• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jambi pada tahun 1998-2002

KAWASAN SENTRA PRODUKS

Pengertian dan Batasan Kawasan Sentra Produksi

Sentra produksi memiliki pengertian yang berbeda dengan sentra industri. Demikian pula halnya dengan kawasan sentra produksi (KSP) memiliki batasan pengertian yang berbeda dengan kawasan sentra industri (KSI) ataupun kawasan industri (KI). Sentra produksi adalah suatu kawasan budidaya pertanian yang memiliki potensi dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Sedangkan sentra industri adalah kumpulan atau tempat terkonsentrasinya unit usaha industri kecil yang sejenis. Sentra ini terdiri dari sentra industri kecil logam, sentra industri kecil pangan, sentra industri kecil kimia dan bahan bangunan, sentra industri kecil sandang dan kulit, serta sentra industri kecil kerajinan umum (Suhardi, 1992a).

KSI dibedakan dengan KI berdasarkan peruntukannya. KSI merupakan wilayah untuk pembinaan industri kecil yang sejenis. KSI terdiri dari sentra- sentra industri kecil. KI (Industrial Estate atau Industrial Park) adalah suatu wilayah zonasi untuk kegiatan industri besar dan menengah yang dibangun di atas tanah yang luas dan dilengkapi dengan infrastruktur dan utilitas. Zonasi KI ditentukan berdasarkan topografi, lokasi serta aksesibiltas terhadap pasar dan sarana transportasi (Roestanto, 2000 dan 2004).

Berbeda dengan KSI dan KI yang merupakan kawasan industri, KSP ada- lah kawasan produksi yang diperuntukkan bagi kegiatan budidaya pertanian. Se- cara konsepsional, KSP dapat diberi batasan dalam pengertian mikro ataupun ma- kro. Dalam pengertian mikro, KSP adalah suatu kesatuan spasial kawasan yang memiliki fisik lahan, agroklimat, infrastruktur dan kelembagaan yang memung- kinkan bagi pengembangan ekonomi produktif berbasis pertanian. Sedangkan da- lam pengertian makro, KSP adalah suatu kesatuan fungsional kawasan yang me- rupakan batas pasar yang memiliki kemungkinan dijangkau secara ekonomi bagi komoditas yang dihasilkan dalam KSP Mikro (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b).

Luas kawasan KSP Makro ditentukan oleh ongkos produksi, biaya dis- tribusi dan perkembangan agroindustri pada kawasan tersebut. Semakin efisien ongkos produksi pada kawasan KSP Mikro, maka akan semakin luas KSP Makro- nya. Demikian pula dengan semakin baiknya aksesibilitas suatu KSP Mikro, maka akan semakin luas jangkauan KSP Makro-nya. Berdasarkan perkembangan agroindustrinya, luas KSP Makro ditentukan oleh derajat pengolahan produk yang dihasilkannya, apakah dalam bentuk bahan baku industri atau barang siap kon- sumsi. Dalam hal ini, kriteria KSP Mikro ditentukan oleh batas kawasan, potensi produksi, ketersediaan sarana dan prasarana, SDM, teknologi, keterkaitan antar sektor dan antar kawasan, perkembangan teknologi, permodalan dan kelembagaan (Bappeda, 1999). Dalam garis besarnya, tipe KSP Mikro dibedakan atas KSP Mi- kro Pertanian Dataran Tinggi, KSP Mikro Pertanian Dataran Rendah, KSP Mikro Pertanian Tertentu, KSP Mikro Perikanan Laut Lepas, KSP Mikro Perikanan Tambak dan KSP Mikro Perikanan Darat (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b).

Pengembangan Kawasan Sentra Produksi

Pengembangan KSP merupakan suatu bentuk program perencanaan ruang untuk sektor strategis yang diharapkan dapat mendorong percepatan produksi pertanian dengan perkembangan wilayah (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Pengembangan KSP termasuk dalam konsep pengembangan wilayah baru, dimana ide pengembangannya didasarkan pada potensi yang telah ada (existed), baik untuk KSP skala mikro maupun makro (Bappeda, 1999).

Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah pro- duksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewi- layahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) yang menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi dan skop ekonomi untuk meningkatan produktivitas kegiatan usaha tani (Saragih, 1999a).

Menurut Hallberg (2000), skala ekonomi tergantung pada basis teknologi produksi yang digunakan. Sedangkan basis teknologi produksi menentukan ting-

kat produksi yang paling efisien. Dengan demikian, dalam kegiatan usaha tani, skala ekonomi menentukan ukuran luasan usaha yang paling efisien (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Permasalahan efisiensi dan produktivitas usaha tani di Indo- nesia umumnya berhubungan dengan ukuran luasan usaha dan ragam produk yang dihasilkan (Rachmat, 1996; Saragih, 2000). Dalam hal ini, pengembangan KSP dimaksudkan untuk mencapai ukuran (economic of scale) usaha tani yang paling efisien dengan cara memadukan beragam jenis kegiatan (economic of scope) dalam satu kawasan sentra produksi. Upaya ini dilakukan secara holistic melalui penerapan sistem agribisnis. Dalam hal ini, penerapan sistem agribisnis bertujuan untuk mereduksi kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar pelaku da- lam pengembangan KSP.

Menurut Suryana dan Mardiyanto (1998), secara fungsional masyarakat pelaku agribisnis terdiri atas lima golongan, yaitu pemerintah, masyarakat tani dan pedesaan, masyarakat bisnis dan dunia usaha, masyarakat profesi serta masya- rakat ilmiah. Masing-masing golongan memiliki otoritas dan kepentingan yang dapat mempengaruhi keberlangsungan sistem yang dibangun. Oleh karena itu, diperlukan upaya sinkronisasi dan koordinasi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada. Dalam kerangka pengembangan KSP, upaya tersebut dila- kukan secara holistic melalui pemaduan aspek fungsional dan spasial.

Pemaduan aspek fungsional bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan dan program secara fungsional. Pemaduan fungsional memiliki lima karakteristik utama (Simatupang, 1995a), yaitu :

1. Kelengkapan fungsional. Tersedianya seluruh fungsi agribisnis yang diperlu- kan untuk menghasilkan, mengolah, dan memasarkan produk pertanian hingga ke konsumen akhir.

2. Kesatuan tindak. Seluruh komponen sistem agribisnis melaksanakan fungsinya secara harmonis dalam satu kesatuan tindak.

3. Ikatan institusional. Hubungan di antara komponen dalam sistem agribisnis terjalin langsung melalui ikatan institusional (non-pasar).

4. Kesatuan hidup. Kelangsungan hidup dan perkembangan setiap komponen sistem agribisnis saling tergantung satu sama lain.

5. Koperatif. Setiap komponen sistem agribisnis saling membantu untuk ke- pentingan bersama.

Selain itu, KSP diharapkan mampu menjadi pedoman keterpaduan spasial yang mengaitkan antara kegiatan produksi dengan pusat pengolahan dan pemasaran melalui pengadaan prasarana dan perencanaan berbagai kegiatan atau fasilitas yang saling menunjang dalam suatu lokasi (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a).

Menurut Hazell dan Roell (1983), keterkaitan produk akan lebih tinggi bila sektor-sektor yang saling berhubungan berada dalam satu lokasi atau pada lokasi yang saling berdekatan. Hal ini terjadi karena jika lokasi berdekatan maka ongkos transportasi akan dapat dihemat dan aktivitas produksi antar sektor dapat diharmoniskan (Djojodipuro, 1992 dan Sitorus, 1997). Pendekatan keterpaduan spasial ini sejalan dengan strategi district level industrialization yang menghen- daki dibangunnya industri pengolahan pada setiap wilayah produksi, sesuai dengan resources endowment yang dimiliki oleh wilayah tersebut (Arief, 1998).

Pengembangan KSP di Propinsi Jambi

KSP di Propinsi Jambi dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Kawasan Barat, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur. Secara administratif, Kawasan Barat terdi- ri dari Kabupaten Kerinci, Merangin dan Sarolangun. Kawasan Tengah terdiri da- ri Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Kawasan Timur terdiri dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Masing-masing wilayah KSP memiliki karakteristik fisik lahan, agro- klimat, infrastruktur, kelembagaan dan permasalahan tersendiri. Kawasan Barat (khususnya Kabupaten Kerinci) adalah dataran tinggi dan berbukit-bukit, serta merupakan wilayah penyangga (buffer zone) dari Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dalam hal ini, hanya sebagian kecil wilayah Kawasan Barat (khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun) yang merupakan dataran rendah. Sebaliknya, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur memiliki topografi yang tergolong sebagai wilayah dataran rendah. Sebagian wilayah Kawasan Timur (khususnya di Kabupaten Tanjab Barat dan Tanjab Timur) merupakan daerah pe- sisir dengan panjang garis pantai 41,75 km yang setara dengan luas penangkapan

ikan sekitar 925.000 ha dan mengandung potensi produksi perikanan laut sebesar 114.036 ton/tahun (Bappeda, 1999; Nurdin, 2000).

Permasalah yang dihadapi dalam pengembangan komoditas unggulan pada KSP di propinsi Jambi secara umum mencakup keseluruhan sub-sistem agribisnis. Pada sub-sistem agribisnis hulu, permasalahan terutama berkenaan dengan kurang atau tidak tersedianya saprotan dan bibit/benih dengan mutu yang baik. Pada sub- sistem usaha tani, permasalahan terutama berkenaan dengan teknik budidaya yang diterapkan umumnya masih tradisional. Sedangkan permasalahan pada sub-sis- tem agroindustri terutama berkenaan dengan masih kurangnya ketersediaan unit usaha pengolahan hasil atau penanganan pascapanen. Untuk beberapa komoditas yang sudah memiliki unit usaha pengolahan, permasalahan yang ada umumnya berkenaan dengan skala usaha dan tingkat teknologi pengolahan yang digunakan relatif masih sederhana. Adapun permasalahan pada sub-sistem penunjang dalam garis besarnya berhubungan dengan terbatasnya pasar bagi komoditas yang di- kembangkan, belum optimalnya fungsi kelompok tani, rendahnya kemampuan SDM yang ada, serta terbatasnya modal (Bappeda, 1999).