• Tidak ada hasil yang ditemukan

NO I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

Dalam dokumen BUKU Perda No 3 Tahun 2014 RPJMD 2014 2019 (Halaman 100-105)

Capaian I ndikator Utama Kab Garut dibanding Target KPDT No I ndikator

NO I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013* *

1 Angka Harapan Hidup (tahun) 65,20 65,60 66,00 66,39 66,86

2 Angka Kematian Ibu (Per 100.000

kasus Kelahiran) 219,64 210,86 202,07 193,29 184,50 3 Angka Kematian Bayi (Per 1.000

Kelahiran Hidup) 51,65 50,87 50,62 49,95 49,29 4 Jumlah Kasus Ibu Meninggal akibat

melahirkan 55 34 45 28 37 5 Jumlah Kasus Bayi Meninggal 342 336 397 298 190 Sumber : BPS Kabupaten Garut dan Dinas Kesehatan Kab. Garut. **) Angka Proyeksi

Kasus Akibat penyakit menular dan tidak menular

Sampai tahun 2013 Kabupaten Garut masih mendapat ancaman multi dan berbagai penyakit (Triple Burden Desease) yang masih menyebabkan kesakitan, kematian dan kecacatan yang muncul kembali, hal tersebut mengingat beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan kondisi geografis dan berdampak pada status endemisitas untuk penyakit tertentu.

Tabel 2. 36

Kasus Penyakit Menular dan Tidak Menular di Kabupaten Garut Tahun 2009 s/ d 2013

NO. I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013* *

Emerging Desease :

1. Demam Berdarah Dengue 847 1486 316 120 341 2. Kusta 10 29 21 14 34 3. Rabies 2 0 0 0 0 4. Filariasis 20 4 24 0 0 5. Infeksi Saluran Pernapasan

NO. I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013* *

6. Diare Pada Balita 10.788 10.553 14.442 11.733 102.246

Re- Emerging Desease :

1. Malaria 115 101 187 295 209 2. Tuberkulosis (TB) 1.659 1.558 1.724 1.800 1.696

New - Emerging Desease :

1. HIV-AIDS 62 74 89 182 167

Penyakit Degeneratif ( Tidak Menular)

1. Penyakit Cardio Vasculer 87.028 71.283 72.662 111.601 149.653 Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Garut Tahun 2014

Bila dilihat dari tabel di atas maka sangat jelas ancaman peningkatan kasus dan penyebaran berbagai macam penyakit menular dan tidak menular menjadi ancaman sangat serius yang membutuhkan penanganan efektif dan tepat serta membutuhkan suatu koordinasi/kerjasama dengan

multistakeholder yang terintegrasi dan sinergis.

Dalam periode 5 (lima) tahun terakhir ini, kasus penyakit yang termasuk

emerging desease, Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit

yang selalu ditemukan setiap tahunnya dengan variasi kasus bersifat fluktuatif. Hal tersebut berkaitan dengan pola musim penghujan pada waktu-waktu tertentu sebagai temuan kasus paling banyak, dan kondisi ini berkaitan pula dengan pola lingkungan serta kebiasaan dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Selain itu, perlu diwaspadai pula dengan penyakit kusta (leprae) di Tahun 2013 mengalami peningkatan 1,5 kali dibanding tahun 2012. Hasil analisis kasus dilapangan terjadi sebagai dampak dari kasus impor dari luar (luar Kab. Garut) juga sebagai pola penyebaran setempat (indegeneous).

Untuk kategori penyakit New-Emerging Desease, penyakit malaria dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan, selain karena faktor daerah Endemis juga karena mobilitas penduduk yang bekerja di luar Pulau Jawa dan terindikasikan daerah Urban tersebut sebagai daerah endemis pula. Selain penyakit tersebut, Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit terbanyak ditemukan. Dalam 3 (tiga) tahun terakhir kasus TB mengalami peningkatan meskipun pada tahun 2013 temuannya mengalami penurunan. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa proses penyebaran TB di masyarakat masih terus berlangsung.

Kategori re-Emerging Desease, penyakit Cardiovasculer (Hipertensi) terus terjadi peningkatan. Hal ini sejalan dengan pola perilaku hidup bersih dan sehat, diantaranya konsumsi makanan yang berisiko terhadap kejadian hipertensi dan beberapa kebiasaan yang merugikan kesehatan.

Berbagai upaya untuk menanggulangi ke 3 (tiga) kelompok penyakit tersebut, melalui kegiatan pemberantasan langsung pada penyebab seperti pemusnahan vektor penyakit (Fogging untuk kasus DBD), pencarian kasus

malaria dengan kegiatan Active/Pasive Case Detection dengan melibatkan unsur masyarakat dan penanganan kasus tersangka rabies.

Selain itu, penyediaan dan pengobatan langsung terhadap kasus TB yang sesuai standar WHO yaitu International Standard Tuberculosis Care (ISTC) yang diperoleh masyarakat secara gratis pada fasilitas pelayanan kesehatan. Khususnya dalam penemuan kasus baru TB, telah dilakukan dengan cara melibatkan unsur masyarakat (Kader kesehatan) untuk mendeteksi kasus tersangka TB dan berperan pula sebagai pengawas menelan obat.

Dalam mengendalikan kasus HIV-AIDS, maka telah dilakukan upaya-upaya untuk mendeteksi dan mencegah transmisi penyebaran ke orang lain dengan cara, mobille VCT pada populasi yang beresiko, penyuluhan pada kelompok remaja dan usia sekolah, penjangkauan kasus, dan pendampingan kasus untuk memperoleh pengobatan Anti Retro Viral

(ARV).

Untuk mengendalikan penyakit kelompok degeneratif yang termasuk penyakit tidak menular, upaya yang dilakukan lebih bersifat pendeteksian dan promosi kesehatan dengan model konseling.

c. Persentase Balita Gizi Buruk

Persentase balita gizi buruk adalah persentase balita dalam kondisi gizi buruk terhadap jumlah balita. Keadaan tubuh anak atau bayi dilihat dari berat badan menurut umur. Klasifikasi status gizi berdasarkan standar WHO (1999) mengelompokkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok balita, yaitu :

a. rendah = di bawah 10 % b. sedang = 10-19 % c. tinggi = 20-29 % d. sangat tinggi = 30 %

Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di Kabupaten Garut telah menunjukkan adanya keberhasilan, dilihat dari prevalensi balita gizi buruk mengalami penurunan dari tahun 2009 sebesar 0,72% menjadi 0,53% pada tahun 2013. Sementara itu balita gizi baik mengalami kenaikan yaitu pada tahun 2009 sebesar 89,16% menjadi 94,42 % pada tahun 2013.

Tabel 2. 37

Persentase Balita Gizi Baik dan I bu Hamil di Kabupaten Garut Tahun 2009 s.d. 2013

NO. I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013

1 Jumlah Balita Gizi Lebih 2.417 2.161 2.343 2.554 3.289 2 Jumlah Balita Gizi Baik 190.599 194.843 191.678 195.965 187.250 3 Jumlah Balita Gizi Kurang 19.222 15.264 11.876 11.497 8.827 4 Jumlah Balita Gizi Buruk 1.541 2.159 1.182 982 1.070 5 Jumlah Balita 229.651 232.372 229.136 229.795 216.398 6 Persentase - Gizi Lebih 1,13 1,01 1,13 1,21 1,64 - Gizi Baik 89,16 90,87 92,56 92,88 93,42 - Gizi Kurang 8,94 7,12 5,74 5,45 4,4 - Gizi Buruk 0,72 1,01 0,57 0,47 0,53 7 Jumlah Ibu Hamil KEK 3.593 4.629 3.917 2.674 2.239 8 Jumlah Ibu Hamil 54,497 66,76 67,6 67,41 66,23 9 Prosentase Ibu Hamil KEK 6,59 6,93 5,79 3,97 3,38

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Garut

Jumlah kasus balita Kekurangan Energi Protein (KEP) yaitu balita gizi buruk dan gizi kurang dari tahun ke tahun mengalami penurunan sebesar 4,73% yaitu dari 9,66% (tahun 2009) menjadi 4,93 (Tahun 2013). Hal ini disebabkan karena selain setelah dilakukan intervensi penanggulangan gizi buruk melalui pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT_P) selama 90 hari baik bersumber dari dana APBD Kabupaten, APBD Provinsi, BOK Puskesmas juga meningkatnya pengembangan pemberdayaan masyarakat dalam upaya penanggulangan gizi buruk melalui kegiatan Positive Deviance serta meningkatnya sistem pelacakan dan pelaporan kasus gizi buruk. Jumlah kasus KEP masih berada di bawah batas ambang toleransi (BA > 10%). Jumlah kasus ibu Hamil KEK Tahun 2013 (Januari sampai dengan Oktober 2013) sebesar 3,38% kalau dilihat dari tahun sebelumnya (Tahun 2010-2012) mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena telah dilakukan intervensi penanggulangan Bumil KEK melalui Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) selama 90 hari yang bersumber dari dana APBD Kabupaten Tahun 2013 dan bersumber dari dana BOK.

Tabel 2. 38

Hasil Kegiatan Program Promosi Kesehatan

Cakupan PHBS di Tatanan Rumah Tangga Berdasarkan 10 I ndikator Tahun 2009- 2013

NO. I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013

1 Linakes 67,02 75,1 76,11 83,87 85,16 2 Asi Ekslusif 48,35 43,3 49,59 53,2 57,23

NO. I NDI KATOR KEADAAN PADA TAHUN

2009 2010 2011 2012 2013

3 Menimbang Bayi dan Balita 65,45 66,12 66,56 67,02 68,65 4 Menggunakan Air Bersih 54,75 55,11 55,64 56,13 56,33 5 Cuci Tangan Pakai Sabun 48,13 48,45 48,66 49,15 49,31 6 Jamban Sehat 39,98 40,32 40,66 41,03 41,48 7 Memberantas Jentik 47,12 47,54 48,02 48,54 49,18 8 Makan Buah Sayuran Setiap

Hari 47,68 47,89 48,12 48,52 48,67 9 Melakukan Aktivitas Fisik

Setiap Hari 55,23 55,67 56,16 56,47 56,64 10 Tidak Merokok di Dalam

Rumah 13,75 13,89 14,13 15,67 15,85 11 Rumah Tangga Ber PHBS 32,25 32,57 33,03 34,38 34,62

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Garut Tahun 2014

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa kenaikan cakupan dari tahun ke tahun sangat kecil/lambat, terlebih yang menyangkut dengan perilaku seperti pada indikator cuci tangan pakai sabun, memakan buah dan sayuran setiap hari, tidak merokok di dalam rumah sangat kecil sekali. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan anjuran yang disarankan masih sangat rendah.

Dari target cakupan PHBS Tatanan Rumah Tangga Tahun 2013 sebesar 65%, realisasi hasil cakupan yang diperoleh baru mencapai 34,62%. Hasil ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan, oleh karena itu sangat perlu untuk ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan dan kebijakan dari berbagai pihak dalam upaya peningkatan pencapaian cakupan PHBS. Karena dengan meningkatnya cakupan PHBS Tatanan Rumah Tangga maka dapat meningkatkan angka cakupan/derajat kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Garut secara umum, tentu dengan 10 indikatornya.

3. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Setiap upaya pembangunan, selalu diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha, sehingga penduduk dapat memperoleh manfaat langsung dari pembangunan. Salah satu sasaran utama pembangunan adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun.

Dalam bidang ketenagakerjaan, indikator kesempatan kerja (demand for

labour) merupakan hubungan antara angkatan kerja dengan kemampuan

penyerapan tenaga kerja yang menggambarkan ketersediaan pekerjaan/ lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja. Kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan tersedianya lapangan

pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja. Sementara itu, angkatan kerja (labour force) didefinisikan sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif sebagai sumber daya manusia. Pertambahan angkatan kerja harus diimbangi dengan investasi yang dapat menciptakan kesempatan kerja sehingga dapat menyerap pertambahan angkatan kerja.

Rasio penduduk yang bekerja merupakan perbandingan jumlah penduduk yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja, dan selama periode tahun 2009-2012 mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun tidak terlalu signifikan dari sebesar 94,56% pada tahun 2009 menjadi sebesar 94,96% pada tahun 2012. Sementara pada tahun 2013, rasio penduduk yang bekerja diproyeksikan kembali dapat meningkat menjadi sebesar 95,10%.

Tabel 2. 39

Angkatan Kerja dan Penduduk Bekerja Kabupaten Garut Tahun 2009- 2013

Dalam dokumen BUKU Perda No 3 Tahun 2014 RPJMD 2014 2019 (Halaman 100-105)