• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengeskplorasi Sastra Modern

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 70-76)

MERANGKAI SASTRA, MENYEMAI BUDAYA MENELI SI K FENOMENA USI NG, BANYUWANG

3. Mengeskplorasi Sastra Modern

Dalam konteks sastra modern/ kontemporer, intensi “pengarang Using” cukup beragam dan bervariasi, mulai dari persoalan refleksi historis Blambangan, tradisi, ritual, kultur, upacara adat, kesenian, asmara, persoalan pembangunan, hingga persoalan pertentangan antara tradisionalitas dan modernitas.

Sekadar gambaran, dalam konteks sastra modern, Basri (2008) menyebutkan nama-nama generasi penerus (yang dikategorikannya sebagai Angkatan Baru Sastra Using), di antaranya Adji Darmaji (dengan antologi puisi Using berjudul Juru Angin), Mahawan dan Slamet Utomo (Gendhing-gendhing), Pomo Martadi (Gerhana), U’un Hariyati (Sisik Melik), Mas Kakang Suroso (Kangkung Gunung). Selain nama-nama tersebut, tampil pula Joko Pasandaran, Wawan Setiawan, Senthot Parijotho, Fatah Yasin Noor, dan Abdullah Fauzi. Di sisi lain, yang tidak kalah penting, penyair yang puisi- puisinya menyentil fenomena-fenomena di atas di antaranya karya Samsudin Adlawi, Komang Harbali, Taufik Wr. Hidayat, Eko Budi Setianto, dan Samsul Hadi M.E.

Meskipun karya-karya mereka beragam tematik, dalam aspek mimetis ada benang merah yang menggayutkan dengan fenomena kultural Using. Dalam puisi Adji Darmadji

(1992), “I sun Lare Using” misalnya, kental sekali intensi penyairnya untuk menampilkan identitas Using. Secara simbolis ia ingin menunjukkan karakteristik orang Using, di antaranya tampak tersirat sikap aclak, ladak, dan bingkak.3 Selain itu, penggunaan pola perulangan yang formulaik (lihat, Lord, 1981) mengingatkan pada karakteristik mantra- mantra pengasihan (santet) yang diakrabi orang Using. Jika puisi tersebut dianggap telah mengalami pergeseran/ perubahan dari karakteristik puisi-puisi Using sebelumnya, lantaran di antaranya tidak menyuguhkan basanan dan wangsalan sebagaimana puisi “Sisik Melik” karya U’un Hariyati4 (Basri, 2008), tentu penilaian itu sah-sah saja. Tetapi ia masih kuat menyuguhkan tradisi dan budaya Using, terutama justru pada citraan magisnya. Dengan perulangan formulaik, residu pola kelisanan pada puisi tersebut masih cukup kuat. Pola kelisanan yang kuat juga ditunjukkan oleh puisi “Jarang Goyang” karya Samsudin Adlawi (2009). Jika ditelisik, bisa jadi puisi tersebut terinspirasi oleh karya klasik sebelumnya, yakni berupa mantra Jaran Goyang yang kemudian mengalami transformasi menjadi seni pertunjukan Jaran Goyang dan kemudian Jaran Goyang Aji Kembang (Saputra, 2007a).

Empat puisi yang membicarakan Seblang (tradisi ritual di Glagah dan Bakungan), dua di antaranya berbahasa I ndonesia (“Tarian Seblang” karya Komang Harbali (2009), dan “Seblang” karya Samsul Hadi M.E.(Fauzi, ddk., 2003)) dan dua lainnya berbahasa Using (“Ndeleng Seblang” dan “Ngutugi Seblang” keduanya karya Eko Budi Setianto). “Tarian Seblang” (Komang Harbali) dan “Seblang” (Samsul Hadi M.E.)sama-sama memaparkan impresi tentang ritual sakral dengan iringan gending dan tetabuhan tradisional. Ungkapan syukur dalam tradisi bersih desa menjadi bagian integral masyarakat agraris, termasuk masyarakat Using, Banyuwangi. Gambaran kesakralan upacara Seblang, dan gambaran pelaku Seblang yang masih perawan, lebih terasa pada puisi Samsul.

3

Aclak berarti sok ingin mem udahkan orang lain, at au sikap yang m em osisikan diri sebagai sosok yang lebih t ahu, dan tidak t akut m erepot i diri sendiri, w alaupun tidak sanggup m elakukannya, at au sering juga disebut sebagai “ maunya diri” , sedangkan ladak berarti sikap yang di dalam nya terkandung nilai kesom bongan, m eskipun dibalut dengan sikap canda, at au cara pandang yang menganggap orang lain t idak lebih tinggi daripada dirinya. Adapun bingkak berart i acuh t ak acuh, kurang peduli, dan cerm inan perilaku bahw a seseorang tidak harus menghorm ati orang lain.

4

Penyair atau sastrawan Using pada umumnya laki-laki. U’un Hariyati merupakan salah satu perempuan penyair Using yang produktif. Bagi U’un Hariyati (2007), sastra Using merupakan ungkapan atau luapan emosi yang tidak dapat disalurkan dengan kekuatan fisik, dan ketidakberdayaan ini menimbulkan kekuatan berangan-angan yang menerawang bermain lewat kemampuan merangkai kata dan kalimat. Menurutnya, dalam gending-gending Gandrung tersimpan nilai budaya yang luhur. Nilai-nilai luhur tersebut semakin tersingkap, ketika keindahan puisi-puisi gending ternyata mengusung makna semangat perjuangan orang- orang yang tertindas.

I lustrasi semacam itu menunjukkan bahwa penyair merupakan subjek individual yang tidak dapat lepas dari subjek kolektif. Sebagai individu, penyair tidak dapat melepaskan diri dari repertoirnya dalam relasi sosial dan hidup secara sosial di masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai sosial kultural yang ada di masyarakat menjadi bagian dari sikap sosial kultural yang ada di dalam diri penyair sekaligus yang diekspresikannya dalam wujud puisi. Dengan demikian, pandangan dunia penyair mencerminkan pandangan dunia masyarakat yang ada di sekitarnya, yakni pandangan dunia orang Using.

Paparan tersebut juga merepresentasikan substansi dan proses kreatif yang tercermin dalam dua puisi tentang Seblang berikut, yakni puisi “Ndeleng Seblang” (Fauzi, dkk., 2003) dan “Ngutugi Seblang” (Fauzi, dkk., 2005), keduanya adalah karya Eko Budi Setianto. Kedua puisi tersebut diekspresikan menggunakan bahasa Using. Puisi yang kedua relatif lebih pendek dibandingkan dengan puisi sebelumnya, tetapi aspek ritual diungkapkan lebih kuat, dengan menyebutkan nama-nama buyut yang menjadi penjaga roh di lingkungan tempat pelaksanaan Seblang. Penyebutan nama empat buyut tersebut sekaligus untuk menunjukkan bahwa dunia gaib di lingkungan desa tempat pelaksanaan Seblang dijaga oleh empat “sesepuh” yang mbahureksa, dari empat mata angin yang berbeda: timur, barat, utara, dan selatan. Penyebutan nama empat buyut tersebut terungkap dalam kutipan berikut: buyut Ketut/ buyut Cili/ buyut Jalil/ buyut Mailang.

Selain Seblang, kesenian yang menjadi identitas Using adalah Gandrung. Berikut ini dibahas puisi berjudul “Penari Gandrung” karya Komang Harbali (2009) dan “Ketika Sang Gandrung Menari” karya Taufiq Wr. Hidayat (2009). Kedua puisi tersebut secara garis besar menggambarkan prosesi dan substansi tarian Gandrung yang cukup popular di masyarakat Using, Banyuwangi. Bari-baris awal dalam puisi yang pertama memberi gambaran tentang posisi jejer, gerakan, hingga getaran yang bisa dirasakan oleh setiap mata penonton, terutama penonton laki-laki. Gambaran Gandrung dalam puisi Komang Harbali mampu memberi impresi sekaligus gambaran suasana hingar dan ritmis tentang realias sosial Gandrung. Sementara itu, puisi Taufiq Wr. Hidayat lebih memberi gambaran sisi hiburan, bahkan juga untuk melupakan sejenak beban kehidupan dan kemiskinan. Gambaran hingar-bingar, lengkap dengan selingan minuman beralkohol, terefleksi dalam puisi Taufiq.

Fenomena kultural Using lainnya adalah Warung Bathokan. Ada dua puisi yang mengekspresikan tentang realitas sosial kultural Warung Bathokan, yakni “Sketsa Warung

Bathokan” karya Komang Harbali (2009) dan “Nyanyian Bathokan” karya Muhammad I qbal Baraas (dalam Adlawi, dkk., 1998). Warung Bathokan adalah tradisi kultural masyarakat Using yang dilaksanakan dalam upaya untuk mendapatkan jodoh dengan sarana membuka warung sebagai mediasi untuk mempertemukan pemuda dan pemudi. Pada puisi pertama, tampak lebih deskriptif dalam memaparkan substansi dan prosesi Warung Bathokan. Dari paparan dalam puisi tersebut, pembaca mendapatkan informasi yang aktual dan denotatif tentang Warung Bathokan. Sementara itu, dalam puisi kedua, yakni puisi “Nyanyian Bathokan” karya Muhammad I qbal Baraas, lebih menekankan pada impresi yang ekspresif, sehingga informasi yang deskriptif kurang ditonjolkan. Selain itu, dalam puisi kedua tersebut, juga ada gambaran yang negatif tentang tradisi Warung Bathokan. Sebagaimana diketahui, tradisi Warung Bathokan yang semula sakral dan dianggap suci dalam mencari/ menemukan jodol, dalam perkembangannya dinodai oleh citra negatif, yakni munculnya kesan bahwa tradisi tersebut diwarnai/ dibumbui oleh kesan prostitutif. Puisi karya Muhammad I qbal Baraas terkesan mengarah ke hal tersebut.

Dalam wacana yang lain, terkait dengan program “Desa Wisata Using”, yakni di Desa Kemiren, Taufiq Wr. Hidayat (2009) menulis tiga puisi, yakni “Ekosistem Kemiren”, “Tangan-tangan Kemiren”, dan “Mata Kemiren”. Puisi pertama mengekplorasi lingkungan hidup Kemiren, lengkap dengan suasana persawahan, sungai, rumah gebyok,barong,

gendhing Lontar Yusuf, dan Gandrung. Hal tersebut mencerminkan poin-poin penting

budaya lokal yang ada di Kemiren. Puisi kedua dan ketiga masih terkait dengan puisi pertama. Hanya saja, puisi kedua lebih menekankan pada aktivitas, di antaranya dengan perulangan kata kerja, dengan citraan kesibukan. Perulangan formulaik tersebut, di antaranya: mendebu, meramu, meringkuk, menjelma, dan menebang, yang masing- masing kata diikuti ungkapan lain sebagai pelengkap. Pada puisi ketiga terungkap tentang mata sepasang sapi dan pecel pitik, dua idiom yang menyiratkan lokalitas. Ketiga puisi tersebut memberi gambaran yang saling melengkapi tentang khazanah kultural Desa Kemiren, sebagai ikon Desa Wisata Using.

Setelah puisi, berikut ini dieksplorasi tentang prosa. Prosa (novel) yang menyoal tentang kultur Using di antaranya karya-karya Hasnan Singodimayan (Kerudung Santet

Gandrung5 dan Suluk Mu’tazilah), Armaya (Laut Selatan dan Keris Emas), dan Kang Ujik (Pereng Puthuk Giri).

5

Dalam t em a yang terkait , Hasnan Singodim ayan juga menulis puisi “ Sant et Bukit Dulpentet ” (dalam Adlaw i, dkk, 1998). Puisi yang m em aparkan persoalan santet t ersebut cenderung naratif, yakni berisi kisah

Dua novel Singodimayan tersebut pada dasarnya mengisahkan fenomena kultural dalam konteks budaya Using, yakni tarik-menarik antara agama dan tradisi. Sebagimana dipaparkan Saputra (2007b), pandangan dunia orang Using dalam Kerudung Santet

Gandrung (Singodimayan, 2003) dan pandangan dunia Merlin-Nazirah (dua tokoh penting

dalam novel tersebut) menemukan pertautan dalam format strukturalisme genetis. Oleh karena itu, suara Merlin dan suara Nazirah dalam menuturkan pola perikehidupannya menjadi ikon ragam suara perempuan Using. Sebagai sosok gandrung, Merlin memang tidak dapat menampik penggunaan sensren –sarana menambah daya tarik dengan cara magis– untuk kesuksesan pertunjukan gandrungnya. Di sisi lain, Nazirah –janda dari I qbal– diilustrasikan sebagai sosok I slami yang memakai kerudung dan baju selubung, tetapi tidak mampu menyurutkan hasratnya untuk ke dukun guna memohon bantuan merontokkan sensren kecantikan yang dipakai Merlin. Fakta sastra ini dapat ditafsir sebagai bentuk resistensi autokritik pengarang atas realitas sosial dalam masyarakat Using.

Pola yang paralel dengan hal tersebut juga terjadi pada Suluk Mu’tazilah (Singodimayan, 2011). Salman Jagapati sebagai tokoh sentral berupaya untuk nguri-nguri atau akomodatif terhadap tradisi, karena memang dibenarkan dalam aliran Sunni yang dianutnya. Tokoh lain yang berseberangan, di antaranya Ustadz Ali Baharmi, Sadam dan Husain, Marwan, dan “Tamu” yang mengaku keturunan Jagapati, merupakan tokoh-tokoh yang ketat beribadah, sehingga menolak tradisi lokal sebagai khazanah yang memperkokoh batin. Pertentangan dua kelompok tersebut merepresentasikan pertentangan antara Najwatul Ummah (komunitas yang menerima tradisi), yang digambarkan tinggal di Kelurahan Petukangan, dan Al Mutawahidah (komunitas yang menolak tradisi), yang diilustrasikan tinggal di Desa Kepakisan. Hal itu sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai representasi gejolak batin yang dialami pengarangnya, Hasnan Singodimayan, yang memiliki repertoir kehidupan di pesantren, sekaligus sebagai seniman ulung yang mempertahankan khazanah tradisi Using. Dalam konteks itu, Ayu Sutarto (2011), pada “Kata Pengantar” menjelaskan bahwa tradisi merupakan pusaka leluhur

seorang t okoh bernam a Dulpent et , salah sat u pejuang, t et api karena t ubuhnya kecil, m aka dirinya m enjadi bahan olok-olok, hingga dikat akan “ t idak pant as menyandang bedil karena t ubuhnya kerdil” . Dengan berbagai ket erbat asan yang dim ilikinya, akhirnya Dulpentet m em anfaat kan nilai-nilai kult ural yang t elah diw ariskan oleh nenek-m oyangnya, yakni nilai-nilai yang dikem as dalam kekuat an supranat ural. Pada akhir kisah, dipaparkan bahw a Dulpentet t idak tert angkap oleh Balanda, t et api t et ap celaka karena t erjungkir di jurang, t anpa am anat , t anpa w asiat . Puisi yang dicipt akan penyair gaek Banyuw angi t ersebut , selain bernada sedikit kocak at au m elucu, juga m enggam barkan sem angat perjuangan, t erm asuk dengan mem anfaat kan kekuat an-kekuat an t radisional, yakni kekuat an sant et .

yang menguasai separuh jiwa Hasnan. Pada akhir kisah, pengarang lebih berpihak pada tradisi, dengan memperkenalkan tiga produk kultural Using, yakni tradisi perkawinan Perang Bangkat, tradisi Endhog-endhogan, dan penggunaan Sabuk Mangir Blambangan. Melihat Salman Jagapati, kata Ayu Sutarto (2011), rasa-saranya saya melihat Hasnan Singodimayan, melihat gesekan antara yang menerima dan menolak tradisi, melihat Using dan kekuatan luar yang mengusiknya.

Berbeda dari Hasnan Singodimayan yang sering mempertentangkan antara tradisi dan agama, Armaya dalam Laut Selatan dan Keris Emas lebih banyak berkisah tentang kehidupan normatif yang di sana-sini dikaitkan dengan peristiwa yang aktual dan kisah sejarah. Dalam Laut Selatan, Armaya (2011) mengisahkan tokoh Aku, Sri Loka Dianingpati, dan Agustina Kacasukmana yang terdampar di Alas Purwo akibat kapal yang ditumpanginya dari Bali ke Banyuwangi dihantam angin laut. Kemudian narasi mengalir mengisahkan Alas Purwo dan guanya yang dikenal wingit dan menjadi tempat bersemadi/ meditasi, di antaranya Bung Karno (bermeditasi di Gua Istana, 1 Syuro 1926, selama 40 hari) dan Raja Brawijaya V (sering bermeditasi di Gua Kucur dan Gua Tikus). Disinggung pula tentang Pantai Boom, kue bagiak, manisan pala, pembangunan Lapter (lapangan terbang), dan fenomena angka perceraian Banyuwangi yang tertinggi di Jawa Timur. Sementara itu, dalam Keris Emas, Armaya (2010) lebih menekankan pada cerita silat dengan memasukkan aspek historis Blambangan. Dengan tokoh sentral di antaranya Ki Singobarong dan Songgo Langit, novel ini memaparkan masuknya I slam ke Banyuwangi yang dikatakan dibawa oleh Syeh Wali Lanang (Maulana I skak). Di sisi lain, novel yang mengisahkan pertempuran antara Blambangan dan Majapahit ini, juga menelusuri eksistensi makam kuno Buyut Atikah, ibunda Sunan Giri, di Bukit Giri, Kecamatan Giri, Banyuwangi.

Kang Ujik (2005) dalam Pereng Puthuk Giri (Novel Cara Using), mengisahkan romantika kehidupan Jurik yang mencintai Sumik, seorang kembang desa di Kampung Payaman. Ternyata, sebelum kedatangan Jurik, sudah ada lelaki lain yang mencintai Sumik, yakni Apidik. Penceritaan pun berkembang, ada cinta ada duka. Makmun sebagai teman karib Apidik bersimpati, kemudian dengan ilmu sihirnya, menyerang Jurik dan Sumik. Warga masyarakat mengetahui hal tersebut, kemudian mereka membakar rumah Makmun. Makmun tidak dapat menerima ketika dituduh sebagai tukang sihir, kemudian menantang untuk sumpah pocong, karena pranata sumpah pocong dapat digunakan

sebagai media untuk menakar integritas-kontekstual seseorang. 6 Setelah sarana perlengkapan sumpah pocong telah siap, Makmun malah menghilang.Kisah dalam novel berbahasa Using tersebut, di satu sisi mengungkap nilai-niali kultural Using, termasuk berbagai sarana-prasarana mistis, sedangkan di sisi lain juga memberi pelajaran yang berharga bahwa penyalahgunaan kemampuan mistis akan berakibat merugikan, baik merugikan diri sendiri maupun orang lain. Gambaran dalam novel tersebut mampu memotret fenomena sosial kultural yang dialami masyarakat Using dalam kehidupan keseharian.

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 70-76)