bunyi memilukan yang memerihkan hati akibat pergesekan dalam batin yang bergolak bagai dikoyak turbin kehidupan antara trauma kehilangan ayahnya dan membenci orang-orang Kristen sekaligus karena kebaikan hati Yesaya. (Yogyakarta, 2010:22)
Gerson teringat pertikaian yang terjadi di klub malam. Gerson menolong
Olivia yang terluka akibat terkena pisau yang digunakan pria yang tidak dikenal.
Hal ini menunjukkan sifat Gerson yang siap menolong.
(58) Kalung salib titanium dengan intan yang dipakai Olivia berkilap di mata Gerson. Ia menatap punggung Sekar yang menatap ke belakang, menunggu bantuan, dan dalam keremangan malam, dalam suasana yang tidak terlalu jelas, ia masih mengira sedang melihat Ananda. Ibunya. Olivia.
Islam.
Kristen. (Yogyakarta, 2010:192)
(59) Ia melihat pisau itu naik ke dekat leher d