• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya Hudan Hidayat dan Mariana Amirrudin (Sebuah Kajian Hermeneutik)

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 196-200)

Yuri Lolita & Rahayu Kusw ardani

Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Karya sastra merupakan pencerminan, gambaran, atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. hermeneutic adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Dalam kata lain, hermeneutic adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang tampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interprestasi yaitu bisa berupa symbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari symbol dalam masyarakat atau sastra.

Dalam studinya, Recouer membedakan antara symbol univocal dan equivocal. Symbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang yang ditandai, seperti symbol-simbol dalam logika. Sedangkan symbol equivocal adalah symbol sebenarnya dari hermeneutika. Ketika kebenaran menjadi relative, manusia yang pada dasarnya adalah memiliki hasrat untuk terus mencari, dan selalu tidak puas, akan terus mencari. Dan pencarian-terus menerus itulah yang dinamakan postmodern. Dan Postmodern adalah kegelisahan yang diakibatkan oleh hilangannya suatu standar kebenaran secara universal.

Problemnya, bagaimana kekosongan itu ada? Novel ini kemudian memperkenalkan konsep tuan dan nyonya kosong sebagai jawabannya. Sang nyonya kosong, misalkan, dibayangkan sebagai manusia yang sejak lahir telah melepas segala atributnya, menjadi telanjang dalam pengertian paling dasar: “I a tak punya jenis-jenis perasaan manusia: harapan, lelaki idaman, bahkan keinginan disentuh dan kehangatan”.Namun, kekosongan itu tak sepenuhnya hampa, karena “Perempuan kosong ternyata ciptaan Tuhan”. Fondasi yang telah dibangunnya itu lantas diruntuhkannya sendiri.

Novel Hudan-Mariana dibuka dengan kenangan tokoh Hudan atas kehidupan ganjil

keluarganya yang melakukan incest secara terbuka: Hudan bercinta dengan ibunya. Kehidupan ganjil ini mendatangkan keberangan dari para tetangganya dan orang kampung pun membakar rumah keluarga tak senonoh itu.Hudan lolos dari amuk massa itu dan berlari dengan membawa trauma dan deritanya, juga sebuah novel tak selesai karya ayahnya. Novel itu berjudul Tuan dan Nona Kosong. Pertanyaan pentingnya bukanlah bagaimana seseorang dapat selamat tapi bagaimana dia dapat tahu, dan dapatkah orang mengetahui segalanya. “Memang, kondisi mendalam dari mengetahui menjadi subyek perenungan,”. Dalam konteks semacam ini, novel Hudan-Mariana adalah sebuah penjelajahan filosofis dengan upaya mati-matian mengejar kekosongan.

Kata Kunci: Masyarakat postmodern, Kajian Hemeneutik

A. Pendahuluan

Karya sastra merupakan pencerminan, gambaran, atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Karya sastra merupakan

untaian perasaan dan realitas social (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk konkret (Quthb, dalam sangidu).15

I stilah ‘sastra’ dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara social, ekonomi, dan keagamaan keberadaanya tidak merupakan keharusan. Fananie (dalam putri Diah Ningrum) memaparkan bahwa karya sastra merupakan sebuah fenomena dan produk sosial sehingga yang terlihat dalam karya sastra adalah sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola, struktur, fungsi, maupun aktivitas dan kondisi sosial budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu diciptakan.16

Perkembangan novel di I ndonesia cukup pesat, terbukti banyaknya novel baru telah diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam - macam tema dan isi, antara lain tentang problem-problem sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan wanita. Sosok wanita sangatlah menarik untuk dibicarakan, wanita di sekitar publik cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Wanita telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks.

Akan tetapi dalam hal ini, tidak akan membahas bagaimana perempuan sebagai objek yang cenderung telah dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk mendapatkan sebuah kepuasan dan perempuan telah menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks. Tetapi pada kesempatan ini akan mengkaji tentang makna atau pesan yang terkandung dalam Novel Tuan dan Nona Kosong karya Karya Hudan Hidayat dan Mariana Aminudin dengan Pendekatan Hermeneutik.

Hermeneutic merupakan unsur penting dalam memahami atau memberikan makna dari sebuah teks. Riffatere (dalam Jabrohim) menyatakan bahwa untuk memberikan makna sajak secara structural dapat dilakukan dengan pembacaan heuristic dan pembacaan hermeneutic (atau retroaktif), dijelaskan heuristic merupakan pembacaan berdasarkan struktur kebahasaanya atau secara semiotic, hermeneutic merupakan pembacaan karya sastra (sajak) berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutic adalah pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristic dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.17

Menurut Paul Ricouer (dalam Rafiek) hermeneutic adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Dalam kata lain, hermeneutic adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang tampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interprestasi yaitu bisa berupa symbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari symbol dalam masyarakat atau sastra. Dalam studinya, Recouer membedakan antara symbol univocal dan equivocal. Symbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang yang ditandai, seperti symbol-simbol dalam logika. Sedangkan symbol equivocal adalah symbol sebenarnya dari hermeneutika.18

15

Quthb, dalam Putri Diah Ningrum, Ketidakadilan Jender Dalam Novel Perempuan

Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy : Tinjauan Sastra Feminis (Skripsi), (Surakarta: FKIP Universitas Surakarta, 2009) h. 1

16

Ibid. h. 1.

17

Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta, PT. Hanindhita Graha Widia, 2001) h. 101

18

B. Pembahasan

Postmodern adalah ketiadaan. Ketiadaan ini, awalnya diakibatkan oleh manusia modern yang dengan rasio dan logika dijadikan sebagai tolak ukur dan menggunakan landasan ilmiah berusahan untuk menemukan kebenaran dan digeneralisasi menjadi kebenaran universal. Namun kenyataannya, kita menemukan bahwa tidak ada satu ilmu pengetahuanpun di dunia ini yang bersifat pasti. Yang ada hanyalah terus mengalami pertarungan. Pertarungan inilah yang dinamakan dialetika.

Pertarungan ideologi ini mendatangkan upaya saling mempertahankan dan menganggap paling benar diantara lainnya. Akibat dari itu, munculah banyak kebenaran, dan akibat adanya banyak kebenaran maka akhirnya kebenaran itu sendiri menjadi relative.

Ketika kebenaran menjadi relative, manusia yang pada dasarnya adalah memiliki hasrat untuk terus mencari, dan selalu tidak puas, akan terus mencari. Dan pencarian- terus menerus itulah yang dinamakan Postmodern. Dan Postmodern adalah kegelisahan yang diakibatkan oleh hilangannya suatu standar kebenaran secara universal.

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara bertingkat seseorang akan kehilangan individualitas kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.

Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia I I , manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. I ndustri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja I ndonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” tidak menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya,

bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. I tulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

I ntinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur pola sosial interaksi yang sedang terjadi dalam sebagian masyarakat.Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. I ndividu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna.

Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa perihal apa yang telah

diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.

I mplikasi abad Postmodern terhadap Nilai- nilai kemanusiaan

Gerak sejarah peradaban umat manusia, biasanya selalu diawali dengan munculnya berbagai pemikir dan pemikiran yang melakukan pemberontakan atas segala keadaan pada zamannya. Merupakan representasi munculnya ‘kegelisahan’ atas situasisituasi yang melingkupinya. Kegelisahan itu kemudian melahirkan sejumlah pemikiran cerdas yang mengubah ‘tatanan’, mempertanyakan ‘kebenaran’ yang selama ini diterima begitu saja, menuju suatu progressivitas (kemajuan) peradaban kemanusiaan. Terminologi kemajuan(progress) sebuah peradaban kemudian menjadi satu-satunya ukuran kebenaran. Logika kebenaran peradaban adalah logika kemajuan dengan penemuan sains dan teknologinya sebagai salah satu ‘keunggulan’ komparatif manusia ‘maju’. I mplikasi logisnya, peradaban modern; utamanya semenjak abad Renaisans, terlebih pada abad Pencerahan, untuk itu representasi kebenaran peradaban dengan mengesampingkan kenyataan historis ‘kemajuan’ yang dicapai abad-abad sebelumnya.

Modernisme menurut Bambang Sugiharto (1996: 29) sebagai gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh rasionalisme Descartes, dikokohkan oleh gerakan.

Pencerahan (enlightenment / aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abd ke-20 melalui dominasi sains dan kapitalisme. Menariknya, hampir segenap bangunan peradaban modern, mungkin peradaban lainnya, selalu meletakkan ‘manusia’ sebagai subjek otonom, pusat kesadaran dunia yang mempunyai ‘hak’ penuh secara bebas mengembangkan kreativitasnya tanpa belenggu otoritas apapun, termasuk otoritas agama. Menempatkan ‘kebebasan’ manusia; baik berpikir, bertindak dan bekerja, sebagai segala-galanya. Hal ini berpengaruh secara signifikan terhadap munculnya sejumlah problem serius justru terhadap humanisme yang bersandarkan diri pada kemampuan rasionalitas manusia dengan segala otoritas utamanya di abad modern ini, melahirkan problem akut kemanusiaan; seperti penindasan, keterbelakangan, masalah lingkungan, politik apartheid, tirani, peperangan yang berkepanjangan. Manusia sebagai subjek otonom atas rasionalitas itu justru mengalami alienasi, keterasingan dan keterbelengguan oleh paradigma yang dicoba dikembangkannya. Sisi lain modernitas juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengalienasian nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah budaya modernitas, agama (misalnya)terpojok antara ideologi-ideologi besar produk kemodernan yang hanya menghasilkan kondisi-kondisi kemanusiaan yang terkooptasi oleh aspek-aspek material yang berdampak pada nilai-nilai negatif yang dihasilkan oleh sains dan teknologi yang bermuara pada destruksi, tanpa sanggup memaknai kebaruan keberhasilan itu secara positif.

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 196-200)