• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA WARNA LOKAL MI NANGKABAU: SEBUAH I DENTI TAS

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 114-118)

I DENTI TAS NARATI F DALAM SASTRA WARNA LOKAL MI NANGKABAU

C. SASTRA WARNA LOKAL MI NANGKABAU: SEBUAH I DENTI TAS

Karya sastra warna lokal Minangkabau memperlihatkan kekhasannya yang berkaitan erat dengan kultur, sikap hidup, pola pikir, perilaku, dan sistem sosial kemasyarakatan yang menjadi pembentuk identitas kebudayaan Minangkabau. Dalam beberapa karya sastra (novel) warna lokal Minangkabau tergambar beberapa fenomena sosial masyarakat Minangkabau yang sekaligus menjadi identitas dari masyarakat Minangkabau.

1. Tradisi Merantau

Sepanjang perjalanan sejarah Minangkabau, merantau telah menjadi bagian terpenting dalam kebudayaan Minangkabau (Mansoer, 1970: 3). Merantau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Rantau adalah tempat berusaha untuk mencari berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, yang hasilnya untuk menambah kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri,

sanak saudara, keluarga dan kampung halaman. Pergi merantau mempunyai arti dan efek sosial-ekonomis dan sosial-kultural bagi masyarakat Minangkabau.

I stilah merantau menurut Naim (1984: 3) mengandung enam unsur pokok, yaitu 1) meninggalkan kampung halaman; 2) dengan kemauan sendiri; 3) untuk jangka waktu yang lama atau tidak; 4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; 5) biasanya dengan maksud kembali pulang; dan 6) merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.

Dalam beberapa novel warna lokal Minangkabau, tradisi merantau menjadi salah satu bahagian yang dilakukan oleh tokoh cerita, terutama tokoh laki-laki. Hal ini tampak dalam beberapa novel warna lokal Minangkabau, di antaranya adalah tokoh Samsul Bahri dalam Siti Nurbaya pergi merantau untuk menuntut ilmu, tokoh Hamid dalam Di Bawah

Lindugan Ka’bah, tokoh Ridwan dalam Bulan Susut. Tokoh Masri dalam Datangnya dan Perginya. Begitu juga dalam beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau lainnya.

Tradisi merantau juga terlihat dalam legenda Malin Kundang sebagaiikon dari kebudayaan Minangkabau.

Merantau sebagai produk kebudayaan Minangkabau merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan diri baik secara ekonomi maupun secara sosial kultural. Banyak faktor yang dapat dikemukakan mengapa sebagian besar masyarakat Minangkabau pergi merantau. Faktor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat Minangkabau untuk merantau.

2. Hubungan Mamak- Kemenakan

Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di I ndonesia memiliki perbedaan yang khas bila dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Salah satu bentuk kekhasan budaya Minangkabau adalah berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakatnya. Sistem kekerabatan di Minangkabau adalah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem kekerabatan matrilineal tersebut, garis keturunan seseorang berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan demikian, seorang anak juga akan memiliki hubungan yang sangat erat dengan saudara laki-laki ibunya (mamak). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mamak adalah saudara laki-laki dari ibu. Dalam masyarakat Minangkabau, hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya disebut dengan hubungan “mamak jo kamanakan” (mamak dengan kemenakan).

Menurut Junus (1984: 52) mamak mempunyai dua pengertian, yaitu 1) seseorang yang menjaga kesejahteraan (material) dari keluarga matrilinealnya; 2) seseorang yang berusaha agar tidak terjadi pelanggaran adat.

Dalam sebagian besar novel warna lokal Minangkabau, peran dan kedudukan

mamak menjadi bagian yang dipentingkan. Hal ini berarti bahwa selalu ada tokoh yang

berperan sebagai mamak dalam novel-novel warna lokal Minangkabau, misalnya dalam novel Siti Nurbaya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Bako, Bulan Susut, Warisan, Si Padang, Cerpen-cerpen A.A. Navis,dan dalam beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau lainnya.

Sistem sosial Minangkabau merupakan sebuah ciri khas dan karaktersitik budaya masyarakat Minangkabau yang membedakannya dengan budaya lain. Fenomena ini dianggap sangat penting bagi masyarakat Minangkabau yang hidup dalam suasana dan tradisi Minangkabau.

3. Sistem Perkaw inan dan Perjodohan

Masalah perjodohan dan perkawinan juga menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Persoalan ini digambarkan oleh pengarang dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau perkawinan antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan mamak-nya menjadi sebuah fenomena. Dalam istilah Minangkabau di sebut “pulang ka anak mamak” (pulang ke anak mamak) atau “pulang ka bako” (pulang ke bako—keluarga ayah). Menurut pandangan masyarakat Minangkabau, perkawinan dengan anak mamak masih dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Dengan kata lain, perkawinan yang ideal bagi masyarakat adalah perkawinan “awak samo awak” (keluarga dekat). Hal ini bukan menggambarkan bahwa masyarakat menganut sikap eksklusif. Pola perkawinan seperti itu berlatar belakang sistem kolektivisme yang dianutmya.

Persoalan yang muncul adalah adanya pertentangan antara kaum muda yang telah memperoleh pendidikan modern dengan kaum tua, terutama dalam hal perjodohan dan perkawinan. Seorang anak atau kemenakan harus mengikuti keinginan orang tua,

mamak, kaum atau keluarga untuk menerima istri yang telah dipilih oleh orang tua dan

keluarga dekatnya. Hal ini misalnya terjadi pada tokoh Hamid yang pergi meninggalkan Zainab karena ia akan dinikahkan dengan anak mamak-nya dalam Di Bawah Lindungan

Ka’bah. Dalam kebanyakan karya warna lokal Minangkabau diceritakan tentang seorang

tokoh (laki-laki atau perempuan) yang telah menjalin kasih, saling mencintai, namun pada saat tertentu kedua pasangan kekasih tadi harus berpisah karena salah seorang di antara mereka akan dikawinkan dengan anak mamak-nya, atau keluarga dekatnya.

4. Kedudukan Perempuan sebagai Bundo Kanduang

Bundo kanduang adalah panggilan untuk kaum perempuan menurut adat

Minangkabau. Bundo artinya adalah ibu, kanduang adalah sejati. Bundo kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan (Hakimy, 1994: 69). Bundo

kanduang sebagai golongan perempuan harus memelihara diri, harkat dan martabatnya

serta mendudukkan dirinya dengan aturan-aturan adat. Kedudukan kaum perempuan dalam adat Minangkabau memilik arti yang sangat menetukan.

Persoalan tentang kedudukan kaum perempuan di Minangkabau menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Kaum perempuan memiliki kedudukan yang khas dalam hukum adat Minangkabau sehingga diberi julukan “limpapeh rumah nan gadang”( figur sentral dalam rumah tangga).

5. Kedudukan Harta Pusaka

Persoalan lain yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau adalah tentang kedudukan harta pusaka dalam kebudayaan Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar, maupun warisan harta yang biasanya disebut dengan sako (gelar)dan pusako (harta). Pusako atau harta pusaka adalah segala kekayaan materi atau harta benda, yang termasuk di dalamnya adalah tanah, sawah ladang, tabek (kolam), rumah dan pekarangan, pandam pekuburan, perhiasan dan uang. Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan anak dan kemenakan di Minangkabau. Harta pusaka ini diwarisi secara turun temurun. Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka dari mamak

kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “pusako basalin”. Pusako sebagai harta mempunyai empat fungsi utama dalam masyarakat Minangkabau (Amir MS, 1997) yaitu: 1) sebagai menghargai jerih payah nenek moyang; 2) sebagai lambang ikatan kaum; 3) sebagai jaminan kehidupan; dan 4) sebagai lambang kedudukan sosial.

D. PENUTUP

Dari hasil pembahasan dan pengkajian terhadap beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau, terdapat beberapa fenomena sosial masyarakat Minangkabau yang merupakan identitas dan karakteristik masyarakat Minangkabau, di antaranya adalah tentang sistem kekerabatan matrilinenal yang dianut oleh masyarakatnya, tradisi merantau sebagai upaya pendewasaan dan pematangan diri, baik secara secara sosial maupun ekonomi, hubungan sosial antara mamak (adik laki-laki ibu) dan kemenakan, kedudukan harta pusaka, perjodohan dan perkawinan serta keberadaan kaum perempuan sebagai bundo kanduang dalam pandangan masyarakat Minangkabau.

Fenomena tersebut merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan bangsa I ndonesia yang perlu untuk ditumbuhkembangkan sebagai upaya pelestariaan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa keanekaragaman kebudayaan I ndonesia dapat dijadikan sebagai pembentuk identitas nasional dan jati diri bangsa I ndonesia sekaligus sebagai aset untuk mengembangkan kebudayaan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston, I nc.

Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Elizabeth and Tom Burns. 1973. Sociology of Literature and Drama. Australia: Pingun Books I nc.

Goldmann, Lucien. 1978. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication.

Hakimy, I drus. 1994. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi

Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Laurenson, Diana and Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature. London: Paladin.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra I ndonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mansoer, M.D. 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharatara.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.

TRADI SI LI SAN DAN I DENTI TAS BANGSA: STUDI

Dalam dokumen buku hiski 5compressed (Halaman 114-118)