• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jambi pada tahun 1998-2002

SRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN DI INDONESIA

Tinjauan Teoritis Strategi Industrialisasi dan Pembangunan

Pembangunan mengandung pengertian pertumbuhan dan perkembangan. Dalam pengertian pertumbuhan, inti dari tujuan pembangunan adalah untuk men- capai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Pangestu dan Aswicahyono, 1997) yang secara kuantitatif diukur melalui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Adapun dalam pengertian perkembangan, pembangunan merupakan suatu proses transformasi struktural yang terencana dan terorganisasi. Transformasi dalam pembangunan mencakup perubahan komposisi sektor produktif dari basis ekonomi yang semula pertanian menjadi industri yang sejalan dengan proses transformasi sosial, budaya dan politik (Kuswartojo, dkk, 2000).

Penyusunan kebijakan pembangunan di negara berkembang seperti Indo- nesia sering dihadapkan pada permasalahan pemilihan sektor pembangunan yang

akan dijadikan fokus atau prioritas pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Pan- dangan pertama menganggap sektor industri yang harus dijadikan fokus pemba- ngunan, karenanya kebijakan investasi harus diprioritaskan pada sektor industri. Sebaliknya, pandangan lainnya berpendapat bahwa sektor pertanian yang harus menjadi fokus pembangunan, karena pertanian merupakan sektor yang paling mampu menyerap tenaga kerja.

Pandangan bahwa sektor industri yang sepatutnya dijadikan fokus pemba- ngunan dan prioritas investasi didasarkan pada paradigma keseimbangan umum (general equilibrium) dalam proses pembangunan (Aziz, 1997). Keseimbangan tersebut merupakan hasil interaksi antar sektor pembangunan melalui keterkaitan produk (Nazara, 1997). Produk yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang tinggi memiliki kemampuan mendorong investasi baru pada sektor-sektor input (sektor pemasok bahan baku), sedangkan keterkaitan ke depan (forward linkages) mendorong investasi baru pada sektor output (sektor pengguna hasil produksi). Menurut Yotopoulus and Nugent dalam Kasryno, dkk. (1998) kaitan ke belakang bersifat kausal, sedangkan kaitan ke depan bersifat permisif, sehingga sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang yang tinggi memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor yang memiliki kaitan ke depan yang tinggi. Dengan demikian, berdasarkan indeks keterkaitan produk, prioritas pertama pembangunan dan investasi harus difokus- kan pada sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Prioritas kedua untuk sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang tinggi, tetapi indeks kaitan ke depan rendah. Prioritas ketiga adalah sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang rendah, tetapi indeks kaitan ke depannya tinggi. Sedangkan prioritas terakhir adalah sektor yang kedua indeks keterkaitan- nya rendah.

Hasil identifikasi indeks keterkaitan melalui hubungan input-ouput me- nunjukkan bahwa sektor industri memiliki indeks keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Hal ini berarti sektor industri merupakan sektor pemimpin (the leading sector) atau sektor kunci (the key sector); oleh karenanya harus dijadikan sebagai fokus pembangunan dan prioritas investasi. Sebaliknya, sektor pertanian memiliki indeks kaitan ke depan tinggi, tetapi indeks kaitan ke belakang rendah

(Prabowo, 1995). Oleh karenanya, sektor pertanian tidak sesuai untuk dijadikan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan. Pandangan ini banyak dianut oleh negara-negara yang sedang membangun, termasuk Indonesia.

Tantangan fundamental terhadap paradigma keterkaitan produk yang me- nyimpulkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor pemim- pin pembangunan muncul sejak pertengahan tahun 1970-an (Kasryno, dkk, 1998). Berbagai penelitian yang memperhitungkan keterkaitan konsumsi dan tenaga kerja terhadap permintaan produk industri menghasilkan kesimpulan bahwa sektor pertanian dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja dan permintaan konsumsi. Kesimpulan ini melahirkan perspektif keterkaitan berspektrum luas yang meletakkan titik berat program pembangunan pada sektor pertanian (Simatupang, 1998).

Telaah mengenai peran sektor pertanian dalam transformasi pembangunan menyimpulkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan di negara-negara berkembang (APO, 2000). Adapun peran sektor pertanian dalam pembangunan menurut Kuznet (Jhingan, 2002) adalah :

1. Kontribusi produk. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri dan bahan pangan bagi pekerja di sektor industri.

2. Kontribusi pasar. Rumah tangga di sektor pertanian adalah pasar utama untuk output yang dihasilkan oleh sektor industri.

3. Kontribusi devisa. Sektor pertanian berperan sebagai penyumbang devisa melalui hasil ekspor produk-produk pertanian.

Adelman (1984) menjabarkan gagasan untuk menitikberatkan program pembangunan pada sektor pertanian dalam bentuk strategi industrialisasi berdasarkan permintaan pertanian (Agricultural-Demand-Led Industrialization Strategy). Strategi ADLI didasarkan atas lima preposisi (Arief, 1998), yaitu: 1. Strategi Export-led growth dalam situasi ekonomi internasional yang ada dan

akan terjadi tidak dapat diharapkan berhasil banyak dalam memecahkan masalah pembangunan. Proses pembangunan hendaklah tidak digantungkan atas ekspor yang di luar kontrol ekonomi nasional. Permintaan efektif di da- lam negeri dan bukan permintaan efektif di luar negeri yang harus menjadi penentu arah dan dinamika pembangunan.

2. Permintaan efektif di dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sek- tor pertanian sebagai sektor utama dalam proses pembangunan, sehingga sektor ini menjadi penyedia pasar efektif untuk produk-produk sektor industri. 3. Proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor

pertanian sebagai primadona tidak akan menyebabkan terjadinya konflik antara tujuan-tujuan pembangunan (pertumbuhan output, perluasan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan).

4. Alokasi sumber daya sebagian besar hendaklah ditujukan untuk pengembangan sektor pertanian dan peningkatan produktivitas penduduk di sektor pertanian. 5. Strategi ADLI secara implisit mengandung perubahan komposisi output. De-

ngan strategi ADLI sebagian besar output terdiri dari barang-barang kebutuhan massa (wage-goods).

Strategi ADLI memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan agroindustri berdasarkan adanya keterkaitan konsumsi yang tinggi antara sektor pertanian dan sektor industri, dengan tetap mempertimbangkan adanya keter- kaitan produk antar sektor pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Keterkaitan kon- sumsi tercipta karena nilai tambah yang diperoleh dari sektor pertanian diguna- kan untuk membeli produk dari sektor industri dalam rangka memenuhi kebu- tuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan produk adalah keterkaitan yang terjadi melalui penggunaan produk suatu industri sebagai bahan baku bagi industri lainnya.

Penerapan strategi industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dimulai dengan industri substitusi impor (import-substitution industrialization strategy). Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negara-negara maju, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai penggerak pembangunan (Prebisch dalam Dasril, 1993). Pelaksanaan strategi industrialisasi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa pengembangan industri substitusi impor akan membuahkan hasil yang cepat dan dapat menimbulkan penghematan devisa (Arief, 1998).

Strategi industrialisasi substitusi impor dianut oleh negara-negara Amerika Latin (Brazil, Mexico, Peru, Argentina dan Chili), Asia Selatan (India dan

Pakistan), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina), Afrika (Kenya dan Zaire), dan lain-lain. Sedangkan bagi negara-negara yang memiliki pasar dalam negeri yang kecil seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura terpaksa memulai proses industrialisasi melalui strategi industrialisasi berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) (Arief, 1998).

Adapun pendapat mengenai alternatif strategi industrialisasi di Indonesia dikemukakan antara lain oleh Saragih (1995) dan Alam (1996). Saragih (1995) mengajukan tiga jalur pengembangan industri di Indonesia. Ketiga jalur tersebut tercakup di dalam empat alternatif strategi pengembangan industri sebagaimana dikemukakan Alam (1996), yaitu:

1. Strategi industri berspektrum luas (Broad-based industry), yaitu strategi pe- ngembangan industri yang diarahkan pada pemanfaatan sumber daya alam dan manusia secara maksimal dengan tidak terlalu tergantung pada banyak modal. 2. Strategi industri teknologi tinggi (Hi-tech industry), yaitu stategi pengem-

bangan industri yang memanfaatkan akselerasi perkembangan teknologi, seperti industri pesawat terbang.

3. Strategi industri promosi ekspor (Export-led industry), yaitu strategi pengem- bangan industri melalui peningkatan ekspor dan persaingan internasional. 4. Strategi entreport, yaitu strategi pengembangan industri jasa pelayanan komer-

sial, seperti pariwisata dan telekomunikasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Singapura dan Hongkong.

Keempat strategi industri sebagaimana dikemukakan oleh Alam (1996) tersebut bersifat mutually exclusive, sehingga hanya memilih salah satu strategi untuk diterapkan adalah tidak mungkin. Akan tetapi, karena tujuan penyusunan strategi industrialisasi adalah untuk memberikan arah bagi pengembangan industri dan terlalu banyaknya strategi dapat mempersulit perencanaan kebijakan karena adanya trade offs antara sasaran dari masing-masing strategi (Pangestu dan Aswicahyono, 1997), maka pemilihan salah satu alternatif strategi yang dominan perlu dilakukan, dengan tidak meninggalkan alternatif strategi pendukung.

Tinjauan Empiris Strategi Industrialisasi di Indonesia

Pendekatan kebijakan industrialisasi dalam berbagai tahap pembangunan Indonesia dipengaruhi oleh keadaan sejarah dan politik, ideologi dan pola pemi- kiran pengambil keputusan, serta keadaan ekonomi, terutama perubahan keadaan eksternal (Pangestu, 1996). Pendekatan strategi industrialisasi substitusi impor yang didasarkan pada kebijakan proteksi, subsidi, dan lisensi sudah dimulai sejak zaman Belanda untuk mencegah membajirnya barang-barang impor dari Jepang pada awal tahun 1930-an. Pada masa kemerdekaan, sistem proteksi, subsidi, dan lisensi ini terus berkembang, tetapi sektor industri tidak mengalami perkembang- an yang berarti. Sampai pertengahan tahun 1960-an, sumbangan sektor industri pada PDB kurang dari 10% (Wie, 1996).

Perkembangan pesat industrialisasi dimulai sejak awal Orde Baru. Pa- ngestu (1996) membagi tahapan industrialisasi masa Orde Baru ke dalam empat periode. Pertama, periode stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1973). Dalam perio- de ini dilakukan pemulihan stabilitas makroekonomi, deregulasi perdagangan dan sistem devisa dan pemberian insentif terhadap PMA dan PMDN. Kebijakan ini menghasilkan pertumbuhan sektor industri yang relatif tinggi (9,6% per tahun).

Pada periode kedua atau periode boom minyak (1973-1981), pertumbuhan sektor industri mencapai 14,2% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi ini dipacu oleh kombinasi kebijakan substitusi impor dan investasi serta peningkatan kepe- milikan oleh pemerintah yang dibiayai dari penghasilan minyak. Argumentasi pe- ningkatan peran pemerintah dalam sektor industri didasarkan pada pertimbangan strategis (industri semen, pupuk dan besi baja), teknologi (pesawat terbang) dan peningkatan nilai tambah (pengilangan minyak, LNG dan petrokimia).

Periode ketiga merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambiva- len (1982-1985). Penurunan harga minyak mentah menyebabkan pemerintah terpaksa melakukan pengurangan proyek-proyek industri berat dan padat modal. Di sisi lain terjadi peningkatan sistem tata niaga impor, penggunaan sistem non- tarif, lisensi impor, dan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri. Dalam periode ini, pertumbuhan sektor industri berjalan lambat dan alot. Pertumbuhan hanya mencapai angka 2,1% per tahun pada tahun 1981-1983, tetapi naik menjadi 16,3% pada tahun 1984, dan turun kembali menjadi 5,4% pada tahun 1985 dan

3,2% pada tahun 1986. Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya permintaan dalam negeri, karena terjadinya penurunan harga minyak (Wie, 1996).

Perubahan arah kebijakan industrialisasi di Indonesia terjadi pada periode keempat (1986-1991). Periode ini diawali dengan terjadinya penurunan harga mi- nyak mentah yang tajam pada tahun 1986, sehingga pemerintah terpaksa melaku- kan strategi peningkatan efisiensi serta peningkatan persaingan dan orientasi eks- por dengan menggunakan instrumen kebijakan devaluasi, pelonggaran persyaratan investasi, perbaikan prosedur impor dan ekspor, dan penurunan hambatan non- tarif untuk memperbaiki iklim investasi dan menggalakkan ekspor non-migas. Upaya ini berhasil meningkatkan pertumbuhan sektor industri menjadi 11% per tahun dan mengantarkan Indonesia menuju negara semi industri, yang ditandai dengan terjadinya perubahan struktur produksi pada tahun 1991 dan pencapaian pangsa kontribusi sektor industri yang mendekati angka 20%. Peningkatan pangsa kontribusi sektor industri terhadap PDB terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, walaupun kemudian terjadi sedikit penurunan pada tahun 1998 akibat krisis moneter (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi PDB Indonesia berdasarkan sektor pada tahun 1991-2002

Lapangan Usaha 1991 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Pertanian 18,43 16,09 18,08 19,61 17,23 16,99 17,47

Pertambangan dan Galian 15,68 8,85 12,59 10.00 13,86 13,23 11,91

Industri 19,95 26,79 25,00 25,99 24,90 24,98 24,98

Listrik, Air dan Gas 0,68 1,25 1,18 1,22 1,31 1,46 1,81

Konstruksi 6,02 7,44 6,46 6,15 6,05 5,88 5,74

Perdagangan, Hotel & Rest. 15,89 15,86 15,35 15,99 15,74 16,16 16,08

Pengangkutan dan Kom. 5,57 6,14 5,43 5,02 4,93 5,23 6,05

Perbankan & Lembaga Keu 4,49 8,66 7,31 6,48 6,36 6,31 6,56

Sewa Rumah 2,53 - - - -

Pemerintahan dan Hankam 7,35 - - - -

Jasa-Jasa Lain 3,40 8,92 8,59 9,54 9,63 9,75 9,38

Sumber : BPS, 2003. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 dan diikuti oleh krisis perekonomian, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sampai titik terendah pada tahun 1998. Pada tahun tersebut laju pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar -13,13% yang disebabkan oleh pertumbuhan negatif pada hampir semua sektor perekonomian; kecuali beberapa sub-sektor di sektor pertanian yang tetap mengalami pertumbuhan positif (BPS, 2000a). Keadaan ini

menyebabkan penurunan sumbangan sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa) terhadap PDB, tetapi sebaliknya terjadi peningkatan sumbangan sektor primer (pertanian) terhadap PDB pada tahun 1998-1999, walaupun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi PDB Indonesia pada tahun 1997-2002

Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002

I. Primer (Pertanian) 16,09 18,06 19,61 17,23 16,99 17,47 II. Sekunder (Industri) 26,79 24,48 25,99 24,90 24,98 25,01 III. Tersier (Jasa-Jasa) 39,58 37,07 37,03 36,66 37,45 38,07 Sumber : BPS, 2003.

Peningkatan sumbangan sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1998- 1999 terjadi pada sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (Tabel 3). Sedangkan pada sektor industri, walaupun terjadi penurunan sumbangannya terhadap PDB, tetapi sumbangan sub-sektor makanan, minuman dan tembakau (ISIC 31) justru mengalami peningkatan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa pertanian dan industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor dan sub sektor ekonomi yang dapat bertahan dan bahkan dapat tetap tumbuh positif pada saat sektor-sektor ekonomi lainnya mengalami konstraksi negatif.

Tabel 3. Distribusi PDB Sektor Pertanian pada tahun 1997 – 2002

Sektor/Sub-sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Pertanian

- Tanaman Bahan Makanan - Tanaman Perkebunan - Peternakan - Kehutanan - Perikanan 16,09 8,31 2,62 1,86 1,56 1,73 18,06 9,10 3,36 1,77 1,71 2,12 19,61 10,57 3,27 2,16 1,26 2,39 17,23 8,91 2,67 2,14 1,18 2,33 16,99 8,70 2,59 2,10 1,08 2,53 17,47 8,77 2,60 2,16 1,05 2,90 Sumber : BPS, 2003.

Tabel 4. Distribusi PDB Sektor Industri pada tahun 1997 – 2002

Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Industri Pengolahan A. Industri Migas B. Industri Tanpa Migas - Makanan, Minuman, Tembakau (ISIC 31) 26,79 2,49 24,30 11,08 24,48 2,94 21,55 12,14 25,99 3,19 22,80 13,90 24,90 4,29 20,61 11,31 24,98 3,87 21,10 11,24 25,01 3,52 21,49 11,32 Sumber : BPS, 2003.

Di sisi lain, hasil kajian yang dilakukan oleh Arief (1998) menunjukkan bahwa proses industrialisasi berdasarkan strategi industrialisasi substitusi impor dan promosi ekspor walau telah berhasil menyebabkan terjadinya transformasi struktur produksi, tetapi tidak diikuti dengan transformasi ekonomi yang seim- bang. Ketidakseimbangan ini disebabkan karena tidak terintegrasinya proses industrilisasi dengan sektor pertanian (Arief, 1998). Data pada tahun 1999 mem- perlihatkan walau sektor industri memberi sumbangan 25,99% terhadap PDB, tetapi jumlah tenaga kerja yang mampu diserap hanya 17,8%. Sebaliknya pada tahun yang sama, sektor pertanian mampu menyerap 43,6% tenaga kerja, walau- pun sumbangannya terhadap PDB hanya mencapai 19,61% (BPS, 2000b).

Proses industrilisasi haruslah dilaksanakan atas dasar adanya keterkaitan yang luas dan kokoh dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (backward and forward linkages industrialization) (Crawford, 1991; Arief, 1998). Dengan demikian, proses industrialisasi di Indonesia semestinya berbasis pada sektor per- tanian. Pemikiran ini mendorong pengambil kebijakan untuk merancang program ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian dan sub-sektor agroindustri.

Sesungguhnya prioritas pembangunan sektor industri di Indonesia pada awalnya terkait erat dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri, khususnya dengan sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari urutan prioritas pembangunan industri selama Repelita I - III. Selama Repelita I (1969/70 - 1973/74) prioritas pembangunan diberikan pada pembangunan industri yang mendukung sektor per- tanian. Selama Repelita II (1974/75 - 1978/79) prioritas diberikan pada industri pengolahan sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku; dan pada Repeli- ta III (1979/80 - 1983/84) industri yang didirikan adalah industri pengolahan bahan baku untuk menghasilkan produk industri manufaktur. Akan tetapi, setelah dicapainya swasembada pangan pada tahun 1984, arah pembangunan industri Indonesia mulai bergeser sebagaimana dapat dilihat dari kebijakan pembangunan industri pada Repelita IV (1984/85 - 1988/89) yang memprioritaskan pembangun- an industri barang modal.

Koreksi terhadap konsep dan arah pembangunan industri di Indonesia ter- cermin dari prioritas industrialisasi pada Repelita VI (1994/95 - 1998/99) dengan dimasukkannya upaya mengembangkan industri kecil dan pedesaan, serta penye-

barannya ke daerah sebagai prioritas tambahan pembangunan industri (Pangestu dan Aswicahyono, 1997). Namun sebagaimana dikatakan oleh Wie (1996), pola pembangunan industri di Indonesia tidak selalu sejalan dengan kebijakan resmi dan kadangkala kebijakan resmi pembangunan industri tidak jelas, sehingga mem- beri peluang munculnya berbagai tafsiran dalam menentukan prioritas.

Strategi Industrialisasi Pertanian dengan Pendekatan Sistem Agribisnis Pengertian Industrialisasi Pertanian dan Sistem Agribisnis

Pemikiran tentang pembangunan ekonomi berbasis pertanian (agricultural led development strategy) telah diperdebatkan sejak masa awal perencanaan pem- bangunan nasional. Pemikiran ini didasarkan pada argumen tahap-tahap pemba- ngunan ekonomi yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja. Pada tahap awal, pembangunan industri harus terkait erat (backward and forward linkages) dengan sektor pertanian (Crawford, 1991). Keterkaitan ini akan menjadi amat kuat apabila sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi (Byerlee dalam Kuncoro, 1996). Kaitan yang paling sesuai diperoleh melalui pembangunan industri hasil pertanian atau agroindustri (Kuncoro, 1996).

Pembangunan agroindustri serta penggunaan peralatan mekanis (meka- nisasi) dalam sektor pertanian sering dijadikan sebagai ciri dimulainya proses in- dustrialisasi pertanian. Pandangan ini membatasi pengertian industrialisasi perta- nian hanya sebagai proses transformasi struktur produksi pertanian (Dasril, 1993) dan struktur ketenagakerjaan (Prabowo, 1995). Pengertian yang lebih luas diberi- kan oleh Simatupang (1995a) yang mendefinisikan industrialisasi pertanian sebagai suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Proses transformasi tersebut dilakukan melalui konsolidasi usaha tani yang disertai dengan koordinasi seluruh mata rantai agribisnis dalam satu alur produksi melalui mekanisme non-pasar (Council on Food, Agricultural and Resources Economics, 1994). Definisi ini memberikan pengertian peran pende- katan agribisnis dalam proses industrialisasi pertanian sebagai gabungan antara konsep sistem dan konsep bisnis (Nishimura, 1999).

Sebagai konsep sistem, agribisnis adalah suatu kesatuan sistem yang ter- diri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis

hulu, sub-sistem usahatani atau pertanian primer, sub-sistem agribisnis hilir atau agroindustri dan sub-sistem penunjang. Sub-sistem agribisnis hulu adalah kegiat- an ekonomi yang menyediakan sarana/input produksi seperti bibit unggul, alat dan mesin pertanian (agro-otomotif), serta pupuk dan pestisida (agro-kimia) bagi kegiatan pertanian primer. Sub-sistem usahatani atau pertanian primer adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan komoditas atau produk pertanian primer melalui pemanfaatan sarana produksi yang dihasilkan oleh sub-sistem agribisnis hulu. Sub-sistem agribisnis hilir atau agroindustri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam sub-sistem ini adalah kegiatan-kegiatan pascapanen, distribusi dan perdagangan produk pertanian primer. Adapun sub-sistem penunjang adalah kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang diperlukan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam sub-sistem ini adalah lembaga keuangan/perbankan, infrastruktur (fisik dan normatif), informasi dan penyuluhan, penelitian dan pengembangan, serta kebijakan pemerintah (Badan Agribisnis, 1995; Saragih, 1999a). Hubungan dan keterkaitan antar keempat sub- sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1.

Sebagai konsep bisnis, agribisnis merupakan suatu aktivitas bisnis yang bertujuan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal dan sustainable dengan cara menghasilkan barang atau jasa yang sesuai dengan keinginan pasar (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Sebagai suatu aktivitas bisnis, agribisnis mempunyai beberapa implikasi bisnis (Syukur, 1996), yaitu :

1. Iklim usaha. Agribisnis memerlukan persyaratan dasar (iklim investasi dan berusaha) untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Pasar. Pertumbuhan dan perkembangan agribisnis ditentukan oleh mekanisme pasar. Hal ini berarti produk agribisnis harus berorientasi pada pasar.

3. Persaingan. Persaingan dalam agribisnis tidak dapat dihindari, tetapi harus di- hadapi.

4. Perubahan. Perubahan akan selalu terjadi, sehingga tindakan antisipasi terha- dap perubahan (preferensi konsumen, kompetitor dan teknologi) harus terus- menerus dilakukan.

Sebagai gabungan konsep sistem dan bisnis, agribisnis adalah suatu sistem yang diperlukan untuk menyelaraskan (interfacing and matching) berbagai stra- tegi dan kepentingan dari masing-masing unsur masyarakat agribisnis melalui konsolidasi dan koordinasi seluruh fungsi-fungsi agribisnis dengan menggunakan mekanisme non-pasar. Konsolidasi dan koordinasi tersebut dilakukan melalui pola integrasi vertikal ataupun pola koordinasi vertikal. Dengan pola integrasi vertikal, seluruh fungsi agribisnis dilaksanakan oleh satu perusahaan atau oleh beberapa perusahaan yang tergabung dalam satu holding company. Sedangkan dengan pola koordinasi vertikal, fungsi-fungsi agribisnis dilakukan oleh beberapa badan usaha yang kepemilikan dan manajemennya terpisah, tetapi strategi usaha dan implementasinya terkoordinasi secara harmonis (Simatupang, 1995a).

Mengingat kondisi struktur perekonomian Indonesia yang masih membe- ratkan sektor pertanian dan sektor pertanian yang masih didominasi oleh petani kecil, maka Simatupang (1995a) menyarankan agar pola koordinasi vertikal dijadi- kan sebagai prioritas dalam industrialisasi pertanian. Adapun pola integrasi verti- kal, walaupun sesuai untuk tujuan pertumbuhan yang tinggi dan perolehan devisa, namun kurang efektif untuk tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pe- merataan pendapatan.

Pola koordinasi vertikal pada prinsipnya adalah penciptaan kaitan lang- sung di luar pasar (extra-market direct linkages) dimana hubungan antara fungsi- fungsi agribisnis yang saling melengkapi diciptakan melalui hubungan langsung yang terjadi di luar sistem pasar (Wie, 1992). Pola ini merupakan salah satu cara yang ideal untuk pengembangan sistem agribisnis. Akan tetapi sebagaimana di- ingatkan oleh Simatupang (1995a), pengembangan agribisnis dengan pola apapun tidak akan berhasil jika dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang bersifat me- maksa. Konsolidasi dan koordinasi fungsi-fungsi agribisnis haruslah berkembang sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip keterkaitan dan kemitraan yang mengandung asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Suhar- di, 1992b) antar seluruh unsur masyarakat yang terkait dalam sistem agribisnis.

Pembentukan pola koordinasi vertikal dengan prinsip kemitraan harus se- suai dengan tahap kematangan sistem agribisnis (business maturity), mengacu pa- da sistem budaya setempat (indigenous culture) dan dirancang secara demokratis

melalui musyawarah antar unsur masyarakat agribisnis yang terlibat. Untuk itu, perlu diidentifikasi beberapa aspek penting yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kemitraan dalam agribisnis (Syukur, 1996), yaitu :

1. Aspek bisnis untuk menjamin kelayakan kemitraan secara ekonomis. 2. Aspek sosial untuk menjamin manfaat kemitraan bagi masyarakat. 3. Aspek partisipasi pelaku untuk menjamin keberlanjutan kemitraan. 4. Aspek teknologi untuk menjamin kelayakan teknis.

5. Aspek informasi untuk menjamin efektifitas perencanaan dan pengendalian. Peran Industri Pertanian dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Industrialisasi pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis dapat dijadi- kan strategi rekonsiliasi untuk menurunkan ketegangan dan kontradiksi dalam menentukan fokus pembangunan antara pertanian dengan industri, antara pedesa- an dengan perkotaan atau antara pertumbuhan dengan pemerataan (Uphoff, 1999). Strategi ini menggunakan pendekatan pembangunan yang seimbang (balanced development) melalui diversifikasi ekonomi (penyediaan lapangan kerja dan pen-